LIMA KOMPONEN DALAM SISTEM PERADILAN PID

LIMA KOMPONEN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Undang-undang Dasar 1945 menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara
hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara Hukum
adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the
law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan , dan kepastian
hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dalam usaha memperkuat
prinsip diatas maka salah satu hal yang harus dipahami dan dimengerti baik oleh para penegak
hukum, praktisi hukum maupun masyarakat adalah sistem peradilan, dalam hal ini sistem
peradilan pidana (Criminal Justice System). Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana bahwa sistem peradilan pidana mempunyai empat komponen
(empat sub-sistem), ditambah satu sub-sistem berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat sehingga menjadi 5 (lima) sub-sistem, yaitu :
1. Kepolisian.
Polisi sebagai instansi pertama yang terlibat dalam mekanisme Sistem Peradilan Pidana
berpedoman pada Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang mempunyai tugas utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 undangundang tersebut adalah : memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dimana untuk melaksanakan tugasnya tersebut Kepolisian Republik Indonesia mempunyai
wewenang (Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002), yaitu :
 menerima laporan dan/atau pengaduan

 membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban umum
 mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, seperti ; pengemisan
dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika,
pemabukan, perdagangan manusia, pengisapan/praktek lindah darat, dan pemungutan
liar
 mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa
 mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrasi
kepolisian
 melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam
rangka pencegahan
 melakukan tindakan pertama di tempat kejadian
 mengambil sidik jari dan identitas lainya serta memotret seseorang
 mencari keterangan dan barang bukti
 menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional
 mengeluarkan surat ijin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat






memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan,
kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat
menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Barang temuan
yang dimaksud adalah barang yang tidak diketahui pemiliknya yang ditemukan oleh
anggota kepolisian atau masyarakat yang diserahkan kepada kepolisian
wewenang lainnya yang ditentukan oleh undang-undang ini (Pasal 15 ayat (2)).

Dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 juga ditegaskan bahwa setiap Pejabat
Kepolisian Republik Indonesia juga mempunyai kewenangan Diskresi. Kewenangan Diskresi
adalah kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri,
misalnya, dalam hal-hal tertentu berwenang membuat keputusan Ondespoot ( di tempat).
Disamping kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, polisi juga mempunyai wewenang dan dinyatakan
sebagai:








Penyelidik (Pasal 4)
“Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penyelidikan”.
Penyidik (Pasal 6)
“Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan”.
Polisi diharuskan membuat Berita Acara Pemeriksaan (Pasal 75),
Polisi mempunyai diskresi untuk menghentikan Penyidikan (Pasal 109 ayat (2) dan (3)),
dan
Polisi juga mempunyai wewenang untuk menentukan (mensitir) tindak pidana apa yang
dilakukan oleh tersangka (Pasal 121).

Kewenangan dalam KUHAP ini diberikan adalah dalam rangka melaksanakan tugas kepolisian
sebagai penegak hukum.


2. Kejaksaan
Di dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 2
dinyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kekuasaan
tersebut dilaksanakan secara merdeka, artinya dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara merdeka, maka seorang jaksa dilarang merangkap
menjadi ;
1. pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik Negara/daerah, atau badan usaha
swasta,
2. advokat,

3. dan lain-lain
Selain melaksanakan penuntutan, undang-undang juga memberikan kewenangan lain kepada
instansi kejaksaan, hal ini dinyatakan dalam Pasal 30 UU Nomor 16 tahun 2004, kewenangan
tersebut diantaranya :
a) Dalam bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
 melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Dalam melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan, kejaksaan memperhatikan nilai-nial hukum yang hidup dalam masyarakat

dan perikemanusiaan berdasarkan pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan
dalam bersikap dan bertindak.
 melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat. Yang dimaksud dengan
Keputusan lepas bersyarat adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan (dalam Penjelasan Undangundang Nomor 16 tahun 2004).
 melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang,
dan
 melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
b) Di bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik
di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.
c) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:
 peningkatan kesadaran hukum masyarakat,
 pengamanan kebijakan penegakan hukum,
 pengawasan peredaran barang cetakan,
 pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara,
 pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, dan

 penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tersebut diatas, jaksa senantiasa bertindak
berdasarkan hukum, artinya selalu berpedoman pada asas Legalitas. Namun juga wajib
mengindahkan norma-norma agama, kesopanan, dan kesusilaan serta menggali dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, dan juga menjaga kehormatan dan
martabat profesinya.

3. Hakim
Di Negara-negara yang menerapkan Rule of law, kebebasan kehakiman adalah merupakan hal
yang pokok yang ditentukan di dalam undang-undang. Artinya kekuasaan kehakiman tidak boleh
dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4

tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Untuk dapat melaksanakan kekuasaan yang merdeka tersebut maka Pasal 18 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas undang-undang nomor 2 tahun 1986 tentang
Peradilan Umum telah mengatur tentang larangan bagi seorang hakim untuk merangkap jabatan.
Pasal tersebut berbunyi :
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak boleh

merangkap menjadi :
a. pelaksana putusan pengadilan,
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa
olehnya, dan
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penyelenggaraan kekuasaaan kehakiman tersebut diatas dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya dan juga oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung salah satunya adalah peradilan
umum, yang ditingkat kabupaten/kota disebut dengan Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri
merupakan Pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya, kecuali undang-undang
menentukan lain.
Di dalam Hukum Positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk
memilih jenis (straafsort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif di dalam
pengancaman pidana di dalam undang-undang. Disamping itu, hakim juga mempunyai
kebebasan untuk memilih beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang
ditentukan oleh perundang-undangan hanyalah maksimum dan minimumnya (Muladi dan Barda

Nawawi Arief,1984). Namun seorang hakim tidak boleh menolak menerima perkara, walaupun
perkara tersebut belum diatur di dalam perundang-undangan. Dalam hal ini, hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat ( dalam Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004)
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana merupakan salah satu pedoman yang dipakai
penegak hukum di dalam menyelesaikan perkara pidana disamping peraturan perundangundangan yang lain. Demikian juga oleh instansi Pengadilan, KUHAP dijadikan patokan di
dalam pemeriksaan suatu perkara. Definisi Hukum Acara Pidana sebagaimana dikemukakan oleh
Prof. Dr. Sudarto, SH ( dalam Waluyadi, 1999) yang mengatakan bahwa Hukum Acara Pidana
adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak
hukum, menurut penulis adalah sangat tepat. Hal ini dikarenakan tujuan dari Hukum Acara
Pidana adalah :







Mencari dan menemukan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur
dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan dalam

suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan
guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana yang didakwa itu dapat
dipersalahkan. Kebenaran materiil ini dicapai melalui pengujian terhadap formalitas
hukum dimuka sidang pengadilan, dan fakta-fakta yang ditemukan dalam sidang
pengadilan menjadi bahan masukan bagi hakim dalam memutuskan perkara.
Memperoleh putusan hakim, bahwa apa yang dimaksud dengan salah dan benar hanya
bersifat abstrak dan merupakan sebuah nilai yang universal. Bagi dunia hukum, masalah
benar dan salah bukan semata-mata didasarkan pada persepsi orang perorang. Akan
tetapi, kesemuanya itu harus dibuktikan, dan cara-cara untuk membuktikannya harus
berdasarkan atas hukum. Yang demikian itu, oleh karena masalah benar dan salah
tersebut akan melekat pada orang yang notabene sebagai subyek hukum. Berangkat dari
pemahaman itu, dihubungkan dengan ketentuan asas praduga tak bersalah, dimana
“seseorang itu wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap”, maka diperlukan aturan hukum untuk
mendukung tercapainya putusan pengadilan tersebut. Aturan itulah yang kemudian
disebut sebagai hukum formal (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dalam
pengertian yang luas). Di dalam hukum formal itulah terdapat cara bagaimana
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sampai kepada bagaimana putusan
hakim itu diputuskan.
Melaksanakan Putusan Hakim, yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah

pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, menurut cara yang diatur
dalam undang-undang (Pasal 1 angka 11 KUHAP). Kalau kita kaitkan dengan Pasal 1
angka 8 dan angka 9 KUHAP dapat ditarik pengertian bahwa putusan pengadilan
diidentikkan dengan putusan hakim.

Menurut Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa putusan pemidanaan
dapat berupa :
a. Pidana Pokok, yaitu ;
- Pidana Mati
- Pidana Penjara
- Pidana Kurungan
- Pidana Denda
- Pidana Tutupan (UU No. 20/1946)
b. Pidana Tambahan, yang terdiri dari :
- Pencabutan beberapa hak tertentu

- Perampasan beberapa barang tertentu
- Pengumuman putusan hakim.
Menurut Bambang Poernomo (dalam Waluyadi : 1999) bahwa pengertian hukum acara pidana

dalam pengertian yang sangat luas adalah : “ apabila materi peraturan sudah sampai pada tahap
eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan
hukuman (pidana) yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara menyelenggarakan
pidana sejak awal sampai menjalani pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana”.
Dalam pembatasan tersebut tersirat, bahwa hukum acara pidana bukan hanya mencakup aturan
tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan
pengadilan, akan tetapi dengan aturan bagaimana agar putusan hakim tersebut dapat
dilaksanakan.
Berpedoman pada definisi hukum acara pidana dalam pengertian yang sangat luas sebagaimana
diungkapkan oleh Bambang Poernomo yang kemudian dihubungkan dengan Pasal 1 angka 6
huruf a dan b, Pasal 1 angka 8, 9 dan 11 KUHAP jo. Pasal 10 KUHP, ada tiga komponen yang
harus ada demi terlaksananya putusan hakim, yaitu :
a. Terpidana (seseorang yang menjadi obyek hukuman). Sebab, putusan hakim tidak mungkin
terlaksana sementara seseorang yang telah dinyatakan bersalah melalui putusan hakim yang
sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak ada, atau tidak dapat dipidanakan karena
menurut hukum memang dibenarkan.
b. Lembaga Kejaksaan, yang memang menurut KUHAP telah diberikan legalitas untuk
melaksanakan kewajiban tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 huruf a yang
menyatakan bahwa : “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”.
c. Pihak lain yang tidak termasuk dalam point a dan b yang dapat dibenarkan menurut Peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

4. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir di dalam Sistem Peradilan Pidana, di dalam
kenyataannya tidak mempersoalkan apakah seseorang yang hendak direhabilitasi itu adalah
seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak. Bagi Lembaga Pemasyarakatan, tujuan
pembinaan pelanggar hukum tidak semata-mata membalas tapi juga perbaikan. Sesuai dengan
falsafah pemidanaan di Indonesia yang dikemukakan oleh Sahardjo, beliau memandang bahwa
narapidana sebagai orang yang tersesat dan masih mempunyai waktu dan kesempatan untuk
bertobat. Perbaikan itu sendiri menghasilkan konsep pemikiran yaitu pemasyarakatan sebagai
metode pembinaan. Sehingga kemudian Lembaga ini dirubah sebutannya dari Penjara menjadi
Lembaga Pemasyarakatan.

Sebagai lembaga pembinaan, posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari
sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai
kepada penanggulangan kejahatan (suppression of crime). Keberhasilan dan kegagalan
pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan akan memberikan kemungkinankemungkinan penilaian yang bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu dapat positif manakala
pembinaan narapidana mencapai hasil maksimal, yaitu bekas narapidana itu menjadi warga
masyarakat yang taat pada hukum. Penilaian itu dapat negatif manakala bekas narapidana yang
pernah dibina itu menjadi penjahat kembali.
Namun persoalan yang dihadapi oleh Lembaga Pemasyarakatan sekarang ini adalah terletak pada
sarana yang mendukung pembinaan narapidana, yaitu terbatasnya sarana personalia yang
professional yang mampu melakukan pembinaan secara efektif. Sarana adminitrasi dan
keuangan, dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk mengelola suatu Lembaga Pemasyarakatan.
Yang tidak kalah penting adalah kurangnya sarana fisik untuk menampung narapidana sehingga
di beberapa Lembaga Pemasyarakatan sering terjadi kelebihan narapidana dari pada daya
tampung, hal ini berakibat pada pelayanan dan pengawasan yang tidak bisa berjalan dengan baik.
Ketiadaan beberapa sarana pendukung sebagai salah satu sebab kegagalan Lembaga
Pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan, sehingga berakibat pada mental dan moral
narapidana yang tidak jauh berubah. Pada saat mereka terjun lagi kemasyarakat akan cenderung
melakukan kejahatan yang pernah dilakukan, disamping itu adanya penolakan dari masyarakat
karena cap atau stigma yang jelek terhadap eks narapidana.

5. Advokat
Diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka advokat juga
menjadi bagian (sub-sistem) dari Sistem Peradilan Pidana, hal ini ditegaskan dalam pasal 5 ayat
(1) undang-undang tersebut, yang menyebutkan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum,
bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”. Kehadiran
advokat sangat penting dalam rangka mewujudkan peradilan yang jujur, adil, bersih, menjamin
kepastian hukum dan kepastian keadilan dan jaminan HAM untuk menciptakan independensi
kekuasaan kehakiman. Keberadaan Advokat secara perseorangan maupun secara organisatoris,
harus mampu menjadi faktor pendorong (impetus majority) dalam perwujudan sistem peradilan
yang terintegrasi. Oleh karena secara posisional, kedudukan advokat harusnya sejajar dengan
kedudukan Hakim, Jaksa, Polisi dan Lembaga Pemasyarakatan dengan segala hak dan
kewajibannya dalam mengawal perwujudan independensi kekuasaan kehakiman.
Pekerjaan advokat tergolong jenis pekerjaan yang disebut beroep, pekerjaan profesional
berdasarkan keahlian di bidang hukum yang diikat oleh aturan tingkah laku (code of conduct)
dan etika profesi. Sebagai pekerjaan keahlian, para advokat bersifat pasif, artinya menunggu
seseorang atau orang-orang yang membutuhkan keahlian yang ada pada advokat yang
bersangkutan. Kedudukan advokat sebagai penegak hukum juga secara tegas dinyatakan oleh
Rusli Muhammad beliau mengatakan bahwa disamping sebagai penasehat hukum (legal
advisieur) dan pembela (pleite), advokat juga sebagai penegak hukum.

SISTEM PERADILAN PIDANA

PUTU LATISA MAYANG PRABASWARI
1516051155

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017