ETIKA AKUNTAN DAN EMPAT PILAR PENDIDIKAN
ETIKA AKUNTAN DAN EMPAT PILAR PENDIDIKAN DITINJAU DARI
PARADIGMA PANCASILA UNTUK MELAHIRKAN AKUNTAN PANCASILAIS
Monika Handayani
Politeknik Negeri Banjarmasin
[email protected]
Abstrak
Berbagai Kasus yang berhubungan dengan Etika akuntansi seperti
Enron, Tyco International, Adelphia, Peregrine Systems dan WorldCom, yang
terjadi di luar negeri sehingga dikeluarkannya Undang-Undang Sarbanes-Oxley
(Sarbanes-Oxley Act of 2002, Public Company Accounting Reform and Investor
Protection Act of 2002) Akta ini terdiri dari 11 judul atau bagian yang
menetapkan hal-hal mulai dari tanggung jawab tambahan Dewan Perusahaan
hingga hukuman pidana. Di Indonesia Kasus-kasus yang berkaitan Etika juga
tidak kalah banyaknya diantaranya : kasus PT KAI, kasus KPMG Sidharta
sidharta & Harsono, kasus Mulyana W. Kusuma , kasus Sembilan KAP, Kasus
PT Telkom, Bank Lippo, Gayus, Bank century dll.
Apakah Kode etik yang ada di Indonesia tidak representatif dengan
masyarakat Indonesia dan budaya Indonesia? dan Apakah hanya kode etik yang
menjadi acuan Moral seorang auditor? .Artikel ini berusaha untuk menjawab
dengan cara menghubungkan ideology Pancasila dengan kode etik akuntan dan
empat pilar pendidikan di Indonesia. Pendekatan teori utilitas (utilitarisme) yang
dipelopori oleh flsuf Inggeris Jeremy Bentham (1748-1832) , dan selanjutnya
Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh fsuf Inggeris besar, John
Stuart Mill (1806–1873), dalam bukunya Utilitarianism (1864) untuk
menjelaskan bahwa keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut
aspek fnansial, melainkan juga aspek-aspek moral: hak dan kepentingan
masyarakat, kepuasan masyarakat, terkait dengan nilai-nilai pancasila.
Dengan masuknya paradigma pancasila dalam pilar pendidikan dan
kode etik akuntan di Indonesia diharapkan akan lahir akuntan-akuntan yang
“pancasilais”
yaitu
akuntan
yang
berketuhanan,
akuntan
yang
berperikemanusiaan dan beradab, akuntan berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat dalam kebijaksanaan serta akuntan yang berkeadilan dalam ranah
persatuan bangsa Indonesia, artikel ini juga dapat menjadi bahan untuk
penelitian selanjutnya yangn berhubungan dengan etika akuntan, paradigm
pancasila dan empat pilar pendidikan di Indonesia.
Kata Kunci : Etika Akuntan, Empat Pilar Pendidikan, Paradigma
Pancasila, Akuntan Pancasilais
1
ACCOUNTANT ETHIC AND FOUR PILLARS VIEW OF PANCASILA
PARADIGM TO BORN PANCASILAIST ACCOUNTANT
Monika Handayani
Polytechnic Banjarmasin
[email protected]
Abstract
Various cases related to accounting ethics such as Enron, Tyco
International, Adelphia, Peregrine Systems and WorldCom, which occurred
abroad so that the enactment of the Sarbanes-Oxley Act (Sarbanes-Oxley
Act of 2002, Public Company Accounting Reform and Investor Protection
Act of 2002) this act consists of 11 titles or parts of the set of things
ranging from the additional responsibility of the Board of the Company to
criminal prosecution. In Indonesia cases relating Ethics also not lose many
of them: the case of PT KAI, KPMG case Sidhartha Sidhartha & Harsono,
case Mulyana W. Kusuma, KAP Nine cases, Case PT Telkom, Bank Lippo,
Gaius, Bank Century etc.
What is the Code of Conduct in Indonesia are not representative
with Indonesian and Indonesian culture? and Is the only code of ethics is
the reference Moral an auditor? This article seeks to answer by connecting
the ideology of Pancasila with the code of conduct accountant and the four
pillars of education in Indonesia. Utility theory approach (utilitarianism)
pioneered by the British philosopher Jeremy Bentham (1748-1832), and
subsequently refned utilitarianism and strengthened again by the great
British fsuf, John Stuart Mill (1806-1873), in his book Utilitarianism
(1864) to explain that the proft and a loss here is not only about the
fnancial aspect, but also the moral aspects: the rights and interests of the
community, community satisfaction, associated with the values of
Pancasila.
With the entry of Pancasila paradigm in education and ethical pillars
accountant in Indonesia is expected to be born accountants "Pancasila",
accountant berketuhanan, humane and civilized accountants, accountants
berkerakyatan led by the wisdom of the wisdom and justice in the realm of
2
accounting national unity Indonesia, this article can also be a matter for
further research related to ethics of accountants, the paradigm of Pancasila
and the four pillars of education in Indonesia.
Keywords: Accounting Ethics, Four Pillars of Education, Paradigm
Pancasila, Accountant Pancasilaist
PENDAHULUAN
Skandal Enron terungkap pada bulan Oktober 2001, yang akhirnya
mengarah pada kebangkrutan dari Perusahaan Enron , sebuah perusahaan
energi Amerika yang berbasis di Houston, Texas , dan pembubaran de facto dari
Arthur Andersen , yang merupakan salah satu dari lima terbesar Kantor
Akuntan Publik di dunia. Selain menjadi reorganisasi kebangkrutan terbesar
dalam sejarah Amerika pada waktu itu, Enron disebabkan sebagai kegagalan
audit terbesar. Setahun kemudian tepatnya 1 Juli 2002 harga saham Worldcom
anjlok dari $64,5 menjadi $2 dan akhirnya turun lagi menjadi kurang 1 sen
yang mengakibatkan kebangkrutan perusahaan tersebut, Pada masa-masa itu
WorldCom menggunakan jasa KAP Arthur Andersen sebagai auditor eksternal
independen. Sedangkan Arthur Andersen sendiri terlilit skandal Enron tidak
lama yang lalu. Jadi bisa dibilang kredibilitas KAP Arthur Andersen sendiri
mulai dipertanyakan.
Sarbanes-Oxley (Sarbanes-Oxley Act of 2002, Public Company Accounting
Reform and Investor Protection Act of 2002) atau kadang disingkat SOx atau
Sarbox adalah hukum federal Amerika Serikat yang ditetapkan pada 30 Juli
2002 sebagai tanggapan terhadap sejumlah skandal akuntansi perusahaan
besar yang termasuk di antaranya melibatkan Enron, Tyco International,
Adelphia, Peregrine Systems dan WorldCom. Skandal-skandal yang
menyebabkan kerugian bilyunan dolar bagi investor karena runtuhnya harga
saham
perusahaan-perusahaan
yang
terpengaruh
ini
mengguncang
kepercayaan masyarakat terhadap pasar saham nasional. Akta yang diberi
nama berdasarkan dua sponsornya, Senator Paul Sarbanes (D-MD) and
Representatif Michael G. Oxley (R-OH), ini disetujui oleh Dewan dengan suara
423-3 dan oleh Senat dengan suara 99-0 serta disahkan menjadi hukum oleh
Presiden George W. Bush.
3
Perundang-undangan ini menetapkan suatu standar baru dan lebih baik
bagi semua dewan dan manajemen perusahaan publik serta kantor akuntan
publik walaupun tidak berlaku bagi perusahaan tertutup. Akta ini terdiri dari
11 judul atau bagian yang menetapkan hal-hal mulai dari tanggung jawab
tambahan Dewan Perusahaan hingga hukuman pidana. Sarbox juga menuntut
Securities and Exchange Commission (SEC) untuk menerapkan aturan
persyaratan baru untuk menaati hukum ini.
Sarbox menetapkan suatu lembaga semi pemerintah, Public Company
Accounting Oversight Board (PCAOB), yang bertugas mengawasi, mengatur,
memeriksa, dan mendisiplinkan kantor-kantor akuntan dalam peranan mereka
sebagai auditor perusahaan publik. Sarbox juga mengatur masalah-masalah
seperti kebebasan auditor, tata kelola perusahaan, penilaian pengendalian
internal, serta pengungkapan laporan keuangan yang lebih dikembangkan.
Kasus pelanggaran etika yang terjadi di Indonesia diantaranya kasus PT
KAI yang melibatkan akuntan Indonesia, auditor eksternal yang dipercayai
harus benar-benar memiliki integritas serta prosesnya harus terlaksana itu,
komunikasi antara eksternal auditor dan internal auditor harus dilakukan
secara benar sehingga membangun kesepahaman diantara selusurh unsure
lembaga, kasus yang lain adalah kasus KPMG Sidharta sidharta & Harsono
yang juga melibatkan Kantor Akuntan Publik yang dinilai terlalu memihak
kepada kliennya, prinsip etika yang dilanggar adalah intigritas, kasus
berikutnya adalah kasus Mulyana W. Kusuma sekitar tahun 2004, Mulyana
kepergok tangan melakukan penyuapan kepada seorang auditor BPK Salman
Khairiansyah, walaupun ternyata Salman bekerjasama dengan KPK untuk
melakukan penjebakan, tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi
kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan berdasarkan
pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W.
Kusuma walaupun untuk tujuan mulia. Prinsip yang dilanggar adalah
integritas, objektivitas dan independensi.
Kasus selanjutnya adalah kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan
kolusi dengan kliennya, Sembilan KAP yang berdasarkan laporan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi
dengan pihak bank yang diauditnya antara tahun 1995-1997, menurut BPKP
Sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit 36 Bank bermasalah
ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit. Hasil audit
tersebut ternyata tidak sesuai kenyataannya sehingga mayoritas bank-bank
yang diaudit tersebut termasuk diantara bank-bank yang dibekukan usahanya
oleh pemerintah pada tahun 1999, prinsip yang dilanggar oleh KAP-KAP
tersebut adalah integritas dan tanggungjawab, dimana seharusnya auditor
melakukan tanggungjawab sebagai professional yang senantiasa menggunakan
pertimbangan moral dan professional dalam setiap kegiatan yang dilakukannya.
Dan kasus-kasus lain seperti Kasus PT Telkom, Bank Lippo, Gayus, Bank
century dan lain-lain merupakan rentetan kasus yang terjadi di Indonesia ikut
melibatkan para akuntan.
Profesi akuntan dan khususnya para auditor sangatlah berarti. Berbagai
peristiwa telah memberi tatangan tetapi juga kesempatan dan pertumbuhan
yang besar. Belum pernah permintaan atas akuntan yang andal dan auditor
dengan integritas tinggi menjadi sangat tinggi. Kantor Akuntan Publik (KAP) dan
4
auditor seharusnya bisa bersikap independen, dan jangan sampai kehilangan
objektivitasnya dalam mengaudi laporan keuangan dan mengevaluasi metode
akuntansi perusahaan yang diauditnya.juga menjungjung tinggi independensi,
profesionalisme dan tidak melakukan pelanggaran kode etik profesi dan ingkar
dari profesi maupun masyarakat. Agar fenomena mega skandal seperti Enron
dan WorldCom dan kasus-kasus di Indonesia tidak terulang kembali. Kejadiankejadian tersebut telah memberikan lonceng peringatan kepada para akuntan,
maka diharapkan profesi ini akan menjadi lebih kuat dan dinilai lebih tinggi
dari sebelumnya.
Permasalahan diatas menimbulkan beberapa pertanyaan: Apakah Kode
etik yang ada di Indonesia tidak representatif dengan masyarakat Indonesia dan
budaya Indonesia? Sebagaimana kita ketahui kode etik akuntan yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan IAPI (Institut Akuntan
Publik Indonesia) mengadopsi dari kode etik akuntan yang dikeluarkan oleh
American Institute Accountant Public (AICPA) dan International Federation
Accountant (IFAC). Apakah hanya kode etik yang menjadi acuan Moral seorang
auditor? Jauh sebelum kita membicarakan kode etik ada hal yang paling
mendasar dalam pendidikan karakter atau moral bangsa yaitu pola pendidikan
di Indonesia, yang kelak akan menghasilkan para akuntan, politisi, pengusaha,
pengajar, dll,
Berdasarkan survey United Nations Educational, Scientifc and Cultural
Organizations (UNESCO) terhadap pendidikan di Negara-negara berkembang di
Asia Pasifc, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan
untuk kualitas para guru, kualitasnya berada pada level 14 dari 14 negara
berkembang, dan yang tidak bisa kita pungkiri adalah tenaga kerja kita yang
bekerja ke luar negeri hanya bisa bekerja sebagai pembantu dan buruh karena
level pendidikan yang rendah, dalam upaya untuk meningkatkan kualitas suatu
bangsa tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan.
Berangkat dari pemikiran itu UNESCO dalam program MDG’s bidang
pendidikan mencanangkan 4 (empat) pilar pendidikan sekarang dan masa
depan yaitu : 1). Learning to know, 2). Learning to do, 3) Learning to Be, dan 4)
Learning tio Live together.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang dikemukakan diatas,
keraguan terhadap nilai-nilai barat yang melekat pada kode etik Indonesia
semakin besar, di bawah perspektif kritis, internalisasi nilai-nilai luhur
Indonesia pada kode etik akuntan Indonesia dapat membantu skandal
akuntansi di Indonesia, nilai-nilai pancasila memiliki relevansi dengan kode etik
akuntan, dan pada akhirnya akan membebaskan akuntan dari imperialisme
etika.(Unti Ludigdo dan Ari Kamayanti ,2012, Pancasila as Accountant Ethics
Imperialism Liberator), Ada empat pilar pendidikan yang juga merupakan dasar
dari pendidikan moral bangsa, Tulisan ini berusaha memberikan gambaran
kritis tentang bagaimana paradigma Pancasila dihubungkan dengan kode etik
akuntan dan empat pilar pendidikan di Indonesia yang tujuannya untuk
menghasilkan akuntan Indonesia agar memiliki moral yang sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
PEMBAHASAN
5
1. Tinjauan Literatur
a. Etika Akuntan
Etika (Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”)
adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama flsafat
yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
b. Etika Profesi Akuntansi
Yaitu suatu ilmu yang membahas perilaku perbuatan baik dan
buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia
terhadap pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus sebagai Akuntan.
8 Prinsip Kode etik akuntan Indonesia memuat prinsip etika
sebagai berikut :
1. Tanggung Jawab profesi
Saat melaksanakan tanggung jawabnya harus profesional, bagi
tiap - tiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral
dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai
profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat,
anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa
profesional mereka serta harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja
sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi,
2. Kepentingan Publik
Bagi semua anggota wajib bertindak dalam kerangka pelayanan
kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan
komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi
adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan
memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi
akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi
kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya
bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib.
3. Integritas
Integritas merupakan element karakter yang mendasari lahirnya
pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi
kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota
dalam menguji keputusan yang diambilnya serta mengharuskan seorang
anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa
harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan
publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat
menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang
jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
4. Obyektivitas
Bagi tiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari
benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
Obyektivitasnya ialah tingkat kualitas yang memberikan nilai atas jasa
yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota
6
bersikap adil, independen, jujur secara intelektual, tidak berprasangka
atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah
pengaruh pihak lain.Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang
berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai
situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi,
perpajakan, serta konsultasi manajemen.
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Bagi tiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya
dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai
kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan
profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa
klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan
teknik yang paling mutakhir.
6. Kerahasiaan
Bagi tiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang
diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai
atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila
ada
hak
atau
kewajiban
profesional
atau
hukum
untuk
mengungkapkannya. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa
standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefnisikan
bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban
kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang
diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu
diungkapkan
7. Perilaku Profesional
Bagi Tiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang
dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai
perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga,
anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
8. Standar Teknis
Bagi tiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai
dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai
dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama
penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota
adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Internasional Federation of Accountants (IFAC), badan pengatur, dan
pengaturan perundang-undangan yang relevan
c. Empat Pilar Pendidikan
Adalah Pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa.
Empat Pilar yang menjadi acuan pendidikan yaitu:
1. Learning to Know (Belajar untuk mengetahui)
7
Adalah belajar untuk mengetahui (learning to know)
dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang
bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak
bermanfaat bagi kehidupan. Tenaga kependidikan (Guru,
pelatih, instruktur, dll) harus menjadi inspirator dalam
pengembangan, perencanaan, dan pembinaan pendidikan dan
pembelajaran. Hal ini juga secara eksplisit di cantumkan
dalam PP No 19 tahun 2005, yaitu Guru sebagai Agent
Pembelajaran harus menjadi Fasilitator, Pemacu, Motivator,
dan Inspirator bagi peserta didik. Di samping itu guru
dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan
berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan
penguasaan pengetahuan siswa.
2.
Learning to Do (Belajar untuk melakukan)
Learning to do adalah belajar untuk berkarya. Setelah
peserta didik itu belajar mengetahui, belajar untuk mencari
hal-hal yang ingin diketahuinya, maka peserta didik tersebut
diiringi dengan potensi yang dimilikinya, ia harus harus bisa
menghasilkan suatu karya dari potensi yang dimilikinya.
Belajar merupakan suatu proses untuk mengembangkan diri
individu, khususnya belajar di sini yaitu dalam pendidikan
formal (lingkungan sekolah).
Didalam sebuah pembelajaran ada prinsip aktivitas (kegiatan)
yang harus dicapai, Diantaranya :
Hard Skills
: Keterampilan yang menuntut fsik
Soft Skills
: Keterampilan yang menuntut
Intelektual
Proses belajar Learning to Do mengacu pada perubahan
dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi serta,
pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai,
sikap, penghargaan, perasaan serta kemauan untuk berbuat
atau merespon suatu stimulus. Pendidikan membekali
manusia untuk tidak sekedar mengetahui, tetapi lebih jauh
untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga
menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
3.
Learning to Be (Belajar untuk menjadi pribadi yang
utuh)
Learning to Be adalah belajar untuk menjadi sesuatu
atau berkembang menjadi pribadi yang seutuhnya. Dalam
proses ini peserta didik diharapkan dapat belajar menjadi
pribadi yang kreatif, berwawasan, memiliki pengetahuan yang
utuh serta mampu menguasai ilmu yang di tempuhya selama
proses pendidikan dilakasanakan. Pengusaaan pengetahuan
dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi
pribadi yang utuh (learning to be). Menjadi pribadi yang utuh
dalam hal ini dapat diartikan sebagai proses pemahaman
8
terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai
norma dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat, belajar
menjadi pribadi yang berhasil sesungguhnya merupakan
proses pencapaian aktualisasi diri. Selain itu, pendidikan
dalam learning to be juga harus bermuara pada bagaimana
peserta didik menjadi lebih manusaiwi dan menjadi manusia
yang berperikemanusiaan.
4.
Learning to live Together (Belajar untuk hidup
bersama)
Setelah memahami konsep menjadi pribadi yang utuh
diharapkan peserta didik mampu mempelajari bagaimana
caranya untuk dapat hidup baik bersama masyarakat dalam
lingkungannya. Dalam prosesnya kebiasaan hidup bersama,
saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu
dikembangkan disekolah. Kebiasaan inilah yang nantinya
akan menghasilkan tumbuhnya sikap saling memahami,
mengerti dan toleransi antar ras, suku dan agama.
Pendidikan di sekolah juga harus merangsang soft skill
peserta didik sehingga kelak mereka mampu hidup dan
bekerja sama dengan orang lain. Bahkan mereka akan peka
terhadap suka duka orang lain.
d. Paradigma Pancasila
Pancasila sebagai paradigm kehidupan berbangsa dan bernegara,
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengembangkan
kehidupan nasional. Pancasila digunakan sebagai asumsi dasar yang
bisa mengarahkan dan menggerakan kearah yang dikehendaki oleh
bangsa dan Negara sebagai consensus nasional (Noor Ms Bakry, 2010,
343).
Paradigma merupakan model dalam teori ilmu pengetahuan atau
sebagai kerangka berpikir ilmu pengetahuan, sehingga batasan
mengenai pengertian “paradigm” dapat dinyatakan yaitu sebagai
keutuhan konseptual yang sarat dengan muatan ajaran, teori, dalil,
bahkan pandangan hidup, untuk dijadikan dasar dan arah
pengembangan ilmu pengetahuan. Paradigma dapat cenderung berfungsi
sebagai ideology (Koento Wibisono,Dirjen Dikti, 2002).
Dalam perubahan tata nilai ini, bangsa Indonesia harus dapat
menyusun strategi kebudayaan, yang menggunakan nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia sendiri dalam Pancasila, Sebagai kerrangka acuan
untuk membina dan mengembangkan ilmu pengetahuan, demi dan atas
nama peningkatan harkat dan martabat manusia Indonesia. (Noor Ms
Bakry, 2010, 346).
Kelima asas dalam Pancasila dijabarkan menjadi 36 butir
pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Ini
ditetapkan dalam Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia
Pancakarsa.
A. Sila ketuhanan yang maha esa
9
1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama
dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.
2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
5. Menolak kepercayaan atheisme di Indonesia.
B. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
1. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
2. Saling mencintai sesama manusia.
3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan
bekerjasama dengan bangsa lain.
C. Sila persatuan indonesia
1. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan
bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3. Cinta Tanah Air dan Bangsa.
4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berBhinneka Tunggal Ika.
D. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan
1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil musyawarah.
6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur.
7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
10
2. Bersikap adil.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak-hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
7. Tidak bersifat boros.
8. Tidak bergaya hidup mewah.
9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
10. Suka bekerja keras.
11. Menghargai hasil karya orang lain.
12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
e. Etika Akuntan dihubungkan dengan Ideologi Pancasila
Pancasila adalah 'philosophische grondslag' yang di atasnya
kebebasan negara itu dibangun (Asshiddiqie 2011). Penulisan ini
memperkuat bahwa Pancasila dapat menjadi pengabaian imperialisme
etis yang saat ini berkuasa. Hal yang lebih penting untuk diingat adalah
bahwa
Pancasila
benar-benar
menjelaskan
hubungan
antara
spiritualitas dengan etika. Ma'arif (2011, p. 59) menjelaskan bahwa
semua nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila sangat jelas.
Prinsip pertama yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa" memberikan dasar
yang kuat untuk kehidupan beragama, baik tulus dan otentik. Prinsip
kedua Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia sangat dekat
dengan etika akuntan, keadilan memiliki konsekuensi mengenai
kepentingan pemangku kepentingan tertentu tanpa meniadakan
kepentingan lainnya, bagian yang lebih penting dari prinsip kedua ini
adalah peradaban, yang berkaitan dengan kesatuan, jika prinsip ini
dikombinasikan dengan prinsip ke tiga, yaitu kesatuan Indonesia, maka
peradaban masih harus mempromosikan kepentingan bangsa secara
keseluruhan.Jika dikaitkan dengan Lima sila, keputusan untuk
bergabung dengan badan-badan yang berkuasa, disamping kehilangan
kemerdekaan, juga mempersulit pemenuhan keadilan social. Dengan
pelaksanaan Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai dengan PP no 71
tahun 2010, misnya, penyediaan layanan yang harus diterapkan secara
gratis atau dengan sedikit biaya untuk masyarakat, telah
diliberalisasikan atau dikomersialkan, Connolly & Hyndman (2006)
menjelaskan bahwa hal itu juga harus diingat, bahwa sector public tidak
seperti sector swasta yang mempromosikan proftabilitas dan posisi
keuangan. Partisipasi IAI dengan badan-badan professional tidak selalu
mampu memberikan keaddilan social bagi rakyat Indonesia. (Unti
Ludigdo dan Ari Kamayanti ,2012, Pancasila as Accountant Ethics
Imperialism Liberator).
Mengutip istilah Bung Karno, “mengambil apinya pancasila,
bukan abunya.” Kalau Pancasila sebagai dasar Negara, maka akuntan
harus menjadi jiwa dan pedoman dari semua semua kebijakan yang
berakar dari nilai Pancasila dalam menjalankan profesinya. Ketika
profesi akuntan mampu mewujudkan nilai-nilai pancasila dalam tugas
11
f.
profesinya, sehingga akuntan-akuntan ini akan disebut sebagai “
akuntan pancasilais”, yaitu akuntan yang memiliki jiwa yang tangguh
(kokoh) selayaknya “batu karang yang teguh” dalam mempertahankan
dan menjaga sikap independen, integritas dan objektivitas, serta
tanggungjawab etika yang bersandar pada nilai spritualitas bangsa.
(Aprianto Kuddy, 2012).
Langkah berikutnya adalah menginternalisasikan Pancasila itu
agar tidak hanya menjadi retorika saja yaitu melalui jalur pendidikan.
(Unti Ludigdo dan Ari Kamayanti ,2012, Pancasila as Accountant Ethics
Imperialism Liberator).
Empat Pilar Pendidikan dihubungkan dengan Ideologi Pancasila
Pendidikan Akuntansi selama ini masih berorientasi Neoliberal
dengan pembelajaran yang mengutamakan rasio dan self interest.
Bernilai homo economicus- socius-relegius. Konsekuensi logisnya model
pembelajaran harus mengedepankan materi akuntansi yang memuat
dua arah, pertama, diletakkan pada situasi ke-Indonesia-an bernilai
adaptif-etis-kritis-intuitif-kreatif. Kedua, pendidikan harus dijalankan
dengan mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Demokratis yang berujung keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menjamin keberlangsungan arah pendidikan akuntansi
diperlukan mata kuliah baru, Akuntansi Ke-Indonesia-an (Aji Dedi
Mulawarman, 2012).
Pancasila juga harus tercermin dalam kebijakan materi
(kurikulum dan satuan ajar) pendidikan, dan dalam proses kegiatan
belajar mengajar. Pendidikan Pancasila dan UUD 1945 juga harus dilihat
dan bahkan terutama sebagai proses kegiatan dalam kegiatan nyata.
(Asshidiqie, 2011, dalam Aji Dedi Mulawarman, 2012).
Menurut Agung Ardiansyah Dari ke-empat pilar pendidikan
yang disampaikan oleh UNESCO, Indonesia sebagai negara Ketuhanan
menambahkan satu pilar berupa Learning to believe and convince the
almighty God (Belajar untuk Beriman dan Bertakwa kepada tuhan yang
maha Esa). Dari pilar inilah Negara Indonesia akan mewujudkan citacita bangsanya yang termaktub dalam UUD 1945 Alinea ke-4 yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan berdasarkan kepada
ketuhanan yang maha Esa (Pancasila sila pertama).
2. Metodelogi
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini merujuk pada tesis
yang disusun oleh Martono anggusti dengan mengunakan teori utilitas
(utilitarisme) yang dipelopori oleh flsuf Inggeris Jeremy Bentham (1748-1832) ,
dan selanjutnya Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh fsuf Inggeris
besar, John Stuart Mill (1806–1873), dalam bukunya Utilitarianism (1864) .
Jeremy Bentham dalam karya tulisnya “An Introduction to the Principles
of Morals and Legislation” menyebutkan : Alam telah menempatkan umat
manusia dibawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya
keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan
12
menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah disatu sisi,
maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan
itu. Keduanya menguasai kita dalam semua hal yang kita lakukan, dalam
semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan: setiap
upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan
menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin
akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka. Azas manfaat (utilitas)
mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem
tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum.
Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan
kata-kata ketimbang maknanya dengan dorongan sesaat ketimbang nalar,
dengan kegelapan ketimbang terang.
Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala
kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan itu; atau, dengan kata lain meningkatkan atau
melawan kebahagiaan itu. Secara lebih konkret, dalam kerangka etika
utilitarianisme dapat dirumuskan 3 (tiga) kriteria objektif yang dapat dijadikan
dasar objektif sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau
tindakan.
Kriteria Pertama, manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu
mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau
tindakan yang baik adalah menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya,
kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan
kerugian tertentu.
Kriteria Kedua, manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau
tindakan itu mendatangkan manfaat besar (atau dalam situasi tertentu lebih
besar) dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan alternatif lainnya.
Atau kalau yang dipertimbangkan adalah soal akibat baik dan akibat buruk dari
suatu kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan
dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat
dibandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu, ketika kerugian tidak
bisa dihindari, dapat dikatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan
yang menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau dibandingkan dengan
kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif).
Kriteria Ketiga, menyangkut pertanyaan manfaat terbesar untuk siapa,
Untuk saya atau kelompokku, atau juga untuk semua orang lain yang terkait,
terpengaruh dan terkena kebijaksanaan atau tindakan yang akan saya ambil?.
Dalam menjawab pertanyaan ini, etika utilitarianisme lalu mengajukan kriteria
ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi, suatu
kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya
mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Sebaliknya, kalau ternyata suatu
kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa mengelak dari kerugian maka
13
kebijaksanaan atau tindakan itu dinilai baik kalau membawa kerugian yang
sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Dalam ekonomi, etika utilitarianisme juga relevan dalam konsep efsiensi
ekonomi. Prinsip efsiensi menekankan agar dengan menggunakan sumber daya
(input) sekecil mungkin dapat dihasilkan produk (output) sebesar mungkin.
Satu pokok yang perlu dicatat adalah bahwa baik etika utilitarianisme maupun
analisis keuntungan dan kerugian pada dasarnya menyangkut kalkulasi
manfaat. Hanya saja, apa yang dikenal dalam etika utilitarianisme sebagai
manfaat (utility), dalam bisnis diterjemahkan sebagai keuntungan. Maka,
prinsip maksimalisasi manfaat ditransfer menjadi maksimalisasi keuntungan.
Sasaran akhir yang hendak dicapai adalah the greatest net benefts atau the
lowest net costs.
Persoalan pokok menyangkut pertanyaan tujuan keuntungan untuk
siapa? Jawabannya adalah bagi sebanyak mungkin pihak terkait yang
berkepentingan, yang berarti juga bagi keuntungan dan kepentingan
perusahaan tersebut. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa
keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut aspek fnansial,
melainkan juga aspek-aspek moral: hak dan kepentingan masyarakat, kepuasan
masyarakat, dan sebagainya, karena itu benefts yang menjadi sasaran utama
semua perusahaan adalah long term net benefts. Dalam kerangka etika Adam
Smith, simpati moral perlu dilengkapi dengan mekanisme penonton tak
berpihak (the impartial spectator), yang tidak lain adalah posisi netral dari orang
ketiga yang akan melihat persoalan yang ada dari sebuah perspektif yang netral
dan objektif .
Utilitarisme disebut lagi suatu teleologis (dari kata Yunani telos =
tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan
dicapainya tujuan perbuatan . Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi
tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik.
Teori utilitas merupakan pengambilan keputusan etika dengan pertimbangan
manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya (the greatest good
for the greatest number). Artinya, bahwa hal yang benar didefnisikan sebagai
hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang
berbahaya bagi kebanyakan orang. Semakin bermanfaat pada semakin banyak
orang, perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan hukum ini
bertahan paling lama dan relatif paling banyak digunakan. Utilitarianism (dari
kata utilis berarti manfaat) sering disebut pula dengan aliran konsekuensialisme
karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan .
Perlu dipahami kalau utilitarisme sangat menekankan pentingnya
konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu
perbuatan, baik buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang
dibawakan olehnya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar,
artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan
masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan
14
membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat, perbuatan itu harus dinilai
buruk. Konsekuensi perbuatan disini memang menentukan seluruh kualitas
moralnya . Prinsip utilitarian menyatakan bahwa : “An action is right from an
ethical point of view if and only if the sum total of utilities produced by that act
is greater than the sum total of utilities produced by any other act the agent
could have performed in its place.” (Suatu tindakan dianggap benar dari sudut
pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari
tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh
tindakan lain yang dilakukan).
Dengan dasar teori diatas bahwa keterlibatan sosial sebagai wujud tanggungjawab sosial perusahaan yang diwajibkan dengan UU No.40/2007 tentang
Perusahaan Terbatas, akan menimbulkan minat, manfaat dan perhatian yang
bermacam ragam, yang pada akhirnya akan mengalihkan, bahkan
mengacaukan perhatian para pimpinan perusahaan. Perhatian yang terbagibagi dan membingungkan itu pada akhirnya merugikan perusahaan karena
akan menurunkan kinerja keseluruhan dari perusahaan tersebut. Apakah
Ideologi Pancasila telah memenuhi etika utilitarianisme maupun kebijaksanaan
dan kegiatan bisnis yang sama-sama bersifat teleologis. Artinya, keduanya
selalu mengacu pada tujuan dan mendasarkan baik buruknya suatu keputusan
(keputusan etis untuk utiliarisme dan keputusan bisnis untuk kebijaksanaan
bisnis) pada tujuan atau akibat atau hasil yang akan diperoleh.
Untuk memunculkan hubungan antara Pancasila dan empat pilar
pendidikan dalam Etika Akuntan dengan menggunakan teori utilitarisme (teori
nilai guna atau manfaat), bagaimana Paradigma Pancasila bermanfaat tidak
hanya individu tapi juga seluruh masyarakat dan sebagai hasilnya dapat
menjadi jiwa dalam pola pendidikan di Indonesia khususnya untuk para
akuntan, dimasa sekarang dan akan datang
3. Diskusi : Relevansi Pancasila, Etika Akuntan dan Empat Pilar
Pendidikan di Indonesia
Berbicara mengenai relevansi akan lebih jelas bila kita lihat tabel
dibawah ini :
15
Tabel 1
Butir-Butir Pancasila, Prinsip Etika dan Empat Pilar Pendidikan
BUTIR-BUTIR
PANCASILA
PRINSIP ETIKA
EMPAT PILAR
PENDIDIKAN
Tiga Puluh Enam
Butir Pancasila sbb:
Delapan Prinsip Etika:
Empat Pilar yang
menjadi
acuan
pendidikan yaitu:
1. Learning
to
Know
Adalah belajar untuk
mengetahui (learning
to
know)
dalam
prosesnya
tidak
sekedar mengetahui
apa yang bermakna
tetapi juga sekaligus
mengetahui apa yang
tidak
bermanfaat
bagi
kehidupan.
Tenaga kependidikan
(Guru,
pelatih,
instruktur, dll) harus
menjadi
inspirator
dalam
pengembangan,
perencanaan,
dan
pembinaan
pendidikan
dan
pembelajaran. Hal ini
juga secara eksplisit
di cantumkan dalam
PP No 19 tahun
2005, yaitu Guru
sebagai
Agent
Pembelajaran harus
menjadi
Fasilitator,
Pemacu,
Motivator,
dan Inspirator bagi
peserta
didik.
Di
samping itu guru
dituntut untuk dapat
berperan
ganda
sebagai
kawan
berdialog
bagi
siswanya
dalam
A. Sila ketuhanan
yang maha esa
6.
Percaya dan
Takwa kepada Tuhan
Yang
Maha
Esa
sesuai dengan agama
dan
kepercayaan
masing-masing
menurut
dasar
kemanusiaan
yang
adil dan beradab.
7.
Hormat
menghormati
dan
bekerjasama
antar
pemeluk agama dan
penganut-penganut
kepercayaan
yang
berbeda-beda
sehingga
terbina
kerukunan hidup.
8.
Saling
menghormati
kebebasan
menjalankan ibadah
sesuai dengan agama
dan kepercayaannya.
9.
Tidak
memaksakan suatu
agama
dan
kepercayaan kepada
orang lain.
10.
Menolak
kepercayaan
atheisme
Indonesia.
di
1.Tanggung
Jawab
profesi
Saat
melaksanakan
tanggung
jawabnya
harus profesional, bagi
tiap - tiap anggota
harus
senantiasa
menggunakan
pertimbangan
moral
dan profesional dalam
semua kegiatan yang
dilakukannya. Sebagai
profesional,
anggota
mempunyai
peran
penting
dalam
masyarakat,
anggota
mempunyai tanggung
jawab kepada semua
pemakai
jasa
profesional
mereka
serta
harus
selalu
bertanggungjawab
untuk bekerja sama
dengan
sesama
anggota
untuk
mengembangkan
profesi akuntansi,
2.Kepentingan Publik
Bagi
semua
anggota
wajib
bertindak
dalam
kerangka
pelayanan
kepada
publik,
menghormati
kepercayaan
publik,
dan
menunjukan
komitmen
atas
profesionalisme. Satu
16
B. Sila kemanusiaan
yang
adil
dan
beradab
9.
Mengakui
persamaan
derajat
persamaan hak dan
persamaan kewajiban
antara
sesama
manusia.
10.
Saling
mencintai
sesama
manusia.
11.
an
rasa.
Mengembangk
sikap tenggang
12.
Tidak
semena-mena
terhadap orang lain.
13.
Menjunjung
tinggi
nilai
kemanusiaan.
14.
Gemar
melakukan kegiatan
kemanusiaan.
15.
Berani
membela kebenaran
dan keadilan.
16.
Bangsa
Indonesia
merasa
dirinya
sebagai
bagian dari seluruh
umat
manusia,
karena
itu
dikembangkan sikap
hormat-menghormati
dan
bekerjasama
dengan bangsa lain.
C. Sila persatuan
indonesia
ciri utama dari suatu
profesi
adalah
penerimaan tanggung
jawab kepada publik.
Profesi
akuntan
memegang peran yang
penting di masyarakat,
dimana publik dari
profesi akuntan yang
terdiri
dari
klien,
pemberi
kredit,
pemerintah,
pemberi
kerja,
pegawai,
investor, dunia bisnis
dan keuangan, dan
pihak
lainnya
bergantung
kepada
obyektivitas
dan
integritas
akuntan
dalam
memelihara
berjalannya
fungsi
bisnis secara tertib.
3. Integritas
Integritas
merupakan
element
karakter
yang
mendasari
lahirnya
pengakuan profesional.
Integritas merupakan
kualitas
yang
melandasi
kepercayaan
publik
dan
merupakan
patokan (benchmark)
bagi anggota dalam
menguji
keputusan
yang diambilnya serta
mengharuskan
seorang
anggota
untuk, antara lain,
bersikap
jujur
dan
berterus terang tanpa
harus mengorbankan
rahasia penerima jasa.
Pelayanan
dan
kepercayaan
publik
tidak boleh dikalahkan
rangka
mengembangkan
penguasaan
pengetahuan siswa.
2.
Learning to
Do (Belajar untuk
melakukan)
Learning to do adalah
belajar
untuk
berkarya.
Setelah
peserta
didik
itu
belajar mengetahui,
belajar
untuk
mencari hal-hal yang
ingin
diketahuinya,
maka peserta didik
tersebut
diiringi
dengan potensi yang
dimilikinya, ia harus
harus
bisa
menghasilkan suatu
karya dari potensi
yang
dimilikinya.
Belajar
merupakan
suatu proses untuk
mengembangkan diri
individu, khususnya
belajar di sini yaitu
dalam
pendidikan
formal
(lingkungan
sekolah).
Didalam
sebuah
pembelajaran
ada
prinsip
aktivitas
(kegiatan) yang harus
dicapai,
Diantaranya :
Hard Skills
:
Keterampilan
yang
menuntut fsik
Soft Skills
:
Keterampilan
yang
menuntut Intelektual
Proses
belajar
Learning
to
Do
mengacu
pada
perubahan
dalam
17
6.
Menempatkan
kesatuan, persatuan,
kepentingan,
dan
keselamatan bangsa
dan negara di atas
kepentingan pribadi
atau golongan.
7.
Rela
berkorban
untuk
kepentingan bangsa
dan negara.
8.
Cinta Tanah
Air dan Bangsa.
9.
Bangga
sebagai
Bangsa
Indonesia dan berTanah Air Indonesia.
10.
Memajukan
pergaulan
demi
persatuan
dan
kesatuan
bangsa
yang
ber-Bhinneka
Tunggal Ika.
D. Sila kerakyatan
yang dipimpin oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan /
perwakilan
8.
Mengutamaka
n kepentingan negara
dan masyarakat.
9.
Tidak
memaksakan
kehendak
kepada
orang lain.
10.
Mengutamaka
n musyawarah dalam
mengambil
keputusan
untuk
kepentingan
oleh
keuntungan
pribadi.
Integritas
dapat
menerima
kesalahan yang tidak
disengaja
dan
perbedaan
pendapat
yang jujur, tetapi tidak
menerima kecurangan
atau
peniadaan
prinsip.
4. Obyektivitas
Bagi
tiap
anggota harus menjaga
obyektivitasnya
dan
bebas dari benturan
kepentingan
dalam
pemenuhan kewajiban
profesionalnya.
Obyektivitasnya ialah
tingkat kualitas yang
memberikan nilai atas
jasa yang diberikan
anggota.
Prinsip
obyektivitas
mengharuskan
anggota bersikap adil,
independen,
jujur
secara
intelektual,
tidak
berprasangka
atau bias, serta bebas
dari
benturan
kepentingan
atau
dibawah
pengaruh
pihak
lain.Anggota
bekerja dalam berbagai
kapasitas
yang
berbeda dan harus
menunjukkan
obyektivitas
mereka
dalam berbagai situasi.
Anggota dalam praktek
publik
memberikan
jasa
atestasi,
perpajakan,
serta
konsultasi manajemen.
5. Kompetensi dan
Kehati-hatian
ranah
kognitif,
peningkatan
kompetensi
serta,
pemilihan
dan
penerimaan
secara
sadar terhadap nilai,
sikap, penghargaan,
perasaan
serta
kemauan
untuk
berbuat
atau
merespon
suatu
stimulus. Pendidikan
membekali manusia
untuk tidak sekedar
mengetahui,
tetapi
lebih
jauh
untuk
terampil berbuat atau
mengerjakan sesuatu
sehingga
menghasilkan
sesuatu
yang
bermakna
bagi
kehidupan.
3.
Learning to
Be (Belajar untuk
menjadi
pribadi
yang utuh)
Learning to Be adalah
belajar
untuk
menjadi sesuatu atau
berkembang menjadi
pribadi
yang
seutuhnya.
Dalam
proses ini peserta
didik
diharapkan
dapat belajar menjadi
pribadi yang kreatif,
berwawasan,
memiliki
pengetahuan
yang
utuh serta mampu
menguasai ilmu yang
di tempuhya selama
proses
pendidikan
dilakasanakan.
Pengusaaan
18
bersama.
11.
Musyawarah
untuk
mencapai
mufakat
diliputi
semangat
kekeluargaan.
12.
Dengan itikad
baik
dan
rasa
tanggung
jawab
menerima
dan
melaksanakan hasil
musyawarah.
13.
Musyawarah
dilakukan
dengan
akal sehat dan sesuai
dengan hati nurani
yang luhur.
14.
Keputusan
yang diambil harus
dapat dipertanggung
jawabkan
secara
moral kepada Tuhan
Yang
Maha
Esa,
menjunjung
tinggi
harkat dan martabat
manusia serta nilainilai kebenaran dan
keadilan.
E.
Sila
keadilan
sosial bagi seluruh
rakyat indonesia
13.
Mengembangk
an
perbuatanperbuatan
yang
luhur
yang
mencerminkan sikap
dan
suasana
kekeluargaan
dan
gotong-royong.
14.
Bersikap adil.
15.
Menjaga
Profesional
Bagi
tiap
anggota
harus
melaksanakan
jasa
profesionalnya dengan
berhati-hati,
kompetensi
dan
ketekunan,
serta
mempunyai kewajiban
untuk
mempertahankan
pengetahuan
dan
ketrampilan
profesional
pada
tingkat
yang
diperlukan
untuk
memastikan
bahwa
klien atau pemberi
kerja
memperoleh
manfaat
dari
jasa
profesional dan teknik
yang paling mutakhir.
6. Kerahasiaan
Bagi
tiap
anggota
harus
menghormati
kerahasiaan informasi
yang diperoleh selama
melakukan
jasa
profesional dan tidak
boleh memakai atau
mengungkapkan
informasi
tersebut
tanpa
persetujuan,
kecuali bila ada hak
atau
kewajiban
profesional
atau
hukum
untuk
mengungkapkannya.
Kepentingan
umum
dan profesi menuntut
bahwa standar profesi
yang
berhubungan
dengan
kerahasiaan
didefnisikan
bahwa
terdapat
panduan
mengenai sifat sifat
pengetahuan
dan
keterampilan
merupakan
bagian
dari proses menjadi
pribadi yang utuh
(learning
to
be).
Menjadi pribadi yang
utuh dalam hal ini
dapat
diartikan
sebagai
proses
pemahaman
terhadap kebutuhan
dan jati diri. Belajar
berperilaku
sesuai
norma dan kaidah
yang berlaku dalam
masyarakat, belajar
menjadi pribadi yang
berhasil
sesungguhnya
merupakan
proses
pencapaian
aktualisasi
diri.
Selain
itu,
pendidikan
dalam
learning to be juga
harus bermuara pada
bagaimana
peserta
didik menjadi lebih
manusaiwi
dan
menjadi
manusia
yang
berperikemanusiaan.
4.
Learning to
live
Together
(Belajar untuk hidup
bersama)
Setelah
memahami
konsep
menjadi
pribadi yang utuh
diharapkan
peserta
didik
mampu
mempelajari
bagaimana
caranya
untuk dapat hidup
baik
bersama
masyarakat
dalam
19
keseimbangan antara
hak dan kewajiban.
16.
Menghormati
hak-hak orang lain.
17.
Suka
memberi pertolongan
kepada orang lain.
18.
Menjauhi
sikap
pemerasan
terhadap orang lain.
19.
Tidak bersifat
boros.
20.
Tidak bergaya
hidup mewah.
21.
Tidak
melakukan
perbuatan
yang
merugikan
kepentingan umum.
22.
Suka bekerja
keras.
23.
hasil
lain.
24.
Menghargai
karya orang
Bersamasama
berusaha
mewujudkan
kemajuan
yang
merata
dan
berkeadilan sosial.
dan luas kewajiban
kerahasiaan
serta
mengenai
berbagai
keadaan
di
mana
informasi
yang
diperoleh
selama
melakukan
jasa
profesional dapat atau
perlu diungkapkan
7.Perilaku Profesional
Bagi
Tiap
anggota
harus
berperilaku
yang
konsisten
dengan
reputasi profesi yang
baik dan menjauhi
tindakan yang dapat
mendiskreditkan
profesi.
Kewajiban
untuk
menjauhi
tingkah
laku
yang
dapat mendiskreditkan
profesi harus dipenuhi
oleh anggota sebagai
perwujudan tanggung
jawabnya
kepada
penerima jasa, pihak
ketiga, anggota yang
lain,
staf,
pemberi
kerja dan masyarakat
umum.
8. Standar Teknis
Bagi
tiap
anggota
harus
melaksanakan
jasa
profesionalnya sesuai
dengan standar teknis
dan
standar
profesional
yang
relevan. Sesuai dengan
keahliannya
dan
dengan
berhati-hati,
anggota
mempunyai
kewajiban
untuk
melaksanakan
penugasan
dari
penerima jasa selama
lingkungannya.
Dalam
prosesnya
kebiasaan
hidup
bersama,
saling
menghargai, terbuka,
memberi
dan
menerima
perlu
dikembangkan
disekolah. Kebiasaan
inilah yang nantinya
akan menghasilkan
tumbuhnya
sikap
saling
memahami,
mengerti
dan
toleransi antar ras,
suku dan agama.
Pendidikan
di
sekolah juga harus
merangsang soft skill
peserta
didik
sehingga
kelak
mereka
mampu
hidup dan bekerja
sama dengan orang
lain. Bahkan mereka
akan peka terhadap
suka
duka
orang
lain.
Dari ke-empat
pilar pendidikan yang
disampaikan
oleh
UNESCO
tersebut
Indonesia
sebagai
negara
Ketuhanan
menambahkan satu
pilar berupa Learning
to
believe
and
convince the almighty
God (Belajar untuk
Beriman
dan
Bertakwa
kepada
tuhan yang maha
Esa). Dari pilar inilah
Negara
Indonesia
akan
mewujudkan
cita-cita
bangsanya
20
penugasan
tersebut
sejalan dengan prinsip
integritas
dan
obyektivitas. Standar
teknis dan standar
professional
yang
harus ditaati anggota
adalah standar yang
dikeluarkan
oleh
Ikatan
Akuntan
Indonesia.
Internasional
Federation
of
Accountants
(IFAC),
badan pengatur, dan
pengaturan
perundang-undangan
yang relevan
yang
termaktub
dalam UUD 1945
Alinea
ke-4
yaitu
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dengan berdasarkan
kepada
ketuhanan
yang maha Esa.
Sumber : Data diolah
Dilihat dari penjelasan tiga kolom diatas terdapat keterkaitan yan
PARADIGMA PANCASILA UNTUK MELAHIRKAN AKUNTAN PANCASILAIS
Monika Handayani
Politeknik Negeri Banjarmasin
[email protected]
Abstrak
Berbagai Kasus yang berhubungan dengan Etika akuntansi seperti
Enron, Tyco International, Adelphia, Peregrine Systems dan WorldCom, yang
terjadi di luar negeri sehingga dikeluarkannya Undang-Undang Sarbanes-Oxley
(Sarbanes-Oxley Act of 2002, Public Company Accounting Reform and Investor
Protection Act of 2002) Akta ini terdiri dari 11 judul atau bagian yang
menetapkan hal-hal mulai dari tanggung jawab tambahan Dewan Perusahaan
hingga hukuman pidana. Di Indonesia Kasus-kasus yang berkaitan Etika juga
tidak kalah banyaknya diantaranya : kasus PT KAI, kasus KPMG Sidharta
sidharta & Harsono, kasus Mulyana W. Kusuma , kasus Sembilan KAP, Kasus
PT Telkom, Bank Lippo, Gayus, Bank century dll.
Apakah Kode etik yang ada di Indonesia tidak representatif dengan
masyarakat Indonesia dan budaya Indonesia? dan Apakah hanya kode etik yang
menjadi acuan Moral seorang auditor? .Artikel ini berusaha untuk menjawab
dengan cara menghubungkan ideology Pancasila dengan kode etik akuntan dan
empat pilar pendidikan di Indonesia. Pendekatan teori utilitas (utilitarisme) yang
dipelopori oleh flsuf Inggeris Jeremy Bentham (1748-1832) , dan selanjutnya
Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh fsuf Inggeris besar, John
Stuart Mill (1806–1873), dalam bukunya Utilitarianism (1864) untuk
menjelaskan bahwa keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut
aspek fnansial, melainkan juga aspek-aspek moral: hak dan kepentingan
masyarakat, kepuasan masyarakat, terkait dengan nilai-nilai pancasila.
Dengan masuknya paradigma pancasila dalam pilar pendidikan dan
kode etik akuntan di Indonesia diharapkan akan lahir akuntan-akuntan yang
“pancasilais”
yaitu
akuntan
yang
berketuhanan,
akuntan
yang
berperikemanusiaan dan beradab, akuntan berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat dalam kebijaksanaan serta akuntan yang berkeadilan dalam ranah
persatuan bangsa Indonesia, artikel ini juga dapat menjadi bahan untuk
penelitian selanjutnya yangn berhubungan dengan etika akuntan, paradigm
pancasila dan empat pilar pendidikan di Indonesia.
Kata Kunci : Etika Akuntan, Empat Pilar Pendidikan, Paradigma
Pancasila, Akuntan Pancasilais
1
ACCOUNTANT ETHIC AND FOUR PILLARS VIEW OF PANCASILA
PARADIGM TO BORN PANCASILAIST ACCOUNTANT
Monika Handayani
Polytechnic Banjarmasin
[email protected]
Abstract
Various cases related to accounting ethics such as Enron, Tyco
International, Adelphia, Peregrine Systems and WorldCom, which occurred
abroad so that the enactment of the Sarbanes-Oxley Act (Sarbanes-Oxley
Act of 2002, Public Company Accounting Reform and Investor Protection
Act of 2002) this act consists of 11 titles or parts of the set of things
ranging from the additional responsibility of the Board of the Company to
criminal prosecution. In Indonesia cases relating Ethics also not lose many
of them: the case of PT KAI, KPMG case Sidhartha Sidhartha & Harsono,
case Mulyana W. Kusuma, KAP Nine cases, Case PT Telkom, Bank Lippo,
Gaius, Bank Century etc.
What is the Code of Conduct in Indonesia are not representative
with Indonesian and Indonesian culture? and Is the only code of ethics is
the reference Moral an auditor? This article seeks to answer by connecting
the ideology of Pancasila with the code of conduct accountant and the four
pillars of education in Indonesia. Utility theory approach (utilitarianism)
pioneered by the British philosopher Jeremy Bentham (1748-1832), and
subsequently refned utilitarianism and strengthened again by the great
British fsuf, John Stuart Mill (1806-1873), in his book Utilitarianism
(1864) to explain that the proft and a loss here is not only about the
fnancial aspect, but also the moral aspects: the rights and interests of the
community, community satisfaction, associated with the values of
Pancasila.
With the entry of Pancasila paradigm in education and ethical pillars
accountant in Indonesia is expected to be born accountants "Pancasila",
accountant berketuhanan, humane and civilized accountants, accountants
berkerakyatan led by the wisdom of the wisdom and justice in the realm of
2
accounting national unity Indonesia, this article can also be a matter for
further research related to ethics of accountants, the paradigm of Pancasila
and the four pillars of education in Indonesia.
Keywords: Accounting Ethics, Four Pillars of Education, Paradigm
Pancasila, Accountant Pancasilaist
PENDAHULUAN
Skandal Enron terungkap pada bulan Oktober 2001, yang akhirnya
mengarah pada kebangkrutan dari Perusahaan Enron , sebuah perusahaan
energi Amerika yang berbasis di Houston, Texas , dan pembubaran de facto dari
Arthur Andersen , yang merupakan salah satu dari lima terbesar Kantor
Akuntan Publik di dunia. Selain menjadi reorganisasi kebangkrutan terbesar
dalam sejarah Amerika pada waktu itu, Enron disebabkan sebagai kegagalan
audit terbesar. Setahun kemudian tepatnya 1 Juli 2002 harga saham Worldcom
anjlok dari $64,5 menjadi $2 dan akhirnya turun lagi menjadi kurang 1 sen
yang mengakibatkan kebangkrutan perusahaan tersebut, Pada masa-masa itu
WorldCom menggunakan jasa KAP Arthur Andersen sebagai auditor eksternal
independen. Sedangkan Arthur Andersen sendiri terlilit skandal Enron tidak
lama yang lalu. Jadi bisa dibilang kredibilitas KAP Arthur Andersen sendiri
mulai dipertanyakan.
Sarbanes-Oxley (Sarbanes-Oxley Act of 2002, Public Company Accounting
Reform and Investor Protection Act of 2002) atau kadang disingkat SOx atau
Sarbox adalah hukum federal Amerika Serikat yang ditetapkan pada 30 Juli
2002 sebagai tanggapan terhadap sejumlah skandal akuntansi perusahaan
besar yang termasuk di antaranya melibatkan Enron, Tyco International,
Adelphia, Peregrine Systems dan WorldCom. Skandal-skandal yang
menyebabkan kerugian bilyunan dolar bagi investor karena runtuhnya harga
saham
perusahaan-perusahaan
yang
terpengaruh
ini
mengguncang
kepercayaan masyarakat terhadap pasar saham nasional. Akta yang diberi
nama berdasarkan dua sponsornya, Senator Paul Sarbanes (D-MD) and
Representatif Michael G. Oxley (R-OH), ini disetujui oleh Dewan dengan suara
423-3 dan oleh Senat dengan suara 99-0 serta disahkan menjadi hukum oleh
Presiden George W. Bush.
3
Perundang-undangan ini menetapkan suatu standar baru dan lebih baik
bagi semua dewan dan manajemen perusahaan publik serta kantor akuntan
publik walaupun tidak berlaku bagi perusahaan tertutup. Akta ini terdiri dari
11 judul atau bagian yang menetapkan hal-hal mulai dari tanggung jawab
tambahan Dewan Perusahaan hingga hukuman pidana. Sarbox juga menuntut
Securities and Exchange Commission (SEC) untuk menerapkan aturan
persyaratan baru untuk menaati hukum ini.
Sarbox menetapkan suatu lembaga semi pemerintah, Public Company
Accounting Oversight Board (PCAOB), yang bertugas mengawasi, mengatur,
memeriksa, dan mendisiplinkan kantor-kantor akuntan dalam peranan mereka
sebagai auditor perusahaan publik. Sarbox juga mengatur masalah-masalah
seperti kebebasan auditor, tata kelola perusahaan, penilaian pengendalian
internal, serta pengungkapan laporan keuangan yang lebih dikembangkan.
Kasus pelanggaran etika yang terjadi di Indonesia diantaranya kasus PT
KAI yang melibatkan akuntan Indonesia, auditor eksternal yang dipercayai
harus benar-benar memiliki integritas serta prosesnya harus terlaksana itu,
komunikasi antara eksternal auditor dan internal auditor harus dilakukan
secara benar sehingga membangun kesepahaman diantara selusurh unsure
lembaga, kasus yang lain adalah kasus KPMG Sidharta sidharta & Harsono
yang juga melibatkan Kantor Akuntan Publik yang dinilai terlalu memihak
kepada kliennya, prinsip etika yang dilanggar adalah intigritas, kasus
berikutnya adalah kasus Mulyana W. Kusuma sekitar tahun 2004, Mulyana
kepergok tangan melakukan penyuapan kepada seorang auditor BPK Salman
Khairiansyah, walaupun ternyata Salman bekerjasama dengan KPK untuk
melakukan penjebakan, tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi
kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan berdasarkan
pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W.
Kusuma walaupun untuk tujuan mulia. Prinsip yang dilanggar adalah
integritas, objektivitas dan independensi.
Kasus selanjutnya adalah kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan
kolusi dengan kliennya, Sembilan KAP yang berdasarkan laporan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi
dengan pihak bank yang diauditnya antara tahun 1995-1997, menurut BPKP
Sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit 36 Bank bermasalah
ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit. Hasil audit
tersebut ternyata tidak sesuai kenyataannya sehingga mayoritas bank-bank
yang diaudit tersebut termasuk diantara bank-bank yang dibekukan usahanya
oleh pemerintah pada tahun 1999, prinsip yang dilanggar oleh KAP-KAP
tersebut adalah integritas dan tanggungjawab, dimana seharusnya auditor
melakukan tanggungjawab sebagai professional yang senantiasa menggunakan
pertimbangan moral dan professional dalam setiap kegiatan yang dilakukannya.
Dan kasus-kasus lain seperti Kasus PT Telkom, Bank Lippo, Gayus, Bank
century dan lain-lain merupakan rentetan kasus yang terjadi di Indonesia ikut
melibatkan para akuntan.
Profesi akuntan dan khususnya para auditor sangatlah berarti. Berbagai
peristiwa telah memberi tatangan tetapi juga kesempatan dan pertumbuhan
yang besar. Belum pernah permintaan atas akuntan yang andal dan auditor
dengan integritas tinggi menjadi sangat tinggi. Kantor Akuntan Publik (KAP) dan
4
auditor seharusnya bisa bersikap independen, dan jangan sampai kehilangan
objektivitasnya dalam mengaudi laporan keuangan dan mengevaluasi metode
akuntansi perusahaan yang diauditnya.juga menjungjung tinggi independensi,
profesionalisme dan tidak melakukan pelanggaran kode etik profesi dan ingkar
dari profesi maupun masyarakat. Agar fenomena mega skandal seperti Enron
dan WorldCom dan kasus-kasus di Indonesia tidak terulang kembali. Kejadiankejadian tersebut telah memberikan lonceng peringatan kepada para akuntan,
maka diharapkan profesi ini akan menjadi lebih kuat dan dinilai lebih tinggi
dari sebelumnya.
Permasalahan diatas menimbulkan beberapa pertanyaan: Apakah Kode
etik yang ada di Indonesia tidak representatif dengan masyarakat Indonesia dan
budaya Indonesia? Sebagaimana kita ketahui kode etik akuntan yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan IAPI (Institut Akuntan
Publik Indonesia) mengadopsi dari kode etik akuntan yang dikeluarkan oleh
American Institute Accountant Public (AICPA) dan International Federation
Accountant (IFAC). Apakah hanya kode etik yang menjadi acuan Moral seorang
auditor? Jauh sebelum kita membicarakan kode etik ada hal yang paling
mendasar dalam pendidikan karakter atau moral bangsa yaitu pola pendidikan
di Indonesia, yang kelak akan menghasilkan para akuntan, politisi, pengusaha,
pengajar, dll,
Berdasarkan survey United Nations Educational, Scientifc and Cultural
Organizations (UNESCO) terhadap pendidikan di Negara-negara berkembang di
Asia Pasifc, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan
untuk kualitas para guru, kualitasnya berada pada level 14 dari 14 negara
berkembang, dan yang tidak bisa kita pungkiri adalah tenaga kerja kita yang
bekerja ke luar negeri hanya bisa bekerja sebagai pembantu dan buruh karena
level pendidikan yang rendah, dalam upaya untuk meningkatkan kualitas suatu
bangsa tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan.
Berangkat dari pemikiran itu UNESCO dalam program MDG’s bidang
pendidikan mencanangkan 4 (empat) pilar pendidikan sekarang dan masa
depan yaitu : 1). Learning to know, 2). Learning to do, 3) Learning to Be, dan 4)
Learning tio Live together.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang dikemukakan diatas,
keraguan terhadap nilai-nilai barat yang melekat pada kode etik Indonesia
semakin besar, di bawah perspektif kritis, internalisasi nilai-nilai luhur
Indonesia pada kode etik akuntan Indonesia dapat membantu skandal
akuntansi di Indonesia, nilai-nilai pancasila memiliki relevansi dengan kode etik
akuntan, dan pada akhirnya akan membebaskan akuntan dari imperialisme
etika.(Unti Ludigdo dan Ari Kamayanti ,2012, Pancasila as Accountant Ethics
Imperialism Liberator), Ada empat pilar pendidikan yang juga merupakan dasar
dari pendidikan moral bangsa, Tulisan ini berusaha memberikan gambaran
kritis tentang bagaimana paradigma Pancasila dihubungkan dengan kode etik
akuntan dan empat pilar pendidikan di Indonesia yang tujuannya untuk
menghasilkan akuntan Indonesia agar memiliki moral yang sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
PEMBAHASAN
5
1. Tinjauan Literatur
a. Etika Akuntan
Etika (Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”)
adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama flsafat
yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
b. Etika Profesi Akuntansi
Yaitu suatu ilmu yang membahas perilaku perbuatan baik dan
buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia
terhadap pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus sebagai Akuntan.
8 Prinsip Kode etik akuntan Indonesia memuat prinsip etika
sebagai berikut :
1. Tanggung Jawab profesi
Saat melaksanakan tanggung jawabnya harus profesional, bagi
tiap - tiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral
dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai
profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat,
anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa
profesional mereka serta harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja
sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi,
2. Kepentingan Publik
Bagi semua anggota wajib bertindak dalam kerangka pelayanan
kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan
komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi
adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan
memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi
akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi
kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya
bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib.
3. Integritas
Integritas merupakan element karakter yang mendasari lahirnya
pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi
kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota
dalam menguji keputusan yang diambilnya serta mengharuskan seorang
anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa
harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan
publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat
menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang
jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
4. Obyektivitas
Bagi tiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari
benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
Obyektivitasnya ialah tingkat kualitas yang memberikan nilai atas jasa
yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota
6
bersikap adil, independen, jujur secara intelektual, tidak berprasangka
atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah
pengaruh pihak lain.Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang
berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai
situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi,
perpajakan, serta konsultasi manajemen.
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Bagi tiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya
dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai
kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan
profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa
klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan
teknik yang paling mutakhir.
6. Kerahasiaan
Bagi tiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang
diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai
atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila
ada
hak
atau
kewajiban
profesional
atau
hukum
untuk
mengungkapkannya. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa
standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefnisikan
bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban
kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang
diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu
diungkapkan
7. Perilaku Profesional
Bagi Tiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang
dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai
perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga,
anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
8. Standar Teknis
Bagi tiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai
dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai
dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama
penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota
adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Internasional Federation of Accountants (IFAC), badan pengatur, dan
pengaturan perundang-undangan yang relevan
c. Empat Pilar Pendidikan
Adalah Pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa.
Empat Pilar yang menjadi acuan pendidikan yaitu:
1. Learning to Know (Belajar untuk mengetahui)
7
Adalah belajar untuk mengetahui (learning to know)
dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang
bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak
bermanfaat bagi kehidupan. Tenaga kependidikan (Guru,
pelatih, instruktur, dll) harus menjadi inspirator dalam
pengembangan, perencanaan, dan pembinaan pendidikan dan
pembelajaran. Hal ini juga secara eksplisit di cantumkan
dalam PP No 19 tahun 2005, yaitu Guru sebagai Agent
Pembelajaran harus menjadi Fasilitator, Pemacu, Motivator,
dan Inspirator bagi peserta didik. Di samping itu guru
dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan
berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan
penguasaan pengetahuan siswa.
2.
Learning to Do (Belajar untuk melakukan)
Learning to do adalah belajar untuk berkarya. Setelah
peserta didik itu belajar mengetahui, belajar untuk mencari
hal-hal yang ingin diketahuinya, maka peserta didik tersebut
diiringi dengan potensi yang dimilikinya, ia harus harus bisa
menghasilkan suatu karya dari potensi yang dimilikinya.
Belajar merupakan suatu proses untuk mengembangkan diri
individu, khususnya belajar di sini yaitu dalam pendidikan
formal (lingkungan sekolah).
Didalam sebuah pembelajaran ada prinsip aktivitas (kegiatan)
yang harus dicapai, Diantaranya :
Hard Skills
: Keterampilan yang menuntut fsik
Soft Skills
: Keterampilan yang menuntut
Intelektual
Proses belajar Learning to Do mengacu pada perubahan
dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi serta,
pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai,
sikap, penghargaan, perasaan serta kemauan untuk berbuat
atau merespon suatu stimulus. Pendidikan membekali
manusia untuk tidak sekedar mengetahui, tetapi lebih jauh
untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga
menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
3.
Learning to Be (Belajar untuk menjadi pribadi yang
utuh)
Learning to Be adalah belajar untuk menjadi sesuatu
atau berkembang menjadi pribadi yang seutuhnya. Dalam
proses ini peserta didik diharapkan dapat belajar menjadi
pribadi yang kreatif, berwawasan, memiliki pengetahuan yang
utuh serta mampu menguasai ilmu yang di tempuhya selama
proses pendidikan dilakasanakan. Pengusaaan pengetahuan
dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi
pribadi yang utuh (learning to be). Menjadi pribadi yang utuh
dalam hal ini dapat diartikan sebagai proses pemahaman
8
terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai
norma dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat, belajar
menjadi pribadi yang berhasil sesungguhnya merupakan
proses pencapaian aktualisasi diri. Selain itu, pendidikan
dalam learning to be juga harus bermuara pada bagaimana
peserta didik menjadi lebih manusaiwi dan menjadi manusia
yang berperikemanusiaan.
4.
Learning to live Together (Belajar untuk hidup
bersama)
Setelah memahami konsep menjadi pribadi yang utuh
diharapkan peserta didik mampu mempelajari bagaimana
caranya untuk dapat hidup baik bersama masyarakat dalam
lingkungannya. Dalam prosesnya kebiasaan hidup bersama,
saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu
dikembangkan disekolah. Kebiasaan inilah yang nantinya
akan menghasilkan tumbuhnya sikap saling memahami,
mengerti dan toleransi antar ras, suku dan agama.
Pendidikan di sekolah juga harus merangsang soft skill
peserta didik sehingga kelak mereka mampu hidup dan
bekerja sama dengan orang lain. Bahkan mereka akan peka
terhadap suka duka orang lain.
d. Paradigma Pancasila
Pancasila sebagai paradigm kehidupan berbangsa dan bernegara,
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengembangkan
kehidupan nasional. Pancasila digunakan sebagai asumsi dasar yang
bisa mengarahkan dan menggerakan kearah yang dikehendaki oleh
bangsa dan Negara sebagai consensus nasional (Noor Ms Bakry, 2010,
343).
Paradigma merupakan model dalam teori ilmu pengetahuan atau
sebagai kerangka berpikir ilmu pengetahuan, sehingga batasan
mengenai pengertian “paradigm” dapat dinyatakan yaitu sebagai
keutuhan konseptual yang sarat dengan muatan ajaran, teori, dalil,
bahkan pandangan hidup, untuk dijadikan dasar dan arah
pengembangan ilmu pengetahuan. Paradigma dapat cenderung berfungsi
sebagai ideology (Koento Wibisono,Dirjen Dikti, 2002).
Dalam perubahan tata nilai ini, bangsa Indonesia harus dapat
menyusun strategi kebudayaan, yang menggunakan nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia sendiri dalam Pancasila, Sebagai kerrangka acuan
untuk membina dan mengembangkan ilmu pengetahuan, demi dan atas
nama peningkatan harkat dan martabat manusia Indonesia. (Noor Ms
Bakry, 2010, 346).
Kelima asas dalam Pancasila dijabarkan menjadi 36 butir
pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Ini
ditetapkan dalam Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia
Pancakarsa.
A. Sila ketuhanan yang maha esa
9
1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama
dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.
2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
5. Menolak kepercayaan atheisme di Indonesia.
B. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab
1. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
2. Saling mencintai sesama manusia.
3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan
bekerjasama dengan bangsa lain.
C. Sila persatuan indonesia
1. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan
bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3. Cinta Tanah Air dan Bangsa.
4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berBhinneka Tunggal Ika.
D. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan
1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil musyawarah.
6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur.
7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
10
2. Bersikap adil.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak-hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
7. Tidak bersifat boros.
8. Tidak bergaya hidup mewah.
9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
10. Suka bekerja keras.
11. Menghargai hasil karya orang lain.
12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
e. Etika Akuntan dihubungkan dengan Ideologi Pancasila
Pancasila adalah 'philosophische grondslag' yang di atasnya
kebebasan negara itu dibangun (Asshiddiqie 2011). Penulisan ini
memperkuat bahwa Pancasila dapat menjadi pengabaian imperialisme
etis yang saat ini berkuasa. Hal yang lebih penting untuk diingat adalah
bahwa
Pancasila
benar-benar
menjelaskan
hubungan
antara
spiritualitas dengan etika. Ma'arif (2011, p. 59) menjelaskan bahwa
semua nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila sangat jelas.
Prinsip pertama yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa" memberikan dasar
yang kuat untuk kehidupan beragama, baik tulus dan otentik. Prinsip
kedua Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia sangat dekat
dengan etika akuntan, keadilan memiliki konsekuensi mengenai
kepentingan pemangku kepentingan tertentu tanpa meniadakan
kepentingan lainnya, bagian yang lebih penting dari prinsip kedua ini
adalah peradaban, yang berkaitan dengan kesatuan, jika prinsip ini
dikombinasikan dengan prinsip ke tiga, yaitu kesatuan Indonesia, maka
peradaban masih harus mempromosikan kepentingan bangsa secara
keseluruhan.Jika dikaitkan dengan Lima sila, keputusan untuk
bergabung dengan badan-badan yang berkuasa, disamping kehilangan
kemerdekaan, juga mempersulit pemenuhan keadilan social. Dengan
pelaksanaan Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai dengan PP no 71
tahun 2010, misnya, penyediaan layanan yang harus diterapkan secara
gratis atau dengan sedikit biaya untuk masyarakat, telah
diliberalisasikan atau dikomersialkan, Connolly & Hyndman (2006)
menjelaskan bahwa hal itu juga harus diingat, bahwa sector public tidak
seperti sector swasta yang mempromosikan proftabilitas dan posisi
keuangan. Partisipasi IAI dengan badan-badan professional tidak selalu
mampu memberikan keaddilan social bagi rakyat Indonesia. (Unti
Ludigdo dan Ari Kamayanti ,2012, Pancasila as Accountant Ethics
Imperialism Liberator).
Mengutip istilah Bung Karno, “mengambil apinya pancasila,
bukan abunya.” Kalau Pancasila sebagai dasar Negara, maka akuntan
harus menjadi jiwa dan pedoman dari semua semua kebijakan yang
berakar dari nilai Pancasila dalam menjalankan profesinya. Ketika
profesi akuntan mampu mewujudkan nilai-nilai pancasila dalam tugas
11
f.
profesinya, sehingga akuntan-akuntan ini akan disebut sebagai “
akuntan pancasilais”, yaitu akuntan yang memiliki jiwa yang tangguh
(kokoh) selayaknya “batu karang yang teguh” dalam mempertahankan
dan menjaga sikap independen, integritas dan objektivitas, serta
tanggungjawab etika yang bersandar pada nilai spritualitas bangsa.
(Aprianto Kuddy, 2012).
Langkah berikutnya adalah menginternalisasikan Pancasila itu
agar tidak hanya menjadi retorika saja yaitu melalui jalur pendidikan.
(Unti Ludigdo dan Ari Kamayanti ,2012, Pancasila as Accountant Ethics
Imperialism Liberator).
Empat Pilar Pendidikan dihubungkan dengan Ideologi Pancasila
Pendidikan Akuntansi selama ini masih berorientasi Neoliberal
dengan pembelajaran yang mengutamakan rasio dan self interest.
Bernilai homo economicus- socius-relegius. Konsekuensi logisnya model
pembelajaran harus mengedepankan materi akuntansi yang memuat
dua arah, pertama, diletakkan pada situasi ke-Indonesia-an bernilai
adaptif-etis-kritis-intuitif-kreatif. Kedua, pendidikan harus dijalankan
dengan mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Demokratis yang berujung keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menjamin keberlangsungan arah pendidikan akuntansi
diperlukan mata kuliah baru, Akuntansi Ke-Indonesia-an (Aji Dedi
Mulawarman, 2012).
Pancasila juga harus tercermin dalam kebijakan materi
(kurikulum dan satuan ajar) pendidikan, dan dalam proses kegiatan
belajar mengajar. Pendidikan Pancasila dan UUD 1945 juga harus dilihat
dan bahkan terutama sebagai proses kegiatan dalam kegiatan nyata.
(Asshidiqie, 2011, dalam Aji Dedi Mulawarman, 2012).
Menurut Agung Ardiansyah Dari ke-empat pilar pendidikan
yang disampaikan oleh UNESCO, Indonesia sebagai negara Ketuhanan
menambahkan satu pilar berupa Learning to believe and convince the
almighty God (Belajar untuk Beriman dan Bertakwa kepada tuhan yang
maha Esa). Dari pilar inilah Negara Indonesia akan mewujudkan citacita bangsanya yang termaktub dalam UUD 1945 Alinea ke-4 yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan berdasarkan kepada
ketuhanan yang maha Esa (Pancasila sila pertama).
2. Metodelogi
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini merujuk pada tesis
yang disusun oleh Martono anggusti dengan mengunakan teori utilitas
(utilitarisme) yang dipelopori oleh flsuf Inggeris Jeremy Bentham (1748-1832) ,
dan selanjutnya Utilitarisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh fsuf Inggeris
besar, John Stuart Mill (1806–1873), dalam bukunya Utilitarianism (1864) .
Jeremy Bentham dalam karya tulisnya “An Introduction to the Principles
of Morals and Legislation” menyebutkan : Alam telah menempatkan umat
manusia dibawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya
keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan
12
menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah disatu sisi,
maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan
itu. Keduanya menguasai kita dalam semua hal yang kita lakukan, dalam
semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan: setiap
upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan
menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin
akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka. Azas manfaat (utilitas)
mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem
tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum.
Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan
kata-kata ketimbang maknanya dengan dorongan sesaat ketimbang nalar,
dengan kegelapan ketimbang terang.
Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala
kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan itu; atau, dengan kata lain meningkatkan atau
melawan kebahagiaan itu. Secara lebih konkret, dalam kerangka etika
utilitarianisme dapat dirumuskan 3 (tiga) kriteria objektif yang dapat dijadikan
dasar objektif sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau
tindakan.
Kriteria Pertama, manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu
mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau
tindakan yang baik adalah menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya,
kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan
kerugian tertentu.
Kriteria Kedua, manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau
tindakan itu mendatangkan manfaat besar (atau dalam situasi tertentu lebih
besar) dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan alternatif lainnya.
Atau kalau yang dipertimbangkan adalah soal akibat baik dan akibat buruk dari
suatu kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan
dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat
dibandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu, ketika kerugian tidak
bisa dihindari, dapat dikatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan
yang menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau dibandingkan dengan
kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif).
Kriteria Ketiga, menyangkut pertanyaan manfaat terbesar untuk siapa,
Untuk saya atau kelompokku, atau juga untuk semua orang lain yang terkait,
terpengaruh dan terkena kebijaksanaan atau tindakan yang akan saya ambil?.
Dalam menjawab pertanyaan ini, etika utilitarianisme lalu mengajukan kriteria
ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi, suatu
kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya
mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Sebaliknya, kalau ternyata suatu
kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa mengelak dari kerugian maka
13
kebijaksanaan atau tindakan itu dinilai baik kalau membawa kerugian yang
sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Dalam ekonomi, etika utilitarianisme juga relevan dalam konsep efsiensi
ekonomi. Prinsip efsiensi menekankan agar dengan menggunakan sumber daya
(input) sekecil mungkin dapat dihasilkan produk (output) sebesar mungkin.
Satu pokok yang perlu dicatat adalah bahwa baik etika utilitarianisme maupun
analisis keuntungan dan kerugian pada dasarnya menyangkut kalkulasi
manfaat. Hanya saja, apa yang dikenal dalam etika utilitarianisme sebagai
manfaat (utility), dalam bisnis diterjemahkan sebagai keuntungan. Maka,
prinsip maksimalisasi manfaat ditransfer menjadi maksimalisasi keuntungan.
Sasaran akhir yang hendak dicapai adalah the greatest net benefts atau the
lowest net costs.
Persoalan pokok menyangkut pertanyaan tujuan keuntungan untuk
siapa? Jawabannya adalah bagi sebanyak mungkin pihak terkait yang
berkepentingan, yang berarti juga bagi keuntungan dan kepentingan
perusahaan tersebut. Yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa
keuntungan dan kerugian disini tidak hanya menyangkut aspek fnansial,
melainkan juga aspek-aspek moral: hak dan kepentingan masyarakat, kepuasan
masyarakat, dan sebagainya, karena itu benefts yang menjadi sasaran utama
semua perusahaan adalah long term net benefts. Dalam kerangka etika Adam
Smith, simpati moral perlu dilengkapi dengan mekanisme penonton tak
berpihak (the impartial spectator), yang tidak lain adalah posisi netral dari orang
ketiga yang akan melihat persoalan yang ada dari sebuah perspektif yang netral
dan objektif .
Utilitarisme disebut lagi suatu teleologis (dari kata Yunani telos =
tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan
dicapainya tujuan perbuatan . Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi
tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik.
Teori utilitas merupakan pengambilan keputusan etika dengan pertimbangan
manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya (the greatest good
for the greatest number). Artinya, bahwa hal yang benar didefnisikan sebagai
hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang
berbahaya bagi kebanyakan orang. Semakin bermanfaat pada semakin banyak
orang, perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan hukum ini
bertahan paling lama dan relatif paling banyak digunakan. Utilitarianism (dari
kata utilis berarti manfaat) sering disebut pula dengan aliran konsekuensialisme
karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan .
Perlu dipahami kalau utilitarisme sangat menekankan pentingnya
konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu
perbuatan, baik buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang
dibawakan olehnya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar,
artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan
masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan
14
membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat, perbuatan itu harus dinilai
buruk. Konsekuensi perbuatan disini memang menentukan seluruh kualitas
moralnya . Prinsip utilitarian menyatakan bahwa : “An action is right from an
ethical point of view if and only if the sum total of utilities produced by that act
is greater than the sum total of utilities produced by any other act the agent
could have performed in its place.” (Suatu tindakan dianggap benar dari sudut
pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari
tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh
tindakan lain yang dilakukan).
Dengan dasar teori diatas bahwa keterlibatan sosial sebagai wujud tanggungjawab sosial perusahaan yang diwajibkan dengan UU No.40/2007 tentang
Perusahaan Terbatas, akan menimbulkan minat, manfaat dan perhatian yang
bermacam ragam, yang pada akhirnya akan mengalihkan, bahkan
mengacaukan perhatian para pimpinan perusahaan. Perhatian yang terbagibagi dan membingungkan itu pada akhirnya merugikan perusahaan karena
akan menurunkan kinerja keseluruhan dari perusahaan tersebut. Apakah
Ideologi Pancasila telah memenuhi etika utilitarianisme maupun kebijaksanaan
dan kegiatan bisnis yang sama-sama bersifat teleologis. Artinya, keduanya
selalu mengacu pada tujuan dan mendasarkan baik buruknya suatu keputusan
(keputusan etis untuk utiliarisme dan keputusan bisnis untuk kebijaksanaan
bisnis) pada tujuan atau akibat atau hasil yang akan diperoleh.
Untuk memunculkan hubungan antara Pancasila dan empat pilar
pendidikan dalam Etika Akuntan dengan menggunakan teori utilitarisme (teori
nilai guna atau manfaat), bagaimana Paradigma Pancasila bermanfaat tidak
hanya individu tapi juga seluruh masyarakat dan sebagai hasilnya dapat
menjadi jiwa dalam pola pendidikan di Indonesia khususnya untuk para
akuntan, dimasa sekarang dan akan datang
3. Diskusi : Relevansi Pancasila, Etika Akuntan dan Empat Pilar
Pendidikan di Indonesia
Berbicara mengenai relevansi akan lebih jelas bila kita lihat tabel
dibawah ini :
15
Tabel 1
Butir-Butir Pancasila, Prinsip Etika dan Empat Pilar Pendidikan
BUTIR-BUTIR
PANCASILA
PRINSIP ETIKA
EMPAT PILAR
PENDIDIKAN
Tiga Puluh Enam
Butir Pancasila sbb:
Delapan Prinsip Etika:
Empat Pilar yang
menjadi
acuan
pendidikan yaitu:
1. Learning
to
Know
Adalah belajar untuk
mengetahui (learning
to
know)
dalam
prosesnya
tidak
sekedar mengetahui
apa yang bermakna
tetapi juga sekaligus
mengetahui apa yang
tidak
bermanfaat
bagi
kehidupan.
Tenaga kependidikan
(Guru,
pelatih,
instruktur, dll) harus
menjadi
inspirator
dalam
pengembangan,
perencanaan,
dan
pembinaan
pendidikan
dan
pembelajaran. Hal ini
juga secara eksplisit
di cantumkan dalam
PP No 19 tahun
2005, yaitu Guru
sebagai
Agent
Pembelajaran harus
menjadi
Fasilitator,
Pemacu,
Motivator,
dan Inspirator bagi
peserta
didik.
Di
samping itu guru
dituntut untuk dapat
berperan
ganda
sebagai
kawan
berdialog
bagi
siswanya
dalam
A. Sila ketuhanan
yang maha esa
6.
Percaya dan
Takwa kepada Tuhan
Yang
Maha
Esa
sesuai dengan agama
dan
kepercayaan
masing-masing
menurut
dasar
kemanusiaan
yang
adil dan beradab.
7.
Hormat
menghormati
dan
bekerjasama
antar
pemeluk agama dan
penganut-penganut
kepercayaan
yang
berbeda-beda
sehingga
terbina
kerukunan hidup.
8.
Saling
menghormati
kebebasan
menjalankan ibadah
sesuai dengan agama
dan kepercayaannya.
9.
Tidak
memaksakan suatu
agama
dan
kepercayaan kepada
orang lain.
10.
Menolak
kepercayaan
atheisme
Indonesia.
di
1.Tanggung
Jawab
profesi
Saat
melaksanakan
tanggung
jawabnya
harus profesional, bagi
tiap - tiap anggota
harus
senantiasa
menggunakan
pertimbangan
moral
dan profesional dalam
semua kegiatan yang
dilakukannya. Sebagai
profesional,
anggota
mempunyai
peran
penting
dalam
masyarakat,
anggota
mempunyai tanggung
jawab kepada semua
pemakai
jasa
profesional
mereka
serta
harus
selalu
bertanggungjawab
untuk bekerja sama
dengan
sesama
anggota
untuk
mengembangkan
profesi akuntansi,
2.Kepentingan Publik
Bagi
semua
anggota
wajib
bertindak
dalam
kerangka
pelayanan
kepada
publik,
menghormati
kepercayaan
publik,
dan
menunjukan
komitmen
atas
profesionalisme. Satu
16
B. Sila kemanusiaan
yang
adil
dan
beradab
9.
Mengakui
persamaan
derajat
persamaan hak dan
persamaan kewajiban
antara
sesama
manusia.
10.
Saling
mencintai
sesama
manusia.
11.
an
rasa.
Mengembangk
sikap tenggang
12.
Tidak
semena-mena
terhadap orang lain.
13.
Menjunjung
tinggi
nilai
kemanusiaan.
14.
Gemar
melakukan kegiatan
kemanusiaan.
15.
Berani
membela kebenaran
dan keadilan.
16.
Bangsa
Indonesia
merasa
dirinya
sebagai
bagian dari seluruh
umat
manusia,
karena
itu
dikembangkan sikap
hormat-menghormati
dan
bekerjasama
dengan bangsa lain.
C. Sila persatuan
indonesia
ciri utama dari suatu
profesi
adalah
penerimaan tanggung
jawab kepada publik.
Profesi
akuntan
memegang peran yang
penting di masyarakat,
dimana publik dari
profesi akuntan yang
terdiri
dari
klien,
pemberi
kredit,
pemerintah,
pemberi
kerja,
pegawai,
investor, dunia bisnis
dan keuangan, dan
pihak
lainnya
bergantung
kepada
obyektivitas
dan
integritas
akuntan
dalam
memelihara
berjalannya
fungsi
bisnis secara tertib.
3. Integritas
Integritas
merupakan
element
karakter
yang
mendasari
lahirnya
pengakuan profesional.
Integritas merupakan
kualitas
yang
melandasi
kepercayaan
publik
dan
merupakan
patokan (benchmark)
bagi anggota dalam
menguji
keputusan
yang diambilnya serta
mengharuskan
seorang
anggota
untuk, antara lain,
bersikap
jujur
dan
berterus terang tanpa
harus mengorbankan
rahasia penerima jasa.
Pelayanan
dan
kepercayaan
publik
tidak boleh dikalahkan
rangka
mengembangkan
penguasaan
pengetahuan siswa.
2.
Learning to
Do (Belajar untuk
melakukan)
Learning to do adalah
belajar
untuk
berkarya.
Setelah
peserta
didik
itu
belajar mengetahui,
belajar
untuk
mencari hal-hal yang
ingin
diketahuinya,
maka peserta didik
tersebut
diiringi
dengan potensi yang
dimilikinya, ia harus
harus
bisa
menghasilkan suatu
karya dari potensi
yang
dimilikinya.
Belajar
merupakan
suatu proses untuk
mengembangkan diri
individu, khususnya
belajar di sini yaitu
dalam
pendidikan
formal
(lingkungan
sekolah).
Didalam
sebuah
pembelajaran
ada
prinsip
aktivitas
(kegiatan) yang harus
dicapai,
Diantaranya :
Hard Skills
:
Keterampilan
yang
menuntut fsik
Soft Skills
:
Keterampilan
yang
menuntut Intelektual
Proses
belajar
Learning
to
Do
mengacu
pada
perubahan
dalam
17
6.
Menempatkan
kesatuan, persatuan,
kepentingan,
dan
keselamatan bangsa
dan negara di atas
kepentingan pribadi
atau golongan.
7.
Rela
berkorban
untuk
kepentingan bangsa
dan negara.
8.
Cinta Tanah
Air dan Bangsa.
9.
Bangga
sebagai
Bangsa
Indonesia dan berTanah Air Indonesia.
10.
Memajukan
pergaulan
demi
persatuan
dan
kesatuan
bangsa
yang
ber-Bhinneka
Tunggal Ika.
D. Sila kerakyatan
yang dipimpin oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan /
perwakilan
8.
Mengutamaka
n kepentingan negara
dan masyarakat.
9.
Tidak
memaksakan
kehendak
kepada
orang lain.
10.
Mengutamaka
n musyawarah dalam
mengambil
keputusan
untuk
kepentingan
oleh
keuntungan
pribadi.
Integritas
dapat
menerima
kesalahan yang tidak
disengaja
dan
perbedaan
pendapat
yang jujur, tetapi tidak
menerima kecurangan
atau
peniadaan
prinsip.
4. Obyektivitas
Bagi
tiap
anggota harus menjaga
obyektivitasnya
dan
bebas dari benturan
kepentingan
dalam
pemenuhan kewajiban
profesionalnya.
Obyektivitasnya ialah
tingkat kualitas yang
memberikan nilai atas
jasa yang diberikan
anggota.
Prinsip
obyektivitas
mengharuskan
anggota bersikap adil,
independen,
jujur
secara
intelektual,
tidak
berprasangka
atau bias, serta bebas
dari
benturan
kepentingan
atau
dibawah
pengaruh
pihak
lain.Anggota
bekerja dalam berbagai
kapasitas
yang
berbeda dan harus
menunjukkan
obyektivitas
mereka
dalam berbagai situasi.
Anggota dalam praktek
publik
memberikan
jasa
atestasi,
perpajakan,
serta
konsultasi manajemen.
5. Kompetensi dan
Kehati-hatian
ranah
kognitif,
peningkatan
kompetensi
serta,
pemilihan
dan
penerimaan
secara
sadar terhadap nilai,
sikap, penghargaan,
perasaan
serta
kemauan
untuk
berbuat
atau
merespon
suatu
stimulus. Pendidikan
membekali manusia
untuk tidak sekedar
mengetahui,
tetapi
lebih
jauh
untuk
terampil berbuat atau
mengerjakan sesuatu
sehingga
menghasilkan
sesuatu
yang
bermakna
bagi
kehidupan.
3.
Learning to
Be (Belajar untuk
menjadi
pribadi
yang utuh)
Learning to Be adalah
belajar
untuk
menjadi sesuatu atau
berkembang menjadi
pribadi
yang
seutuhnya.
Dalam
proses ini peserta
didik
diharapkan
dapat belajar menjadi
pribadi yang kreatif,
berwawasan,
memiliki
pengetahuan
yang
utuh serta mampu
menguasai ilmu yang
di tempuhya selama
proses
pendidikan
dilakasanakan.
Pengusaaan
18
bersama.
11.
Musyawarah
untuk
mencapai
mufakat
diliputi
semangat
kekeluargaan.
12.
Dengan itikad
baik
dan
rasa
tanggung
jawab
menerima
dan
melaksanakan hasil
musyawarah.
13.
Musyawarah
dilakukan
dengan
akal sehat dan sesuai
dengan hati nurani
yang luhur.
14.
Keputusan
yang diambil harus
dapat dipertanggung
jawabkan
secara
moral kepada Tuhan
Yang
Maha
Esa,
menjunjung
tinggi
harkat dan martabat
manusia serta nilainilai kebenaran dan
keadilan.
E.
Sila
keadilan
sosial bagi seluruh
rakyat indonesia
13.
Mengembangk
an
perbuatanperbuatan
yang
luhur
yang
mencerminkan sikap
dan
suasana
kekeluargaan
dan
gotong-royong.
14.
Bersikap adil.
15.
Menjaga
Profesional
Bagi
tiap
anggota
harus
melaksanakan
jasa
profesionalnya dengan
berhati-hati,
kompetensi
dan
ketekunan,
serta
mempunyai kewajiban
untuk
mempertahankan
pengetahuan
dan
ketrampilan
profesional
pada
tingkat
yang
diperlukan
untuk
memastikan
bahwa
klien atau pemberi
kerja
memperoleh
manfaat
dari
jasa
profesional dan teknik
yang paling mutakhir.
6. Kerahasiaan
Bagi
tiap
anggota
harus
menghormati
kerahasiaan informasi
yang diperoleh selama
melakukan
jasa
profesional dan tidak
boleh memakai atau
mengungkapkan
informasi
tersebut
tanpa
persetujuan,
kecuali bila ada hak
atau
kewajiban
profesional
atau
hukum
untuk
mengungkapkannya.
Kepentingan
umum
dan profesi menuntut
bahwa standar profesi
yang
berhubungan
dengan
kerahasiaan
didefnisikan
bahwa
terdapat
panduan
mengenai sifat sifat
pengetahuan
dan
keterampilan
merupakan
bagian
dari proses menjadi
pribadi yang utuh
(learning
to
be).
Menjadi pribadi yang
utuh dalam hal ini
dapat
diartikan
sebagai
proses
pemahaman
terhadap kebutuhan
dan jati diri. Belajar
berperilaku
sesuai
norma dan kaidah
yang berlaku dalam
masyarakat, belajar
menjadi pribadi yang
berhasil
sesungguhnya
merupakan
proses
pencapaian
aktualisasi
diri.
Selain
itu,
pendidikan
dalam
learning to be juga
harus bermuara pada
bagaimana
peserta
didik menjadi lebih
manusaiwi
dan
menjadi
manusia
yang
berperikemanusiaan.
4.
Learning to
live
Together
(Belajar untuk hidup
bersama)
Setelah
memahami
konsep
menjadi
pribadi yang utuh
diharapkan
peserta
didik
mampu
mempelajari
bagaimana
caranya
untuk dapat hidup
baik
bersama
masyarakat
dalam
19
keseimbangan antara
hak dan kewajiban.
16.
Menghormati
hak-hak orang lain.
17.
Suka
memberi pertolongan
kepada orang lain.
18.
Menjauhi
sikap
pemerasan
terhadap orang lain.
19.
Tidak bersifat
boros.
20.
Tidak bergaya
hidup mewah.
21.
Tidak
melakukan
perbuatan
yang
merugikan
kepentingan umum.
22.
Suka bekerja
keras.
23.
hasil
lain.
24.
Menghargai
karya orang
Bersamasama
berusaha
mewujudkan
kemajuan
yang
merata
dan
berkeadilan sosial.
dan luas kewajiban
kerahasiaan
serta
mengenai
berbagai
keadaan
di
mana
informasi
yang
diperoleh
selama
melakukan
jasa
profesional dapat atau
perlu diungkapkan
7.Perilaku Profesional
Bagi
Tiap
anggota
harus
berperilaku
yang
konsisten
dengan
reputasi profesi yang
baik dan menjauhi
tindakan yang dapat
mendiskreditkan
profesi.
Kewajiban
untuk
menjauhi
tingkah
laku
yang
dapat mendiskreditkan
profesi harus dipenuhi
oleh anggota sebagai
perwujudan tanggung
jawabnya
kepada
penerima jasa, pihak
ketiga, anggota yang
lain,
staf,
pemberi
kerja dan masyarakat
umum.
8. Standar Teknis
Bagi
tiap
anggota
harus
melaksanakan
jasa
profesionalnya sesuai
dengan standar teknis
dan
standar
profesional
yang
relevan. Sesuai dengan
keahliannya
dan
dengan
berhati-hati,
anggota
mempunyai
kewajiban
untuk
melaksanakan
penugasan
dari
penerima jasa selama
lingkungannya.
Dalam
prosesnya
kebiasaan
hidup
bersama,
saling
menghargai, terbuka,
memberi
dan
menerima
perlu
dikembangkan
disekolah. Kebiasaan
inilah yang nantinya
akan menghasilkan
tumbuhnya
sikap
saling
memahami,
mengerti
dan
toleransi antar ras,
suku dan agama.
Pendidikan
di
sekolah juga harus
merangsang soft skill
peserta
didik
sehingga
kelak
mereka
mampu
hidup dan bekerja
sama dengan orang
lain. Bahkan mereka
akan peka terhadap
suka
duka
orang
lain.
Dari ke-empat
pilar pendidikan yang
disampaikan
oleh
UNESCO
tersebut
Indonesia
sebagai
negara
Ketuhanan
menambahkan satu
pilar berupa Learning
to
believe
and
convince the almighty
God (Belajar untuk
Beriman
dan
Bertakwa
kepada
tuhan yang maha
Esa). Dari pilar inilah
Negara
Indonesia
akan
mewujudkan
cita-cita
bangsanya
20
penugasan
tersebut
sejalan dengan prinsip
integritas
dan
obyektivitas. Standar
teknis dan standar
professional
yang
harus ditaati anggota
adalah standar yang
dikeluarkan
oleh
Ikatan
Akuntan
Indonesia.
Internasional
Federation
of
Accountants
(IFAC),
badan pengatur, dan
pengaturan
perundang-undangan
yang relevan
yang
termaktub
dalam UUD 1945
Alinea
ke-4
yaitu
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dengan berdasarkan
kepada
ketuhanan
yang maha Esa.
Sumber : Data diolah
Dilihat dari penjelasan tiga kolom diatas terdapat keterkaitan yan