Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II :
TINJAUAN UMUM TENTANG SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
. Dalam bab ini berisi tentang definisi subjek hukum internasional, perkembangan subjek hukum internasional,
macam-macam subjek hukum internasional dan kedudukan negara sebagai subjek utama dalam hukum internasional.
BAB III : HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTAR NEGARA
. Bab ini berisikan tentang sejarah perkembangan hubungan diplomatik,
pembukaan hubungan diplomatik, berakhirnya misi diplomatik dan syarat-syarat pembentukan hubungan diplomatik.
BAB IV : HUBUNGAN DIPLOMATIK TAIWAN SEBAGAI SUBJEK
HUKUM INTERNASIONAL . Bab ini berisi tentang status Taiwan
dalam perspektif hukum internasional, hubungan diplomatik antara Taiwan dengan Indonesia.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang
dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran- saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
A.
Definisi Subjek Hukum Internasional
Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung pemilik hak dan kewajiban. Pada awal mula dari kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional,
hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Akan tetapi karena perkembangannya, pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional
pada saat ini ternyata tidak terbatas pada Negara saja tetapi juga meliputi subyek hukum internasional lainnya. Hal ini dikarenakan terdapat perkembangan ataupun
kemajuan di bidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi dimana kebutuhan manusia semakin meningkat cepat sehingga menimbulkan interaksi yang semakin
kompleks.
25
Menurut I Wayan Parthiana subjek hukum pada umumnya diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dengan kemampuan sebagai
Jadi subyek hukum internasional dapat diartikan sebagai negara atau kesatuan-kesatuan bukan negara yang dalam keadaan tertentu memiliki kemampuan
untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban berdasarkan Hukum Internasional. Munculnya organisasi-organisasi Internasional baik yang bersifat bilateral, regional
maupun multilateral dengan berbagai kepentingan dan latar belakang yang mendasari pada akhirnya mampu untuk dianggap sebagai subyek hukum
internasional. Begitu juga dengan keberadaan individu atau kelompok individu belligerent yang pada akhirnya dapat pula diakui sebagai subyek hukum
Internasional.
25
Haryomataram, KGPH, Pengantar Hukum Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 78
pemegang hak dan kewajiban tersebut, berarti adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan hukum yang melahirkan hak-hak dan kewajiban. Secara
umum yang dipandang sebagai subjek hukum adalah : a individu atau orang perorangan atau disebut pribadi alam dan b badan atau lembaga yang sengaja
didirikan untuk suatu maksud dan tujuan tertentu yang karena sifat, ciri, dan coraknya yang sedemikian rupa dipandang mampu berkedudukan sebagai subjek
hukum. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa subjek hukum internasional adalah pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional;
dan setiap pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional adalah Subjek Hukum Internasional.
26
Pendapat lain juga dikemukakan oleh F. Sugeng Istanto yang mengatakan bahwa yang dianggap sebagai subjek hukum bagi hukum internasional adalah
negara, organisasi internasional dan individu. Subjek hukum tersebut masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang berbeda satu sama lain. Subjek Hukum
Internasional adalah pihak-pihak pembawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. Adapun subjek hukum internasional adalah sebagai
berikut.
27
1. Negara
Negara dinyatakan sebagai subjek hukum internasional yang pertama karena kenyataan menunjukkan bahwa yang pertama melakukan hubungan internasional
adalah negara. Aturan-aturan yang disediakan masayarakat internasional dapat dipastikan berupa aturan tingkah laku yang harus ditaati oleh negara apabila
26
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 58.
27
F. Sugeng Istanto, Studi Kasus Hukum Internasional, Penerbit PT Tatannusa, Jakarta, 1998, hal 17
mereka saling mengadakan hubungan. Adapun negara yang menjadi subjek hukum internasional adalah negara yang merdeka, berdaulat, dan tidak
merupakan bagian dari suatu negara, artinya negara yang mempunyai pemerintahan sendiri secara penuh yaitu kekuasaan penuh terhadap warga negara
dalam lingkungan kewenangan negara itu. 2.
Tahta Suci Vatican Yang dimaksud dengan Tahta Suci Vatican adalah gereja Katolik Roma yang
diwakili oleh Paus di Vatikan. Walaupun bukan suatu negara, Tahta Suci mempunyai kedudukan sama dengan negara sebagai subjek hukum internasional.
Tahta Suci memiliki perwakilan-perwakilan diplomatik di berbagai negara di dunia yang kedudukannya sejajar sengan wakil-wakil diplomat negara-negara
lain. 3.
Palang Merah Internasional Organisasi Palang Merah Internasional lahir sebagai subjek hukum internasional
karena sejarah. Kamudian, kedudukannya diperkuat dalam perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi palang merah tentang perlindungan korban perang.
4. Organisasi Internasional, Organisasi Internasional dibagi menjadi sebagai
berikut. a.
Organisasi Internasional Publik atau Antarpemerintah Intergovernmental Organization: Organisasi internasional publik meliputi keanggotaan negara-
negara yang diakui menurut salah satu pandangan teori pengakuan atau keduanya. Prinsip-prinsip keanggotaan organisasi internasional adalah
sebagai berikut.
1 Prinsip Universitas University. Prinsip ini dianut PBB termasuk badan-
badan khusus yang keanggotaannya tidak membedakan besar atau kecilnya suatu negara.
2 Prinsip Pendekatan Wilayah Geographic Proximity. Prinsip kedekatan
wilayah memiliki anggota yang dibatasi pada negara-negara yang berada di wilayah tertentu saja. Contohnya, ASEAN meliputi keanggotaan
negara-negara yang ada di Asia Tenggara. 3
Prinsip Selektivitas Selectivity. Prinsip selektivitas melihat dari segi kebudayaan, agama, etnis, pengalaman sejarah, dan sesama produsen.
Contohnya Liga Arab, OPEC, Organisasi Konferensi Islam, dan sebagainya.
b. Organisasi Internasional Privat Private International Organization:
Organisasi ini dibentuk atas dasar mewujudkan lembaga yang independen, faktual atau demokratis, oleh karena itu sering disebut organisasi
nonpemerintahan NGO = Non Government Organization atau dikenal dengan lembaga swadaya masyarakat yang anggotanya badan-badan swasta.
c. Organisasi Regional atau Subregional: Pembentukan organisasi regional
maupun subregional, anggotanya didasarkan atas prinsip kedekatan wailayah, seperti : South Pasific Forum, South Asian Regional Cooperation,
gulf Cooperation Council, dan lain-lain. d.
Organisasi yang bersifat universal: Organisasi yang bersifat universal lebih memberikan kesempatan kepada anggotanya seluas mungkin tanpa
memandang besar kecilnya suatu negara.
e. Orang Perorangan Individu: Setiap individu menjadi subjek hukum
internasional jika dalam tindakan yang dilakukannya memperoleh penilaian positif atau negatif sesuai kehidupan masyarakat dunia.
f. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa: Menurut hukum perang,
pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam keadaan tertentu.
• Menentukan nasibnya sendiri, • Memilih sendiri sistem ekonomi, politik, dan sosial,
• Menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang didudukinya. Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini
adalah hukum internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum
perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum
yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.
28
Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan
perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda.
29
Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau
28
Rudi, T May, Hukum Internaisonal I, Refika Aditama, Bandung, 2001, hal 44
29
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum Humaniter Internasional Dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal 2
persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama
lain’’.
30
B.
Perkembangan Subjek Hukum Internasional
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang
di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya,
serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.
Subyek Hukum Internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal
mula, dari kelahiran dan pertumbuhan Hukum Internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Namun, seiring perkembangan
zaman telah terjadi perubahan pelaku-pelaku subyek hukum internasional itu sendiri. Dewasa ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat
internasional, adalah:
1.
Negara
Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum
internasional adalah penduduk yang tetap, mempunyai wilayah teritorial tertentu; pemerintahan yang sah dan kemampuan untuk mengadakan
hubungan dengan negara lain.
30
Ibid
2.
Organisasi Internasional
Organisasi internasional mempunyai klasifikasi, yakni: 1.
Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah
Perserikatan Bangsa Bangsa ; 2.
Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank,
UNESCO, International Monetary Fund, International Labor
Organization, dan lain-lain;
3. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud
dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation
ASEAN, Europe Union.
3. Palang Merah Internasional
Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang
berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang
Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing
wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional International Committee of
the Red CrossICRC dan berkedudukan di Jenewa, Swiss.
4. Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta
Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas
eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan
kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa
Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia.
5. Kelompok PemberontakPembebasan
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya
merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan
akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi atau
menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah
negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak
menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.
6. Individu
Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti
dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, menyatakan individu adalah sebagai subyek hukum internasional
yang mandiri. 7.
Perusahaan Multinasional MNC Eksistensi MNC dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa
disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan
multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi, struktur
substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri. Subyek hukum internasional juga dapat didefinisikan sebagai pihak yang
dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional atau setiap negara, badan hokum internasional atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban
dalam hubungan internasional.
C.
Macam-Macam Subjek Hukum Internasional
Sebagaimana diketahui bahwa subyek hukum internasional meliputi: 1 Negara;
2 Organisasi Internasional; 3 Palang Merah Internasional;
4 Tahta Suci atau Vatikan;
5 Organisasi Pembebasan atau Bangsa-Bangsa yang sedang memperjuangkan hak- haknya;
6 Wilayah-wilayah Perwalian; 7 Kaum Belligerensi;
8 Individu.
31
c. A government; and Di antara beberapa subyek hukum internasional sebagaimana tersebut di atas,
dalam pembahasan berikut materinya hanya dibatasi Negara sebagai subyek hukum internasional dan individu sebagai subyek hukum internasional.
Negara sebagai salah satu subyek internasional dan merupakan subyek hukum utama dari hukum internasional. Negara sebagai subyek hukum internasional
baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. Secara historis, yang pertama- tama merupakan subyek hukum internasional pada awal mula lahir dan pertumbuhan
hukum internasional adalah negara. Peranan negara sebagai subyek hukum internasional lama kelamaan juga
semakin dominan oleh karena bagian terbesar dari hubungan-hubungan internasional yang dapat melahirkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum internasional
dilakukan oleh negara-negara. Unsur tradisional suatu Negara terdapat dalam Pasal 1 Montevidio Pan American Convention on Rights And Duties of State of 1933. Pasal
Tersebut Berbunyi sebagai berikut : The State as person of international law should posses the following qualification :
a. A permanent population b. A defined territory
31
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 59.
d. A capacity to enter into relations with other State.
32
Unsur-unsur diatas juga dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht. Berikut adalah uraian beliau tentang masing-masing unsur tersebut :
33
1 Harus ada rakyat. Yang dimaksud dengan rakyat yaitu sekumpulan manusia dari
kedua jenis kelamin yang hidup bersama sehingga merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang berlainan, menganut
kepercayaan yang berlainan ataupun memiliki kulit yang berlainan. Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa masyarakat ini harus terorganisasi dengan
baik organised population. Sebab sulit dibayangkan, suatu negara dengan pemerintahan yang terorganisasi dengan baik “hidup” berdampingan dengan
masyarakat disorganised. 2
Harus ada daerah, dimana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain a wandering people bukan
termasuk negara, tetapi tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil, dapat juga hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya
dengan negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.
3 Harus ada pemerintah, yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat,
dan memerintah menurut hukum negerinya. Suatu masyarakat yang anarchitis bukan termasuk negara. Dalam salah satu tulisnnya, Lauterpacht menyatakan
bahwa adanya unsur ini, yaitu pemerintah, merupakan syarat utama untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata kemudian secara hukum atau
32
Huala Adolf, Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hal 2.
33
Ibid
secara faktanya menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai negara.
4 Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Oppenheim-
Lauterpacht menggunakan kalimat lain untuk unsur keempat ini, yaitu dengan menggunakan kalimat “pemerintah itu harus berdaulat” sovereign. Yang
dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan
dalam arti sempit berarti kemerdekaan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri.
Di antara unsur- unsur negara tersebut sebenarnya unsur kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain kurang penting, karena negara
mungkin dapat berdiri tanpa adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, sehingga disebut juga dengan unsur non phisik.
Mengenai kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain ini ada kaitannya dengan pengakuan baik hukum nasional maupun internasional mengakui adanya
kekuasaan dan kewenangan tersebut. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain dimaksudkan
dalam pengertian yuridis, maksudnya karena hukumlah baik hukum nasional maupun hukum internasional mengakui adanya kekuasaan dan kewenangan tersebut.
Sedangkan mengenai pernyataan yang berkenaan dengan kriteria atau ukuran tentang kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, tidak ada
ketentuan yang jelas dan pasti. Berkaitan dengan pengakuan “suatu negara diakui
secara de jure sedangkan negara lain mengakuinya secara de facto, hanyalah pengecualian saja dan merupakan hal yang luar biasa”.
34
Menurut J.G. Starke, unsur atau persyaratan seperti yang disebut diatas adalah hal yang paling penting dari segi hukum internasional. Ciri-ciri diatas juga
membedakan negara dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar
negerinya dan tidak diakui oleh Negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional yang mandiri. Bahkan hukum internasional itu sendiri boleh dikatakan
bagian terbesar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan negara.
35
Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan ataupun kewenangan negara untuk mengatur masalah intern maupun eksternnya.
Dengan kata lain, dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan dan kewenangan atau dengan yurisdiksi tersebut suatu
negara dapat mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan dari negara itu. Dalam
pandangan hukum internasional, Negara juga mempunyai Hak dan Kewajiban. Hak dan kewajiban Negara terdapat dalam konvensi montevidio tahun 1933 tentang hak
Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara menunjukkan bahwa suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan Negara lain. Tetapi hal
ini tidak bisa diartikan bahwa kedaulatan itu tidak ada yang membatasi, atau sebagai tidak terbatas sama sekali. Pembatasannya sendiri adalah hukum, baik hukum
nasional maupun hukum internasional.
34
Widagdo, Setyo, dan Hanif Nur Widhiyanti. 2008. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Bayu Media : Malang, hal 34
35
Starke, J. G., Pengantar hukum Internasional I-edisi kesepuluh, Sinar Grafika Indonesia, Jakarta, 2008, hal 55
dan kewajiban Negara-negara oleh Negara-negara Amerika latin, serta dalam rancangan Deklarasi tentang hak dan kewajiban Negara-negara yang disusun oleh
komisi hukum internasional PBB pada tanggal 1949. Rancangan tersebut dibuat agar dapat disahkan oleh majelis umum PBB.
36
D.
Kedudukan Negara sebagai Subjek Utama Dalam Hukum Internasional
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa manusia sejak dahulu kala selalu hidup bersama-sama dalam suatu kelompok zoon politicon. Dalam kelompok manusia
itulah mereka berjuang bersama-sama mempertahankan hidupnya mencari makan, melawan bahaya dan bencana serta melanjutkan keturunannya. Mereka berinteraksi,
mengadakan hubungan sosial. Untuk mempertahankan hak mereka untuk dapat hidup di tempat tinggal tertentu yang mereka anggap baik untuk sumber
penghidupan, diperlukan seseorang atau sekelompok kecil orang-orang yang ditugaskan mengatur dan memimpin kelompoknya. Kepada pemimpin kelompok
inilah diberikan kekuasaan-kekuasaan tertentu dan kelompok manusia tadi diharuskan menaati peraturan-peraturan perintah pemimpinnya.
37
Negara adalah lanjutan dari kehendak manusia bergaul antara seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya. Semakin
luasnya pergaulan manusia tadi maka semakin banyak kebutuhannya, maka bertambah besar kebutuhannya kepada sesuatu organisasi negara yang akan
melindungi dan memelihara hidupnya. Secara etimologi, negara dapat diterjemahkan dari kata-kata asing staat bahasa Belanda, state bahasa Inggris dan Etat bahasa
36
http:id.wikipedia.orgwindex.php?title=Negara- diakseskan 2 April 2012
37
http:www.scribd.comdoc23586521Makalah-Hubungan-Hukum-Internasional-Dan- Hukum-Nasional diakses 2 April 2012
Prancis. Asalnya adalah bahasa latin yang berarti menaruh dalam keadaan berdiri; membuat berdiri; dan menempatkan.
Pada dasarnya tidak ada suatu definisi yang tepat terhadap pengertian suatu Negara. Namun kita dapat mengambil beberapa pengertian suatu Negara
berdasarkan pengertian-pengertian oleh para ahli yang dapat dijadikan sebagai suatu sumber hukum atau biasa disebut dengan doktrin para sarjana. Serta pengertian suatu
negara berdasarkan hukum internasional yang dapat kita ambil dari Konvensi Montevidio tahun 1933. Menurut Plato, negara adalah suatu tubuh yang senantiasa
maju, berevolusi dan terdiri dari orang-orang individu-individu yang timbul atau ada karena masing-masing dari orang itu secara sendiri-sendiri tidak mampu
memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang beraneka ragam, yang menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk memenuhi kepentingan mereka bersama.
38
Kesatuan inilah yang kemudian disebut masyarakat atau negara
39
. Dari pengerian yang disampaikan sarjana ini dapat diketahui bahwa suatu negara ada
karena hubungan manusia dengan sesamanya karena manusia menyadari tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri dalam pemenuhan kebutuhannya, atau berdasarkan
doktrin yang diajarkan oleh Aristoteles biasa kita kenal dengan istilah zoon political. Menurut Thomas Hobbes bahwa negara adalah suatu tubuh yang dibuat oleh orang
banyak beramai-ramai, yang masing-masing berjanji akan memakainya menjadi alat untuk keamanan dan pelindungan mereka
40
38
http:www.docstoc.comdocs20860721RESUME-HUKUM-INTERNASIONAL diakses 3 April 2012
39
Soehino, Ilmu Negara Yogyakarta : Liberty, 1980, hlm. 17
40
Samidjo, Op.Cit., hlm. 29
. Berdasarkan pengertian yang disampaikan oleh sarjana ini adalah bahwa suatu negara terbentuk oleh sekumpulan
manusia yang menyatukan dirinya dan kemudian mengadakan perjanjian antar
sesama mereka untuk menjadikan negara yang mereka bentuk sendiri sebagai alat untuk keamanan dan perlindungan bagi mereka Teori Perjanjian Masyarakat atau
teori kontrak sosial. Dari sini juga dapat diketahui bahwa negara dibentuk dalam rangka memberikan rasa aman dan perlindungan bagi masing-masing mereka, yang
berarti juga bahwa manusia menyadari mereka dapat menjadi serigala bagi sesamanya homo homini lupus dalam pencapaian kepentingan masing-masing
mereka, yang kemudian dalam skala yang besar dapat menyebabkan terjadinya perlawanan atau perang bellum omnium contra omnes.
41
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik
politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang
mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya
suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut dengan kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
42
Sesuai dengan pelaku utama hubungan internasional adalah negara, maka yang menjadi perhatian utama hukum internasional adalah hak dan kewajiban serta
kepentingan negara. Negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, bahkan menjadi subjek hukum internasional yang pertama dan utama serta terpenting par
excellence. Negara menjadi subjek hukum internasional yang pertama-tama, sebab kenyataan menunjukkan bahwa yang pertama-tama yang mengadakan hubungan
41
http:tech.dir.groups.yahoo.comgrouppkhi_unjamessage31 diakse 3 April 2012
42
http:www.wikipedia.com,-tentang NEGARA.-html, tanggal 9 Mei 2009.
internasional adalah Negara. Negara sebagai suatu kesatuan politik dalam hukum internasional yang juga sifatnya keterutamaannya maka suatu negara harus memiliki
unsur-unsur tertentu berdasarkan hukum internasional. Aturan hukum internasional yang disediakan masyarakat internasional dapat dipastikan berupa aturan tingkah
laku yang harus ditaati oleh negara apabila mereka saling mengadakan hubungan kerjasama.
43
Untuk lebih jelasnya lagi dalam merumuskan pengertian suatu negara berdasarkan hukum internasional dapat kita lihat pada ketentuan Konvensi
Montevidio tahun 1993 mengenai hak-hak dan kewajiban- kewajiban negara Rights and Duties of States yang menyebutkan bahwa suatu negara dapat dikatakan
sebagai subjek hukum internasional apabila telah memiliki unsur-unsur, yaitu
44
Untuk wilayah suatu negara tidak dipengaruhi batas ukurannya. Walaupun pernah terjadi negara yang wilayah negaranya kecil tidak dapat menjadi anggota
PBB. Akan tetapi sejak tetapi sejak tahun 1990, negara seperti Andorra, :
a Penduduk yang tetap Penduduk yang dimaksud disini yaitu sekumpulan manusia yang hidup
bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan satu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional, tidak harus yang berasal dari rumpun, etnis,
suku, latar belakang kebudayaan, agama ataupun bahasa yang sama. Akan tetapi penduduk tersebut haruslah menetap di suatu tempat, walaupun sudah ada penduduk
asli yang mendiami tempat tersebut. b Wilayah tertentu
43
Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional Yogyakarta: Liberty, 1990, hlm. 12.
44
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional Jakarta, Penerbit : RajaGrafindo, 2003, hal. 3.
Liechtenstein, Monaco, Nauru, San Marino dan Tuvalu telah bergabung menjadi anggota PBB.
c Pemerintah penguasa yang berdaulat Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang
tertinggi yang merdeka dari pengaruh kekuasaan lain di muka bumi. Akan tetapi kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara terbatas pada wilayah negara yang
memiliki kekuasaan itu. Maksudnya adalah bahwa dalam kedaulatan suatu negara terbatas pada kedaulatan Negara lain. Suatu negara harus memiliki pemerintah, baik
seorang atau beberapa orang yang mewakili warganya sebagai badan politik serta hukum di negaranya, dan pertahanan wilayah negaranya. Pemerintah dengan
kedaulatan yang dimiliknya merupakan penjamin stabilitas internal dalam negaranya, disamping merupakan penjamin kemampuan memenuhi kewajibannya
dalam pergaulan internasional. Pemerintah inilah yang mengeluarkan kebijakan- kebijakan dalam rangka mencapai kepentingan nasional negaranya, baik itu di dalam
negaranya dalam rangka mempertahankan integritas negaranya, maupun di luar negaranya melaksanakan politik luar negeri untuk suatu tujuan tertentu.
d Kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya. Unsur keempat ini secara mandiri merujuk pada kedaulatan dan
kemerdekaan. Kemerdekaan dan kedaulatan merupakan 2 dua posisi yang tak terpisahkan sebagai subjek hukum internasional. Suatu Negara dinyatakan
mempunyai kedaulatan apabila memiliki kemerdekaan atau negara dianggap mempunyai kemerdekaan, apabila memiliki kedaulatan. Pemerintahan suatu negara
haruslah merdeka dan berdaulat, sehingga wilayah negaranya tidak tunduk pada kekuasaan negara lain dan berarti juga bahwa negara tersebut bebas melakukan
hubungan kerjasama internasional dengan negara manapun. Sewajarnya adalah kalau suatu negara memiliki kapasitas untuk mengadakan hubungan kerjasama
internasional dengan negara lain untuk tujuan - tujuan yang hendak dicapai oleh negara tersebut.
Akan tetapi untuk menjadi suatu negara yang berdaulat dalam prakteknya memerlukan pengakuan bagi negara lain.
45
Negara sebagai subyek hukum internasional telah dikenal sejak adanya praktek hubungan internasional. Dengan kata lain, negara adalah subyek hukum
internasional yang pertama ada. Bagi negara federasi seperti Amerika Serikat, India dan Jerman, pemegang kedaulatan untuk mengadakan hubungan dengan luar negeri
berada ditangan pemerintah federal. Akan tetapi untuk masa sekarang, pemerintah Kalau 4 empat unsur diatas tadi
merupakan persyaratan secara hukum internasional terbentuknya suatu negara, maka ada juga yang menjadi unsur politik terbentuknya suatu negara yang juga dapat
berakibat hukum. Unsur yang dimaksud adalah pengakuan recognition. Pengakuan dalam hukum internasional termasuk persoalan yang cukup rumit
karena sekaligus melibatkan masalah hukum dan politik. Unsur-unsur hukum dan politik sulit untuk dipisahkan secara jelas karena pemberian dan penolakan suatu
pengakuan oleh suatu negara dipengaruhi pertimbangan politik, sedangkan akibatnya mempunyai ikatan hukum. Kesulitan juga berasal dari fakta bahwa hukum
internasional tidak mengharuskan suatu negara untuk mengakui negara lain atau pemerintahan lain seperti halnya juga bahwa suatu negara atau pemerintahan tidak
mempunyai hak untuk diakui oleh negara lain. Tidak ada keharusan untuk mengakui seperti juga ada kewajiban untuk tidak mengakui.
45
Anthony Aust, Handbook of International Law United Kingdom: Cambridge University Press, 2005, hlm. 17
negara bagian pun memungkinkan untuk mengadakan hubungan dengan subyek hukum internasional lainnya, seperti dengan salah satu kotapropinsi yang ada di
Indonesia. Misalnya, kota Bandung pernah mengadakan hubungan persahabatan dengan kota lain yang ada di Jerman, Amerika Serikat dan Jepang.
Bentuk negara lain seperti dominion dalam British Commonwealth yang hanya dikepalai oleh seorang Gubernur Jenderal sebagai wakil dari Ratu Inggris
ternyata mempunyai kedudukan yang sama sebagai subyek hukum intemasional seperti halnya negara berdaulat lainnya. Dengan demikian persyaratanpengertian
negara dalam subyek hukum internasional lebih longgar karena dalam prakteknya negara-negara yang berstatus protektorat Inggris ikut serta juga dalam konferensi-
konferensi internasional yang sejajar dengan anggotapeserta lainnya. Kelonggaran status subyek bukum internasional untuk negara yang tidak berdaulat penuh karena
tuntutan kondisi serta kepentingan bukan hanya bagi subyek hukum itu sendiri melainkan bagi kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan.
Negara dikatakan berdaulat sovereian karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai
kekuasaan tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 dua pembatasan penting dalam
dirinya: 1.
Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai. 2.
Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu. Konsep kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat tidak bertentangan
satu dengan lain bahkan merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian
kedaulatan dalam arti wajar dan sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang teratur.
Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok ialah perbaikan peta bumi politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia
II. Proses ini sudah dimulai pada permulaan abad XX mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama
derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya
perhubungan yang melintasi batas negara. Perkembangan golongan ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas
dari negara-negara dan adanya perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada para individu. Kedua gejala ini menunjukkan bahwa disamping mulai
terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar negara
sehingga dengan demikian terjelma Hukum Internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu komplek kaedah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum
subordinasi.
46
46
http:id.wikipedia.orgwikiHukum_internasional diakses 4 April 2012
BAB III
HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTAR NEGARA
A.
Sejarah Perkembangan Hubungan Diplomatik
Semenjak lahirnya Negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsip-prinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomatik.
Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan
kepentingan bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa. Perundingan-perundingan ini biasanya
dipimpin oleh seorang utusan yang dinamakan duta besar. Perwakilan diplomatik tetap, pada mulanya berkembang di city-states Italia
pada abad XV seperti Milan, Venesia, Genoa dan Florence. Bahkan sudah ada di antara city states tersebut mempunyai resident ambassador di luar Italia. Vanesia
misalnya mulai tahun 1478 telah mempunyai resident ambassador di Prancis. Demikian juga mulai tahun 1490-an Milan telah mempunyai resident ambassador di
Spanyol dan Inggris. Praktek ini kemudian berkembang di Negara-negara Eropa pada pertengahan abad ke XVII setelah Treaty of Westphalia pada tahun 1948.
47
Pada tahun 1815, diselenggarakan Kongres Wina, dimana raja-raja yang menjadi peserta bersepakat untuk mengkordifikasikan kebiasaan-kebiasaan tersebut
menjadi sebuah hukum tertulis. Kongres ini kurang berhasil, hanya membuat hukum kebiasaan yang ada menjadi tertulis, secara substansi tidak banyak berubah. Dalam
beberapa tahun kemudian, sering diadakan upaya-upaya untuk mengkodifikasi
47
Jurnal Balitbang Departamen Luar Negeri RI. 1988. Peranan Hubungan Bilateral sebagai Media Diplomasi dan Komunikasi antar Bangsa. Deplu RI, Jakarta
hukum diplomatik ini. Upaya dari Liga Bangsa-Bangsa tahun 1927, Konvensi Negara-negara Amerika pada tahun 1928, Komisi Hukum Internasional Majelis
Umum PBB tahun 1947. Namun semua upaya diatas kurang mendapatkan respon yang positif dan hanya beberapa negara saja yang meratifikasinya. Akibat sering
terjadinya insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan sering dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, atas usul delegasi Yugoslavia,
Majelis Umum PBB menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional untuk segera memprioritaskan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan
diplomatik.
48
Pesatnya perkembangan teknologi KIE Komunikasi, Informasi, dan Edukasi dewasa ini, telah memacu semakin intensifnya interaksi antar negara dan
antar bangsa di dunia. Meningkatnya intensitas interaksi tersebut telah memengaruhi potensi kegiatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya kita dengan pihak luar, baik itu
dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, organisasi non-pemerintah Ornop dalam negeri dan NGO’s luar negeri, swasta perusahaan-perusahaan
multinasional, dan perorangan sebagai aktor baru dalam hubungan luar negeri. Kenyataan ini menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur
interaksi tersebut selain ditujukan untuk melindungi kepentingan negara dan warga negaranya, serta pada gilirannya memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
49
Sejarah telah mencatat dam membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa- bangsa di dunia mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik, misi
diplomatik secara tetap seperti yang ada dewasa ini, di zaman India kuno telah
48
http:www.fmprc.gov.cnengtopics3754t19234.htm diakses 5 April 2012
49
http:www.fmprc.gov.cnengtopics3754t19232.htm diakses 5 April 2012
dikenal ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar raja ataupun kerajaan, dimana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah mengenal pula
apa yang dinamakan duta. Pengiriman duta-duta ke luar negeri sudah dikenal dan dipraktikkan oleh Indonesia, dan negara-negara Asia serta Arab sebelum negara-
negara Barat mengenalnya. Di benua Eropa, baru pada abad ke-16 masalah pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan
internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad ke-19, dimana pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan pada
Kongres Wina 1815, yang diubah dan disempurnakan oleh Protocol Aix-La- Chapelle 1818. Kongres Wina tersebut pada hakikatnya merupakan tonggak sejarah
diplomasi modern karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik. Dengan
demikian, sampai dengan 1815 ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan diplomatik sebagian besar bersumber dari hukum kebiasaan.
50
Pada Kongres Wina 1815, raja-raja yang ikut dalam konferensi itu sepakat untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun,
tidak banyak yang telah dicapai, dan mereka hanya menghasilkan satu naskah, yaitu hierarki diplomat klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik yang kemudian
dilengkapi pula dengan Protocol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818. Sebenarnya Kongres Wina ini dilihat dari segi substansi, praktis tidak menambah
apa-apa terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya, yang jelas hanya sebagai upaya positif mengodifikasikan praktik-praktik negara-negara dalam bidang
50
http:rmbr.nus.edu.sgexanambasrbzs8-scsdjalal.html diakses 5 April 2012
hubungan diplomatik itu menjadi hukum tertulis, sehingga lebih terjamin kepastiannya.
51
1. Majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan
recommendations dengan tujuan : Pada tahun 1927, dalam kerangka Liga Bangsa-Bangsa, diupayakan kembali
kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai Komisi Ahli ditolak oleh Dewan LBB. Alasannya yaitu, belum waktunya untuk merumuskan
kesepakatan umum mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks. Karena itu, memutuskan untuk tidak memasukkan masalah
tersebut dalam agenda Konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada 1930 untuk kodifikasi hukum internasional. Disamping itu, di Havana pada 1928 Konferensi ke-
6 Organisasi Negara-negara Amerika OAS menerima konvensi dengan nama Convention on Diplomatic Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh dua belas negara
Amerika, kecuali Amerika Serikat yang hanya menandatangani, tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suara politik.
Mengingat sifatnya yang regional, implementasi konvensi ini tidak menyeluruh. Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis
umum PBB atas amanat Pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut.
a. Memajukan kerja sama internasional di bidang politik, dan mendorong
peningkatan dan pengembangan hukum internasional secara progresif dan pengodifikasiannya
b. Memajukan kerja sama internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan,
pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan membantu meningkatkan
51
Ibid
pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun
agama. Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik
pembahasan yang di dalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik, terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai
hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas. Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat Perang Dingin dan langgarnya ketentuan-
ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yogoslavia, Majelis Umum PBB pada 1953 menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum
Internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.
52
Pada tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum akhir 1959 Majelis umum melalui resolusi 1450
XIV memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional guna membahas masalah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan
keistimewaan diplomatik. Konferensi tersebut dinamakan “the United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di
Wina pada 2 Maret – 14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota
tersebut pada 1815. Konferensi menghasilkan instrumen-instrumen, yaitu : Vienna Convention on Diplomatic Relations, Optional Protocol Concerning Acquisition of
Nationality, dan Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of
52
Berridge, G.R. 1995. Diplomacy: Theory and Practice, Harvester Wheatsheaf, London: Prentice-Hall, http:www.ccc.nps.navy.milresearchthesesChin03.pdf
Disputes. Diantara ketiga instrumen tersebut, Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik Convention on Diplomatic Relations, 18 April 1961 merupakan yang
terpenting. Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan
hanya satu negara abstain. Pada 18 April 1961, wakil dari 75 negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun
kemudian, pada 24 April 1964, Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku. Kini, hampir seluruh negara di dunia telah meratifikasi
konvensi tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU No. 1 Tahun 1982 pada 25 januari 1982. Pentingnya prinsip-prinsip yang tecantum dalam
Konvensi Wina tersebut digaris bawahi oleh Mahkamah Internasional dalam kasus United States Diplomatic and Counsular Staff in Teheran melalui ordonansinya
tertanggal 15 Desember 1979, dan pendapat hukumnya advisory opinion tertanggal 24 Mei 1980. Konferensi Wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang
sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi ini tetap berlaku seperti tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai
tambahan : “....that the rules of customary international law should continue to govern question not expressly regulated by the provisions of the present
Convention.”
53
Sehubungan dengan itu, perlu diingat bahwa untuk pertama kalinya ada usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul,
telah dilakukan dalam Konferensi Negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana – Cuba, di mana dalam tahun itu juga telah disetujui Convention on Consular Agents
53
Bolewski, Wilfried. 2007. Diplomacy and International Law in Globalized Relations, http:www.idss.edu.sgpublicationsWorkingPapersWP129.pdf
konvensi mengenai pejabat konsuler. Sesudah itu dirasakan belum ada usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan
tentang hubungan konsuler, kecuali setelah Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi Hukum Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan
konsuler.
54
Pembahasan masalah hubungan konsuler itu dalam Komisi Hukum Internasional telah dimulai sejak 1955, yaitu dengan menunjuk Mr. Zourek sebagai
Rapporteur Khusus. Rencana terakhir konvensi mengenai hubungan konsuler telah diajukan kepada Majelis Umum PBB pada 1961. Dengan Resolusi 1685 XVI,
Majelis Umum PBB telah menyetujui rancangan yang diusulkan dan memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi diplomatik, dan menyetujuinya pada awal
1963. Wakil dari 95 negara telah berkumpul di ibukota Austria kota Wina sejak tanggal 4 Maret sd 22 April 1963, dan pada 18 April 1963 konferensi telah
menyetujui draft articles final konvensi mengenai hubungan konsuler, termasuk kedua protokol pilihan sebagaimana juga yang terjadi pada Konvensi Wina
mengenai Hubungan Diplomatik. Berbagai persoalan yang menyangkut konsul termasuk peranannya telah dirumuskan dalam konvensi secara teliti dan rinci,
bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan dengan Konvensi Wina 1961. Akta finalnya telah ditandatangani pada 24 April 1963, dan dinyatakan berlaku pada
tanggal 19 Marret 1967. Ada 117 negara yang sudah meratifikasi dan aksesi. Empat puluh di antaranya telah menjadi pihak dalam Protokol Pilihan tentang kewajiban
untuk menyelesaikan sengketa.
55
54
http:id.wikipedia.orgwikiHavana – Cubcoloum-oneofmaps, diakses 6 April 2012
55
http:www.media-indonesia.comberita.aspid diakses 6 April 2012
Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan konsuler terdiri dari 79 pasal dan digolongkan dalam lima bab, yaitu :
- Bab Pertama Pasal 2-Pasal 27 antara lain mengenai cara-cara dalam
mengadakan hubungan konsuler, termasuk tugas-tugas konsul -
Bab Kedua Pasal 28-Pasal 57 mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan bukan saja kepada perwakilan konsulernya, tetapi juga kepada para
pejabat konsuler karier serta para anggota perwakilan konsuler lainnya -
Bab Ketiga Pasal 58-Pasal 67 khusus menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai lembaga Konsul Kehormatan, termasuk kantornya. Ketentuan-
ketentuan dalam bab ketiga ini juga memuat tentang kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada Konsul Kehormatan dan kantornya
- Bab Keempat Pasal 68-Pasal 73 berisikan ketentuan-ketentuan umum, antara
lain mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya, dan lain
sebagainya -
Bab Kelima mengenai ketentuan-ketentuan final, seperti penandatanganan, ratifikasi dan aksesi, mulai berlakunya dan lain-lain.
56
Konvensi Wina tersebut dilengkapi dengan konvensi mengenai Misi-misi Khusus Convention on Special Missions yang diterima oleh Majelis Umum PBB
pada 8 Desember 1969. Konvensi mengenai Misi-misi Khusus yang juga disebut Konvensi New York 1969 ini, telah pula diratifikasi Indonesia dengan UU No. 2
Tahun 1982 pada 25 Januari 1982.
57
56
http:newsfromassia.comaccidents2004071655010.html diakses 6 April 2012
57
http:www.konvensiwina.or.id diakses 6 April 2012
Sebagaimana dikatakan di dalam mukadimahnya, bahwa Konvensi New York 1969 mengenai Misi Khusus ini merupakan pelengkap Konvensi Wina 1961
dan 1963, dan dimaksudkan dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan hubungan baik semua negara, baik sistem perundang-undangannya maupun sistem
sosialnya. Konvensi New York 1969 beserta Protokol Pilihannya mengenai kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian yang sudah berlaku sejak 21 Juni 1985,
telah diratifikasi oleh lebih dari lima puluh negara sampai dengan 31 Desember 2004, 23 diantaranya telah menjadi pihak Optional Protokol.
58
Hukun Diplomatik telah mencatat kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus melalui sebuah konvensi, suatu kewajiban yang penting bagi negara
penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan kepada seseorang, kebebasan dan kehormatan para diplomat, serta untuk melindungi gedung
perwakilan diplomatik. Dalam sidangnya yang ke-24 pada 1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan terhadap misi diplomatik, termasuk juga
para diplomatnya dan perlunya untuk menghukum para pelanggar. Majelis Umum PBB telah meminta Komisi Hukum Internasional mempersiapkan draft artikel
mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara Hukum Internasional.
59
58
http:
Konvensi New York mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap orang-orang
yang menurut Hukum Internasional dilindungi, termasuk para diplomat 1973 ini akhirnya telah disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada 14 Desember
1973, dengan Resolusi 3166 XXVII. Konvensi ini kemudian diberlakukan pada 2
dokdonews.netscholarpubout.cfm diakses 7 April 2012
59
May Rudy,Teuku. 1993. Teori, Etika, dan Kebijakan Hubungan Internasional. Bandung: Angkasa, hal 49
Februari 1977, dan sekarang telah tercatat sekitar 79 negara yang sudah menjadi anggotanya. Konvensi mengenai Keterwakilan Negara dalam hubungannya dengan
Organisasi Internasional yang bersifat Universal.
60
Konvensi ini dikenal sebagai Konvensi Wina 1975 yang juga merupakan sumbangan yang penting bagi pengembangan kodifikasi hukum diplomatik. Urgensi
perumusan konvensi sebenarnya didorong oleh adanya situasi di mana pertumbuhan organisasi internasional yang begitu cepat, baik jumlahnya maupun lingkup masalah
hukumnya yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional. Perumusan konvensi tersebut tidak seperti dalam Konvensi Wina 1961 karena
melibatkan tiga aspek subjek hukum, yaitu bukan hanya organisasi internasional dan negara-negara anggotanya, melainkan juga negara tuan rumah tempat markas besar
organisasi itu berada. Situasi yang sangat kompleks seperti ini benar-benar memerlukan hak dan kewajiban dari para pihak yang sangat adil dan memadai.
61
Sejak dimajukannya masalah ini kepada Komisi Khusus Internasional untuk pertama kalinya pada 1958, barulah pembahasan secara substantif dapat dilakukan
pada 1968, di mana Reporter Khusus yang ditugasi untuk menangani masalah ini dapat melaporkan tentang draft articles yang lengkap dengan komentar mengenai
status hukum bagi wakil-wakil negara dalam organisasi internasional. Komisi Hukum Internasional kemudian menyetujui draft articles sebanyak 21 Pasal dengan
komentar mengenai ruang lingkup dan hal-hal lainnya yang menyangkut draft articles secara keseluruhan, termasuk Perwakilan Tetap pada organisasi
internasional secara umum. Selama 1969 dan 1970, setelah melanjutkan pembahasan
60
http:www.PBBtoday.come?content=newscat=2id=322740 diakses 7 April 2012
61
Nasution, Dahlan. 1991. Politik Internasional:Konsep dan Teori. Airlangga. Jakarta: Airlangga, diakses 7 April 2012
mengenai topik tersebut, Komisi Hukum Internasional telah menyetujui beberapa draft articles lagi tentang kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas diplomatik bagi
perwakilan tetap, termasuk kedudukan, kekebalan, keistimewaan, dan kemudahan bagi Perwakilan Peninjau Tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan konferensi.
Dalam perkembangannya, terdapat permasalahan baru dalam persidangan 1971 di mana telah dimajukan tiga masalah yaitu :
62
1. Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak
adanya pengakuan, putusnya hubungan diplomatik dan konsuler, atau adanya pertikaian bersenjata di antara anggota-anggota organisasi internasional sendiri
2. Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa, dan
3. Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.
B.
Pembukaan Hubungan Diplomatik
Hukum internasional tidak mengharuskan suatu Negara membuka hubungan diplomatik dengan Negara lain, seperti juga tidak ada keharusan untuk menerima
misi diplomatik asing di suatu Negara, demikian juga suatu Negara tidak mempunyai hak meminta Negara lain untuk menerima wakil-wakilnya. Pasal 2 Konvensi Wina
1961 menegaskan : “Pembukaan hubungan diplomatik antara Negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan”.
Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap merupakan 2 hal yang berbeda. Negara dapat saja membuka hubungan diplomatik tetapi tidak
langsung membuka perwakilan tetap.
62
http:findarticles.compsearch?tb=artqt=dokdotksm=termJrnsn=120 diakses 8 April 2012
Penolakan suatu Negara untuk membuka hubungan diplomatic merupakan suatu praktek yang biasa berlaku. Negara-negara Arab dan Negara Islam tidak
membuka hubungan diplomatic dengan Israel. Sebagaimana yang telah diutarakan dimuka, setiap negara yang merdeka dan
berdaulat mempunyai right of legation. Hak legasi ini ada yang aktif, yaitu hak suatu negara untuk menempatkan akreditasi wakilnya ke negara penerima dan hak legasi
pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil negara asing. Hak legasi ini diterima dan dimuat dalam Pasal 1 Konvensi Havana 1928. Meskipun demikian, bila
kita perhatikan praktik yang berkembang, hak legasi ini secara berangsung-angsur sudah ditinggalkan, seperti dikatakan ahli hukum internasional Prancis, Fauchille,
63
63
Fauchille, Traite de Doit International Public, Vil.1. Pedone, Paris, 1996, hal 32, dalam : Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
cetakan ke-4, Bandung : PT. Alumni, 2003, hal.476
tidak suatu negara pun yang diharuskan menerima duta besar negara lain karena hal itu merupakan persoalan hubungan baik dan bukan masalah hukum murni. Oleh
karena itu, hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga halnya tidak ada keharusan
untuk menerima misi diplomatik asing si suatu negara. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak meminta negara lain untuk menerima wakil-wakilnya.
Dewasa ini, sebagai landasan yuridis untuk membuka hubungan diplomatik antarnegara, dapat kita pergunakan ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang
mengggariskan : Pembukaan hubungan diplomatik antara Negara-negara dan pembukaan perwakilan
diplomatik tetap dilakukan atas dasar kesepakatan bersama secara timbal balik.
Suatu negara tidak diharuskan untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara lain terutama disebabkan masalah teknis dan bukan atas dasar politis. Ini
berarti suatu negara mempunyai hak untuk tidak mengirim perwakilan diplomatiknya ke negara lain dan juga tidak mempunyai hak untuk meminta negara
lain untuk dapat menerima perwakilannya di negara tersebut.
64
Pembukaan hubungan diplomatik harus dilaksanakan apabila telah terdapat kesepakatan bersama antara kedua negara. Hal ini seperti ditegaskan dalam
Konvensi Wina tahun 1961, bahwasannya pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pengadaan misi diplomatik tetapnya, terjadi dengan persetujuan
timbal balik. Dengan terjadinya kesepakatan bersama yang selanjutnya dituangkan dalam persetujuan bersama atau perjanjian bilateral, maka kedua negara tersebut
harus dapat menerima segala konsekwensinya. Kedua negara tersebut harus menyadari bahwa mereka telah melakukan suatu perjanjian tanpa ada tekanan
ataupun paksaan dari manapun juga. Dengan demikian suatu negara yang telah membuka hubungan diplomatik dengan negara lain maka ia telah mengakui negara
ataupun pemerintah dari negara tersebut, kerena suatu negara tidak dapat dipaksakan untuk menerima wakil-wakil dari negara yang tid
ak diakuinya.
65
Bila diperhatikan dengan seksama dalam pasal 2 Konvensi Wina menyatakan bahwa antara pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap
merupakan dua hal yang berbeda. Hal ini berarti apabila suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain belum tentu dia juga langsung membuka
perwakilan tetapnya di negara tersebut. Secara hukum kedua hal ini merupakan dua hal
64
Syahmin, Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 46
65
Ibid
yang berbeda. Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan kantor perwakilan diplomatik di Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Mengenai tata cara pembukaan hubungan diplomatic dan konsuler mapun pembukaan perwakilan diplomatik tetap atau konsuler seperti tertera dalam Pasal 2
Konvensi Wina 1961 Junctis Pasal 2 Konvensi Wina 1963 tentang hubungan konsuler, ternyata telah ditegaskan pula dalam Pasal 9 UU No.371999 tentang
hubungan luar negeri.
66
Mencermati lebih seksama kata kunci Pasal 2, dua buah Konvensi Wina di atas adalah kesepakatan bersama mutual consent. Harus ada kesepakatan kedua
belah pihak Negara pengirim dan Negara penerima untuk membuka hubungan diplomatic, selanjutnya kesepakatan untuk membuka perwakilan tetap. Pembukaan
hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap bagi Konvensi Wina merupakan dua hal yang berbeda. Hal itu dapat diartikan bahwa suatu Negara dapat
saja membuka hubungan diplomatik tanpa diikuti pembukaan perwakilan tetap secara hukum merupakan dua hal yang berbeda. Di Indonesia, sebagaimana telah
ditentukan dalam Pasal 9 ayat 2 UU No.371999 tentang hubungan luar negeri, pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan kantor perwakilan diplomatik
ditetapkan dengan keputusan Presiden. Dapat ditambahkan di sini bahwa prinsip kompromi rasional yang sepenuhnya sesuai dengan prinsip bahwa setiap pembatasan
kedaulatan harus disetujui negara bersangkutan.
67
Selanjutnya, ternyata ada kaitan yang erat antara pembukaan hubungan diplomatik dengan suatu negara dan pengakuan terhadap negara tersebut atau
66
Elleen Denza, Diplomatic Low, Oceana Publications, Ins. Dobbs Ferry, New York, 1976, hal 17.
67
Syahmin, Op.Cit, 46
pemerintahnya. Karena Hukum Internasional tidak berisikan kewajiban hukuman untuk mengakui suatu negara, maka negara tersebut tidak dapat dipaksa untuk
menerima wakil-wakil dari Negara yang tidak diakuinya. Penolakan suatu negara untuk membuka hubungan diplomatik dengan alasan apapun terhadap Negara lain
merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam praktik. Sebagai contoh, Cina dan Jepang selama berbad-abad tidak mempunyai hubungan dengan negara-
negara asing. Dewasa ini, kecuali Mesir dan Yordan, Negara-negara Arab dan Islam lainnya tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel.
68
Dalam Hukum Internasional, publik sudah ada penerimaan umum bahwa kunci pembuka hubungan diplomatik itu berasal dari pengakuan sebagai suatu
negara yang berdaulat dari negara-negara atau pemerintah yang telah merdeka dan berdaulat lainnya terlebih dahulu. Dalam praktiknya, suatu negara memberi
pengakuan terlebih dahulu, kemudian membuka hubungan diplomatik. Dapat juga terjadi bahwa pengakuan sekaligus merupakan pembukaan hubungan diplomatik.
69
C.
Berakhirnya Misi Diplomatik
Pada umumnya, tugas seorang kepala misi diplomatik akan berakhir karena telah habis masa jabatan yang diberikan kepadanya. Tugas itu dapat pula berakhir
karena ia tertarik kembali atau recalled oleh pemerintah negaranya. Biasanya juga berakhir karena sang diplomat yang bersangkutan tidak disukai lagi persona non-
grata. Jika antara negara pengirim dan negara penerima terjadi perang, tugas seorang diplomat juga akan terganggu terhenti dan ia biasanya dipanggil pulang.
Kemudian, jika kepala pemerintah presidenrajaratu wafat, turun tahta atau terjadi
68
Ibid, hal 46
69
Ibid, hal 47
suksesi kepemimpinan nasional, dapat pula menyebabkan berhentinya tugas misi diplomatik seorang pejabat diplomatik, dewasa ini, kematian kepala negara atau
kepala pemerintahan, tidak lagi dipergunakan sebagai alasan untuk menarik kembali kepala perwakilannya diluar negeri.
70
Selain pendapat diatas, dalam membicarakan masalah kapan berakhirnya tugas misi diplomatic ini, J. G. Starke menganggap bahwa berakhirnya misi
diplomatik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
71
1 Pemanggilan kembali wakil itu negaranya. Surat panggilan ini wajib
disampaikan kepada kepala negara atau menteri luar negeri, dan wakil yang bersangkutan kemudian diberikan surat “letter de necreace” yang menyetujui
pemanggilannya. Sering kali pemanggilan itu berarti bahwa hubungan kedua negara memburuk. Tindakan pemanggilan kembali ini hanya dilakukan apabila
terjadi ketegangan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan jalan lain. 2
Atas permintaan negara penerima agar pejabat diplomatik yang bersangkutan dipanggil kembali. Ini juga dapat diartikan bahwa hubungan kedua negara
Negara pengirim dan Negara penerima sudah mencapai puncak ketegangannya sedemikian rupa karena beberapa upaya untuk meredakannya
sudah gagal total. 3
Penyerahan paspor kepada wakil dan staf serta para keluarga sang diplomat saat pecahnya perang antara kedua Negara yang bersangkutan.
4 Selesainya tugas misi dan
70
Ibid, hal 85
71
J.G. Starge, An Introduction To International Law, 10
th
.etd. Butterworth, Oxford University Press, 1990, hal, 197
5 Berakhirnya surat-surat kepercayaan yang diberikan untuk jangka waktu
tertentu yang telah ditentukan dalam kesepakatan. Pengertian mengenai apa persisnya suatu misi diplomatik dan hubungan
diplomatik tidaklah tercantum secara eksplisit dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Hal ini tidak mengherankan, sebab bila kita membaca secara
keseluruhan isi konvensi tersebut dapat kita simpulkan bahwa konvensi ini memang tidaklah dimaksudkan untuk memberikan penjelasan yang normatif mengenai
pengertian – pengertian umum akan tetapi lebih mengarah ke aspek teknis bagaimana suatu hubungan diplomatik itu seharusnya berlangsung dalam aktivitas
masyarakat internasional saat ini. Alih – alih memberikan pengertian yang normatif mengenai apa itu misi
diplomatik, Pasal 2 konvensi ini hanya menyatakan syarat – syarat terbentuknya suatu hubungan diplomatic itu sendiri, yaitu : “The establishment of diplomatic
relations between States, and of permanent diplomatic missions, take place by mutual consent”. yang secara bebas penulis terjemahkan : pembentukan hubungan
diplomatik antar negara, dan oleh misi diplomatik yang permanen, dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama para pihak.
Berdasarkan pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa kesepakatan bersama mutual consent merupakan syarat mutlak berdirinya suatu hubungan diplomatik,
baik oleh antar negara maupun oleh suatu misi diplomatik yang permanen. Akan tetapi, hal lain yang perlu diperhatikan di sini bahwa berdasarkan pasal ini pula,
mencoba memberikan gambaran mengenai perbedaan antara misi diplomatik dan hubungan diplomatik.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa hubungan diplomatik antar negara dengan negara dilakukan oleh suatu misi diplomatik yang permanen. Oleh karena itu,
diambil kesimpulan bahwa jika hubungan diplomatik antar negara diartikan sebagai “the Conduct by Government officials of negotiations and other relations between
nations..” yang secara bebas berarti tindakan oleh pemerintah secara resmi yang terkait dengan negosiasi dan hubungan lainnya antar negara, maka salah satu
bentuk nyata dalam pelaksanaan hubungan tersebut dalam praktek negara – negara yaitu melalui pembentukan misi diplomatik yang permanen.
72
D.
Syarat-Syarat Pembentukan Hubungan Diplomatik
Cara melakukan hubungan diplomatik tertulis yang menyangkut masalah perhubungan antara Departemen Luar Negeri dan Para Kepala Perwakilan
diplomatik atau konsuler asing sebaliknya, atau antara pemerintah dengan pemerintah, organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya, para
pejabat diplomatik satu dengan yang lainnya danatau masyarakat pada umumnya, antara pejabat diplomatik dengan pejabat pemerintah, pejabat pemerintah dengan
penerima dan organisasi internasional adalah sebagai berikut:
73
1. Nota note : cara melakukan hubungan dari Departeman Luar Negeri dengan
seorang Kepala perwakilan diplomat asing atau pejabat tinggi lain dan sebaliknya. Nota merupakan istilah umum untuk surat-surat, terutama
dipergunakan dalam melakukan hubungan diplomatik. Nota selalu dipergunakan
72
http:serba-serbiceritasehari-hari.blogspot.com201004yang-umum-diketahui-tentang- hukum.html diakses 7 April 2012
73
http:id.wikipedia.orgwindex.php?title=Negara egara_berhubungan_diplomatik action=editsectio-7, diakses 8 April 2012
jika persoalan yang dikemukakan penting sekali atau apabila nota tersebut bersifat pribadi.
2. Nota Diplomatik note diplomatique : nota yang dikirimkan oleh suatu
pemerintah kepada pemerintah lainnya. Atau dengan kata lain perhubungan antara Departemen Luar Negeri dengan Kementrian Luar Negeri asing. Ataupun
semacam nota yang dipergunakan dalam hubungan surat menyurat resmi antar pemerintah dengan perantaraan wakil diplomatik yang diakreditasikan di negara
penerima. 3.
Nota Kolektif note collective : suatu nota yang dikirimkan oleh suatu negara kepada beberapa negara lainnya. Dari suatu Departemen Luar Negeri kepada
beberapa Kementrian Luar Negeri asing kepada Departemen Luar Negeri kita. Atau suatu komunikasi tertulis yang diajukan dan ditandatangani bersama atau
erat hubungannya dengan kerjasama politik mereka dan dituju kepada negara yang berdiri sendiri diluar persekutuan atau kerjasama mereka.
4. Nota-nota Identik identique notes : hampir sama dengan nota kolektif, tetapi
isinya berbeda. Nota identik adalah apabila kedua negara atau lebih mengajukan sesuatu kepada negara ketiga, menyampaikan nota yang sama bunyinya, tetapi
masing-masing menandatanganinya. 5.
Nota Verbale note verbale : suatu nota yang dipergunakan semacam bukti tertulis yang merupakan ringkasan dari suatu pembicaraan antar pemerintah, baik
langsung maupun pemberitahuan melalui pesan atau kabar karena penyampaiannya umumnya diajukan langsung by hand, dengan keterangan
lisan oral communication ataupun sebagai penggantinya, dengan demikian tidak pula diberi paraf penutup complementary close. Dan biasanya nota jenis
ini dibuat di bawah nama Mentri Luar Negeri ataupun Kepala Perwakilan, tergantung keadaan.
6. Memorandum : suatu pernyataan tertulis antar pemerintah ataupun dari suatu
Kementriaan Luar Negeri kepada kedutaanperwakilan diplomatik atau sebaliknya. Pengiriman memorandum ini tidak perlu ditandatangani oleh Menteri
Luar Negeri. 7.
Aide Memorie : sejenis nota yang merupakan bukti tertulis yang informal inrormal summary dari suatu pembicaraan diplomatik diplomatic interview
conversation atau juga suatu percakapan atau catatan tidak resmi dari sebuah interview antara Mentri Luar Negeri atau pihak Departemen Luar Negeri dengan
seorang duta asing. Catatan semacam ini lazimnya diserahkan oleh sang duta di Kementrian Luar Negeri atau pihak Departemen Luar Negeri kepada sang duta
negara yang dimaksud. Kegunaannya adalah untuk membantu mengingat aid to memory mengenai hal-hal yang pernah dibicarakannya.
8. Pro Memorie : bentuk bukti tertulis resmi dari suatu percakapan pembicaraan
yang dilakukan oleh Mentri Luar Negeri ataupun Kepala perwakilan diplomatik. Nota-nota pro memoria ini biasanya ditinggalkan oleh wakil-wakil diplomatik
yang mengajukan di Departemen Luar Negeri. Demikian pula sebaliknya, nota- nota dari pihak Luar Negeri diserahkan kepada seorang wakil diplomatik di
Departemen Luar Negeri itu juga dengan memberitahukannya terlebih dahulu atau dengan memanggilnya. Pro memoria sama dengan aide memoire,
perbedannya hanya terletak pada pro memoria lebih resmi, sedangkan aide memoire tidak resmi.
9. Circular Notes nota edaran : surat edaran dari Kementrian Luar Negeri kepada
Korps yang perlu diketahui oleh seluruhnya. Secara garis besar, ada dua syarat pembentukan suatu perwakilan diplomatik,
yaitu
74
1. Harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini secara eksplisit sudah
dinyatakan dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961, yang menyatakan bahwa pembentukan hubungan diplomatik antar negara harus dilakukan dengan
persetujuan bersama. Persetujuan bersama tersebut dituangkan dalam bentuk persetujuan
bersama joint agreement, komunikasi bersama joint communication, atau pernyataan bersama joint declaration.
:
2. Harus berdasarkan prinsip – prinsip hukum internasional yang berlaku. Setiap
negara dapat melakukan hubungan atau pertukaran perwakilan diplomatik didasarkan prinsip – prinsip hukum yang berlaku dan prinsip timbal balik
resiprositas. Hal ini ditegaskan oleh Von Glahn dalam bukunya Law Among Nations yang mengatakan bahwa : “Dasar hukum setiap hubungan diplomatik
adalah harus ada persetujuan dari negara penerima, perwakilan asing tersebut, negara penerima harus meletakkan ketentuan – ketentuan yang mengatur status
hukum dan kegiatan diplomatik asing yang bersangkutan. Ketentuan mana harus dilandasi dengan prinsip – prinsip hukum internasional yang berlaku.
74
http:serba-serbiceritasehari-hari.blogspot.com201004yang-umum-diketahui-tentang- hukum.html diakses 9 April 2012
BAB IV HUBUNGAN DIPLOMATIK TAIWAN SEBAGAI SUBJEK HUKUM