PEMIKIRAN SELO SOEMARDJAN DALAM MENGHADA

TEORI SOSIAL INDONESIA
PEMIKIRAN SELO SOEMARDJAN DALAM MENGHADAPI KRISIS
SOSIAL SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN DI INDONESIA
“Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester Teori Sosial Indonesia”
Dosen Pembimbing: Dr. Nasiwan, M.Si.

YUNITA RIA DHINI
(16416241026)
KELAS A

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
tentang “Pemikiran Selo Soemardjan Dalam Menghadapi Krisis Sosial Sebagai
Solusi Permasalahan Di Indonesia” dengan baik meskipun banyak kekurangan di
dalamnya. Saya berterima kasih kepada Bapak Dr. Nasiwan, M. Si. Selaku dosen

mata kuliah Teori Sosial Indonesia yang telah memberikan bimbingan dalam
penyelesaian tugas ini.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun
orang yang membacanya.

Selanjutnya saya mohon maaf apabila terdapat

kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Yogyakarta, 14 Desember 2017

Penyusun


2

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
A. Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia.....................................................3
B. Permasalahan Sosial di Indonesia...............................................................8
C. Refleksi Pemikiran Selo Soemardjan dalam Mengatasi Masalah
Sosial Indonesia khususnya Yogyakarta...................................................12
i)

Biografi Selo Soemardjan..............................................................12

ii)


Thesis Perubahan Sosial di Yogyakarta........................................13

D. Relevansi Pemikiran Selo Soemardjan untuk Saat Ini..............................25
BAB III PENUTUP.............................................................................................27
A. Kesimpulan................................................................................................27
B. Saran..........................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................29
LAMPIRAN........................................................................................................30

3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dapat dikatakan bahwa teori-teori ilmu sosial yang ada di
Indonesia ini kurang relevan dengan kondisi dan budaya masyarakat
Indonesia. Ilmu-ilmu sosial tersebut merupakan hasil import dari negara
Barat. Sehingga kurang berhasil dalam memecahkan masalah dan
memberikan solusi dalam permasalahan sosial di Indonesia. Hal ini juga

diperparah dengan adanya ketergantungan dari teori Barat. Banyaknya
pemikiran dari tokoh-tokoh Barat yang menghiasi teori sosial Indonesia
daripada pemikiran tokoh-tokoh dari Indonesia sendiri merupakan suatu
kondisi yang memprihatinkan. Berawal dari keprihatinan dan kegelisahan
mengenai perkembangan ilmu-ilmu sosial tersebut, maka banyak tokoh
Indonesia yang memberikan perhatian dan kontribusi pemikirannya
mengenai ilmu-ilmu sosial agar lebih sesuai dengan kondisi dan
kebudayaan masyarakat Indonesia. Padahal jika kita kaji dan pahami lebih
jauh, teori ilmu sosial tersebut merupakan hasil dari realita permasalahanpermasalahan di Indonesia. Namun dalam perkembangannya, teori ilmu
sosial yang mereka kemukakan cenderung dikesampingkan bahkan
diremehkan. Dan lebih mengunggulkan teori sosial dari pemikiran Barat.
Salah satu tokoh penggagas dan memberikan perhatiannya serta
berkontribusi dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia adalah Selo
Soemardjan. Sudah lama beliau menggeluti ilmu sosiologi dan dikenal
sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Beliau telah banyak memberikan
pemikiran yang mana sudah lama ia teriakkan sejak puluhan tahun yang
lalu salah satunya pada pertemuan suatu forum akademis di Yogyakarta.
Thesis yang sangat terkenal dari beliau yaitu perubahan sosial di
Yogyakarta, yang diharapkan dari pemikiran-pemikirannya tersebut dapat
menjawab dan memberikan solusi bagi permasalahan sosial Indonesia.


B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat kita ambil rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia?
2. Apa Saja Permasalahan Sosial di Indonesia?
3. Bagaimana Refleksi Pemikiran Selo Soemardjan dalam Mengatasi
Masalah Sosial di Indonesia khususnya Yogyakarta?
4. Apakah Pemikiran Selo Soemardjan Masih Relevan dengan Saat Ini?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut tujuan dari penulisan makalah ini untuk:
1. Mengetahui Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia
2. Mengetahui Permasalahan Sosial di Indonesia
3. Mengetahui Refleksi Pemikiran Selo Soemardajan Sebagai Upaya
Mengatasi Masalah Sosial di Indonesia
4. Mengetahui Pemikiran Selo Soemardjan yang Masih Relevan dengan
Saat ini

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia

Ilmu sosial merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antar
manusia dengan manusia lainnya, mempelajari perilaku manusia, serta
interaksinya di dalam masyarakat. Obyek ilmu sosial yaitu manusia
beserta lingkungannya. Lingkungan disini dapat berarti manusia lain
maupun obyek fisik di sekitarnya. Obyek tersebut akan saling
mempengaruhi satu sama lain. Interaksi antar manusia dengan manusia
lain yang menetap disuatu wilayah dengan waktu yang cukup lama akan
membentuk suatu masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya
akan saling membutuhkan dalam segala hal untuk memenuhi segala
kebutuhan. Manusia memiliki karakter yang beragam dan kompleks. Oleh
karena itu, untuk mempelajari gejala yang kompleks tersebut tidak dapat
dilakukan hanya satu disiplin ilmu saja namun harus menggunakan banyak
disiplin ilmu seperti psikologi, pendidikan, filsafat, dan lain sebagainya.
Menurut Bung Hatta dalam (Supardi.2009), ilmu sosial memiliki
peran yang sangat penting dalam kehidupan. Tiga kegunaan ilmu
sosial yaitu:
1. Critical discourse
Keabsahan penelitian ditentukan oleh keterikatan pada semua
keharusan akademis.
2. Academic enterprise

Memosisikan bahwa ilmu-ilmu sosial tidak bebas nilai. Ilmu
sosial yang ada memiliki nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Ilmu sosial tidaklah terlepas dari nilai yang melekat
padanya.
3. Applied science
Ilmu sosial diperlukan untuk hal-hal praktis membantu
menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada dalam
masyarakat. Ilmu sosial ini digunakan untuk mendeskripsikan,
memprediksi dan menjawab isu-isu sosial yang muncul. Jadi
ilmu sosial mampu menggambarkan fenomena yang terjadi. Dari
fenomena tersebut dijadikan acuan dalam mengkaji dan menatap
masa yang akan datang. Dengan begitu manusia dapat berfikir
untuk masa mendatang, mengurangi kesalahan dan menjadikan
pelajaran untuk kebaikan ke depannya. Dari apa yang terjadi

masa lalu dijadikan batu pijakan untuk pelajaran yang akan
datang, sehingga manusia tidak mengalami kegagalan kesekian
kalinya.
Menurut (Nasiwan, 2016: 19), secara garis besar perkembangan
Ilmu Sosial Indonesia dapat dilacak ke dalam tiga fase perkembangan,

yaitu ilmu sosial kolonial (indologi), ilmu sosial develomentalis, dan ilmu
sosial kontemporer.
a. Fase Perkembangan Ilmu Sosial Kolonial (Indologi)
Ilmu sosial berawal dari kajian indologie, yakni suatu lembaga
bentukan pemerintah kolonial di Leiden tahun 1848 yang bertujuan
menyiapkan bekal pengetahuan mengenai masyarakat negeri jajahan
bagi calon administrator yang akan dikirim ke Hindi-Belanda
(Indonesia). Pemerintah kolonial ingin lebih mengetahui dan
mendalami masyarakat negeri jajahannya, tujuannya agar dapat
menguasai segala aspek negeri jajahannya. Jalan ini ditempuh karena
para penjajah Belanda yang perang melawan pemberontakan pribumi
sebenarnya tidak selamanya dimenangkan dengan senjata, melainkan
dengan rejim ilmu pengatahuan di belakangnya. Untuk itu didirikan
pusat kajian indologi. Pada tahun 1920an, didirikan dua perguruan
tinggi yang berhubungan dengan ilmu sosial yaitu tahun 1924
didirikan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool, RHS) dan tahun
1940 didirikan Fakultas Sastra dan Filsafat (Faculteit der Letteren en
Wijsbegeerte, FLW).
Pada masa kolonial perkembangan ilmu sosial memiliki beberapa
ciri umum, antara lain:

-

Saat kolonial datang ke Indonesia mereka membawa rejim ilmu
pengetahuan yang disebut sebagai indologie, yaitu suatu
pengetahuan yang didukung oleh rejim kolonial. Jadi dapat
dikatakan ilmu pengetahuan disini merupakan warisan dari
kolonial.

-

Paradigma ilmu sosial versi indologie “knowledge is power”
yang identik dengan ilmu negara. Dimana mengabdikan diri
hanya untuk kepentingan kekuasaan.

-

Ilmu sosial Indonesia generasi pertama, terdiri dari para sarjana
Belanda dari berbagai latar belakang disiplin keilmuwan dan
mereka telah banyak melahirkan teori-teori sosial yang masih
berpengaruh sampai saat ini. Seperti W.F. Wertheim (teori

perubahan sosial), J.H. Boeke (teori ekonomi ganda),dll.

b. Ilmu Sosial Developmentalis (Pembangunan)
Adanya pergeseran perkembangan ilmu sosial di Indonesia yang
dulunya berkiblat pada Belanda yang berorientasi Eurosentris bergeser
ke kiblat Amerika Serikat (AS), ini terjadi setelah Perang Dunia II
yaitu sekitar tahun 1950-1960an.

Hal ini menimbulkan dramatis

kondisi politik Indonesia, dan juga mempengaruhi perkembangan ilmu
sosial di Indonesia. Karena teori-teori ilmu sosial yang diimport dari
Amerika dianggap sebagai ilmu sosial borjuis, berideologi kapitalis.
Berkembangnya studi kawasan (area studies) sebagai bentuk inovasi
akademis yang penting dalam ilmu-ilmu sosial paska PD II. Amerika
Serikat membentuk lembaga “The Social Science Research Council”
di Indonesia sebagai bentuk kerja sama antar kedua negara dimana
Amerika mengirimkan sejumlah mahasiswanya ke Indonesia dan
sebaliknya. Indonesia dianggap menjadi tempat bagi kerja sama
akademik paling menarik bagi Amerika. Menurut (Nasiwan, 2016: 23),

Salah satu program kerja sama tersebut yaitu MIT (Massachussettss
Institute of Technology) yang datang ke Indonesia pada pertengahan
1950an. Mereka adalah mahasiswa tingkat doktoral AS yang bekerja
untuk penelitian disertasi mereka. dari hasil penelitiannya lalu mereka
menerbitkan buku-buku yang dapat menjadi bahan rujukan penting
dalam studi ilmu-ilmu sosial di Indonesia.

Ciri Ilmu Sosial Developmentalis:
1. Pada dasarnya ilmu sosial developmentalis tidak mengalami
perubahan signifikan dari yang dulu yaitu indologie atau ilmu
sosial kolonial. Setelah Perang Dunia II, motif ideologis negaranegara Barat dalam menjalin kerja sama khususnya bidang
akademik dengan negara-negara baru sangat jelas, dan ini
membentuk suatu ketergantungan baru.
2. Istilah Developmentalis (pembangunan) digunakan untuk mengacu
pada suatu pernyataan yang berakar ada teori-teori modernisasi.
Modernisasi disini memiliki ideologi yang mana model Barat dapat
diaplikasikan ke kawasan non Barat sebagai sebuah kemajuan yang
dapat menjadi model bagi negara-negara dunia ketiga.
3.

Berorientasi pada studi kawasan yaitu Asia Tenggara khususnya
Indonesia. Para ilmuwan bekerja sama menangani masalahmasalah pembangunan ekonomi secara komprehensif dengan
mengadopsi teori-teori modernisasi.

4. Konsep-konsep

teoritis

seperti

Gemeinschaft-Geselschaft,

solidaritas mekanik dan organik, agraris dan industrial,dll
mencerminkan kepedulian mereka terhadap masalah-masalah
pembangunan di negara dunia ketiga.
5. Menurut Subianto dalam (Nasiwan, 2016: 25) Dari sudut pandang
teoritis dan metodologi, ilmu sosial developmentalis lebih pada
kajian pembangunan dengan pendekatan budaya dan metode
komparatif.

Ilmu

sosial

developmentalis

secara

langsung

mempengaruhi teori metodologi ilmu sosial Indonesia. Yang
pertama munculnya “liberalisme anti kolonialisme” dan “metode
historis”. Dan yang kedua yaitu adanya teori-teori “liberalisme
imerial dan metode komparatif”.
6. Ilmu sosial developmentalis melahirkan ilmuwan sosial generasi
baru yang disebut Indonesianists, yaitu pakar asing yang
berkeahlian Indonesia. Umumnya terdiri dari para sarjana Amerika.

Dengan berkembangnya ilmu sosial tersebut, Indonesia mulai
melahirkan sejumlah ilmuwan sosial Indonesia generasi pertama.
Sebagian diantaranya sempat mengenyam pendidikan lewat guru-guru
Belanda, seperti Soepomo (hukum), Koentjaraningrat (antropologi),
Soekmono (arkeologi),dll adalah murid-murid para sarjana Belanda
yang secara langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan
tradisi indologie.
c. Ilmu Sosial Kontemporer
Istilah ilmu sosial kontemporer menggambarkan arah dan
kecenderungan umum dalam perkembangan ilmu sosial selama Orde
Baru dan sesudahnya. Ini merupakan kelanjutan dari perkembangan
sebelumnya. Perkembangan ilmu sosial tahun 1980an mendapat
dukungan dan perhatian dari pemerintah terhadap ilmu sosial di
Indonesia.
Karakteristik ilmu sosial di masa Orde Baru:
1. Pesatnya minat sarjana luar negeri untuk mempelajari Indonesia.
Seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Perancis, dan negara
Eropa lainnya.
2. Adanya dua gejala menarik, yang pertama yaitu kembalinya
generasi baru peneliti Belanda yang sudah tercerahkan dalam
paradigma baru menggantikan paham lama yaitu indologie. Dan
yang kedua, yaitu adanya kesadaran baru di kalangan sarjana Asia
Tenggara mengenai hubungan regional antar negara-negara di
kawasan Asia Tenggara.
3. Adanya rasa saling merendahkan antardisiplin ilmu yang berbedabeda dalam rumpun ilmu sosial, baik keluar maupun ke dalam.
Keluar maksudnya adanya pembagian ilmu pengetahuan modern
yang dianggap berbeda yaitu rumpun ilmu alam, ilmu sosial dan
ilmu kemanusiaan. Dan ke dalam maksudnya perbedaan antar
disiplin ilmu-ilmu sosial itu sendiri. kedua-duanya saling
mengabaikan dan melecehkan satu sama lain.

4. Adanya

ketidakjelasan

dan

kerancuan

dalam

menyiasati

perkembangan ilmu sosial yang makin tidak terkendali, munculnya
kebingungan yang belum ada jawabannya. Dan masih terkotakkotaknya dalam rumpun ilmu sosial.
5. llmu sosial yang semakin ahistoris dan parokial. Di masa sekarang
para

ilmuwan

semakin

meninggalkan

pendekatan

sejarah.

Sedangkan maksud parokial yaitu ilmu-ilmu sosial nonekonomi
semakin terspesialisasi ke dalam bagian yang lebih kecil, seperti
adanya sosiologi pembangunan, komunikasi pembangunan,dan lain
sebagainya.
B. Permasalahan Sosial di Indonesia
Belum adanya teori-teori ilmu sosial yang dihasilkan oleh kaum
intelektual Indonesia dalam menjelaskan kehidupan sosial masyarakat
secara memadai dalam menjawab segala permasalahan-permasalahan di
negeri ini. Pernyataan ini dipertegas dalam (Nasiwan, 2014: 112), yang
menjelaskan

bahwa

ilmu

sosial

di

Indonesia

tidak

mengalami

perkembangan yang signifikan karena adanya beberapa alasan seperti
rendahnya penghargaan terhadap ide dan gagasan antar sesama kaum
intelektual Indonesia, adanya tradisi kutip-mengutip diantara mereka,
bahkan mereka sangat bangga dan merasa hebat dapat menyelesaikan studi
di Barat, mereka bangga meniru dan mengulang-ulang apa yang mereka
pelajari di Barat, tidak adanya kesadaran dan pemikiran kritis untuk
merumuskan teori-teori sosial yang orisinil dan khas Indonesia. Kita tidak
hanya bergantung pada dunia Barat di bidang ekonomi, industri, sains dan
teknologi yang bersifat fisik saja, tetapi juga bergantung pada dunia Barat
di bidang ilmu-ilmu sosial yang lebih bersifat psikologis dan mental
(intangible) yang menguasai tata pikir kita. Jadi perkembangan ilmu-ilmu
sosial di Indonesia ini sangat dipengaruhi dan didominasi oleh ilmu sosial
Barat. Barat selalu dianggap sebagai sumber pengetahuan sedangkan
negara Timur seperti Indonesia sebagai pengguna ilmu pengetahuan.

Jarang bahkan hampir tidak ada pemikiran asli ilmu sosial yang bersumber
dari negri Timur, khususnya Indonesia. Menurut (Alatas, Syed Farid.
2010), hanya beberapa negara Timur yang memiliki kontribusi terhadap
perkembangan keilmuwan di Asia yaitu Cina, India dan Korea.
Adanya krisis kepercayaan terhadap kemampuan ilmu-ilmu sosial
di dalam memainkan peranannya di dalam memecahkan masalah-masalah
sosial, ekonomi, politik, dan budaya di masyarakat. Krisis kepercayaan
terhadap ilmu-ilmu sosial yang berlaku pada suatu kurun waktu tertentu
barangkali bukan merupakan monopoli Indonesia, akan tetapi mempunyai
validitas global. Pergeseran paradigma, teori, dan metodologi yang
berulang kali terjadi di dalam ilmu-ilmu sosial menunjukkan adanya krisis
kepercayaan terhadap ilmu-ilmu sosial pada suatu waktu tertentu dan para
cendekiawan berusaha untuk memperbaiki ilmu-ilmu sosial tersebut.
Infertilitas ilmu-ilmu sosial mungkin disebabkan oleh rendahnya mutu
ilmu-ilmu sosial di Indonesia di dalam bentuk ketidaklaikan konsep atau
teori di dalam ilmu-ilmu sosial itu sendiri, ketidakvalidan empiris, dan
ketidakmanfaatan kebijaksanaan dari ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Hal
tersebut akan menimbulkan gejala-gejala negatif karena pengadobsian
konsep, konstruk, teori, dan metodologi ilmu sosial dari negara asing.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua konsep, konstruk, dan teori
yang lahir di negara asing atau merupakan hasil penemuan orang asing
tidak dapat dipakai untuk mendeskripsikan, memahami, menerangkan dan
memprediksikan problema pembangunan dan perubahan sosial di
Indonesia. Konsep hubungan patronklien, involusi dan tata nilai membagi
kemiskinan, dualisme teknologis, sektor informal, kiranya masih relevan
untuk digunakan menganalisa fenomena pembangunan nasional dan
perubahan sosial di Indonesia.
Menurut

(Syed Farid Alatas. 2010), tingkat kebergantungan

ilmuwan sosial negara berkembang meliputi :
1. Kebergantungan pada gagasan
2. Kebergantungan pada media gagasan

3. Kebergantungan pada teknologi pendidikan
4. Kebergantungan pada bantuan riset dan pengajaran
5. Kebergantungan pada investasi pendidikan
6. Kebergantungan ilmuwan sosial dunia ketiga pada permintaan
Barat akan keterampilan mereka.
Pada tahun 1970an seorang ilmuwan bernama Syed Hussein Alatas
memperkenalkan sebuah teori yaitu “teori captive mind” sebagai cara
membaca perkembangan ilmu sosial di Dunia Ketiga. Menurut teori ini,
ilmu sosial Indonesia menjadi korban Orientalisme dan Eurosentrisme
dimana cara berpikir didominasi oleh pemikiran Barat dengan cara meniru
dan bersikap tak kritis. Peniruan yang tidak kritis itu merasuk ke semua
tingkatan aktivitas ilmiah, memengaruhi latar masalah, analisis, abstraksi,
generalisasi, konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi dan interpretasi.
Karakteristik Captive Mind :
-

Produk dari lembaga tinggi pendidikan, baik di dalam maupun
luar negeri, dengan cara pengadopsian cara berpikir yang
didominasi oleh pemikiran Barat dengan cara meniru tidak
kritis.

-

Tidak mampu merancang metode analisis yang independen

-

Tidak mampu memisahkan antara sesuatu yang partikular dan
universal

-

Mengadaptasi

universalisme

yang

disematkan

pada

pengetahuan ilmiah meski tidak sesuai dengan konteks lokal
-

Terfragmentasi dalam sebuah pandangan tunggal

-

Tarasing dari isu utama masyarakat sendiri

-

Terasing dari tradisi nasionalnya sendiri

-

Tidak disadari oleh para ilmuwan, sehingga tidak berusaha
keluar dari kondisi tersebut

-

Hasil dari dominasi Barat ke seluruh dunia.

Dalam perkembangan ilmu sosial, Negara Jerman, Perancis dan
Spanyol masih dianggap sebagai negara-negara yang menjadi sumber

kekuatan utama ilmu sosial. Misalnya saja teori-teori sosiologi yang
banyak mengacu pada pemikiran Karl Marx, Weber, dan Durkheim. Secara
tidak langsung pemikiran yang diungkapkan tokoh-tokoh tersebut menjadi
landasan bagi pemikir di Asia untuk mengadopsi dan mengembangkan
ilmu sosial di Asia. Kebutuhan akan lahirnya ilmuwan-ilmuwan baru yang
dapat memberikan teori baru dalam memecahkan berbagai permasalahan
sosial mengalami kemandegan. Hal itu disebabkan karena perguruan tinggi
sebagai agen pencetak intelektual mengalami krisis. 3 krisis yang dialami
oleh perguruan tinggi: 1) mahasiswa pascasarjana yang diharapkan mampu
memberikan kritik pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat
pada identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. 2)
dosen tidak dijadikan sebagai “patner diskusi” tetapi sebagai sumber dari
segala sumber. 3) banyaknya professor yang dipaksa/ memaksakan diri
membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak dikuasainya.
Dalam perkembangan ilmu sosial, meskipun masih banyak meniru
dari Barat, namun masih dapat ditemukan sejumlah sarjana yang konsisten
mengembangkan ilmu sosial yang khas yaitu sesuai dengan budaya
masyarakat Indonesia, untuk itu kita harus memberikan apresiasi setinggitingginya. Salah satunya sarjana yang berpengaruh dan memberikan
pemikiran alternatifnya yaitu Selo Soemardjan tentang perubahan sosial
dan masyarakat jejaring yang dapat diterapkan di Indonesia dan dapat
dikembangkan oleh akademisi lokal. Beliau menekankan untuk mengubah
cara pandang masyarakat mengenai pentingnya perubahan sosial di
lembaga-lembaga

masyarakat

terkait

sistem

yang

sentralistik

ke

desentralistik untuk Indonesia yang lebih baik.

C. Refleksi Pemikiran Selo Soemardjan dalam Mengatasi Masalah Sosial
di Indonesia
i)

Biografi Selo Soemardjan

Selo Sumardjan lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915,
merupakan pendiri sekaligus dekan pertama

Fakultas Ilmu

Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir
hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (UI). Selo Sumardjan dibesarkan di
lingkungan abdi dalem Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Kakeknya raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi
di kantor Kesultanan Yogyakarta. Nama selo diperolehnya setelah
menjadi camat di Kabupaten Kulon Progo. Setelah menjabat camat
inilah beliau mengawali kariernya sebagai sosiolog. Selo
Sumardjan dikenal dikalangan akademik dan masyarakat di
Indonesia sebagai Bapak Sosiologi. Thesis beliau yang sangat
terkenal yaitu berjudul social change in Jogjakarta, menjadi salah
satu puncak pencapaian beliau yang melahirkan gelar sebagai
profesor dengan arus utama sosiologi. Nama Selo Sumardjan
sangat melekat dengan sosiologi. Pada tahun 1956 beliau
memperoleh kesempatan menuntut Ilmu di Cornell University,
Amerika Serikat. Di sinilah beliau menunjukan kehebatanya, hanya
dalam kurun waktu kurang dari empat tahun beliau boleh pulang
ke tanah air dengan menyandang gelar Ph.D. di bidang sosiologi.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai
Kesultanan daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil
Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretaris Staf
Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretaris
Negara

merangkap

sekretaris

Umum

Badan

pemeriksaan

Keuangan. Pada tahun 1959 beliau dikenal sebagai Bapak
Sosiologi Indonesia setelah meraih gelar doktornya di Cornell
University, AS dan pada tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima
Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah dan pada tanggal 10
Agustus 1994 menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.

Pada masa hidupnya beliau dikenal sebagai orang yang
tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus,
bersih, dan sederhana. Beliau seorang dari sedikit orang yang
sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisi (KKN). Beliau pantas menjadi teladan kaum birokrat
karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada
masyarakat.
ii) Thesis Selo Soemardjan : Perubahan Sosial di Yogyakarta
Perubahan sosial yang digagas Selo Soemardjan justru
berfokus pada perubahan di dalam lembaga-lembaga masyarakat
yang mempengaruhi sistem sosial yang di dalamnya termasuk
nilai, norma, sikap, dan tingkah laku. Perubahan- perubahan dalam
tata pemerintahan DIY dari tingkat atas hingga tingkat pedesaan
dilaksanakan

oleh

penguasa

daerah,

yaitu

Sultan.

Sultan

Hamengkubuwono IX mendahului kebijakan desentralisasi yang
diharapkan dari pemerintah nasional Indonesia. Perubahan yang
sama itu terjadi pada lembaga-lembaga ekonomi, pendidikan serta
dalam sistem kelas di masyarakat. Perubahan yang terjadi
merupakan transisi dari masa kolonial. Namun tata cara
kehidupannya masih banyak menggunakan budaya Belanda dalam
keseharian. Sri Sultan sebagai orang yang memulai proses
perubahan tersebut, kemudian disusul oleh oleh kaum bangsawan
serta golongan-golongan lain yang punya kepentingan dalam
pemerintahan lama. Perubahan-perubahan di bidang pemerintahan
berlangsung cepat meskipun terdapat adanya penolakan dari
masyarakat mengenai perubahan tersebut, namun relatif hanya
sedikit hambatan yang kemudian bisa diatasi. Sri Sultan
mengeluarkan aturan-aturan yang baru yang meskipun masih
banyak mengadopsi tata cara Belanda namun dengan keluarnya
aturan tersebut maka otomatis membuat perubahan yang terjadi
sangat terasa. Banyak perubahan yang dapat kita lihat. Kaum

intelektual yang berpendidikan tinggi juga bertindak sebagai
pelopor perubahan karena mereka memiliki pengetahuan lebih
tentang apa yang harus diubah dan ke arah mana perubahan itu
harus dilakukan, yakni penguasa kolonial asing harus digantikan
oleh pemerintah nasional yang demokratis. Di masa ini banyak
pekerja atau pegawai negeri yang merupakan golongan pribumi
dan jumlahnya semakin meningkat. Kemudian orang yang
berpendidikan tinggi mulai menjadi lebih di hormati daripada
orang orang dari kalangan strata atas (bangsawan). Bangsawan saat
ini hanya berupa gelar, namun untuk mencapai apa yang
diinginkan, mereka harus bisa bersaing juga dengan penduduk
pribumi biasa. Dunia perpolitikan juga sudah mengadopsi budaya
Barat, dengan dalam sebuah pidato biasanya menggunakan istilahistilah bahasa inggris.
Perubahan sosial di Yogyakarta menarik karena Yogyakarta
memiliki subkultur yang berbeda dengan masyarakat Jawa lainnya
dimana Yogyakarta merupakan daerah swapraja (Kesultanan) yang
tetap mempertahankan banyak tatanan feodal (Sumardjan, 2009).
Dalam (Gunawan, 2010), fakor penting dalam perubahan
masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta adalah ideologi politik.
Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2 hal.
Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya
dengan negara, dari dalam posisi subordinasi 9 didominasi,
diabaikan) dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang
menyangkut kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan
kompetisi sehat, transparansi, dan partisipasi. Kedua, status dan
peran lembaga-lembaga pemerintahan, dari yang sangat sentralistik
dan otokratis menjadi pemerintahan yang desentralistik dan
demokratis. Ideologi poitik semacam ini bukan sekedar sebuah
mekanisme

bagaimana

meraih,

mengembangkan

dan

mempertahankan kekuasaan, tetapi lebih daripada itu adalah niat
luhur yang menghargai harkat dan martabat manusia.
Karakteristik perubahan sosial menurut (Selo Soemardjan.
1981: 307-329), sebagai berikut:
1. Hasrat akan perubahan sosial bisa berubah menjadi
tindakan untuk mengubah kalau ada rangsangan yang
cukup kuat untuk mengatasi hambatan-hambatan yang
merintangi tahap permulaan proses perubahan.
Hasrat yang semakin besar dan dorongan ke arah
perubahan dapat berubah menjadi tindakan dengan
stimulus yang kuat. Stimulus biasanya timbul disaat
akumulasi tekanan sosial sudah cukup kuat untuk
mengatasi hambatan-hambatan sosial yang merintangi
tahap awal proses perubahan. Jika hambatan itu bisa diatasi
dengan mudah, ada kemungkinan perubahan akan maju
berangsur-angsur tanpa mengakibatkan terjadinya banyak
gangguan sosial. Akan tetapi jika hambatan-hambatan itu
harus disingkirkan dengan kekuatan, pengaruh perubahan
itu cenderung disertai cukup banyak disorganisasi sosial.
Jadi, suatu perubahan itu tidak harus dilakukan dengan cara
kekerasan tapi dengan cara yang baik dan bertahap. Hasrat
yang kuat timbul dari kesadaran individu atau kelompok
yang menginginkan perubahan yang lebih baik. Hasrat
tersebut menjadi pegangan seluruh masyarakat untuk
melakukan

tindakan

perubahan

di

segala

bidang

kehidupan. Dimana perubahan tersebut berlandaskan sesuai
kebutuhan dan budaya sendiri tanpa adanya hambatanhambatan dari pengaruh asing.
2. Orang-orang yang mengalami tekanan kuat dari luar
cenderung untuk mengalihkan agresi balasan mereka dari

sumber tekanan yang sebenarnya ke sasaran-sasaran
materiil yang ada sangkut pautnya dengan sumber itu.
Tekanan

penguasa

asing

yang

terus-menerus

merintangi perkembangan aspirasi sosial dan kultur
masyarakat secara bebas telah membuat mereka bersikap
agresif. Tindakan-tindakan agresif mereka tidak diarahkan
kepada tubuh pemerintah asing itu sendiri, akan tetapi
dialihkan pada sasaran-sasaran yang ada hubungannya
dengan kekuatan-kekuatan yang menimbulkan gangguan
dan frustasi. Tindakan-tindakan destruktif demikian tak
lain adalah gejala yang menunjukkan hasrat rakyat akan
perubahan, dari perubahan itu rakyat mengharapkan
perbaikan nasibnya.
3. Rakyat yang tertekan oleh kekuatan luar cenderung untuk
bekerjasama dengan kekuatan luar, tetapi hanya untuk
mempertahankan ketentraman jiwa mereka.
Masyarakat Jawa mengadakan kerjasama pasif dengan
penguasa atau menarik diri dari penguasa Belanda dan
Jepang. Kerjasama hanya dilaksanakan untuk memelihara
hubungan baik antara para warga pamong praja dengan
pemerintah desa sehingga tidak menimbulkan frustasi di
kalangan para warga masyarakat. Mereka mengalihkan
perhatian mereka ke dalam dan membatasi diri dalam
persoalan-persoalan mereka sendiri, mengarah pada caracara tradisional yang bagi mereka terasa lebih aman.
Hubungan dengan masyarakat desa lainnya hanya kalau
perlu saja. Dengan demikian tiap masyarakat desa
cenderung untuk menjadi suatu kesatuan sosial yang
terpisah yang hanya mempunyai kepentingan bersama
dengan masyarakat pedesaan di sekitarnya. Terjadilah
frustasi dan ketegangan, tetapi ketegangan psikologis

perorangan

sangat

minim

sebab

tiap

orang

bisa

menemukan rasa tentram dalam masyarakat pedesaan yang
sudah mapan.
4. Orang-orang yang tertekan cenderung untuk menjadi lebih
agresif

begitu

mereka

semakin

menyadari

adanya

kesenjangan antara keadaan hidup mereka sekarang
dengan yang mereka inginkan.
Kesenjangan dalam pendidikan formal yang besar antara
golongan elite politik dengan penduduk pedesaan yang
buta huruf amat menyulitkan terciptanya komunikasi yang
baik antara kedua golongan ini. Ini menggagalkan integrasi
kedua golongan tersebut dalam suatu aksi bersama untuk
memulai suatu proses perubahan sosial.
5. Proses perubahan sosial di kalangan para pelopor –
pelopornya bermula dari pemikiran ke sesuatu di luar
(eksternal). Di kalangan para warga masyarakat lainnya,
proses itu berlangsung dari sesuatu di luar (eksternal) ke
sesuatu yang bersifat kelembagaan.
Kaum elite terpelajar yang bertindak sebagai pelopor
perubahan secara garis besar mengetahui apa yang harus
diubah dan kearah mana perubahan itu harus disalurkan,
penguasa

kolonial

asing

harus

digantikan

oleh

pemerintahan nasional yang demokratis. Dalam hal ini,
perubahan bermula dari tatanan eksternal lembaga-lembaga
politik. Apabila simbol-simbol eksternal yakni dewan
legislatif dan dewan eksekutif dijalankan dan bisa diterima
sebagai suatu sarana pernyataan diri masyarakat, maka
berangsur-angsur rakyat mulai memahami dan menghayati
makna sistem baru tersebut. Lewat pengaruh simbolsimbol eksternal itu, rakyat mulai mengubah kebiasaan
berpikir

mereka,

yang

kemudian

menuju

pada

pelembagaan nilai-nilai serta norma-norma demokrasi yang
baru.
6. Harta kekayaan yang diinginkan, tetapi tidak bisa lagi
diperoleh karena jalan itu tertutup oleh kekuatan –
kekuatan luar sehingga telah kehilangan nilai sosialnya
oleh rasionalisasi. Dalam hal yang ekstrim, harta
kekayaan itu tidak dihargai.
Seiring dengan perubahan-perubahan demokratis dalam
masyarakat, pendidikan bagi para warganya mempunyai
prestise yang tinggi. Nilai baru dari pendidikan ini
dimungkinkan karena adanya perubahan sistem pendidikan
di negeri ini dan karena banyak sekolah yang tersedia bagi
penduduk pedesaan di seluruh DIY. Memiliki banyak
ternak tidak lagi memberikan prestise sosial, ternak mereka
dijual untuk membiayai pendidikan anak. Agar harta
kekayaan bisa tetap mempertahankan nilai sosialnya, harus
ada iklim sosial yang mempertahankan fungsinya untuk
kepuasan masyarakat. Kalau kondisi ini tidak ada, tidak
ada alasan bagi masyarakat untuk mempertahankan nilai
harta kekayaan itu.
7. Rakyat menolak perubahan karena berbagai alasan,
antara lain: 1) Mereka tak memahaminya. 2) Perubahan
itu bertentangan dengan nilai – nili serta norma – norma
yang

ada.

3)

Para

anggota

masyarakat

yang

berkepentingan dengan keadaan yang ada cukup kuat
menolak perubahan. 4) Resiko yang terkandung dalam
perubahan itu lebih besar dari pada jaminan sosial dan
ekonomi yang bisa diusahakan. 5) Pelopor perubahan
ditolak.

Sebagai salah satu contohnya yaitu tidak diterimanya
Panitia Pembantu Pamong Praja (PPPP) yang dibentuk Sri
Sultan oleh Pamong Praja dan rakyat. Anggota-anggota
panitia yaitu masyarakat desa yang terkemuka, dan panitia
itu dimaksudkan sebagai langkah pendahuluan menuju
bentuk pemerintahan yang demokratis. Namun, rakyat
tidak memahami pembaharuan itu, karena mereka terbiasa
dengan pemerintahan pusat yang otoriter tanpa wakil
rakyat. Oleh karena itu, masyarakat masih ragu untuk
melaksanakan perubahan karena terbiasanya dengan
aturan-aturan lama mereka.
8. Perubahan – perubahan yang tidak merata pada berbagai
sektor kebudayaan masyarakat cenderung menimbulkan
ketegangan



ketegangan

yang

mengganggu

keseimbangan sosial.
Di bidang perekonomian perubahan berlangsung jauh lebih
lamban, walaupun masyarakat telah menciptakan kondisikondisi dasar yang menguntungkan untuk memulai
pembangunan ekonomi, tatanan perekonomian tapi masih
jauh tertinggal di belakang kemajuan di bidang politik dan
pendidikan. Tidak bisa disangkal bahwa suatu perubahan
yang

lambat

lebih

sedikit

menimbulkan

gangguan

dibandingkan dengan perubahan yang cepat. Itu artinya
perubahan

tidak

bisa

diterima

secara

penuh

oleh

masyarakat, kecuali kalau mendapat dukungan dari
perubahan lain yang sejalan dalam bidang kebudayaan dan
masyarakat itu sendiri.
9. Dalam proses perubahan sosial, kebiasaan – kebiasaan
lama dipertahankan dan diterapkan pada inovasi sehingga

tiba saatnya kebiasaan – kebiasaan baru yang lebih
menguntungkan menggantikan yang lama.
Oleh karena kebiasaan yang lama dan yang baru ada
bersama-sama,

tidak

mengherankan

kalau

pola-pola

tingkah laku lama masih diterapkan pada lembaga-lembaga
yang baru. Jika keduanya tidak cocok, pola-pola tingkah
laku lama pada akhirnya akan pudar, asalkan lembagalembaga baru tersebut berfungsi lebih baik daripada yang
lama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Tetapi jika ada kecocokan antara keduanya, yang lama dan
yang baru bisa dipertahankan karena keduanya merupakan
bagian

dari

lembaga-lembaga

lainnya

yang

masih

memainkan peranan dominan dalam masyarakat. Baik
pola-pola tingkah laku lama maupun yang baru dan
lembaga-lembaga yang baru akan ditata kembali sehingga
sesuai dengan struktur sosial yang ada.
10. Kalau rakyat terus menerus tidak diberi kesempatan untuk
memuaskan kebutuhan – kebutuhan sosialnya, mereka
cenderung beralih merenungkan hal bukan keduniawian
untuk

mendapatkan

ketentraman

jiwa.

Dalam

hal

sebaliknya, mereka cenderung untuk menjadi lebih sekuler
dalam sistem kepercayaan.
Di bawah pemerintahan otoriter sultan-sultan Jawa dan
selama penjajahan asing, rakyat beralih pada kebatinan
yang mereka anggap dapat membuka jalan untuk
menghubungkan jiwa seseorang dengan kekuatan-kekuatan
luar dunia, orang bisa menemukan kedamaian.
merupakan

suatu

pengingkaran

dalam

Hal ini

menghadapi

masalah-masalah sosial, memberikan jalan keluar bagi
seseorang, tetapi tidak membantu menyelesaikan masalah-

masalah sosial itu sendiri. kembalinya ke masalah-masalah
duniawi amat jelas ditunjukkan oleh permintaan akan
pendidikan sekuler di kalangan para siswa sekolah-sekolah
agama islam di Yogyakarta.
11. Suatu

perubahan

sosial

yang

diprakarsai

dan

dilaksanakan oleh pelopor yang berlawanan dengan
kepentingan – kepentingan pribadi (vested interests)
cenderung untuk berhasil.
Apabila orang-orang yang vested interests bisa dibujuk
untuk tetap bersikap pasif terhadap perubahan-perubahan
sosial, perubahan sosial mempunyai kemungkinan lebih
banyak untuk berhasil berkat tidak aktifnyasalah satu
penghalang

utama

perubahan

ini.

Apabila

mereka

berpartisipasi dalam proses perubahan, kemungkinan
terwujudnya perubahan tersebut akan lebih besar lagi.
Dengan

demikian

mereka

yang

juga

mempunyai

kepentingan-kepentingan yang sama tak lagi mempunyai
alasan untuk menentang perubahan.
12. Perubahan yang dimulai dengan pertukaran pikiran
secara bebas diantara para warga masyarakat yang
terlibat, cenderung mencapai sukses yang lebih lama
daripada perubahan yang dipaksakan dengan dekrit pada
mereka.
Keputusan untuk memulai suatu perubahan harus diambil
secara bebas oleh rakyat, agar perubahan tidak hanya
berlangsung di permukaan, bersifat sementara dan tidak
bisa melembaga. Perubahan yang dilaksanakan atas
kemauan bebas rakyat dipandang sebagai suatu hal yang
memang diinginkan oleh rakyat. Rasa tanggungjawab dan

harga diri penduduk ternyata merupakan suatu pendorong
yang

penting

untuk

bekerja

lebih

hati-hati

untuk

memperkecil resiko kegagalan. Bahkan kalau terjadi
kegagalan, rakyat tidak kecil hati akan tetapi selalu
kembali berusaha sehingga perubahan yang dikehendaki itu
berhasil.
13. Perubahan dari sistem kelas tertutup ke kelas terbuka akan
disertai dengan perubahan dari sistem komunikasi vertikal
satu arah ke sistem komunikasi vertikal dua arah.
Sistem kelas terbuka memberikan kesempatan kepada para
warga kelas-kelas rendah untuk naik kelas-kelas yang lebih
tinggi. Kemungkinan adanya mobilitas ke atas merupakan
suatu perangsang bagi mereka yang berada di kelas bawah
untuk memperoleh semua harta kekayaan atau ciri-ciri
yang akan menggolongkan mereka dalam kelas di atasnya.
Dalam suatu kelas terbuka, berlaku cara berkomunikasi
vertikal dua arah yang memperlancar arus gagasan, baik ke
atas maupun ke bawah. Semenjak revolusi, sistem kelas
tertutup dalam masyarakat Jawa di Yogyakarta telah
berubah menjadi sistem kelas terbuka. Para warga
masyarakat pedesaan, bisa menaiki jenjang hirarki sosial
dan

menduduki

jabatan

dalam

pemerintahan

DIY.

Perubahan dalam cara berkomunikasi yang berlaku pada
pertemuan

bulanan

antara

pamong

praja

dengan

pemerintah desa sangat menyolok. Para pamong desa tak
lagi hanya menerima perintah tanpa syarat dari atasannya,
akan tetapi mereka menghendaki agar pendapatnya
didengar sebelum suatu keputusan diambil.
14. Perubahan dari sistem kelas tertutup ke kelas terbuka
cenderung untuk mengalihkan orientasi rakyat dari tradisi.

Maka, mereka menjadi lebih mudah menerima perubahan
– perubahan lainnya.
Perubahan

dalam

sistem

kelas

menimbulkan

kecenderungan yang kuat dikalangan masyarakat desa
untuk memperluas ruang lingkupya. Frekuensi hubungan
antara warga masyarakat pedesaan dengan dunia luar
meningkat, sedangkan minat atas hal-hal di luar lingkungan
desa juga tumbuh. Proses meluasnya hubungan masyarakat
ini

dapat

mengendorkan

ikatan-ikatan

tradisi

yang

mengikat para warga masyarakat. Hasrat akan kemajuan
telah menggantikan ketentraman yang sifatnya tradisional,
dan preferensi pada sesuatu yang baru mengalahkan
keterikatan pada yang lama.
15. Semakin lama dan semakin berat penderitaan yang telah
dialami

oleh

rakyat

karena

berbagai

ketegangan

psikologis dan frustasi, maka semakin tersebar luas dan
cepat kecenderungan perubahan yang menuju pada
kelegaan.
Selama masa pendudukan Jepang, penderitaan rakyat
semakin lama semakin berat. Perampasan sandang pangan
sebagian besar penduduk, gangguan kehidupan keluarga
karena anak-anak muda disuruh kerja paksa di daerah luar
Yogyakarta,

ketegangan-ketegangan

psikologis

menimbulkan keadaan hidup yang sangat berat bagi
banyak orang. Karena beratnya penderitaan mereka maka
rakyat pun bergerak dengan semangat yang berkobarkobar, dengan revolusi nasional, mereka percaya akan
terbebas dari segenap penderitaan.

Dari 15 karakteristik perubahan sosial yang dikemukakan oleh Selo
Soemardjan di atas, dapat memberikan gambaran atau solusi khususnya di
Yogyakarta dan secara luas untuk Indonesia. Kita telah mengetahui bahwa
sejak pemerintahan Orde Baru yaitu masa Pemerintahan Soeharto, sistem
pemerintahan

di Indonesia ini terbilang otoriter. Dimana kekuasaan

berada di tangan pemerintah pusat. Segala aspek kehidupan diatur oleh
pusat mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Dan saat itu, orang dengan golongan atas, memiliki kekuasaan dan
kekayaan dipandang lebih dan memiliki tempat yang khusus yaitu dengan
mudahnya menduduki kursi-kursi pemerintahan. Karena kondisi ini yang
terus berkepanjangan, masyarakat Indonesia menginginkan perubahan
segala bidang kehidupan dan menuntut pemerintah yang berkuasa untuk
memberikan kebebasan tanpa ada ancaman. Mereka menginginkan
pemerintahan yang demokratis dan adanya sistem desentralistik, yang
berpihak kepada rakyat dan mau menerima aspirasi rakyat. Dengan
semangat yang berkobar untuk melakukan perubahan tersebut, segenap
mahasiswa dan masyarakat Indonesia menginginkan lengsernya kekuasaan
Presiden Soeharto. Dan momentum itu terjadi pada tahun 1998 yang
menandai era reformasi. Pada era reformasi, di Indonesia diterapkan
sistem otonomi daerah. Harapannya dengan otonomi daerah, proses
pemerintahan

akan

lebih

dekat

dengan

rakyat

sehingga

dapat

meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Jika kita dapat menengok kembali, sebenarnya pemerintahan yang
demokratis dan desentralis ini sudah diterapkan di Yogyakarta sejak lama.
Hal ini dipelopori oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Hal inilah yang
menjadi salah satu Indonesia mengikuti jejak kebijakan Sri Sultan. Setelah
Sri Sultan menyelesaikan studinya di luar, beliau mengaplikasikan ilmu
yang ia peroleh tersebut untuk diterapkan di Yogyakarta sebagai solusi
permasalahan.

Gaya

kepemimpinan

yang

dilakukan

Sri

Sultan

Hamengkubuwono IX itu sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan
Presiden Soeharto saat itu. Sri Sultan lebih mementingkan urusan rakyat

diatas kepentingan pribadi. Beliau juga memandang sama antara golongan
atas dengan golongan bawah. Karena beliau melihat orang bukan dari
gelar kebangsawanannya. Pemikiran tersebut dipandang sudah modern
untuk jaman saat itu. Walaupun sedikit orang yang menolak dengan
kebijakan yang dibuat Sri Sultan. Beliau sadar jika suatu perubahan itu
akan menimbulkan pro dan kontra. Dan sebagai seorang pemimpin harus
bisa memahami rakyatnya.
Jadi, hal itulah yang dapat diambil dari pemikiran Selo Soemardjan
tentang

Perubahan

Sosial

di

Yogyakarta

sebagai

dasar

untuk

menyelesaikan masalah sosial di Indonesia dan membentuk suatu
pemerintahan Indonesia yang lebih baik.
D. Relevansi Pemikiran Selo Soemardjan untuk Saat Ini
Selo Soemardjan yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia,
mengekspresikan kegelisahannya mengenai perkembangan ilmu-ilmu
sosial di Indonesia yang sangat memprihatinkan karena minimnya
kontribusi ilmuwan sosial Indonesia dalam melahirkan teori-teori sosial
yang sesuai dengan budaya Indonesia. Banyaknya ilmuwan Indonesia
yang justru bangga mempelajari dan mengadopsi teori-teori Barat dalam
memecahkan suatu masalah tanpa melihat dan menyesuaikan dengan
kondisi kebudayaan Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai seorang ilmuwan,
Selo Soemardjan melakukan sebuah penelitian dengan thesisnya yang
berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta. Ia mempelajari segala kehidupan
masyarakat Yogyakarta saat itu, dan mempelajari apa saja permasalahan
yang terjadi. Dari hasil thesisnya tersebut muncullah 15 karakteristik
perubahan sosial yang telah dijelaskan di atas.
Dari 15 karakteristik perubahan sosial tersebut, kiranya masih
sangat relevan untuk kondisi Indonesia saat ini. Secara umum, dari 15
butir karakteristik perubahan sosial itu menjelaskan bahwa :
-

pentingnya suatu perubahan di lembaga-lembaga masyarakat
karena akan mempengaruhi sistem sosial termasuk nilai,
norma, sikap dan tingkah laku. Misalnya yaitu pada lembaga

pendidikan yang terus berupaya melakukan perubahanperubahan seperti perbaikan kurikulum dari tahun ke tahun
untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang berkualitas.
-

Pelaksanaan sistem pemerintah yang Desentralistik. Hal ini
masih relevan dan masih diterapkan di Indonesia. Buktinya
yaitu adanya kebijakan otonomi daerah. Dimana memberikan
kekuasaan dan kewenangan kepada setiap daerah untuk
mengatur pemerintahan daerahnya sendiri. seperti mengatur
kebijakan di bidang pendidikan, ekonomi, politik sesuai
kebutuhan dan kultur masing-masing daerah.

-

Dahulu

orang

kelas

atas

yang

mempunyai

gelar

kebangsawanan sangat dipandang terhormat dan disegani
bahkan dengan mudahnya menduduki kursi pemerintahan.
Namun sekarang anggapan tersebut sudah hilang, karena untuk
mendapatkan

penghargaan

itu

didapat

bukan

karena

kebangsawanan tetapi karena usaha, kemampuan, dan presetasi
seseorang. Seperti apa yang telah disampaikan Selo pada butir
ke 13 karakteristik perubahan sosial.
-

Pemimpin yang lebih mementingkan kesejahteraan rakyat
diatas kepentingan pribadi. Hal ini tentunya masih dapat kita
lihat dengan program-program pemerintahan Jokowi. Misalnya
kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, pembangunan
pendidikan di daerah pelosok, pembangunan jalan tol untuk
mempermudah aktivitas masyarakat, dll.

-

Adanya hubungan kerjasama MEA (Masyarakat Ekonomi
Asean), yang menjadi isu beberapa tahun yang lalu yaitu
pengiriman dosen luar negeri untuk mengajar di perguruan
tinggi Indonesia. Hal ini mendapat banyak pro dan kontra dari
masyarakat karena ditakutkan akan memberikan dampak yang
kurang baik terkait dengan kultur asing yang diberikan untuk
mahasiswa. Masyarakat Indonesia justru mengharapkan para

ahli atau ilmuwan dari Indonesia untuk mengajar dan
mengembangkan keahliannya di Indonesia. Hal inilah yang
menjadi harapan Selo Soemardjan beberapa tahun yang lalu,
yaitu agar ilmuwan atau para sarjana negeri ini dapat
memberikan keahliannya untuk menyelesaikan permasalahan
sosial di Indonesia melalui bidang keahlian yang dimiliki.

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Secara garis besar perkembangan Ilmu Sosial Indonesia dapat dibagi ke
dalam tiga fase perkembangan, yaitu ilmu sosial kolonial (indologi), ilmu
sosial develomentalis, dan ilmu sosial kontemporer.
Permasalahan sosial yang ada di Indonesia ini antara lain, belum adanya
teori-teori ilmu sosial yang dihasilkan oleh kaum intelektual Indonesia dalam
menjelaskan kehidupan sosial masyarakat secara memadai dalam menjawab
segala permasalahan-permasalahan di negeri ini. Ilmu sosial di Indonesia ini
tidak mengalami perkembangan yang signifikan karena adanya beberapa
alasan seperti rendahnya penghargaan terhadap ide dan gagasan antar sesama
kaum intelektual Indonesia, adanya tradisi kutip-mengutip. Adanya krisis
kepercayaan terhadap kemampuan ilmu-ilmu sosial di dalam memainkan
peranannya di dalam memecahkan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik,
dan budaya di masyarakat.
Dalam perkembangan ilmu sosial, meskipun masih banyak meniru dari
Barat, namun masih dapat ditemukan sejumlah sarjana yang konsisten
mengembangkan ilmu sosial yang khas yaitu sesuai dengan budaya
masyarakat Indonesia, untuk itu kita harus memberikan apresiasi setinggi-

tingginya. Salah satu sarjana yang berpengaruh dan memberikan pemikiran
alternatifnya yaitu Selo Soemardjan tentang perubahan sosial dan masyarakat
jejaring yang dapat diterapkan di Indonesia dan dapat dikembangkan oleh
akademisi lokal. Selo Sumardjan lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915. Selo
Sumardjan dikenal dikalangan akademik dan masyarakat di Indonesia sebagai
Bapak Sosiologi. Thesis beliau yang sangat terkenal yaitu berjudul social
change in Jogjakarta, menjadi salah satu puncak pencapaian beliau yang
melahirkan gelar sebagai profesor dengan arus utama sosiologi. Perubahan
sosial yang digagas Selo berfokus pada perubahan di dalam lembaga-lembaga
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial yang di dalamnya termasuk
nilai, norma, sikap, dan tingkah laku. Dari Thesisnya ia mengungkapkan 15
karakteristik perubahan sosial. Perubahan-perubahan dalam tata pemerintahan
DIY dari tingkat atas hingga tingkat pedesaan dilaksanakan oleh penguasa
daerah, yaitu Sultan. Dari 15 karakteristik perubahan sosial tersebut, kiranya
masih sangat relevan untuk kondisi Indonesia saat ini. Misalnya Pelaksanaan
sistem pemerintah yang Desentralistik. Hal ini masih relevan dan masih
diterapkan di Indonesia. Buktinya yaitu adanya kebijakan otonomi daerah.
Dimana memberikan kekuasaan dan kewenangan kepada setiap daerah untuk
mengatur pemerintahan daerahnya sendiri. seperti mengatur kebijakan di
bidang pendidikan, ekonomi, politik