SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM BISNIS

SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM BISNIS
A. Subjek Hukum
Yang dimaksudkan dengan subjek hukum adalah segala sesuatu
yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban yang dimaksudkan adalah para subjek hukum memiliki
kewenangan untuk melakukan hubungan hukum atau bertindak menurut
ketentuan yang sesuai dengan hukum.1
Yang memperoleh hak dan kewajiban dari hukum adalah
manusia(person). Jadi, manusia oleh hukum diakui sebagai pendukung hak
dan kewajiban atau disebut subjek hukum.2
Subjek hukum adalah sesuatu

yang

menurut

hukum

berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang
mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum. Subjek hukum
adalah sesuatu pendukung hak ynag menurut hukum berwenang / berkuasa

bertindak menjadi pendukung hak.3
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa subjek
hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum memiliki hak dan
kewajiban serta cakap untuk bertindak dalam hukum.
Menurut hukum ada dua subjek hukum, yaitu manusia (persoon)
dan badan hukum (rechtpersoon)
1. Manusia (persoon)
Setiap manusia baik warga Negara maupun orang asing dengan
tidak memandang agama maupun kebudayaan, sejak dilahirkan sampai
meninggal dunia adalah subjek hukum, atau pendukung hak dan
kewajiban. Sebagai subjek hukum, manusia mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.
Misalnya ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, perkawinan,
membuat, testament, dan memberikan hibah.
Pada hakikatnya manusia sejak lahir memperoleh hak dan
kewajiban. Apabila ia meninggal dunia maka hak dan kewajibanya
1 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), hal. 61
2 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.120
3 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 227-228


1

akan beralih kepada ahli warisannya. Tetapi dalam hal ini undangundang juga mengadakan pengecualian, bahwa anak yang masih dalam
kandungan pun dapat dianggap sebagai subjek hukum, jika
kepentingannya diperlukan. Hal itu diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) KUH
Perdata yang berbunyi sebagai berikut :” Anak yang ada dalam
kandungan seseorang perempuan, dianggap telah lahir, setiap kali
kepentingan si anak menghendakinya”.
Ketentuan tersebut juga menegaskan bahwa hak dan kewajiban
anak baru dianggap ada jika ia lahir hidup. Apabila ia lahir mati maka
haknya dianggap tidak ada. Misalnya kepentingan anak untuk menjadi
ahli waris dari orang tuanya walaupun ia masih berada dalam
kandungan. Ia dianggap telah lahir dan oleh karena itu harus
diperhitungkan hak-haknya sebagai ahli waris. Tetapi jika ia lahir
dalam keadaan mati maka haknya dianggap tidak pernah ada.
Disamping berdasarkan undang-undang, seseorang dapat
dianggap telah meninggal dunia jika hilang atau tidak diketahui
keberadaannya dan tidak ada kepastian apakah iamasih hidup dalam
tenggang waktu setelah lewat lima tahun sejak ia meninggalkan tempat

kediamnya.(pasal 467,468, dan 469 KUH Perdata). Berdasarkan
ketentan undang-undang tersebut maka hak dan kewajban orang yang
telah dinyatakan menurut hukum meninggal dunia itu telah berakhir
dan segala hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya.
Meskipun menurut hukum setiap orang mempunyai atau sebagai
pendukung hak dan kewajiban, tidaklah selalu berarti mampu atau
cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajiban itu. Ada beberapa
golongan yang oleh hukum telah dinyatakan, “tidak cakap”
atau”kurang cakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum. Orang-orang yang demikian itu disebut
handelingsonbek waan, atau disebut juga persone miserable. Untuk
melaksanakan hak dan kewajiban, mereka harus diwakili atau dibantu
orang lain.4
4 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.120-121

2

Jadi dalam hukum, perkataan perorangan atau orang (person)
berarti pembawa hak/kewajiban atau subjek dalam hukum. Berlakunya
seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari dia dilahirkan sampai dia

meninggal dunia, malahan dalam hal tertentu (perihal warisan) dapat
dihitung berlaku surut sejak yang bersangkutan masih dalam
kandungan. Kalau kemudian yang bersangkutan meninggal sebelum
dilahirkan maka kedudukannya sebagai pembawa hak berakhir pula.5
Dalam pandangan agama seorang manusia/pribadi menjadi
subjek hukum sejak benih/pembibitan ada pada kandungan ibunya,
selama ia hidup dan setelah ia meninggal dunia sampai ke akhirat,
sehingga

menurut

hukum

agama

penggungguran

kandungan

merupakan pembunuhan anak itu dan telah dilanggar hak sebagai

subjek hukum dari anak yang akan lahir. Agama menegaskan bahwa
manusia adalah sebagai subjek hukum, sebagai makhluk yang
dimuliakan Tuhan.6
Dalam hal-hal tertentu, perseorangan tidak diperbolehkan
bertindak sendiri dalam melaksanakan atau mengatur hak-haknya,
yaitu dalam hal ynag bersangkutan belum dewasa, atau sedang dalam
keadaan “di bawah pengampunan”
a. Belum dewasa;
1) Menurut KUH Perdata seorang masih dikatakan dibawah umur
(belum dewasa) apabila dia belum mencapai usia 21 tahun,
kecuali kalau dia sudah menikah. Seseorang telah menikah
meskipun belum berusia 21 tahun tidak akan menjadi belum
dewasa lagi jika pernikahannya bubar.
2) Menurut UU 1 tahun 1974 tentang perkawinan, seseorang
dapat melakukan perkawinan (sudah dewasa) apabila sudah
berusia 18 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
3) Menurut UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, seseorang
diperbolehkan untuk melakukan hubungan kerja (atau telah
dewasa ) apabila sudah berusia 18 tahun.
5 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2014), hal. 61-62
6 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 230

3

4) Menurut KUH pidana, seseorang dapat di pidana apabila
melakukan tindak pidana setelah berusia 16 tahun (dewasa).
Namun demikian, apabila yang melakukan tindak pidana anak
yang

dibawah

mengembalikan

16

tahun,

sianak


hakim

kepada

dapat

kedua

memutusakan:
orang

tuannya,

memasukkannya dalam pemeliharaan anak negara, atau
menjatuhkan pidana dengan dikurangi sepertiga dari hukuman
maksimal untuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang besar.
b. Sedang dalam keadaan “ berada” di bawah pengampunan
( pengawasan). Artinya meskipun seseorang itu telah dewasa tapi
sedang dalam di bawah pengampunan juga bisa dianggap “tidak
dewasa” atau tidak bisa melakukan perbuatan hukum.7

Menurut hukum setiap manusia pribadi mempunyai hakhak, tetapi tidak selalu cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Seorang adalah cakap hukum, apabila ia telah dianggap cukup
cakap untuk mempertanggung- jawabkan sendiri atas tindakantindakannya sendiri.
Mereka-mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak
cakap atau onbekwaan untuk melakukan sendiri perbutaan hukum
adalah sebagai berikut:
1) Orang yang masih di bawah umur ( belum mencapai usia 21
tahun=belum dewasa).
2) Orang yang tak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan
pemboros, yakni mereka yang ditaruh di bawah (curtele)
pengampunan.
3) Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).8
Orang yang termasuk berada di bawah pengampunan adalah
orang-orang berikut:
7 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), hal. 63
8 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hal. 46

4


a) Orang gila;
b)Pengusaha yang dalam keadaan Pailit. Pailit maksudnya
pengusaha yang dinyatakan oleh pengadilan tidak mampu
membayar hutangnya dari dua orang atau lebih kreditor.
c) Pemabok dan pemboros ( khusus dalam peralihan hak
dibidang harta kekayaan).
Dewasa ini telah berkembang hukum lingkungan modern
yang berorientasi pada lingkungan (environment-oriented law).
Kini ruang lingkup hukum lingkungan sangat luas, yakni mengatur
tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan,
serta melindungi dan memelihara lingkungan sebagai wadah
tempat hidup manusia dalam arti lingkungan mempunyai hak untuk
dilindungi dan dilestarikan. Berdasarkan pandangan tersebut maka
tidak saja manusia dan badan hukum sebagai subjek hukum, tetapi
sekarang lingkungan dapat juga dikatakan sebagai subjek hukum
atau sebagai pendukung hak dan kewajiban.9
2. Badan Hukum (rechtpersoon)
Di samping orang-orang atau persoon, suatu badan atau
perkumpulan dapat juga memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan
hukum seperti halnya manusia. Badan hukum adalah setiap pendukung

hak yang tidak berjiwa ( yang bukan manusia) yang dapat melakukan
perbuatan hukum seperti manusia. Misalnya dapat melakukan
persetujuan, memiliki harta kekayaan yang sama sekali terlepas dari
kekayaan para anggotanya (keporasi).10
Badan atau perkumpulan itu mempunyai harta kekayaan
sendiri, ikut serta dalam persoalan hukum dan dapat juga digugat atau
menggugat di pengadilan dengan perantaraan pengurusnya. Hak dan

9 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.120
10 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.124

5

kewajiban badan hukum ini sama sekali terpisah dari hak dan
kewajiban para anggotanya.11
Badan hukum juga dapat berperan sebagai penggugat dan dapat
sebagai tergugat seperti halnya manusia. Perbedaannya dengan
manusia ialah bahwa badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan
dan tidak dapat dihukum penjara, kecuali hukum denda.12 Untuk
menjalankan hak dan kewajibannya, kecuali hukuman denda. Untuk

menjalankan hak dan kewajibannya, badan hukum bertindak dengan
perantara pengurusnya. Walaupun pengurus badan hukum itu selalu
dapat berganti-ganti, namun badan hukum sebagai pendukung hak dan
kewajiban tetap ada.
Di dalam masyarakat dapat kita jumpai bermacam-macam
badan hukum yang secara garis besarnya dapat digolongkan ke dalam
dua bentuk, yaitu badan hukum publik dan badan hukum perdata:
a. Badan hukum public, yaitu Negara, daerah swatantra tingkat I dan
II, kotamadya, kotapraja, dan desa.
b. Badan hukum perdata (privat), yang dapat dibagi lagi menjadi
berikut:
1) Badan hukum yang berdasarkan hukum perdata (BW), seperti
perseroan terbatas/ PT (naamloze vennotschap/NV). Yayasan,
lembaga, dan koperasi.
2) Badan hukum Indonesia (inlands rechtperson) seperti: Koperasi
Indonesia, perusahaan Negara, wakaf dan lain-lain.13
Rechtspersoon/ Badan hukum dapat dibagi dalam:
a.

Publiek Rechtspersoon,

yang sifatnya ada unsur kepentingan

b.

umum seperti Negara, daerah dan desa.
Privat Rechtspersoon/badan hukum privat yang memiliki sifat
adanya unsur kepentingan individual.

11 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014), hal. 63
12 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hal. 47
13 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.124

6

Dasar-dasar hukum sebagai pengaturan badan hukum adalah
sebagai berikut:
a. Perseroan terbatas (PT) diatur dalam bab III bagian ketiga buku
KUHD.
b. Koperasi, diatur dalam UU No.25 tahun 1992.
c. Yayasan, pengaturannya sesuai kebiasaan yang dibuat aktenya di
Notaris.
d. Perbankan, diatur dalam UU No. 7 tahun 1992.
e. Bank Pemerintah, sesuai dengan UU yang mengatur pendiriannya.
f. Organisasi partai politik dan golongan karya diatur dengan UU No.
3 tahun 1985.
g. Pemerintah daerah tingkat I, II, dan Kecamatan diatur dengan UU
No.5 tahun 1974
h. Negara Indonesia diatur dengan konstitusi UUD 1945.14

Beberapa badan hukum sebagai subjek hukum ditentukan oleh
empat teori yang menjadi syarat utama suatu badan untuk dapat
tergolong badan hukum (subjek hukum ). Keempat teori itu adalah
sebagai berikut:
a.

Teori Fictie, yaitu badan hukum dianggap sama dengan manusia
(orang /persoon) sebagai subjek hukum , dan hukum juga

b.

memberikannya hak dan kewajiban.
Teori kekayaan yang bermaksud agar harta kekayaan dari suatu
badan hukum harus mempunyai tujuan tertentu, dan harus terpisah

c.

dari harta kekayaan pengurus dan para anggotanya.
Teori kepemilikan bersama, yaitu suatu kekayaan badan hukum

d.

menjadi milik bersama para pengurus dan anggotanya.
Teori organ, yaitu badan hukum tersebut harus mempunyai
organisasi atau alat untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan
agar mencapai tujuannya. Jadi suatu badan hukum harus
mempunyai pengurus dan modal yang dimiliki.

14 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 228-239

7

Konsekeuensi pemisahan antara harta kekayaan badan hukum
dengan harta pribadi para pengurus dan anggotanya, adalah sebagai
berikut:
a. Penagih pribadi terhadap anggota badan hukum tidak berhak
menuntut harta kekayaan badan hukum.
b. Para pengurus/anggotanya tidak boleh secara pribadi menagih
piutang badan hukum terhadap pihak ketiga.
c. Tidak dibenarkan memberikan kompensasi (penggantian kerugian)
terhadap utang pribadi pengurus dan para anggotanya dari harta
kekayaan badan hukum.
d. Hubungan hukum berupa perjanjian antara pengurus/anggotanya
dengan badan hukum disamakan dengan hubungan hukum dengan
pihak ketiga.
e. Jika badan hukum pailit, hanya para kreditor saja yang dapat
menuntut harta kekayaan badan hukum.15
B. Kewajiban hukum
Kewajiban hukum seperti halnya norma hukum yang identik
dengannya, memiliki karakter umum atau individual. Norma hukum yang
memerintahkan kompensasi atas kerugian, menetapkan ( lebih tepatnya :
merupakan) kewajiban hukum. Keputusan pengadilan-yakni, norma
hukum individual- yang menetapkan, dalam perkara konkret, bahwa
seorang individu A harus mengompensasi individu B atas kerugian yang
ditimbulkan oleh si A terhadap si B-keputusan pengadilan ini menetapkan
(atau lebih tepatnya: merupakan) kewajiban individual dari si A; yang
dengan demikian hanya dinyatakan bahwa pemberian sejumlah uang oleh
si A kepada si B merupakan isi dari norma hukum individual. Biasanya,
kewajiban hukum hanya dijelaskan dalam kasus norma hukum individual,
dan karena teori tradisional hanya mempertimbangkan norma hukum
umum dan mengabaikan keberadaan norma individual, keidentikan norma
hukum dan kewajiban terabaikan, dan kewajiban hukum dianggap sebagai
15 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014), hal. 64

8

obyek dari pemahaman hukum yang berbeda dari norma hukum meksi
kadang terkait dengan norma yang disebut terakhir itu.
Upaya untuk mencirikan kewajiban hukum dengan cara ini akan
mengarah kepada kekeliruan. Sebagai contoh, upaya ini mengarah kepada
asumsi bahwa kewajiban hukum merupakan dorongan yang imanen pada
diri manusia; bahwa kewajiban ini merupakan desakan untuk berperilaku
dengan cara tertentu yang dia rasa sebagai perilaku yang diperintahkan;
bahwa ini merupakan kewajiban (atau keharusan yang mengikat; dari dari
kata ligare, mengikat) yang dimunculkan dari norma yang sudah ada dari
sananya, norma alamiah atau norma ilahiah yang kepatuhan terhadapnya
yang bisa “dijamin” melalui tatanan hukum yang menetapkan sanksi.
Meski begitu kewajiban hukum tidak lain merupakan norma hukum positif
yang memerintahkan perilaku seorang individu dengan menetapkan sanksi
atau perilaku yang sebaliknya. Dan individu itu diwajibkan secara hukum
untuk menerapkan perilaku yang diperintahkan, sekalipun ide mengenai
norma hukum ini tidak menciptakan dorongan untuk melaksanakan
perilaku yang diperintahkan, sekalipun dia sama sekali tidak mengetahui
norma hukum yang mewajibkannya, selama ada prinsip hukum positif,
ketidaktahuan tentang hukum itu tidak bisa dijadikan alasan.
Karena itulah konsep hukum ditetapkan. Ia pada dasarnya terkait
dengan konsep sanksi. Yang diwajibkan secara hukum adalah individu
yang perilakunya dapat mengakibatkan pelanggaran yang mebimbulkan
sanksi-atau calon pelaku pelanggaran; atau individu yang mampu
menghindari sanksi dengan berperilaku yang sebaliknya.
Kepatuhan terhadap norma hukum dan penerapannya merupakan
perilaku yang sesuai dengan norma itu. Jika “berlakunya” suatu tatanan
hukum kita pahami sebagai fakta bahwa individu berperilaku sesuai
dengan tatanan ini, maka berlakunya tatanan itu terwujudkan dalam:
1. Kepatuhan aktual terhadap norma hukum (yakni, dalam pemenuhan
kewajiban hukum yang ditetapkan oleh norma itu) dan
2. Dalam pernerapan norma (yakni, dalam pelaksanaan sanksi yang
ditetapkan oleh norma-norma itu).16
16 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung: Nusa Media, 2008), hal. 131-133

9

C. Hak dan Kewajiban
Sudah lazim bila kita melawankan konsep “kewajiban” dengan
konsep “hak” dan memberikan prioritas peringkat kepada hak. Dalam
lingkup hukum, kita berbicara tentang “hak dan kewajiban” dan bukan
“kewajiban dan hak” seperti halnya dalam lingkup moral, dimana
penekanan yang lebih besar diberikan pada kewajiban; dan kita berbicara
tentang hak sebagai sesuatu yang berbeda dari hukum. Namun hak adalah
hukum-hukum dalam arti kata subyektif yang berlawanan dengan
“hukum” dalam pengertian obyektif, yakni suatu tatanan hukum atau
sistem norma. Dalam menjelaskan hukum hak diposisikan di bagian yang
sedemikian dominan sehingga kewajiban nyaris tidak kelihatan; dalam
bahasa hukum Jerman dan Prancis, kata yang sama yakni Recht dan droit,
digunakan untuk menyebut “hak” dan juga “hukum”, sebagai sistem
norma yang membentuk tatanan hukum. Dengan demikian, guna
membedakan hak dan hukum, kita perlu perlu berbicara dalam bahasa
jerman tentang subjektives Rech dan objektives Rent (hukum suyektif dan
hukum obyektif) atau tentang Rech im subjektiven Sinne and Rech im
objektiven Sinne (hukum dalam pengertian subyektif dan hukum dalam
pengertian obyektif); dan dalam bahasa Prancis tentang droit subjectif dan
droit objektif. 17

17 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung: Nusa Media, 2008), hal. 143

10