disebabkan oleh virus White Spot Syndrome WSS dan Yellow Head Virus YHV dan penyakit bakteri berpendar Vibrio harveyi. Selain itu pemakaian
antibiotik menjadi cara yang dianggap efektif untuk menanggulangi bakteri patogen di perairan tambak pada sistem budidaya ini, tetapi dengan ditemukannya
residu antibiotik yang tinggi pada udang asal Indonesia, mengakibatkan dikeluarkannya larangan ekspor udang Indonesia ke beberapa negara tujuan
Rangkuti, 2007. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi pencemaran air dan degradasi kualitas tambak udang di antaranya yang paling
populer ialah dengan pemanfaatan mikroba probiotik Devaraja et al., 2002.
2.3 Perkembangan Udang Litopenaeus vannamei
Jenis udang yang dikembangkan pada awal perkembangan budidaya udang di Indonesia ialah Penaeus monodon jumbo tiger prawn dan Penaeus marquensis
udang putih. Serangan penyakit dan penurunan kualitas air tambak menyebabkan produksi udang tersebut terus menurun dari tahun 1990-an sampai
2000-an. Pada tahun 1992 produksi udang di Indonesia mengalami penurunan secara dramatis yaitu 140.000 mt tahun 1991 menjadi 80.000 mt tahun 1993. Hal
ini mungkin disebabkan manajemen air yang tidak baik Supriyadi Rukyani, 1992 sehingga dapat meningkatkan terjadinya serangan penyakit vibriosis yang
disebabkan oleh beberapa bakteri Vibrio sp. Tahun 1992 total produksi nasional sekitar 98.350 ton, produksi menurun menjadi 83.193 ton pada tahu 1994. Pada
tahun 1998 produksi ini turun lagi menjadi 74.824 ton Departemen Perikanan dan
Kelautan, 2002.
Masalah utama penurunan produksi udang ialah penurunan kualitas air dan serangan penyakit. Pada budidaya udang secara intensif, penurunan kualitas air
dapat terjadi dengan cepat disebabkan oleh faktor internal seperti akumulasi sisa pakan akibat kelebihan pemberian pakan overfeeding dan hasil metabolisme
hewan peliharaan Moriarty, 1999. Sisa pakan berupa protein di perairan dapat terurai menjadi senyawa-senyawa toksik bagi hewan air seperti amonia, nitrit dan
nitrat Intan et al., 2005. Boyd 1981 menyatakan bahwa pada budi daya udang,
Universitas Sumatera Utara
sebahagian besar nitrogen ±90 masuk ke kolam sebagai pakan buatan, 22 dikonversi menjadi udang yang dipanen, 14 tersisa pada sedimen, dan sisanya
57 dikeluarkan ke lingkungan. Tahun 2000 para pengusaha mulai beralih pada jenis udang Penaeus
vannamei karena dianggap lebih tahan penyakit. Sistem budidaya yang dikembangkanpun lebih kepada sistem semiintensif maupun intensif.
Keberhasilan budidaya udang Penaeus vannamei mengalami puncak pada tahun 2005, dengan peningkatan produksi tiga kali lipat Rangkuti, 2007. Keberhasilan
ini juga tidak berlangsung lama karena beberapa tahun terakhir produksi udang ini pun tidak stabil dan cenderung menurun meskipun tidak secara drastis. Dari tahun
2008-2009 produksi udang budidaya turun sebanyak 15 Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009.
2.4 Pertumbuhan Udang