MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung)

  MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung) (Jurnal) Oleh: Denny Pratama Fitriyanto

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

  

ABSTRAK

MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM

PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM

MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE

(Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung)

  

Oleh

Denny Pratama Fitriyanto, Erna Dewi, Diah Gusti Niati M

Email :

  Tugas Polri sebagai penegak hukum selama ini selalu mengedepankan asas legalitas formal dalam suatu penyidikan. Penyidik dalam menjalankan tugasnya memiliki suatu keraguan dalam menentukan suatu perkara dapat diteruskan atau tidak, ketika ada perdamaian. Permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimanakah penerapan mediasi oleh pihak kepolisian dalam penanganan tindak pidana ringan sebagai upaya mengwujudkan restorative justice dan faktor yang menghambat penerapan mediasi oleh kepolisian dalam upaya mewujudkan keadilan subtantive. Metode pendekatan yang digunakan yuridis normatif dan yuridis empiris, menekankan pada kajian kaidah hukum, ditunjang dengan pendekatan lapangan berupa informasi serta opini penegak hukum yang terkait. Narasumber terdiri dari, aparat kepolisian, dan akademisi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan: Kepolisian Polresta Bandar Lampung pada peraktiknya sering menghadapi kasus yang perjalanannya terjadi perdamaian sehingga korban mencabut laporannya, sehingga penyidik berusaha mementingkan keadilan serta kemanfaatan; faktor penghambat: Pertama, tidak adanya aturan hukum mengenai mediasi penal dalam perkara pidana. Kedua, terdapat celah penyimpangan penerapan mediasi oleh aparat. Ketiga, aparat kepolisian terlalu berpegang teguh pada asas legalistik formal. Saran dari penelitian adalah Polri perlu menekankan penerapan hukum

progresif dengan menerapkan restorative justice melalui kewenagan diskeresi.

Perlu adanya penyesuaian persepsi dalam menjalankan prinsip restorative justice. Perlu adanya aturan mengenai mediasi sebagai penyelesaian perkara pidana.

  Kata Kunci : Mediasi Penal Lembaga Kepolisian, Tindak Pidana Ringan, Restorative Justice.

  

ABSTRACT

PENAL MEDIATION BY POLICE INSTITUTION IN HANDLING OF

MINOR CRIMES IN MAKING RESTORATIVE JUCTICE PRINCIPLES

(A Study at Polresta Bandar Lampung)

By

  

Denny Pratama Fitriyanto, Erna Dewi, Diah Gusti Niati M

Email :

  Police duties as law enforcement has always put forward the principle of formal legality in an investigation. The investigators in performing their duties have a doubt in determining whether a case can be continued or not if a conciliation has been met. The problems of this research are to determine the implementation of mediation by the police in handling minor crime as an effort to realize restorative justice and to find out the inhibiting factors of the application of mediation by police in the effort to realize subtantive justice. The method used in this research were normative and empirical approaches emphasizing on study of rule of law, and supported by field approach in form of related information and opinion of law enforcement. The resource persons consisted of police officers, and academics. The data collection was completed through literature study and field study. The data analysis was done qualitatively. Based on the results and discussion of the research, it can be concluded that: The police officers in Bandar Lampung often encountered cases where conciliation was finally made so that the victim revoke the report; thus, the investigators tried to put forward the importance of justice and expediency; while the inhibiting factors included: First, the absence of a legal rule concerning penal mediation in criminal cases. Second, there was a gap in the application of mediation by the officers. Third, the police officers were too firm in applying the formal legal principles. It is suggested that the police officers need to emphasize the application of progressive law by applying restorative justice through the authority of discretion. It is necessary to have a perception adjustment in implementing the principle of restorative justice. Further, it is important to implement a rule regarding mediation as a settlement of criminal cases.

  Keywords: Penal Mediation of Police Institution, Minor Crime, Restorative Justice.

I. PENDAHULUAN

  Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah bagian dari administrasi pemerintahan yang fungsinya untuk memelihara keteraturan serta ketertiban dalam masyarakat, menegakkan hukum, dan mendeteksi kejahatan serta mencegah terjadinya kejahatan. Polisi juga memiliki fungsi sebagai pengayom masyarakat dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu rasa aman serta merugikan secara kejiwaan dam material, dengan cara memelihara keteraturan dan ketertiban sosial, menegakkan hukum atau lebih tepatnya menegakkan keadilan dalam masyarakat berdasarkan hukum.

  ketertiban dan keamanan masyarakat sangat erat kaitannya dengan hah-hak asasi manusia. Oleh karena sifat pekerjaan itulah, maka polisi sering menanggung resiko menjadi sorotan masyarakat. Sorotan-sorotan yang ditujukan kepada polisi ada yang bersifat positif maupun negatif.

  2 Sorotan dari masyarakat ini bukanlah

  tidak beralasan, apabila kita lihat dari pemberitaan-pemberitaan media masa baik itu cetak atau elektronik, dimana memberitakan penegakkan hukum yang tidak mencerminkan rasa keadilan, seperti perkara nenek Minah yang mencuri 3 buah kakau dan perkara Basar Suyanto dan Kholil yang harus mengalami dinginnya tembok penjara selama 70 hari karena memakan 1 buah semangka. 1 Markas Besar Kepolisian Negara Repulik

  Indonesia Sekolah Staf dan Pimpinan, Polmas Sebagai Implementasi Comunity Policing Bagaimana Menerapkannya?, hlm 3-4. 2 Sitompul, 2000, Beberapa Tugas dan Peranan Polri, Cv. Wanthy Jaya, Jakarta,

  Berdasarkan pada hal tersebut di atas menunjukkan bagaimana penegakkan hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak memiliki faedah baik itu untuk pelaku tindak pidana maupun korban. Polisi sebagai aparat masarakat dan merupakan gerbang awal masyarakat untuk mencari keadilan, harus lebih bijak menentukan suatu perkara dapat atau tidaknya maju ke tahap selanjutnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan hukum pidana polisi tidaklah seperti menarik garis lurus antara dua titik, tetapi penuh pergulatan sosiologis dan kemanusiaan.

  3 Polisi haruslah menempatkan

1 Tugas kepolisian dalam memilihara

  posisinya bukan hanya sekedar pelaksana undang-undang, dimana ia dapat memilih antara meneruskan proses secara hukum atau menggunakana sarana mediasi untuk menghentikan proses hukum. Menurut Gustav Radbruch, ada tiga nilai dasar yang terdapat dalam hukum, yakni nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

  4 Kepolisian sebagai penegak hukum

  idealnya harus mengedepankan nilai dasar hukum terebut secara berimbang, akan tetapi dalam realitasnya ketiga nilai hukum tersebut mengalami pertentangan satu dengan lainnya.

  Aparat Penegak hukum dalam hal ini instansi kepolisian dalam menjalankan tugasnya masih selalu mengedepankan aspek peraturan (rule) dengan berpegang teguh pada 3 Satjipto Raharjo, 2007, Membangun

  Polisis sipil, Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm 216. 4 Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta,

  asas legaitas formal dalam setiap penanganan perkara pidana. Penggunaan asas lalitas formal ini, membuat aparat kepolisian rigit dalam menegakkan undang-undang. Penanganan perkara yang tidak sesuai dengan apa yang di amanatkan kepolisan dianggap telah melakukan penyimpangan, walaupun dilakukan dengan tujuan keadilan dan kemanfaatan. Anggapan-anggapan yang demikian mengakibatkan kepolisian cederung melanjutkan proses sistem pradilan pidana dibandingkan melakukan penyelesaian perkara yang efektif dengan mediasi antara dua belah pihak untuk mendapatkan keadilan. Hakikatnya masyarakat dalam mengadukan permasalahan hukumnya dikarenakan mengingin- kan keadilan, oleh karena tersebut kepolisian sebagai lini terdepan dari sistem peradilan pidana memiliki andil dan peran yang cukup besar. Penyidik tidak harus mengedepankan legalistik formal yang mengejar kepastian hukum dalam setiap penanganan perkara pidana. Cara berhukum penyidik kepolisian hendaknya tidak hanya semata-mata menggunakan logika serta undang- undang saja, melainkan dengan hati nurani, seperti empati, kejujuran, dan keberanian.

  hadir unruk dirinya sendiri, tetapi untuk nilai-nilai kamanusiaan dalam rangka mencapai keadilan, kesejahtraan, dan kebahagiaan manusia. Penyidik kepolisan dalam menangani perkara tindak pidana ringan tentunya dihadapkan pada pilihan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugasnya penyidik kepolisian memiliki kewenangan diskresi untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan. Memahami konsep diskresi kepolisian secara sederhana, ialah memahami bahwa kepolisian mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya dengan berdasarkan hukum atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan hati nuraninya sendiri demi kepentingan umum.

  6 Diskresi kepolisian, secara tidak

  lansung dapat digunakan dalam menerapkan mediasi dalam penanganan perkara antara dua belah pihak pelaku dan korban untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang baik untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan yang merupakan tujuan hukum. Sehingga polisi dapat menjadi pahlawan bagi bangsanya, dengan membuat pilihan tepat dalam pekerjaannya.

  7 Mediasi merupakan

  salah satu bentuk penyelesaian sengketa diluar lembaga peradilan (non litigasi) dengan bantuan orang lain atau pihak ketiga yang netral dan tidak memihak serta tidak sebagai pengambil keputusan yang disebut mediator. Tujuannya disini ialah untuk mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa yang sedang mereka hadapi tanpa ada yang merasa dikalahkan.

5 Karena hukum tidak

  8 6 Sitompul, 2000, Beberapa Tugas dan Peran Polri, CV. Wanthy Jaya, jakarta, hlm 2. 7 Saitjipto Raharjo, Op. Cit., hlm 262. 8 I Ketut Artadi dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2009, Pengantar Umum Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Perancangan Kontrak , Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm Penyelesaian persoalan hukum melalui mediasi bersifat memberikan penyelesaian sengketa hukum antara dua belah pihak yang terbaik, dimana para pihak tidak ada yang menang dan kalah sehingga sengketa tidak berlangsung lama dan berlarut-larut antar para pihak yang bersengketa.

  Keuntungan penyelesaian suatu sengketa dengan menggunakan mediasi sangat banyak diantaranya biaya murah, cepat, memuaskan para pihak yang bersengketa karena bersifat kooperatif, mencegah menumpuknya perkara, menghilang- kan dendam, memperteguh hubungan silaturahmi dan dapat memperkuat serta memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).

  Penerapan mediasi dalam penyelesaian perkara pidana di kepolisian selain untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat, juga dapat mendukung upaya penanggulangan kejahatan. Hal ini dikarenakan apa bila pelaku tindak pidana ringan yang di ancaman pidananya singkat dimana dapat diselesaikan dengan upaya mediasi, namun kadang-kadang diteruskan pada tingkat pengadilan yang pada akhirnya menjalani masa kurungan (penjara) di Lembaga Permasyarakatan. Sehingga yang dihasilkan dapat menjadi lebih buruk dikarenakan lingkup pergaulan pada lembaga permasyarakatan, Atas dasar uraian diatas maka penulis mencoba untuk mengkaji tentang hal tersebut dengan judul: Penerapan Mediasi Oleh Lembaga Kepolisian Dalam Penanganan Tindak Pidana Ringan Dalam

  Juctice (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung) Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: a.

  Bagaimanakah penerapan mediasi penanganan tindak pidana ringan sebagai upaya mengwujudkan

  restorative justice ? b.

  Apakah faktor-faktor yang menghambat penerapan mediasi oleh kepolisian dalam upaya mewujudkan keadilan subtantive?

  Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan menekankan pada kajian kaidah hukumnya, dan ditunjang dengan pendekatan lapangan berupa perolehan tambahan informasi serta opini penegak hukum yang terkait. Narasumber terdiri dari, aparat kepolisian, dan akademisi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

  II. PEMBAHASAN A. Penerapan Mediasi oleh Pihak Kepolisian dalam Penanganan Tindak Pidana Ringan sebagai Upaya Mengwujudkan Restorative Justice

  Penyidikan suatu perkara pidana dimulai dari adanya laporan atau pengaduan tentang suatu kejadian / perkara pidana yang dialami atau diketahui masyarakat kepada pihak kepolisian. Sebelum menerima laporan, penyidik/ penyidik pembantu bersama-sama dengan petugas sentra pelayanan kepolisian akan mempelajari terlebih dahulu laporan dari masyarakat masuk ke ranah pidana atau perdata. Setelah peyidik pembantu akan melakukan serangkaian langkah-langkah penyelidikan dan penyidikan untuk membuat terang suatu tindak pidana dan menentukan tersangkannya. Penyelesaian perkara pidana pada adanya surat dari kejaksaan bahwa berkas perkara dinyatakan sudah lengkap (P-21) dan selanjutnya tersangka, berikut berkas perkara akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk proses penuntutan. Penyelesaian perkara pidana juga dapat berupa penghentian penyidikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh pejabat kepolisian yang berwenang. Alasan dikeluarkannya SP3 sesuai dengan

  Pasal 109 Ayat 2 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut: “Dalam Hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana , atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”. Alasan penyidikan dihentikan demi hukum adalah apabila ada alasan-alasan hapusnya hak-hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia atau karena perkara telah kadaluarsa. Perkara juga dianggap selesai apabila perkara telah dicabut oleh pelapor khusus untuk perkara pidana yang dikategorikan delik aduan. Delik aduan berarti delik yang biasa diproses apabila ada pengaduan atau pelaporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana, contoh kasus pencemaran nama baik (Pasal 310

  KUHP), pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP). Perkara pidana yang dikategorikan delik biasa, tetap wajib diproses oleh penyidik walaupun sudah ada pencabutan dari pelapor yang pihak pelapor dan terlapor. Apabila penyidik selalu mengedepankan legalistik formal, maka rasa keadilan masyarakat tidak akan terpenuhi. Penerapan hukum progresif oleh penyidik diperlukan dalam kondisi seperti ini sehingga tujuan hukum dapat tercapai. Penerapan mediasi oleh aparat kepolisian khususnya penyidik merupakan upaya dalam menerapkan atau mewujudkan restorative justice, hal ini diterapkan oleh aparat kepolisian bukan hanya terhadap perkara tindakpidana ringan saya tetapi terhadap tindak pidana biasa. Upaya aparat kepolisian ini dimaksudkan untuk kemaslahatan orang atau masyarakat banyak dimana penerapah hukum tidak selalu harus berupa nestapa (sanksi pidana) saja, tetapi menciptakan keadilan bagi korban dan menyadarkan tersangka akan kesalahanya menjadi jalan keluar terbaik untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Penerapan penyelesaian perkara pidana delik biasa termasuk didalamnya tindak pidana ringan sebagaimana dipaparkan para responden diatas, merupakan upaya penerapan restorative justice dalam penegakkan hukum oleh aparat kepolisian. Upaya yang dilakukan ini sejalan dengan pemikiran hukum progresif dalam menentukan apakah kasus yang sedang ditangani akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau menjadi pemikiran dasar hukum progresif yang dibawa oleh Satjopto Raharjo, bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Penyidik haruslah berusaha menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang kelompok, dan masyarakat, bukan sebaliknya karena terbentur prosedur hukum yang ada (legalistik formal) sehingga tujuan hukum yang diiinginan manusia tidak tercapai.

  Berdasarkan hasil wawancara penerapan mediasi penal dalam upaya mewujudkan restorative

  justice , sesuai dengan hasil

  wawancara dengan Renaldi Sucipno dan Andre Jaya Saputra, bahwa dalam menghadapi adanya pencabutan laporan pada perkara pidana yang tergolong delik biasa, penyidik harus mengambil langkah- langkah dengan menerapkan

  restorative justice . Hal ini dilakukan

  dengan mediasi pihak-pihak yang terlibat, dan mencoba merestorasi “kerusakan” yang ditimbulkan sebagai akibat dari suatu tindak pidana. Upaya untuk memperbaiki “kerusakan” tersebut diiringi dengan upaya untuk memperbaiki hubungan antara korban dan pelaku serta masyarakat. Hubungan mayarakat diperbaiki dengan melibatkan unsur masyarakat setempat seperti ketua RT, RW, Lurah dan sebagainya, dimana memiliki kedudukan di dalam masyrakat tersebut.

  Mekanisme penyelesaian dengan keadilan restoratif (restorative

  Justice ), dapat menempatkan posisi

  masyarakat bukan hanya sebagai pengamat, melainkan berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan dari hasil kesepakatan yang merupakan penyelesaian perkara pidana. mediasi penal, memang merupaka penyelesaian diluar ketentuan Legal

  System . Akan tetapi penerapan

  mediasi penal oleh penyidik kepolisian ialah melihat dari sudut pandang keadilan dan kemanfaatan baik dari sisi korban maupun terkadang mengesampingkan kepastian hukum.

  Keunggulan dan kelemahan dari penyelesaian perkara pidana di luar sistem yang tidak diakui oleh hukum formal yang berlaku, keadilan restoratif telah menjadi suatu kebutuhan dalam masyarakat. Karena sangatlah erat kaitannya dengan prinsip-prinsip dan budaya masyarakat yang lebih mementingkan musyawarah dan mufakat untuk memecahkan suatu persoalan, akan tetapi hal itu belum diakomodir dalam hukum formal yang terkondifikasi di dalam KUHP dan KUHAP yang masih dipenuhi oleh peninggalan budaya kolonial.

  Penyelesaian perkara pidana delik biasa dengan mengedepankan keadilan restoratif dapat dikatakan merupakan suatu perwujudan dari pelaksananan hukum progresif, karena pada dasarnya yang menjadi tujuan utamanya ialah kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, penyidik kepolisian menempatkan hukum menjadi lebih sesuai dengan apa yang di kehendaki oleh masyarakat, sehingga tujuan hukum yang hakiki dapat tercapai. Menerapkan mediasi penal sebagai upaya penerapan prinsip restorative

  justice , menempatkan polisi sebagai

  penyidik dalam sistem peradilan pidana sebagai garda terdepan, sehingga polisis dituntut untuk dapat menyeleksi atau memilih perkara tahap pengadilan atau tidak, dimana berdasarkan peraturan perundang- undangan. Tanpa adanya pemilahan perkara oleh penyidik kepolisian pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan perkara yang pada akhirnya mengakibatkan tidak semua pihak.

  Penyidik di Polresta Bandar Lampung dalam menjalankan tugas penyidikan terhadap suatu kasus pidana seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, selalu mempertimbangkan untuk melanjut- kan kasus yang ditanganinya kepada tahap yang selanjutnya yakni pemeriksaan di muka pengadilan.

  Penyidik kepolisian cenderung menitik beratkan pada memediasikan kasus-kasus yang dinilai kerugiannya kecil dan bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Pada situasi ini, penyidik menggunakan kewenangan- nya berupa diskresi kepolisian dalam penyidikan.

  Penerapan mediasi sebagai sarana mewujudkan prinsip restorative

  justice melalui diskresi kepolisian

  didasari oleh alasan, yakni: adanya perdamaian antara pelapor dan terlapor. Penyidik pada saat melaksanakan tahap-tahap penyidikan sering sekali berhadapan pada posisi dimana kedua belah pihak telah saling memaafkan, mengganti kerugian yang ditimbulkan, serta mencabut laporan di kepolisian sebagai hasil dari perdamaiaan. Pencabutan laporana dalam kasus yang tergolong bukanlah delik aduan, sebenarnya penyidik kepolisian dapat tetap melanjutkan peroses peradilan, tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang tidak meresahkan masyarakat banyak serta kurugian yang diakibatkannya

  Lampung mengambil kebijaksanaan untuk tidak melanjutkan perkara tersebut ke proses peradilan berikutnya. Langkah yang dilakukan penyidik kepolisian ini menggunakan langkah diskresi kepolisian dengan mengedepankan asas keadilan dan kan kepastian hukum.

  Berdasarkan pemaparan narasumber diatas menunjukkan bahwa, Aparat Kepolisian dalam menangani kejahatan khususnya tindak pidana ringan selalu berusaha melakukan mediasi sebagai solusi utama dalam menangani perkara tersebut. Penerapan mediasi sebagai solusi terbaik dalam menyelesaikan tindak kejahatan (khususnya tindak kejahatan ringan) didasarkan pada pemikiran dimana yang dampak yang ditimbulkannya oleh tindak pidana tersebut masih dapat ditoleransi, sehingga kondisi yang telah diakibatkannya dapat dikembalikan. Paradikma penghukuman tersebut dikenal sebagai restorative justice, dimana pelaku memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarga, dan juga masyarakat.

  Penyidik Kepolisian di Polresta Bandar Lampung menyadari bahwa hukum bukan lah sebagai suatu yang tidak dapat berubah. Hukum harus mengikuti dinamika kehidupan masyarakat. Ketika penyidik lebih menekankan kepastian hukum, maka rasa keadilan dan kemanfaatan tidak akan terpenuhi. Dalam menjalankan tugasnya, penyidik kepolisian mencoba lebih memahami apa yang diinginkan oleh para pihak dalam suatu pelaporan, dimana aparat kepolisian yang diwakili oleh penyidik kepolisiaan mencoba mengesampingkan kepastian hukum para pihak melalui proses perdamaiian. Penyelesaian perkara pidana oleh pihak kepolisian dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya perbaikan. Termasuk di dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Penerapan restorative justice oleh aparat kepolisian melalui upaya mediasi sebagai penyelesaian suatu tindak pidana melibatkan semua pihak yang berkepentingan yakni pihak pelaku kejahatan maupun korban tindak kejahatan untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dimana akan membuahkan hasil yang terbaik yakni rasa keadilan bagi masing masing pihak (keadilan restoratif). Keadilan restorative adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang berkerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

  Restorative Justice dapat

  diimplemantasikan dalam penyelesaian perkara pidana melalui tindakan aparat kepolisian dalam menerapakan mediasi sebagai proses penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui upaya damai yang lebih mengedepankan penyelesaian terbaik, yang dapat dijadikan sarana penyelesian sengketa melalui proses pengadilan.

  Penyelesaian perkara melalui mekanisme di luar pengadilan oleh pihak kepolisian melalui proses mediasi pada saat ini sangat lazim dilakukan dan dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih mampu menjangkau rasa keadilan, hukum berpendapat bahwa ADR hanya dapat diterapkan dalam perkara perdata, bukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi oleh aparat kepolisian tidak dapat dilepaskan dari cita-cita hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yakni keadilan (law is

  justice ), dan asas hukum proses

  penyelesaian perkara yang mengacu pada sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Oleh karena itu pola mediasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian harus mengacu pada nilai-nilai keadilan, nilai kepastian hukum, dan kemanfaatan. Sedangkan norma hukum yang diterapkan harus mempertimbangkan lansasn filosofis, yuridis, dan sosiologis.

  B. Faktor-Faktor yang Menghambat Penerapan Mediasi oleh Kepolisian dalam Upaya Mewujudkan Keadilan Subtantive

  Penyelesaian perkara pidana yang dikategorikan delik biasa (bukan delik aduan) kerap kali bertentangan dengan prosedur formal yang ada, pada saat kedua belah pihak telah menemui kata damai. Penyidik Polresta Bandar Lampung dengan inisiatifnya menerapkan hukum progresif untuk mengambil kebijakan untuk tidak memajukan perkara pidana apabila sudah ada perdamaian dan korban mencabut laporan. Akan tetapi ada batasan-batasan dalam upaya penerapan subtantive justice. Hal ini dikarenakan, agar kebijaksanan yang di ambil tetap mempunyai kebaikan bagi masyarakat.

  Berdasarkan hasil wawancara yang hambatan penerapan hukum dalam penyelesaian perkara pidana dengan factor-faktor yang mempengaruhi dalam penyelesaian tindak pidan ringan di Polresta Bandar Lampung yaitu susahnya memberikan arahan kepada pihak korban agar menyelesaikan perkara tersebut di tingkat kepolisian saja, akan tetapi adanya korban yang sering bersikeras untuk melanjutkan ke Pengadilan. Setelah polisi memberikan masukan dan memberikan penjelasan yang banyak mengenai akibat-akibat yang diterima korban jika tetap ingin dilanjutkan ke Pengadilan seperti terjadi perpecahan di dalam. Faktor-faktor penghambat tersebut adalah berikut:

  Dalam praktik penerapan hukum sering sekali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan, hal ini terjadi karena pemahaman dari keadilan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang bersifat normatif. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyeleng- garaan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

  2. Faktor penegak hukum.

  Faktor penghambat dalam penegakkan hukum dari sisi penegak hukum antara lain, adalah: Pertama, keterbatasan kemampuan untuk bersosialisai dengan masyarakat; Kedua, masyarakat; Ketiga, kurangnya inovasi atau kreatifitas penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.

  3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung aparat penegak hukum. Faktor sarana dan prasarana merupakan faktor pendukung yang sangat dibutuhkan oleh penegak hukum, tanpa adanya faktor pendukung tersebut akan mengakibatkan kurang lues dan efektif dalam upaya penegakka hukum dikarenakan sarana penunjang kinerja aparat penegak hukum kurang memadai.

  4. Faktor masyarakat.

  Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.

1. Faktor hukumnya sendiri.

  5. Faktor kebudayaan.

  Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang

  Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hukum, hambatan yang ditemukan dalam penerapan hukum progresif adalah pada faktor hukumnya sendiri dan faktor penegak hukum.

  Faktor hambatan dari penegak hukum, ialah tidak ada payung hukum yang mengatur penerapan hukum progresif melalui mediasi dalam penyelesaian perkara pidana. Hambatan ini merupakan hambatan utama untuk penyidik untuk dapat menerapkan prinsip keadilan restorative dalam bentuk mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana yang tergolong delik biasa. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa asas legalitas hukum masih dijunjung tinggi dalam hukum pidana Indonesia.

  Tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang penerapan hukum progresif melalui mediasi penal menyebabkan penyidik harus menjalankan kewenangan diskresi yang dimilikinya. Pada dasarnya batasan perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan cara mediasi tergantung kepada perkara tersebut merupakan perbuatan yang tercela oleh masyarakat, oleh karena itu perkara yang tergolong masuk kedalam tindak pidana ringan dapat dilakukan mediasi dikarenakan tindak pidana tersebut masih dapat ditolerir oleh masyarakat secara keseluruhan.

  Peran budaya yang dimiliki masyarakat juga mempengaruhi berjalannya peroses mediasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian, khususnya kebudayaan masyarakat lampung dimana terdapat falsafah yakni piil pesenggiri. Piil pesenggiri motivasi agar setiap orang dinamis dalam usaha memperjuangkan nilai- nilai positif, hidup terhormat dan dihargai di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Akan tetapi piil pesenggiri ini oleh masyarakat lampung hanya dimaknai sebagai hargadiri saja, sehingga upaya mediasi yang dilakukan pihak aparat kepolisian melalui penyidik kepolisian terbentur oleh keengganan salah satu pihak (korban atau pelapor) yang beranggapan apabila melakukan perdamaian maka harga dirinya akan terluka.

  Masyarakat lampung yang terdiri dari beberapa suku bangsa tidak jarang juga menimbulkan permasalahan. Dalam penanganan perkara tindak pidana khusunya tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan (mediasi) terbentur olah keragaman budaya suku bangsa tersebut. Beragamnya suku bangsa yang tentunya memiliki budaya yang berbeda-beda tentunya akan menimbulkan permasalahan dalam penerapan mediasi. Sebagai contoh: apabila terjadi permasalahan hukum dimana yang berpekara ialah warga asli lampung dengan pendatang, sering sekali ego kesukuan yang muncul sebagaimana dikemukakan diatas dimana hargadiri yang menjadi permasalahannya, bukan kepentingan bersama. Sama halnya apabila sesama suku asli (orang lampung) yang mengalami permasalahan hukum maka harga diri antara kedua permasalahanya, sehingga peroses mediasi menjadi terhambat. Hambatan dari segi budaya dan masyarakat diatas penulis ungkapkan menjadi hambatan dalam proses mediasi, dikarenakan masyarakat dalam masyarakat itu sendiri yang menjadi yang terkadang menjadi hambatan berjalannya mediasi sebagai solusi penyelesaian perkara khususnya perkara tindak pidana ringan. Khususnya masyarakat lampung yang merupakan penduduk asli terkadang salah mengartikan piil pesenggiri yang manjadi palsafah hidup, dimana seharunya hargadiri yang dimaksudkan di dalam palsafah tersebut bukan sekedar pemaknaan sederhana, tetapi memiliki makna yang beragam yang perlu diresapi kembali.

  Penerapan mediasi oleh pihak kepolisian dalam penanganan perkara tindak pidana ringan sebagai upaya mengwujudkan

  restorative justice .

  Penyelesaian perkara pidana khususnya tindak pidana ringan oleh kepolisian, pada praktiknya sebelum melimpahan berkas perkara pada tahap selanjutnya yakni tingkat kejaksaan, terlebih dahulu melakukan upaya yakni proses mediasi antara kedua belah pihak. Peroses mediasi ini dilakukan oleh penyidik kepolisian agar terjadi pemecahan atas permasalahan hukum yang terjadi, sehingga kedua belah pihak merasa mendapatkan keadilan yang diinginkannya. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, Aparat Kepolisian menyikapi permasalahan hukum ini dengan cara menerapakan kebijakan hukum apabila menghadapi permasalahan tersebut.

  Upaya Aparat Kepolisian Polresta Bandar lampung dalam menerapkan beberapa cara atau metode: a.

  Melakukan mediasi penal dengan prinsip-prinsip restorative.

  b.

  Menerapkan diskresi kepolisian.

  2. Faktor penghambat penerapan perisip restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana ringan adalah:

  Pertama, Tidak adanya aturan hukum yang mengatur proses mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana, sehingga penyidik kepolisian harus menjalankan kewenangan yang ada yaitu diskresi. Kedua, kewenangan diskresi yang dimiliki aparat kepolisian dalam mengambil langkah penyelesaian perkara pidana memiliki celah penyimpangan, hal ini dikarenakan kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh penyidik kepolisian diamana dapat digunakan secara ekslusif oleh aparat dalam menangani perkara yang telah menemukan kata damai. Ketiga, aparat penegak hukum terkadang selalu berpegang teguh pada asas legalistik formal sehingga aparat kepolisian yakni penyidik mengesampingkan rasa keadilan serta kemanfaatan yang ada di masyarakat.

III. PENUTUP A. Simpulan 1.

  B. Saran

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penelitian ini mempunyai saran-saran sebagai berikut:

  1. Polri seharusnya menekankan penerapan hukum progresif dengan menerapkan restorative diskeresi yang dimiliki oleh aparat Putra, I Ketut Artadi dan Dewa kepolisian. Penyidik kepolisian Nyoman Rai Asmara, 2009, sebisa mungkin melakukan Pengantar Umum Tentang mediasi dengan melibatkan unsur- Alternatif Penyelesaian Sengketa unsur masyarakat yang terlibat dan Perancangan Kontrak , sehingga proses penyelesaian Denpasar, Fakultas Hukum perkara pidana pada tahap Universitas Udayana. sebelum lanjut pada tahap Raharjo, Satjipto. 2007. Membangun peradilan selanjutnya. Polisis sipil, Perspektif Hukum,

  Sosial, dan Kemasyarakatan,

  2. adanya penyesuaian Jakarta: PT Kompas Media Perlu persepsi antara sub system Nusantara. peradilan pidana dalam menjalankan prinsip restorative Sitompul, 2000, Beberapa Tugas

  justice dengan sarana mediasi Dan Peranan Polri, Jakarta, CV.

  antar pihak-pihak yang berpekara. Wanthy Jaya. Hal ini di perlukan agar penerapan prinsip restorative tidak hanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun dijalankan pada tahap penyidikan 1981 tentang Kitab Undang- di kepolisian saja, akan tetapi Undang Hukum Acara Pidana diterapkan pada tahap peradilan (KUHAP). selanjutnya seperti tingkat kejaksaan dan pengadilan. Perlu Undang-Undang Nomor 2 Tahun adanya aturan yang mangatur 2002 tentang Kepolisian Negara mengenai mediasi sebagai Republik Indonesia; penyelesaian perkara pidana. Sehingga penyidik kepolisian

  No HP : 082179369871

  mempunyai dasar atau landasan pijak dalam menjalankan tindakannya apabila terjadi perdamaian sehingga terjadi pencabutan pelaporan yang menyatakan berahirnya proses penangan perkara pidana.

DAFTAR PUSTAKA

  Faisal, 2010, Menerobos Positivisme

  Hukum, Yogyakarta, Rangkang Education.

  Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006,

  Polmas Sebagai Implementasi Comunity Policing Bagaimana Menerapkannya.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN KORBAN ANAK (Studi Putusan No: 51/Pid.Sus/2016/PN.Kbu)

1 5 12

EKSISTENSI BARANG BUKTI DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERASAN (Studi Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN.TJK)

0 2 13

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN CARA PEMBOBOLAN ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) DI BANK BRI LAMPUNG UTARA (Studi Kasus di Polres Lampung Utara)

0 0 15

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA RECIDIVE PADA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

0 0 12

TINJAUAN KRIMINOLOGIS KEJAHATAN KEKERASAN DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN NARAPIDANA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)

0 1 14

ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTRI (Studi di Polresta Bandar Lampung)

0 0 11

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

0 0 11

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

0 0 19

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI SMS (Short Message Service) (Analisis Putusan No : 59Pid.B2015PN.Sdn) (Jurnal)

0 0 17

ABSTRAK PERAN PENYIDIK DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN CARA MUTILASI (STUDI KASUS DI POLDA LAMPUNG)

0 0 16