KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) BEA DAN CUKAI DENGAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANAEKSPOR ILEGAL PASIR TIMAH (Studi di Kantor Pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Bandar Lampung)

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS)
BEA DAN CUKAI DENGAN PENYIDIK POLRI DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANAEKSPOR
ILEGAL PASIR TIMAH
(Studi di Kantor Pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tipe
Madya Pabean B Bandar Lampung)

JURNAL

Oleh
Calvin Ramadhan

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017

ABSTRAK
KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) BEA
DAN CUKAI DENGAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA EKSPOR ILEGAL PASIR TIMAH

(Studi di Kantor Pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tipe
Madya Pabean B Bandar Lampung)
Oleh :
Calvin Ramadhan, Maroni, Eko Raharjo
Email : calvinrmdn03@yahoo.co.id
Penyelundupan adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan cara memasukkan (impor) atau mengeluarkan (ekspor) barang
dengan tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
melanggar hukum dan merugikan Negara. Kejahatan penyelundupan merupakan masalah
yang memiliki potensi untuk terjadi di Indonesia karena Indonesia merupakan Negara
kepulauan. Polri oleh KUHAP diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, KUHAP masih memberikan
kewenangan kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu untuk melakukan
penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing. Penyidik Polri sebagai koordinasi dan
pengawasan PPNS mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberikan bantuan
penyidikan yang didasarkan pada sendi-sendi hubungan fungsional. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan.
Analisis data yang digunakan yaiu analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan

dengan metode induktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa wewenang PPNS diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Dijelaskan
bahwa PPNS mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi
dan pengawasan penyidik Polri. Faktor-Faktor yang menjadi penghambat dalam
koordinasi antara PPNS Bea dan Cukai dengan Penyidik Polri adalah faktor hukumnya,
faktor penegak hukum dan faktor sarana dan prasarana. Kemudian faktor yang lebih
dominan dari penjelasan diatas yaitu faktor hukum, karena pengaturan yang tidak jelas
atau tidak spesifik yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan yang
menyebabkan kerjasama yang tidak jelas atau menjadi perebutan dalam satu objek. hal ini
karena pengaturan yang diatur oleh pihak Bea dan Cukai menyebutkan dirinyalah yang
paling berwenang serta pengaturan Kepolisian yang menyebutkan dirinya juga memiliki
wewenang dalam proses penyidikan dan ini lah yang menjadi faktor yang paling
dominan. Saran dalam penelitian ini adalah agar lebih dioptimalkan dan dirutinkannya
pertemuan dan kerjasama antara PPNS Bea dan Cukai dengan Penyidik Polri untuk
bertukar informasi dalam hal melakukan penyidikan.

Kata Kunci : Koordinasi, PPNS Bea dan Cukai, Penyidik Polri,
Penyelundupan.


ABSTRACT
THE COORDINATION BETWEEN CIVIL SERVICE OFFICIALS (PPNS)
OF CUSTOMS AND EXCISE WITH POLICE INVESTIGATORS IN
ERADICATING ILLEGAL EXPORT OF TIN SAND
(A Study at Office of Directorate General of Customs and Excise Type
of Customs B Bandar Lampung)
By
Calvin Ramadhan, Maroni, Eko Raharjo
Email : calvinrmdn03@yahoo.co.id
Smuggling is an offense committed by a person or a group of persons by means of
importing or exporting goods by not complying with the prevailing laws and
regulations of the State. Smuggling crime is a potential problem in Indonesia
because Indonesia is an archipelagic country. The Indonesian Police (Polri) is
given an authorization by KUHAP (The Book of Criminal Conduct) to conduct
inquiries and investigations of all crimes. However, KUHAP still authorizes
certain Civil Service Officials (PPNS) to conduct the investigations in accordance
with the special powers granted by the law on which they are based. Police
investigators as the coordinator and supervisior of PPNS have the obligations and
responsibilities of providing investigative assistance based on functional
relationships. The research was conducted using normative and empirical

approaches. The data collection was done through literature study and field study.
While the data were analyzed using qualitative analysis and the conclusion was
completed by means of inductive method. Based on the results and discussion, it
can be concluded that the authority of PPNS is regulated in Article 7 paragraph
(2) KUHAP. It is explained that the PPNS has an authority in accordance with the
Law on which they are based; and the execution of its duties is under the
coordination and supervision of Police investigators. Among the inhibiting factors
in the coordination between the PPNS of Customs and Excise with Police
Investigators included the legal factor, law enforcement factor, facilities and
infrastructure factor. The more dominant factor of the above explanations was the
legal factor, it was due to the unclear or non-specific arrangement that causes an
overlapping of authority causing unclear cooperation or seizing to one another for
one object. The Customs and Excise side claimed they were the most authoritative
institution, while the Police investigators also has the authority in the process of
investigation; so this was the major factor. The research suggested that it is
important to optimize regular meeting and cooperation between PPNS of Customs
and Excise with Police Investigators to exchange information in terms of
conducting an investigation.
Keywords: Coordination, PPNS of Customs and Excise, Police Investigators,
Smuggling.


I. PENDAHULUAN
Penyelundupan menurut kamus besar
bahasa Indonesia online adalah
pemasukan barang secara gelap
untuk menghindari bea masuk atau
karena menyelundupkan barang
terlarang.1 Dalam Law Dictionary,
penyelundupan diartikan sebagai
“the offence of importing or
exporting prohibited goods, or
importing or exporting or exporting
goods not prohibited without paying
the dutiesimposed on them by the
laws of the customs and excise” 2
(Pelanggaran atas impor atau ekspor
barang – barang yang dilarang, atau
pelanggaran atas impor atau ekspor
barang-barang yang tidak dilarang,
tanpa membayar bea yang dikenakan

atasnya oleh undang-undang pajak
atau bea cukai).
Kejahatan
penyelundupan
merupakan masalah yang memiliki
potensi untuk terjadi di Indonesia
karena letak geografis Negara
Republik Indonesia yang terdiri dari
wilayah permukaan bumi meliputi
17.504 pulau besar dan pulau kecil,
6000 pulau tidak berpenghuni yang
terbentang sepanjang 3.977 mil,
terletak diantara Samudera Hindia
dan Samudera Pasifik, dan jika
semua daratannya dijadikan satu
maka luas Negara Indonesia seluas
1,9 juta mil.3
Oleh karena itu, Indonesia sebagai
negara kepulauan yang lautnya
berbatasan langsung dengan negara

1

http://kbbi.web.id/penyelundupan
Soufnir Chibro, S.H, Pengaruh Tindak
Pidana
Penyelundupan
Terhadap
Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1992,
hlm. 6.
3
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/10/18/1/188980/JmlahPulau-diIndonesia-Berkurang-4.042-Buah
2

tetangga,
sehingga
diperlukan
pengawasan pengangkutan barang
yang diangkut melalui laut di dalam
daerah pabean untuk menghindari
penyelundupan

dengan
modus
pengangkutan antar pulau, khusunya
barang-barang tertentu.
Kejahatan penyelundupan harus
diberantas, jika tidak diusahakan
pemberantasannya sedini mungkin,
maka akan semakin meraja lela dan
negara akan mengalami kerugian
besar. Bentuk penyelundupan pada
umumnya adalah dalam bentuk fisik
yang kebanyakan dilakukan lewat
laut dan tidak menutup kemungkinan
lewat darat atau udara.
Sebagai contoh kasus penyelundupan
yang terjadi pada bulan April tahun
2016 Upaya penyelundupan pasir
timah melalui kegiatan ekspor di
Pelabuhan
Panjang

berhasil
digagalkan oleh Kantor Pengawasan
dan Pelayanan Bea Cukai Tipe
Madya Pabean B Bandar Lampung,
dalam dokumen ekspornya diketahui
barang yang akan diekspor adalah
arang sebanyak 16,690 kilogram
yang dikemas dalam 40 karung
besar. Setelah dilakukan pemeriksaan arang hanya digunakan untuk
mengelabuhi petugas, sebagian isi
dari karung besar adalah pasir timah
yang akan diselundupkan ke
Singapura.
Hasil
pemeriksaan
terhadap 40 karung besar 14 karung
diantaranya berisi pasir timah asal
Bangka Belitung, melalui Lampung
kemudian
akan

diekspor
ke
Singapura dengan total 14 ribu
kilogram.4

4

http://panjangport.co.id/singleberita.php?id_artikel=23 Pada Pukul. 20.15

Terkait dengan kasus penyelundupan, hadirnya Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 tentang kepabeanan,
serta Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1995 tentang cukai bukan berarti
tindak kejahatan penyelundupan
semakin menurun, perlu adanya
tindakan tegas dari aparat yang

berwenang.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) memberikan peran
utama kepada Kepolisian Negara
Republik
Indonesia
untuk
melaksanakan tugas penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana secara
umum tanpa batasan lingkungan
kuasa soal-soal sepanjang masih
termasuk dalam lingkup hukum
publik, sehingga pada dasarnya Polri
oleh KUHAP diberi kewenangan
untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak
pidana. Namun demikian, KUHAP
masih memberikan kewenangan
kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) tertentu untuk melakukan
penyidikan sesuai dengan wewenang
khusus yang diberikan oleh undangundang
yang
menjadi
dasar
hukumnya masing-masing.
Sebagaimana diuraikan dalam Pasal
6 KUHAP bahwa Penyidik adalah5:
a. Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia.
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.

5

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana
Indonesia (edisi Kedua), Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, hlm 80

Penyidik Polri sebagai koordinasi
dan pengawasan PPNS mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab
memberikan bantuan penyidikan
yang didasarkan pada sendi-sendi
hubungan fungsional. Selanjutnya
mengenai tugas dan wewenang
PPNS meliputi sebagai berikut :
1. Melaksanakan
penyidikan
terhadap pelanggaran undangundang atau tindak pidana di
bidang masing-masing.
2. PPNS mempunyai wewenang
penyidikan sesuai dengan undangundang yang menjadi dasar
hukumnya.
3. Dalam
melaksankan
tugas
sebagaimana tersebut diatas,
PPNS
tidak
berwenang
melaksanakan penangkapan atau
penahanan.
Hasil dari penyidikan inilah,
kemudian menjadi dasar bagi tindak
pidana
selanjutnya
dalam
penanganan suatu tindak pidana.
Tugas dari penyidikan pada dasarnya
adalah untuk mencari keterangan dan
barang bukti yang kemudian
menyeleksi hingga akhirnya didapat
alat-alat bukti yang sah guna
dilakukannya
penuntutan
dan
tindakan selanjutnya. Penyidikan
tehadap
suatu
tindak
pidana
merupakan tugas yang tidak mudah
dan memerlukan pemusatan pikiran,
serta pengerahan tenaga dan biaya
yang tidak sedikit. Penyidikan
dilaksanakan bukanlah berdasarkan
dugaan-dugaan
belaka,
tetapi
didasarkan pada suatu asas bahwa
penyidikan bertujuan untuk membuat
suatu perkara menjadi terang dan
menghimpun bukti-bukti mengenai
terjadinya suatu tindak pidana. Oleh
karena itu sebelum suatu penyidikan
dimulai dengan konsekuensi upaya
paksa
terlebih
dahulu
perlu

ditentukan
dengan
cermat
berdasarkan segala data dan fakta
yang diperoleh dari hasil penyidikan
bahwa suatu peristiwa yang semula
diduga sebagai tindak pidana.
Bertolak dari uraian di atas, penulis
tertarik mengangkat permasalahan
tersebut terutama untuk mengetahui
koordinasi PPNS Bea dan Cukai
dengan penyidik Polri terhadap tidak
pidana penyelundupan yang terjadi
di lingkungan kepabeanan Bandar
lampung dan membahasnya dengan
mengambil judul Skripsi mengenai
“Koordinasi Antara PPNS Bea dan
Cukai dengan Penyidik Polri Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana
Ekspor Ilegal Pasir Timah”.
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan ini adalah:
a. Bagaimanakah koordinasi antara
PPNS Bea dan Cukai dengan
Penyidik
Polri
dalam
Penanggulangan Tindak Pidana
Ekspor Ilegal Pasir Timah?
b. Apakah
faktor–faktor
penghambat koordinasi antara
PPNS Bea dan Cukai dengan
Penyidik
Polri
dalam
Penanggulangan Tindak Pidana
Ekspor Ilegal Pasir Timah?
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan secara
yuridis normatif dan yuridis empiris.
Data yang digunakan berupa data
primer
dan
data
sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan
studi
kepustakaan
dan
studi
lapangan. Analisis data yang
digunakan yaitu analisis kualitatif
dan penarikan kesimpulan dilakukan
dengan metode induktif.

II. PEMBAHASAN
A. Koordinasi Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Bea Dan
Cukai Dengan Penyidik Polri
Dalam
Penanggulangan
Tindak Pidana Ekspr Ilegal
Pasir Timah
Koordinasi adalah suatu mekanisme
hubungan dan kerja sama antara
suatu organisasi dengan lainnya
dalam
rangka
penyelenggaraan
kegiatan atau aktivitas untuk
mencapai
tujuan
tertentu.6
Koordinasi dan kerja sama dalam
penyelenggaraan pemerintah dan
penegakan hukum di daerah
merupakan usaha mengadakan kerja
sama yang erat dan efektif antara
dinas-dinas sipil di daerah dengan
aparat hukum. Dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan
tindak pidana ekspor illegal adanya
peran antara PPNS Bea dan Cukai
dengan penyidik Polri yang saling
berkoordinasi
sebagai
aparat
penegak hukum. Menurut Sanusi
bahwa dalam hal ini pihak Penyidik
Polri selaku koordinator dan
pengawas
PPNS
memberikan
bantuan kepada PPNS Bea dan
Cukai yang menjadi aparat penegak
hukum di dalam daerah kepabeanan
sesuai
Undang-Undang
yang
7
mengaturnya.
Dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan
tindak
pidana
ekspor illegal adanya peran antara
PPNS Bea dan Cukai dengan
penyidik
Polri
yang
saling
berkoordinasi
sebagai
aparat
6

Inu kencana. Sistem Pemerintahan
Indonesia. Bandung. Sekolah Tinggi
Pemerintahan dalam Negeri. 2001. Hlm 22
7
Hasil wawancara dengan Prof. Dr.Sanusi,
Dosen
Fakultas
Hukum
Universitas
Lampung

penegak hukum. PPNS sebagai
aparat penyidik tindak pidana dalam
lingkup
bidang
tugasnya
melaksanakan penyidikan di bawah
koordinai oleh penydik Polri
merupakan bagian dari system
peradilan pidana karena dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya
bekerjasama
dan
berinteraksi
dengan
subsistem-subsistem
penegak hukum lain dalam kerangka
system peradilan pidana.8
Pembinaan atau bantuan yang
diberikan Polri kepada PPNS itu
yang diminta atau tidak diminta,
Polri wajib untuk melakukan itu
karena menurut KUHAP sendiri
penyidik
itu
adalah
Polri.
Keberadaan
PPNS
itu
kerap
kaitannya dengan perkembangan
organ dan fungsi kepolisian dalam
masyarakat. Jadi semula sebelum
terbentuk Negara fungsi kepolisian
diemban oleh setiap warga Negara.
Saat ini fungsi kepolisian hanya
merupakan salah satu dari fungsi
Pemerintahan Negara. Keberadaan
PPNS ini sebetulnya merupakan
salah
satu
fenomena
dari
perkembangan fungsi kepolisian
secara keseluruhan. Oleh karena itu,
keberadaan PPNS ini juga harus
dilihat dalam keseluruhan fungsi
kepolisian secara seutuhnya. PPNS
sebagai
bentuk
partisipasi
masyarakat
yang
bisa
memberdayakan masyarakat dalam
membangun kemitraan dengan Polri.
Kepolisian
didalam
KUHAP
disebutkan sebagai koordinasi dan
pengawas tapi bukan kepada
instansinya, namun kepada kegiatan
penyidikannya.
8

Nikmah Rosidah, Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (sebuah upaya penegakan peraturan
daerah), Semarang, 2102, Pustaka Magister,
hlm. 48

Pada Pasal 107 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum
Acara
Pidana, menyebutkan bahwa setiap
penyidik polri wajib memberikan
bantuan
penyidikan
terhadap
Penyidik Pegawai Negeri Sipil,
dengan demikian hubungan kerja
antara Penyidik Polri dengan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang
diatur dalam Undang- undang No. 8
tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana
meliputi pelaksanaan koordinasi,
pengawasan, pemberian petunjuk
dan pemberian bantuan penyidikan
dari
Penyidik
Polri
kepada
Penyidik Pegawai Negeri Sipil
yang didasarkan dengan sendi-sendi
hubungan
fungsional
dengan
mengindahkan hierarki masingmasing.
Demi
kepastian
hukum
dan
kelancaran pelaksanaan hubungan
kerja fungsional antara PPNS Bea
dan Cukai dengan Penyidik Polri
dalam melakukan penyidikan tindak
pidana
penyelundupan
perlu
diwujudkan adanya keseragaman,
keselarasan dan keserasian.
Bantuan yang wajib diberikan oleh
Penyidik Polri kepada PPNS Bea dan
Cukai menurut penyidik Polri baik
diminta atau tidak berdasarkan
tanggung jawabnya dalam rangka
pelaksanaan penyidikan meliputi:
a. Bantuan taktis, yaitu bantuan
penyidikan yang diberikan oleh
Penyidik Polri kepada PPNS Bea
dan Cukai berupa personil atau
tenaga
bantuan
berikut
peralatannya untuk kepentingan
penyidikan
b. Bantuan teknis, yaitu merupakan
bantuan yang diberikan Penyidik
Polri kepada PPNS Bea dan
Cukai yang berupa kegiatan

penindakan yang berwewenang
tidak dimiliki oleh pihak PPNS
Bea dan Cukai.
Keberadaan PPNS Bea dan Cukai
dalam melakukan penyidikan tindak
pidana dibidang kepabeanan dan
kewenangan Penyidik Polri adalah
untuk melaksanakan koordinasi dan
pengawasan yang menyangkut aspek
tugas dan peranannya di lingkungan
kepabeanan.
Koordinasi
yang
dimaksud dalam hal ini adalah suatu
bentuk hubungan kerja antara
Penyidik Polri dengan PPNS Bea
dan Cukai dalam rangka pelaksanaan
penyidikan tindak pidana yang
terjadi di dalam lingkup kepabeanan
atas dasar sendi-sendi hubungan
fungsional. Implementasi dengan
memperhatikan
hierarki
dari
masing-masing instansi. Wujud
koordinasi dapat berupa9 :
a. Mengatur dan menuangkan lebih
lanjut dalam keputusan dan
instruksi bersama.
b. Mengadakan rapat-rapat berkala
atau waktu-waktu tertentu yang
dipandang perlu.
c. Menunjuk seseorang atau lebih
pejabat dari masing-masing
departemen atau instansi yang
secara
fungsional
dianggap
mampu sebagai penghubung
(laision officer)
d. Menyelenggarakan pendidikan
dan latihan dengan penekanan
dibidang penyidikan
Namun pada kenyataannya teoriteori yang telah tertulis di atas
berbeda dengan apa yang terjadi di
lapangan, pelaksanaan koordinasi
dalam tindak pidana yang terjadi di
daerah kepabeanan dalam kasus
ekspor illegal pasir timah, menurut
9

Ibid, Inu Kencana. Hlm 35

wawancara dengan salah satu
seorang penyidik kepolisian10 bahwa
koordinasi yang dilakukan oleh
PPNS Bea dan Cukai tidak
terselenggara
secara
khusus
dikarenakan PPNS Bea dan Cukai
telah memiliki Undang-Undang
sendiri yaitu Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1995 Pasal 112 ayat 1 dan
3 yang berbunyi:
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai diberi
wewenang
khusus
sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di
bidang Kepabeanan.
(2) Penyidikan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
memberitahukan
dimulainya
penyidikan dan menyampaikan
hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
Dimana PPNS Bea dan Cukai
memiliki
wewenang
untuk
melakukan sendiri proses penyidikan
yang terjadi di wilayah kepabeanan
dari
tahap
awal
dimulainya
penyidikan
hingga
penyerahan
berkas ke Penuntut Umum.
Hasil wawancara dengan salah
seorang seksi penindakan dan
penyidikan kantor pengawasan dan
pelayanan Bea dan Cukai Lampung11
terkait bentuk koordinasi dengan
10

Hasil wawancara dengan Subdit IV
Tipidter Ditreskrimsus Polda Lampung
11
Hasil wawancara dengan Kepala Subseksi
Penyidikan dan Penindakan Bea dan Cukai,

Penyidik
Polri
dalam
penanggulangan
tindak
pidana
ekspor illegal pasir timah ini dia
menjelaskan
kewenangan
pendindakan,
dan
penegakan
hukumnya yang sepenuhnya berada
di bawah wewenang PPNS Bea dan
Cukai itu sendiri bahwa tindak
pidana
kepabeanan
merupakan
tindak pidana yang mempunyai
karakter tersendiri yang mempunyai
akibat sama bahayanya dengan
tindak pidana korupsi, karena
mempunyai dampak yang sangat
besar
baik
dapat
merugikan
keuangan
Negara
maupun
perekonomian Negara yaitu dapat
mematikan industri dalam negeri.
Oleh karena itu tindak pidana
penyelundupan
memerlukan
penanganan yang khusus untuk
menindak para pelakunya.
Berdasarkan data yang diperoleh
tugas-tugas
dari
Direktorat
Penindakan dan Penyidikan meliputi
usaha preventif, yaitu usaha untuk
mencegah terjadinya tindak pidana
penyelundupan dalam hal ini
penyelundupan pasir timah dengan
meniadakan sebab terjadinya. Hal ini
semata-mata bukan hanya menjadi
tugas dari Direktorat Penindakan dan
Penyidikan, tapi sudah menjadi tugas
seluruh pegawai Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai serta aparat negara,
agar tindak pidana penyelundupan
ini tidak semakin merugikan negara.
Tindakan-tindakan Preventif yang
dilakukan oleh pihak PPNS Bea dan
Cukai dalam menanggulangi tindak
pidana ekspor illegal menurut seksi
penindakan dan penyidikan kantor
pengawasan dan pelayanan Bea dan
Cukai antara lain adalah:
a. melakukan pengawasan terhadap
barang baik yang dari atau yang

b.

c.

d.

e.

f.

masuk ke daerah
pabean
Indonesia melalui darat, laut,
maupu udara.
melakukan pemeriksaan terhadap
barang impor yang dibawa
melalui container, jasa titipan,
maupun
barang
bawaan
penumpang
dengan
menggunakan x-ray, hico scan,
dan/atau pemeriksaan fisik secara
manual yang dilakukan petugas
bea dan cukai.
melakukan patrol laut secara
rutin dalam rangka pencegahan
pelanggaran kepabeanan dan/atau
cukai termasuk untuk mencari
dan
menemukan
dugaan
pelanggaran kepabeanan dan/atau
cukai.
melakukan patroli darat secara
rutin dalam rangka pencegahan
pelanggaran kepabeanan dan/atau
cukai termasuk untuk mencari
dan
menemukan
dugaan
pelanggaran kepabeanan dan/atau
cukai.
melakukan kegiatan sosialisasi
peraturan terkait mekanisme
ekspor impor serta peraturan
terkait
larangan
dan
pembatasannya ke masyarakat.
melakukan pertukaran informasi
dengan instansi lain.12

Usaha preventif ini termaktub
didalam
fungsi
Direktorat
Penindakan dan Penyidikan bagian a,
c, dan e dimana fungsi pelaksanaan
kebijakan
teknis,
pembinaan,
pengendalian, bimbingan, maupun
koordinasi dilakukan dalam rangka
pencegahan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan usaha represif yaitu
menanggulangi, mengambil tindakan
12

Hasil wawancara dengan Kepala Subseksi
Penyidikan dan Penindakan Bea dan Cukai,

lebih lanjut agar tindak pidana
penyelundupan secara berangsurangsur dapat berkurang, dimana pada
saat ini dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2006 perubahan atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan maka tugas ini
beralih menjadi
tugas
aparat
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
khususnya
pada
Direktorat
Penindakan dan Penyidikan tindak
Pidana penyelundupan.
Usaha
represif
tersebut
juga
termaktub dalam pernyataan fungsi
Direktorat
Penindakan
dan
Penyidikan pada bagian d, e, dan f
yaitu
usaha
pembinaan,
pengendalian, bimbingan, koordinasi
dilakukan dalam rangka penindakan
dan penyidikan terhadap tindak
pidana di bidang Kepabeanan dan
Cukai.
Dalam
usaha
represif
pada
prakteknya
dilaksanakan
oleh
Direktorat
Penindakan
dan
Penyidikan. Usaha refresif ini
merupakan
prosedur
Sistem
Peradilan Pidana (SPP) yang ada di
Indonesia sesuai dengan yang tertulis
dalam
Undang-Undang13.
Pada
bidang ini terdapat seksi intelijen,
seksi pencegahan serta seksi
penyidikan. PPNS Bea dan Cukai itu
sendiri berada dibawah seksi
penyidikan. Dalam melaksanakan
tugasnya PPNS Bea dan Cukai
seringkali menggantungkan pada
adanya laporan yang didapat dari
seksi intelijen dan seksi pencegahan,
untuk kemudian ditindak lanjuti
ketahap penyidikan dalam rangka
penemuan
alat
bukti
dan
13

Wawancara dengan Prof. Dr. Sanusi
Husin, SH, MH., tanggal 26 Januari 2017 di
Fakultas Hukum, Universitas Lampung

tersangkanya.
Terutama
untuk
Subbidang intelijen disamping tugas
nya yang tergolong dalam usaha
represif, subbidang intelijen juga bisa
langsung mengeksekusi ditempat
apabila hal tersebut diperlukan.
Mekanisme
Penyidikan
Dalam
Tindak
Pidana
Penyelundupan.
Penyelidikan dilakukan dengan
maksud dan tujuan mengumpulkan
“bukti permulaan” atau “bukti yang
cukup” agar dapat dilakukan tindak
lanjut penyidikan14. Penyidik adalah
pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undangundang
untuk
melakukan
penyidikan. Negara terlihat masih
merasa perlu untuk menjamin hakhak asasi dalam suatu proses
penyidikan, dengan adanya azas-azas
yang harus diperhatikan dalam
Hukum
Acara
Pidana
yang
menyangkut hak-hak azasi manusia
yang memberikan perlindungan
kepada tersangka pelaku tindak
pidana Kepabeanan dan Cukai,
yakni15:
a. Praduga
Tak
Bersalah
(presumption of innocence)
Azas ini mengharapkan bahwa,
setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan
dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai ada putusan
pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.
14

Ibid, hal. 101
Bambang Semedi, Modul Proses
Penyidikan Tindak Pidana Kepabeanan dan
Cukai, Departemen Keuangan Republik
Indonesia Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Bea dan Cukai, Jakarta, 2009, hlm. 9

15

b. Persamaan Di Muka Hukum
(equality before the law)
Azas ini menjamin perlakuan
yang sama atas diri setiap
individu dimuka hukum dengan
tidak mengadakan perbedaan
atau mengabaikan segala bentuk
perbedaan.
c. Hak
Pemberian
Bantuan/
Penasihat Hukum ( legal aid
assisstance)
Azas ini mengutamakan pada
pemberian kesempatan kepada
tersangka tindak pidana untuk
memperoleh bantuan hukum
yang semata-mata diberikan
untuk melakukan pelaksanaan
pembelaan atas dirinya, sejak
saat dilakukan penangkapan dan
atau
penahanan.
Dalam
pelaksanaannya,
sebelum
dimulainya pemeriksaan, kepada
tersangka wajib diberitahukan
tentang apa yang disangkakan
padanya dan haknya untuk
mendapatkan bantuan hukum
atau dalam perkaranya itu wajib
didampingi penasihat hukum.
d. Peradilan yang harus dilakukan
dengan cepat, sederhana dan
biaya ringan serta bebas jujur dan
tidak memihak harus diterapkan
secara konsekuen dalam seluruh
tingkat proses peradilan. Hal
tersebut
utamanya
untuk
mempermudah proses peradilan
suatu
tindak
pidana
dan
menjamin adanya kepastian
hukum.
e. Penangkapan,
penahanan,
penggeledahan dan penyitaan
hanya dilakukan berdasarkan
perintah tertulis dari pejabat yang
diberi wewenang oleh UndangUndang dan hanya dalam hal dan
dengan cara yang diatur dengan
Undang-Undang.
Hal
ini
dilakukan untuk memastikan

keseragaman
segala
bentuk
proses
peradilan
yang
berlangsung, termasuk proses
penyidikan di dalamnya.
f. Kepada
seseorang
yang
ditangkap, ditahan, dituntut, atau
pun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan Undang-Undang dan
atau karena kekeliruan mengenai
orangnya suatu hukum yang
diterapkannya, wajib diberi ganti
kerugian dan rehabilitasi sejak
tingkat penyidikan dan para
pejabat penegak hukum yang
dengan sengaja atau kelalaiannya
menyebabkan
azas
hukum
tersebut dilanggar dapat dituntut,
dipidana dan atau dikenakan
hukuman
administrasi.
Hal
tersebut
dilakukan
untuk
menjamin kepastian hukum dan
menghindari kesalahan dalam
proses peradilan tindak pidana.
g. Penyidik mempunyai wewenang
melaksanakan tugas masingmasing pada umumnya di
Indonesia, khususnya di wilayah
kerja masing-masing diangkat
sesuai dengan ketentuan undangundang.
B. Faktor-Faktor
Penghambat
Koordinasi Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Bea Dan
Cukai Dengan Penyidik Polri
Dalam
Penanggulangan
Tindak Pidana Ekspr Ilegal
Pasir Timah
Soerjono Soekanto menyatakan
bahwa penegakan hukum tidaklah
bersifat mandiri, artinya bahwa ada
faktor-faktor lainnya yang erat
hubunganya
dengan
proses
penegakan hukum yang harus
diikutsertakan,
yaitu
peran
masyarakat dan aparat penegak
hukum.

Hukum itu tidak lebih hanya ide-ide
atau
konsep-konsep
yang
mencerminkan keadilan, ketertiban,
dan
kepastian
hukum
yang
dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dengan maksud
untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.Namun tidak pula berarti
bahwa peraturan-peraturan hukum
yang berlaku telah lengkap dan
sempurna melainkan merupakan
suatu
kerangka
yang
masih
16
memerlukan penyempurnaan.
Penegakan hukum bukan hanya
pelaksanaan perundang-undangnan
saja, namun terdapat juga faktorfaktor yang mempengaruhi nya yaitu
sebagai berikut:
1. Faktor Hukum
Dalam
praktek
penegakan
penyelenggaraan
penegakan
hukum dilapangan seringkali
terjadi
pertentangan
antara
kepastian hukum dan keadilan.
Hal ini dikarenakan konsepsi
dalam keadilan merupakan suatu
rumusan yang bersifat abstrak
sedangkan kepastian merupakan
suatu yang tersusun secara
prosedural yang telah ditentukan
secara normatif. Materi hukum
peraturan
perundang-undangan
yang
ada
masih
kurang
mendukung
pelaksanaan
penanggulangan penyelundupan.
Dengan adanya kendala tersebut,
baik Penyidik Polri maupun PPNS
Bea dan Cukai tidak perlu
berseberangan,
tetapi
tetap
bekerja proaktif sesuai bidang dan
keunggulan masing-masing untuk
melakukan penegakan hukum
terhadap penyelundupan.
16

Soerjono, Soekanto. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakkan hukum. Jakarta.
Rajawali Pers.1983. hlm 8.

2. Faktor Penegak Hukum
Lemahnya koordinasi dan kerja
sama antar petugas dan antar
instansi terkait di lapangan
memberikan
peluang
bagi
penyelundup. Dengan adanya
kendala tersebut, baik Polri
maupun PPNS Bea dan Cukai
harus solid, berkomitmen, dan
berkinerja tinggi serta menjalin
koordinasi yang baik dalam
lingkup Criminal Justice System
untuk melakukan penegakan
hukum terhadap penyelundupan
secara konsisten sebagai musuh
bersama.
3. Faktor Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana penyidikan
saat ini, masih dirasakan kurang
memadai seperti alat detektor, alat
penginderaan jarak jauh, alat
komunikasi
dan
sarana
transportasi
kapal
karena
indonesia merupakan negara
kepulauan.17
Upaya
untuk
mengatasinya adalah memelihara
sarana dan prasarana yang ada
agar tetap layak pakai dan tahan
lama serta pengadaaan sarana
prasarana sesuai dengan anggaran
yang tersedia.
4. Faktor Masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap pelaksanaan
penegakan
hukum,
karna
penegakan hukum berasal dari
masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai
ketertiban
dalam
masyarakat. Dalam hal koordinasi
Polri dengan PPNS faktor
masyarakat
tidak
menjadi
penghambat karena masyarakat
selalu
mendukung
upaya
17

Hasil wawancara dengan Kepala Subseksi
Penyidikan dan Penindakan Bea dan Cukai,
Bandar Lampung

penanggulangan
ekspor illegal.

tindak

pidana

5. Faktor Kebudayaan.
Faktor budaya tidak memiliki
kendala karna budaya masyarakat
Indonesia yang saling tolong
menolong,
memiliki
budaya
tenggang rasa yang baik dan rasa
gotong royong yang tinggi
sehingga membuat tidak adanya
kendala atau penghambat dari
faktor budaya.
Berdasarkan penjelasan diatas maka
dapat dinyatakan bahwa apabila
masyarakat saling tolong menolong
dan memiliki rasa tenggang rasa
yang tinggi maka akan terbentuk
suatu mekanisme control sosial yang
kuat dari masyarakat dalam rangka
mengantisipasi terjadinya potensi
tindak pidana narkotika lainnya.
Budaya masyarakatlah yang akan
mendukung kinerja aparat penegak
hukum yaitu kebudayaan yang lahor
dari nilai-nilai bangsa Indonesia
sebagai Negara yang menjunjung
tinggi keamanan dan ketertiban
dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut penulis faktor yang lebih
dominan dari penjelasan diatas yaitu
faktor hukum, karena pengaturan
yang tidak jelas atau tidak spesifik
yang
menyebabkan
terjadinya
tumpang tindih kewenangan yang
menyebabkan kerjasama yang tidak
jelas atau menjadi perebutan dalam
satu objek. hal ini karena pengaturan
yang diatur oleh pihak Bea dan
Cukai menyebutkan dirinyalah yang
paling berwenang serta pengaturan
Kepolisian
yang
menyebutkan
dirinya juga memiliki wewenang
dalam proses penyidikan dan ini lah
yang menjadi faktor yang paling
dominan. ego yang tinggi yang

dimiliki kedua pihak ini lah yang
menjadi faktor yang paling dominan.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan
pembahasan maka kesimpulan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wewenang PPNS diatur dalam
Pasal 7 ayat (2) KUHAP.
Dijelaskan
bahwa
PPNS
mempunyai wewenang sesuai
dengan undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masingmasing dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah
koordinasi
dan
pengawasan
penyidik Polri. Secara struktural
PPNS itu berada di bawah
„koordinasi dan pengawasan‟
yang dalam praktek dikenal
dengan istilah korwas. Koordinasi
antara PPNS Bea dan Cukai
dengan Penyidik Polri yang
terjadi
di
lapangan
hanya
terselenggara
secara
umum
dikarenakan
oleh
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur bahwa tindak pidana
yang terjadi di lingkungan
kepabeanan adalah wewenang
PPNS Bea dan Cukai untuk
melakukan penyidikan.
Pelaksanaan
penyidikan
tindak
pidana kepabeanan dan cukai
dalam proses penyidikan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea
dan
Cukai
menggunakan
ketentuan hukum acara yang
diatur dalam KUHAP, sedangkan
delik pidana, atau unsur-unsur
tindak pidananya menggunakan
ketentuan
Undang-Undang
Kepabeanan dan Cukai serta
ketentuan pelaksanaannya, dan
ketentuan
lainnya
yang
kewenangan
pelaksanaannya

diberikan
kepada
Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
2. Faktor-Faktor
yang
menjadi
penghambat dalam koordinasi
antara PPNS Bea dan Cukai
dengan Penyidik Polri antara lain:
a. Faktor
Hukum,
UndangUndang No. 10 Tahun 1995
tentang kepabeanan, sangat
membatasi kewenangan polri
dalam
penyidikan
kasus
penyelundupan. Pasal 112 Ayat
1
menjelaskan
bahwa
penyidikan
tindak
pidana
penyelundupan dilakukan oleh
PPNS Bea dan Cukai secara
khusus
(“lex
specialis”).
Penyidik polri hanya sebagai
koordinator dan pengawas.
b. Faktor
Penegak
Hukum,
Lemahnya koordinasi dan kerja
sama antar petugas dan antar
instansi terkait di lapangan
memberikan peluang untuk
para penyelundup melakukan
tindak kejahatan.
c. Faktor Sarana dan Prasarana,
Sarana
dan
prasarana
penyidikan saat ini, masih
dirasakan kurang memadai
seperti alat detektor, alat
penginderaan jarak jauh, alat
komunikasi
dan
sarana
transportasi kapal. Padahal
sarana
transportasi
kapal
sangat dibutuhkan karena
Indonesia merupakan negara
kepulauan.
d. Faktor Masyarakat, Dalam hal
koordinasi Polri dengan PPNS
faktor
masyarakat
tidak
menjadi penghambat karena
masyarakat selalu mendukung
upaya penanggulangan tindak
pidana ekspor illegal.
e. Faktor Kebudayaan, dalam hal
ini faktor kebudayaan tidak
menjadi
hambatan
dalam

koordinasi antara PPNS Bea
dan Cukai dengan Penyidik
Polri dalam penanggulangan
tindak pidana ekspor illegal
pasir timah.
B. Saran
Melalui
skripsi
ini
penulis
menyampaikan beberapa saran yang
terkait dengan penelitian penulis
antara lain :
1. Agar
dioptimalkan
dan
dirutinkannya pertemuan dan
kerjasama antara PPNS Bea dan
Cukai dengan Penyidik Polri
untuk bertukar informasi dalam
hal
melakukan
penyidikan.
Kedepan perlu dilakukan kerja
sama lintas instansi maupun lintas
negara dalam bentuk pertukaran
informasi, bantuan teknis (alat teknologi, tenaga ahli), pelatihan
dan kegiatan (operasi) bersama.
2. Baik pihak PPNS Bea dan Cukai
dan
Polri
harus
solid,
berkomitmen, dan berkinerja
tinggi serta menjalin koordinasi
yang baik dalam lingkup Criminal
Justice System untuk melakukan
penegakan
hukum
terhadap
penyelundupan secara konsisten
sebagai musuh bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Chibro, Soufnir. 1992. Pengaruh
Tindak Pidana Penyelundupan
Terhadap Pembangunan, Sinar
Grafika. Jakarta.
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara
Pidana
Indonesia
(Edisi
Kedua), Jakarta: Sinar Grafika
Kencana,
Inu.
2001.
Sistem
Pemerintahan
Indonesia.
Bandung. Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri.

Rosidah, Nikmah, 2012. Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (Sebuah
Upaya Penegakan Peraturan
Daerah. Semarang. Pustaka
Magister
Semedi, Bambang. 2009. Modul
Proses Penyidikan Tindak
Pidana
Kepabeanan
Dan
Cukai, Departemen Keuangan
Republik Indonesia Badan
Pendidikan Dan Pelatihan
Keuangan Pusat Pendidikan
Dan Pelatihan Bea Dan Cukai,
Jakarta
Soekanto, Soerjono. 1983. FaktorFaktor Yang Mempengaruhi
Penegakkan Hukum. Jakarta.
Rajawali Pers.
Sumber lain
http://kbbi.web.id/penyelundupan
http://panjangport.co.id/singleberita.
php?id_artikel=23 Pada Pukul.
20.15
http://www.metrotvnews.com/metro
news/read/2013/10/18/1/188980/Jml
ahPulau-di-IndonesiaBerkurang-4.042-Buah
No HP : 082184004177

Dokumen yang terkait

EKSISTENSI BARANG BUKTI DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERASAN (Studi Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN.TJK)

0 2 13

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN CARA PEMBOBOLAN ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) DI BANK BRI LAMPUNG UTARA (Studi Kasus di Polres Lampung Utara)

0 0 15

TINJAUAN KRIMINOLOGIS KEJAHATAN KEKERASAN DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN NARAPIDANA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)

0 1 14

ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTRI (Studi di Polresta Bandar Lampung)

0 0 11

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

0 0 11

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

0 0 19

URGENSI PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA YANG BERTENTANGAN DENGAN SYARAT PP NO. 99 TAHUN 2012

0 1 12

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI SMS (Short Message Service) (Analisis Putusan No : 59Pid.B2015PN.Sdn) (Jurnal)

0 0 17

ABSTRAK PERAN PENYIDIK DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN CARA MUTILASI (STUDI KASUS DI POLDA LAMPUNG)

0 0 16

MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung)

0 0 14