Perbedaan Kepuasan Pernikahan pada Wanita Ditinjau dari Tahap-Tahap Pernikahan

(1)

PERBEDAAN KEPUASAN PERNIKAHAN

PADA WANITA DITINJAU DARI

TAHAP-TAHAP PERNIKAHAN

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

FITRI VIDAYA

031301035

FAKU LTAS P S IKOLOGI

U N IVERS ITAS S U MATERA U TARA

MED AN


(2)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2007

Fitri Vidaya: 031301035

Perbedaan Kepuasan Pernikahan pada Wanita Ditinjau dari Tahap-Tahap Pernikahan

xvii + 97 halaman; 61 tabel ; 1 gambar + lampiran Bibliografi (42): 1976 - 2007

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahap-tahap pernikahan. Kepuasan pernikahan adalah evaluasi mengenai kehidupan pernikahan yang diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan meliputi komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.

Penelitian ini melibatkan 90 orang wanita menikahn yang terdiri dari 25 orang wanita menikah yang berada pada tahap pasangan awal, 40 orang wanita menikah yang berada pada tahap membesarkan anak, dan 25 orang wanita menikah yang berada pada tahap kekosongan sebagai subjek penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan bersifat nonprobability sampling dengan cara Incidental. Alat ukur yang digunakan berupa skala kepuasan pernikahan (dengan reliabilitas 0.9727) yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (dalam Saragih 2003).

Berdasarkan hasil analisis data, maka diperoleh nilai probabilitas 0.681 (p>0.1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahap-tahap pernikahan dimana sumbangan efektif tahap-tahap pernikahan terhadap kepuasan pernikahan sebesar 0.9%. Berdasarkan analisis tambahan diperoleh hasil bahwa diantara tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu usia ketika menikah, pendidikan terakhir, dan penghasilan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari jumlah penghasilan (p=0.089, SE=10.6%). Berdasarkan analisis terhadap aspek-aspek kepuasan pernikahan diketahui bahwa ada perbedaan kepuasan pernikahan pada aspek pengelolaan keuangan (p=0.036, SE=13.6%) dan pada aspek kesetaraan peran (p=0.072, SE=11.3%) ditinjau dari jumlah penghasilan. Dari interaksi antara faktor-faktor yang mempengaruhi aspek-aspek kepuasan pernikahan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kepuasan pernikahan pada aspek keluarga dan teman ditinjau dari interaksi antara tahap pernikahan dengan pendidikan terakhir (p=0.074, SE=15.5%).


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 10

C. Manfaat Penelitian ... 10

D. Sistematika Penulisan... 11

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Kepuasan Pernikahan ... 12

1. Pengertian Pernikahan ... 12

2. Faktor-Faktor yang Memotivasi Pernikahan ... 13

3. Pengertian Kepuasan Pernikahan ... 15

4. Area-area Dalam Pernikahan ... 16

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan ... 21

B. Tahap-Tahap Pernikahan ... 23


(4)

a. Tahap I : Pasangan Awal (Married Couple) ... 25

b. Tahap II: Membesarkan Anak (Childrearing) ... 26

c. Tahap III: Kekosongan (Emptynest) ... 27

2. Tugas Perkembangan Keluarga ... 29

C. Dinamika Kepuasan Pernikahan Wanita Pada Tahap-Tahap Pernikahan... 31

D. Hipotesa... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

B. Definisi Operasional ... 35

1. Tahap-Tahap Pernikahan ... 35

2. Kepuasan Pernikahan ... 36

C. Subjek Penelitian ... 39

1. Populasi dan Sampel ... 39

2. Metode Pengambilan Sampel ... 40

D. Metode Pengumpulan Data ... 40

E. Uji Daya Beda Butir Pernyataan ... 42

F. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ... 43

1. Validitas ... 43

2. Reliabilitas ... 44

G. Prosedur Penelitian... 45


(5)

2. Pelaksanan Uji Coba Alat Ukur ... 46

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 46

4. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 48

H. Metode Analisis Data ... 49

BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 50

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 50

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Ketika Menikah ... 50

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 51

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Penghasilan ... 52

B. Hasil Penelitian ... 52

1. Hasil Uji Asumsi ... 52

a. Uji Normalitas ... 52

b. Uji Homogenitas ... 60

2. Hasil Utama Penelitian ... 53

3. Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Rata-Rata Empirik dan Rata-Rata Hipotetik ... 54

4. Kategorisasi Skor Kepuasan Pernikahan ... 55

C. Hasil Tambahan ... 57


(6)

2. Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians ... 59 a. Hasil Uji Beda Kepuasan Pernikahan pada Level

Pendidikan Terakhir ... 60 b. Hasil Uji Beda Kepuasan Pernikahan pada

Jumlah Penghasilan ... 60 3. Hasil Analisis Varians Empat Jalur Terhadap

Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan ... 61 a. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap

Aspek Komunikasi ... 61 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians

terhadap Aspek Komunikasi ... 62 b. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap Aspek

Kegiatan di Waktu Luang ... 63 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians terhadap

Aspek Kegiatan di Waktu Luang ... 64 c. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap Aspek

Orientasi Keagamaan ... 66 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians terhadap

Aspek Orientasi Keagamaan ... 67 d. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap Aspek

Penyelesaian Konflik ... 68 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians terhadap


(7)

e. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap Aspek

Pengelolaan Keuangan ... 71 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians terhadap Aspek Pengelolaan Keuangan ... 72 f. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap Aspek

Hubungan Seksual ... 74 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians terhadap

Aspek Hubungan Seksual ... 74 g. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap Aspek

Keluarga dan Teman ... 76 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians terhadap

Aspek Keluarga dan Teman ... 77 h. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap

Aspek Anak dan Pengasuhan Anak ... 79 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians

terhadap Aspek Anak dan Pengasuhan Anak ... 79 i. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap

Aspek Kepribadian ... 81 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians

terhadap Aspek Kepribadian ... 82 j. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap Aspek

Kesetaraan Peran ... 84 1) Uji Lanjutan Setelah Analisis Varians terhadap


(8)

Aspek Kesetaraan Peran ... 84

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

1. Kesimpulan Utama Penelitian ... 87

2. Kesimpulan Tambahan ... 87

B. Diskusi ... 89

C. Saran ... 92

1. Saran Metodologis ... 92

2. Saran Praktis ... 93


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tugas Perkembangan Keluarga dalam Tiap Tahap ... 29

Tabel 2. Definisi Operasional Tahap-Tahap Pernikahan ... 36

Tabel 3. Blue Print Skala Kepuasan Pernikahan Sebelum Uji Coba ... 42

Tabel 4. Blue Print Skala Kepuasan Pernikahan Setelah Uji Coba ... 47

Tabel 5. Perubahan Nomor Skala Kepuasan Pernikahan Setelah Uji Coba 48 Tabel 6. Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia Ketika Menikah ... 51

Tabel 7. Penyebaran Subjek Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 51

Tabel 8. Penyebaran Subjek Berdasarkan Jumlah Penghasilan ... 52

Tabel 9. Hasil Uji Normalitas dengan Menggunakan Tes Kolmogorov Smirnov Satu Sampel ... 53

Tabel 10. Hasil Uji Homogenitas Tes Levene ... 53

Tabel 11. Hasil Perhitungan Analisis Varians terhadap Kepuasan Pernikahan ... 54

Tabel 12. Hasil Uji Beda Kepuasan Pernikahan pada Tahap-Tahap Pernikahan ... 54

Tabel 13. Perbandingan Rata-Rata Empirik Dengan Rata Hipotetik Kepuasan Pernikahan ... 55

Tabel 14. Kategorisasi Kepuasan Pernikahan Berdasarkan Nilai Empirik .. 55

Tabel 15. Kategorisasi Kepuasan Pernikahan Pada Wanita Ditinjau Dari Tahap-Tahap Pernikahan ... 56

Tabel 16. Deskripsi Data Tahap Pasangan Awal ... 57


(10)

Tabel 18. Deskripsi Data Tahap Kekosongan ... 58 Tabel 19. Hasil Analisis Varians Empat Jalur ... 59 Tabel 20. Hasil Uji Beda Kepuasan Pernikahan pada

Level Pendidikan Terakhir ... 60 Tabel 21. Hasil Uji Beda Kepuasan Pernikahan pada

Jumlah Penghasilan ... 60 Tabel 22. Hasil Analisis Varians Empat Jalur Terhadap

Aspek Komunikasi ... 61 Tabel 23. Hasil Uji Beda Aspek Komunikasi pada

Tahap-Tahap Pernikahan ... 62 Tabel 24. Hasil Uji Beda Aspek Komunikasi pada

Level Pendidikan Terakhir ... 62 Tabel 25. Hasil Uji Beda Aspek Komunikasi Pada Jumlah Penghasilan .... 63 Tabel 26. Hasil Analisis Varians Empat Jalur terhadap

Aspek Kegiatan Di Waktu Luang ... 64 Tabel 27. Hasil Uji Beda Aspek Kegiatan Di Waktu Luang

Pada Tahap-Tahap Pernikahan ... 64 Tabel 28. Hasil Uji Beda Aspek Kegiatan Di Waktu Luang

Pada Level Pendidikan Terakhir ... 65 Tabel 29. Hasil Uji Beda Aspek Kegiatan Di Waktu Luang

Pada Jumlah Penghasilan ... 65 Tabel 30. Hasil Analisis Varians Empat Jalur Terhadap Aspek


(11)

Tabel 31. Hasil Uji Beda Aspek Orientasi Keagamaan Pada

Tahap-Tahap Pernikahan ... 67 Tabel 32. Hasil Uji Beda Aspek Orientasi Keagamaan pada

Level Pendidikan Terakhir ... 67 Tabel 33. Hasil Uji Beda Aspek Orientasi Keagamaan

Pada Jumlah Penghasilan ... 68 Tabel 34. Hasil Analisis Varians Empat Jalur Terhadap Aspek

Penyelesaian Konflik ... 69 Tabel 35. Hasil Uji Beda Aspek Penyelesaian Konflik

Pada Tahap-Tahap Pernikahan ... 70 Tabel 36. Hasil Uji Beda Aspek Penyelesaian Konflik Pada

Level Pendidikan Terakhir ... 70 Tabel 37. Hasil Uji Beda Aspek Penyelesaian Konflik pada

Jumlah Penghasilan ... 71 Tabel 38. Hasil Analisis Varians Empat Jalur

Terhadap Aspek Pengelolaan Keuangan ... 71 Tabel 39. Hasil Uji Beda Aspek Pengelolaan Keuangan

pada Tahap-Tahap Pernikahan ... 72 Tabel 40. Hasil Uji Beda Aspek Pengelolaan Keuangan

pada Level Pendidikan Terakhir ... 73 Tabel 41. Hasil Uji Beda Aspek Pengelolaan Keuangan


(12)

Tabel 42. Hasil Analisis Varians Empat Jalur

Terhadap Aspek Hubungan Seksual ... 74 Tabel 43. Hasil Uji Beda Aspek Hubungan Seksual

pada Tahap-Tahap Pernikahan ... 75 Tabel 44. Hasil Uji Beda Aspek Hubungan Seksual

pada Level Pendidikan Terakhir ... 75 Tabel 45. Hasil Uji Beda Aspek Hubungan Seksual

pada Jumlah Penghasilan ... 76 Tabel 46. Hasil Analisis Varians Empat Jalur

Terhadap Aspek Keluarga Dan Teman ... 76 Tabel 47. Hasil Uji Beda Aspek Keluarga dan Teman

pada Tahap-Tahap Pernikahan ... 77 Tabel 48. Hasil Uji Beda Aspek Keluarga dan Teman

pada Level Pendidikan Terakhir ... 78 Tabel 49. Hasil Uji Beda Aspek Keluarga dan Teman

pada Jumlah Penghasilan ... 78 Tabel 50. Hasil Analisis Varians Empat Jalur

Terhadap Aspek Anak Dan Pengasuhan Anak ... 79 Tabel 51. Hasil Uji Beda Aspek Anak Dan Pengasuhan Anak

pada Tahap-Tahap Pernikahan ... 80 Tabel 52. Hasil Uji Beda Aspek Anak Dan


(13)

Tabel 53. Hasil Uji Beda Aspek Anak Dan Pengasuhan Anak

pada Tingkat Penghasilan ... 81 Tabel 54. Hasil Analisis Varians Empat Jalur

Terhadap Aspek Kepribadian ... 81 Tabel 55. Hasil Uji Beda Aspek Kepribadian

pada Tahap-Tahap pernikahan ... 82 Tabel 56. Hasil Uji Beda Aspek Kepribadian

pada Level Pendidikan Terakhir ... 83 Tabel 57. Hasil Uji Beda Aspek Kepribadian

pada Jumlah Penghasilan ... 83 Tabel 58. Hasil Analisis Varians Empat Jalur

Terhadap Aspek Kesetaraan Peran ... 84 Tabel 59. Hasil Uji Beda Aspek Kesetaraan Peran

pada Tahap-Tahap Pernikahan ... 84 Tabel 60. Hasil Uji Beda Aspek Kesetaraan Peran

pada Level Pendidikan Terakhir ... 85 Tabel 61. Hasil Uji Beda Aspek Kesetaraan Peran


(14)

DAFTAR GAMBAR


(15)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2007

Fitri Vidaya: 031301035

Perbedaan Kepuasan Pernikahan pada Wanita Ditinjau dari Tahap-Tahap Pernikahan

xvii + 97 halaman; 61 tabel ; 1 gambar + lampiran Bibliografi (42): 1976 - 2007

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahap-tahap pernikahan. Kepuasan pernikahan adalah evaluasi mengenai kehidupan pernikahan yang diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan meliputi komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.

Penelitian ini melibatkan 90 orang wanita menikahn yang terdiri dari 25 orang wanita menikah yang berada pada tahap pasangan awal, 40 orang wanita menikah yang berada pada tahap membesarkan anak, dan 25 orang wanita menikah yang berada pada tahap kekosongan sebagai subjek penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan bersifat nonprobability sampling dengan cara Incidental. Alat ukur yang digunakan berupa skala kepuasan pernikahan (dengan reliabilitas 0.9727) yang disusun sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (dalam Saragih 2003).

Berdasarkan hasil analisis data, maka diperoleh nilai probabilitas 0.681 (p>0.1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahap-tahap pernikahan dimana sumbangan efektif tahap-tahap pernikahan terhadap kepuasan pernikahan sebesar 0.9%. Berdasarkan analisis tambahan diperoleh hasil bahwa diantara tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu usia ketika menikah, pendidikan terakhir, dan penghasilan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari jumlah penghasilan (p=0.089, SE=10.6%). Berdasarkan analisis terhadap aspek-aspek kepuasan pernikahan diketahui bahwa ada perbedaan kepuasan pernikahan pada aspek pengelolaan keuangan (p=0.036, SE=13.6%) dan pada aspek kesetaraan peran (p=0.072, SE=11.3%) ditinjau dari jumlah penghasilan. Dari interaksi antara faktor-faktor yang mempengaruhi aspek-aspek kepuasan pernikahan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kepuasan pernikahan pada aspek keluarga dan teman ditinjau dari interaksi antara tahap pernikahan dengan pendidikan terakhir (p=0.074, SE=15.5%).


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) diartikan sebagai tugas yang muncul pada saat atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu. Salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa dini yaitu mulai membentuk keluarga (Havighurst, dalam Hurlock, 1999). Kelley dan Convey (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa membangun dan mempertahankan hubungan dengan pasangan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam perkembangan individu dewasa. Kebanyakan individu dewasa menginginkan hubungan cinta mereka dikokohkan dalam sebuah pernikahan (Kail & Cavanaugh, 2000).

Berdasarkan sensus di Amerika Serikat pada tahun 2002, meskipun satu di antara tiga pernikahan berakhir dengan perceraian, namun 95% orang dewasanya memilih menikah sebagai poin penting dalam kehidupan mereka, dan sebagian besar dari mereka memilih menikah dengan individu yang mereka cintai (Sigelman & Rider, 2003).

Bhrem (2002) menyatakan bahwa pernikahan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam; dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Usia pernikahan rata-rata pada individu dewasa dini adalah 24 tahun


(17)

untuk pria, dan 21 tahun untuk wanita (Bhrem, 2002). Di Indonesia sendiri, usia rata-rata wanita menikah adalah 21 tahun dan pria 24 tahun (Xenos, dalam Sarwono, 2002)

Secara umum, pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dilaksanakan dengan menggunakan adat atau aturan tertentu, yang kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu. Sedangkan perkawinan, meskipun seringkali dibedakan dengan kata nikah, memiliki inti makna yang sama dengan pernikahan, yaitu upacara bersatunya pria dan wanita membentuk satu keluarga (Wikipedia, 2007).

Dalam hal kepuasan hidup, dari 2164 kasus yang dipilih secara random, Campbell (dalam Domikus, 1999) menemukan bahwa orang-orang yang terikat dalam pernikahan merasakan kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan ketika mereka menduda, menjanda atau sebelum menikah. Kepuasan hidup yang diperoleh melalui pernikahan ini disebabkan karena hampir seluruh dimensi kebutuhan manusia dapat dipenuhi melalui pernikahan, sebagaimana dikemukakan oleh Walgito (dalam Domikus, 1999) bahwa melalui pernikahan manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis atau biologis, psikologis, sosial, dan religius.

Pernikahan bukanlah peristiwa hidup yang tunggal, tetapi merupakan satu set tahapan dimana pasangan mencoba untuk mencapai keseimbangan antara ketergantungan dan otonomi sebagaimana mereka bernegosiasi terhadap masalah kontrol, kekuasaan, dan otoritas (Kovacs, dalam Kurdek, 1999)


(18)

Dalam suatu pernikahan, umumnya pasangan akan melewati tahapan yang selanjutnya disebut oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993) sebagai family life

cycle. Menurut Duvall (dalam Domikus, 1999), setiap tahap dalam siklus

kehidupan keluarga tersebut mempunyai ciri khusus dalam tugas dan tujuannya. Misalnya, pada keluarga awal, titik berat tujuan adalah melepaskan diri dari campur tangan orangtua dan mengakomodasi peran baru sebagai orangtua atau calon orangtua.

Pada tahap keluarga awal, pasangan dihadapkan pada tugas-tugas penting yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan seksual dan perkembangan pernikahan yang harmonis. Pada tahap ini juga, pasangan mulai membuat keputusan penting mengenai rencana memiliki anak dan jumlah anak yang diinginkan, juga pertimbangan perubahan aktivitas yang mungkin terjadi pada pasangan dikarenakan kehadiran anak, dampak potensial penurunan pendapatan yang disebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat anak (Lefrancois, 1993). Kebanyakan data menunjukkan bahwa pada tahap ini kepuasan pasangan mencapai tingkat yang paling tinggi.

Memasuki periode kelahiran anak, sekalipun pernikahan dianggap sebagai jalan terbaik untuk memiliki anak serta mengembangkan keturunan (Papalia, 2000), kelahiran anak pertama juga memberikan dampak yang besar bagi pasangan karena anak memaksa pasangan untuk menambah peran baru sebagai ibu dan ayah, padahal sebelumnya sudah memiliki identitas sebagai pasangan.

Pandangan umum yang selama ini dipegang oleh calon orangtua adalah bahwa memiliki anak akan membuat pasangan semakin dekat. Sebagian besar


(19)

orangtua mengatakan bahwa memiliki anak akan meningkatkan kehidupan dan membawa kebahagiaan dan pemenuhan hidup (Emery & Tuer, dalam Sigelman & Rider, 2003). Seperti yang diungkapkan melalui proses wawancara dengan salah seorang wanita menikah yang belum memiliki anak (G, 23 tahun) akan keinginannya yang besar untuk segera memiliki anak pada usia pernikahan dua tahun:

”Punya anak, ya pengenlah... siapa juga yang gak pengen punya anak.

Kan rumah jadi rame, ada yang diajak ketawa...”

Namun kenyataannya, masa awal menjadi orangtua merupakan transisi kehidupan yang penuh tekanan yang meliputi perubahan positif maupun negatif (Cowan & Cowan; Monk et al, dalam Sigelman & Rider, 2003 ). Orangtua sering melaporkan bahwa terasa sekali penurunan jumlah waktu yang dapat dilalui bersama setelah kelahiran anak pertama (Campbell, dalam Sadarjoen, 2005).

Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama pernikahan setelah bayi lahir (Belsky, Lang, & Rovine; Gottman & Notarius, dalam Sigelman & Rider, 2003). Penurunan ini biasanya lebih tajam pada wanita daripada pria, pada dasarnya disebabkan tanggung jawab terhadap anak lebih berat pada ibu dan apa yang mereka peroleh sebagai pembagian tugas yang tidak adil. Ibu baru sering merasa terperangkap, terisolasi, dan diliputi oleh tanggungjawabnya; sementara ayah baru khawatir mengenai keuangan (Fox, dalam Sigelman & Rider, 2003). Sekalipun baik suami maupun istri bekerja di luar rumah, wanita tetap menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dibandingkan pria untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan para ayah menyumbang 60 persen dari waktu yang ada untuk mengasuh anak (Then, 2002).


(20)

Pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya. Istri lebih merasa tertekan, frustrasi dan tidak puas terhadap pernikahan dibanding suami; istri memikul sebagian besar tanggung jawab pemeliharaan anak dan urusan rumah tangga, bahkan ketika mereka bekerja penuh waktu di luar rumah, dan mereka menceritakan banyak perasaan negatif tentang kehidupan pernikahan (Bernard; Barecca, dalam Then, 2002).

Hasil survei di Amerika Serikat menemukan bahwa para istri cenderung memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih rendah (56%) dibandingkan dengan para suami (60%) (Unger & Crawford, dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004).

Namun menariknya, wanita menikah memperoleh keuntungan dari segi kesehatan hanya ketika pernikahannya bahagia (Hess & Soldo, dalam Prasetya, 2005). Dalam pengaruh perubahan emosi anak-anak mereka, kepuasan pernikahan pada ibu (istri) ditemukan lebih krusial dibandingkan kepuasan pernikahan pada ayah (suami) (Belsky & Fish, dalam Prasetya, 2005). Penemuan lain menunjukkan bahwa memiliki pernikahan bahagia atau pernikahan berkualitas tampaknya lebih krusial dan signifikan menguntungkan istri daripada suami.

Seiring bertambahnya usia dan jumlah anak dalam keluarga, bersamaan dengan itu pula terjadi berbagai perubahan dalam penyesuaian terhadap berbagai tuntutan peran sebagai ibu dan ayah. Orangtua dihadapkan pada penyesuaian dalam hal finansial demi memenuhi kebutuhan anak-anak, penyediaan tempat, perlengkapan, waktu, perhatian, juga masalah-masalah yang berkaitan dengan


(21)

pengasuhan anak. Selain itu, pasangan masih mempunyai tugas penting lainnya yaitu mempertahankan pernikahan yang bahagia dan memuaskan (Lefrancois, 1993).

Menaghan (dalam Sadarjoen, 2005) menambahkan bahwa ketika anak berada pada periode remaja, orangtua mungkin merasa tidak nyaman dengan pola asuh yang telah diterapkan. Moral kehidupan keluarga sering jatuh. Sementara itu, akan sampai saatnya kedua pasangan mengalami kejadian final yaitu pada saat anak terakhir keluar dari rumah dan dirasakan sebagai signal emptynest yang merupakan pertanda akhir dari aktivitas parental.

Pada masa emptynest, terjadi perubahan dalam peran dan gaya hidup orangtua, khususnya bagi ibu yang memusatkan hidup mereka pada pengasuhan anak (Sigelman & Rider, 2003). Pada umumnya, hubungan dengan anak yang telah meninggalkan rumah menjadi sangat dekat dan sangat positif, dan orangtua menilai pengalaman emptynest lebih positif (Borland, dalam Lefrancois, 1993). Faktanya, banyak orangtua yang melihat kepergian anak meninggalkan rumah sebagai waktu untuk membangun kembali kehidupan pribadi yang bebas sebagai orang dewasa (Glick & Lin, dalam Lefrancois, 1993).

Sementara kehadiran anak dalam keluarga menyebabkan penurunan dalam kepuasan pernikahan, namun keluarnya anak dari rumah menyebabkan peningkatan kembali kepuasan pernikahan (Gagnonet et al L; White & Edwards, dalam Sigelman & Rider, 2003). Pada masa emptynest, wanita seringkali merasa bahwa pernikahan mereka lebih ”adil” dan pasangan mereka lebih bisa mengakomodasi kebutuhan mereka (Mackey & O’Brien; Suitor, dalam Sigelman


(22)

& Rider, 2003). Beberapa pasangan mulai memperbaharui hubungan mereka pada masa emptynest dan memanfaatkan waktu senggang sebagai kegiatan peningkatan diri secara individual, juga keterlibatan yang lebih besar dengan pasangan, hobi, dan komunitas (Hoyer & Roodin, 2003).

Dilihat dari sudut pandang teori Barat, Nock (dalam Lefrancois, 1993) mengatakan bahwa pasangan yang paling berbahagia adalah pasangan tanpa anak, baik itu pasangan yang belum memiliki anak, pasangan yang tidak akan pernah memiliki anak, dan pasangan dimana anak-anak mereka telah meninggalkan rumah. Pasangan tanpa anak memiliki kemungkinan paling kecil untuk bercerai.

Sementara itu, Gunarsa (2003) menyatakan bahwa dalam kebudayaan Timur status anak dipandang sebagai pemberian yang akan membawa rezekinya masing-masing. Hal ini berarti bahwa semakin banyak anak maka semakin banyak pula rezeki yang akan diperoleh. Selain itu, anak merupakan faktor yang penting, bahkan mungkin pula “tidak adanya anak” hanya merupakan faktor yang dikambinghitamkan sebagai alasan untuk membenarkan kekurangan diri pasangan dan sebagai alasan perceraian. Namun, disisi lain, pasangan mungkin merasa bahwa pernikahan tidak dapat dipertahankan lagi karena kehadiran anak dimana terjadinya peningkatan biaya hidup yang tidak seimbang dengan hasil usaha mencari nafkah, sehingga timbul masalah-masalah yang sulit diatasi yang akibatnya menambah penderitaan pasangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya anak maupun tidak adanya anak dalam keluarga dapat menyebabkan runtuhnya impian mengenai pernikahan yang bahagia. Faktor ada anak atau tidak ada anak


(23)

seolah-olah tidak penting dalam menciptakan keluarga sejahtera, karena kedua hal ini bisa saja menyebabkan terjadinya perceraian.

Data menunjukkan bahwa kemungkinan perceraian tertinggi terjadi selama tahun-tahun pertama perkawinan, puncaknya antara dua sampai empat tahun perkawinan. Diantara perkawinan yang berakhir dengan perceraian, waktu median perpisahan adalah 6,6 tahun, dan waktu median perceraian terjadi pada delapan tahun perkawinan (Kreider & Fields, dalam Newman & Newman, 2004). Akan tetapi, tidak semua pasangan yang berpisah akan mengalami perceraian secara legal (Bhrem, 2002).

Selain itu, berdasarkan data faktual tentang kasus perceraian di Indonesia yang diperoleh dari Pengadilan Agama Bandung pada tahun 1998 terdapat 1145 kasus perceraian. Jumlah kasus perceraian ini semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya sejumlah 1212 kasus perceraian pada tahun-tahun 1999 dan sejumlah 1387 kasus perceraian pada tahun 2000. Hasil pencatatan data kasus perceraian tersebut adalah hasil pencatatan kasus perceraian dari Pengadilan Agama Islam, belum termasuk kasus perceraian yang diputuskan oleh Kantor Catatan Sipil, yang terkait dengan agama yang dipeluk pasangan pernikahan. Berdasarkan data tersebut, kasus perceraian umumnya terjadi pada kisaran usia perkawinan sekitar dua hingga lima belas tahun dengan kisaran jumlah anak dua hingga empat orang (Sadarjoen, 2005).

Sementara itu, angka perceraian di kota Medan dari tahun ke tahun beranjak naik. Sebanyak 802 kasus (2000), 813 kasus (2001), 933 kasus (2002), 967 kasus (2003), 1.035 kasus (2004) dan 2005 meningkat lagi. Diprediksi


(24)

minimal ada 1.075 perkara. Usia perceraian yang cenderung usia muda banyak terjadi pada 2005, dimulai dari usia 20-an sampai 30-an. Namun kebanyakan perceraian terjadi pada usia pernikahan yang masih baru, misalnya baru berjalan dua tahun dan sudah mempunyai anak. (Sobardi, dalam WASPADA, 2005)

Secara umum, kepuasan pernikahan merupakan hal yang subjektif, tergantung pada bagaimana pernikahan bertahan dengan adanya harapan individu. Sebuah pasangan mungkin menganggap pernikahan mereka sangat memuaskan, sementara bagi pasangan lain pernikahan tampak membosankan dan tidak menyenangkan (Scanzoni & Scanzoni, 1976). Pernikahan yang membosankan dan tidak menyenangkan dapat mengarah kepada ketidakpuasan pasangan terhadap pernikahan, dan perceraian merupakan salah satu indikasi tidak adanya kepuasan dalam pernikahan (Bagus, dalam Suara Merdeka, 2004).

Berdasarkan data diatas, tampak bahwa dalam setiap tahapan dalam pernikahan memberikan implikasi bervariasi terhadap puas tidaknya pasangan terhadap pernikahannya. Sebagian pasangan mungkin mampu bertahan mempertahankan pernikahannya sesuai dengan janji nikah yang pernah diucapkan, sementara pasangan lainnya mengakhiri hubungan pernikahan dengan perceraian yang belakangan ini merupakan fenomena umum terjadi di masyarakat. Wanita, sebagai bagian dari sebuah pernikahan juga memperoleh dampak dari puas tidaknya ia dalam pernikahannya. Oleh karena itulah maka peneliti ingin melihat dan mengetahui lebih jauh apakah ada perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahap-tahap pernikahan.


(25)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui apakah ada perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahapan pernikahan.

C. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan wacana pengetahuan di bidang psikologi perkembangan, khususnya perkembangan keluarga mengenai perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahapan pernikahan.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam hal: a. Membantu melihat bagaimana perbedaan kepuasan pernikahan

pada wanita dalam setiap tahapan pernikahannya sehingga dapat diambil langkah selanjutnya untuk mengantisipasi dampak dari ketidakpuasan pasangan terhadap pernikahan.

b. Sebagai wacana bagi para pekerja dalam bidang konseling pernikahan dan lembaga-lembaga penasehat pernikahan untuk dapat memberikan konsultasi kepada pasangan menikah yang mengalami masalah dalam pernikahannya mencakup area-area penting berkaitan dengan kepuasan pernikahan.


(26)

D. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah yang akan dibahas, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Pada bab ini akan diuraikan tinjauan kritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang pernikahan, tahapan pernikahan, kepuasan pernikahan, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan.

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional, subjek penelitian, instrumen dan alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel dan metode analisis data.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan

Bhrem (1992) menyatakan bahwa pernikahan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.

Ditambahkan oleh Dyer (1983) yang mendefinisikan pernikahan sebagai suatu subsistem dari hubungan yang luas dimana dua orang dewasa dengan jenis kelamin berbeda membuat sebuah komitmen personal dan legal untuk hidup bersama sebagai suami dan istri.

Pernikahan bukanlah peristiwa hidup tunggal, tetapi satu set tahapan dimana pasangan mencoba untuk mencapai keseimbangan antara ketergantungan dan otonomi sebagaimana mereka bernegosiasi terhadap masalah kontrol, kekuasaan, dan otoritas (Kovacs, dalam Kurdek, 1999)

Duvall (1985) menyatakan bahwa pernikahan adalah persetujuan masyarakat atas penyatuan suami dan istri dengan harapan mereka akan menerima tanggung jawab dan melakukan peran sebagai pasangan suami istri dalam kehidupan pernikahan.


(28)

Undang-Undang RI tahun 1974 pasal 1 tentang pernikahan menyebutkan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Astuti, 2003).

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka pernikahan disimpulkan sebagai suatu hubungan yang diawali ketika dua orang individu yang berlainan jenis saling mengucapkan janji didepan umum untuk hidup bersama sebagai suami istri dan membentuk keluarga atas keinginan dan harapan untuk menetapkan hubungan yang bahagia dan kekal sepanjang hidup berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Faktor-Faktor Yang Memotivasi Pernikahan

Setiap orang mungkin mempunyai pertimbangan yang berbeda ketika harus memutuskan untuk memasuki lembaga pernikahan. Namun secara umum hal tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua faktor utama, push factors, yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk segera memasuki pernikahan; dan

pull factors, yaitu faktor-faktor daya tarik yang menetralisir kekhawatiran

seseorang untuk terikat dalam pernikahan yang akan mengurangi kebebasan (Turner & Helms, dalam Domikus, 1999).

Adapun yang termasuk push factors, antara lain:

a. Konformitas. Orang memutuskan untuk menikah karena demikian pula yang


(29)

kebudayaan yang ada di muka bumi ini adalah sedemikian rupa sehingga konformitas merupakan hal yang utama.

b. Cinta. Cinta merupakan komitmen emosional manusia yang perlu

diterjemahkan ke dalam suatu bentuk yang lebih nyata dan permanen, yaitu pernikahan.

c. Legitimasi seks dan anak. Secara tradisional, masyarakat memberikan

dukungan terhadap hubungan seksual hanya kepada mereka yang telah menyatakan komitmennya secara legal. Sedangkan lahirnya anak-anak yang tidak berasal dari pernikahan yang sah akan menimbulkan stigma sosial yang tidak dapat disepelekan.

Sementara yang termasuk dalam pull factors, antara lain:

a. Persahabatan. Salah satu harapan terhadap pernikahan adalah terjadinya

persahabatan yang terus-menerus. Banyak pasangan menyatakan bahwa hal terpenting dalam pernikahan sesungguhnya adalah terjalinnya suatu persahabatan.

b. Berbagi. Berbagi dalam gaya hidup, pikiran-pikiran dan juga penghasilan

dianggap sebagai daya tarik seseorang untuk memasuki pernikahan.

c. Komunikasi. Pasangan suami istri perlu terlibat secara mendalam dalam

komunikasi yang akrab dan bermakna. Pasangan yang bahagia adalah mereka yang terampil berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal dan saling peka terhadap kebutuhan satu sama lain.


(30)

3. Pengertian Kepuasan Pernikahan

Symonds & Horvath (dalam Judge, dkk, 2006, hal. 446) menyebutkan pengertian kepuasan pernikahan yaitu:

"an attitude of greater or lesser favorability toward one's own marital relationship".

Menurut Roach, dkk (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) kepuasan pernikahan merupakan persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu.

Secara umum, Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.

Menurut Durodoye (dalam Domikus, 1999), kepuasan perkawinan merupakan kesan subyektif individu terhadap komponen spesifik dalam hubungan perkawinannya. Penyebab ketidakpuasan perkawinan biasanya berkisar pada tiga wilayah utama, yaitu: komunikasi, keuangan dan anak (Snyder, dalam Domikus, 1999).

Hendrick dan Hendrick (1992) mengemukakan istilah-istilah yang termasuk dalam kepuasan pernikahan: kebahagiaan dan penyesuaian dalam


(31)

pernikahan, kesepakatan akan nilai, prioritas dan ”peraturan” keluarga bagi pasangan dalam pernikahan, frekuensi berhubungan seksual, frekuensi perbedaan pendapat; ada atau tidak ada penyesuaian tentang pernikahan, keterlibatan emosional dengan anak-anak, dan berbagai perasaan lain, ekspresi verbal dan tingkah laku yang menjadi ciri evaluasi dari suatu hubungan.

Kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Huges & Noppe, 1985).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi mengenai kehidupan pernikahan yang dapat diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan yang mencakup: komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.

4. Area-Area Dalam Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (dalam Saragih, 2003). Adapun area-area tersebut adalah sebagai berikut:

a. Komunikasi

Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi


(32)

dan menerima informasi tentang perasaan dan fikirannya. Laswell (1991) membagi komunikasi pernikahan dalam lima elemen dasar, yaitu: openness (adanya keterbukaan antara pasangan), honesty (kejujuran terhadap pasangan),

ability to trust (kemampuan untuk mempercayai satu sama lain), emphaty

(kemampuan mengidentifikasi emosi pasangan) dan listening skill (kemampuan menjadi pendengar yang baik).

b. Kegiatan di waktu luang

Area ini menilai pilihan kegiatan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Pasangan sama-sama merasa senang dan dapat menikmati kebersamaan yang mereka ciptakan.

c. Orientasi keagamaan

Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan pernikahan. Menurut Landis & Landis (dalam Wahyuningsih, 2002), tingkat religiusitas dalam pernikahan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan pernikahan. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orang tua mengajarkan dasar-dasar agama yang dianut kepada anaknya, dan merasa bahwa mereka wajib memberi teladan kepada anaknya


(33)

dengan membiasakan diri beribadah, melaksanakan praktek agama, bersembahyang secara teratur, ikut dalam kegiatan atau organisasi agama (Hurlock, 1999).

d. Penyelesaian konflik

Area ini menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Kail dan Cavanaugh (2000) bahwa kebahagiaan dalam perkawinan dapat terbina dengan melakukan komunikasi yang konstruktif dan positif mengenai masalah yang sedang dihadapi.

e. Pengelolaan keuangan

Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Henslin (1985) mengemukakan bahwa pasangan yang senang dengan pemasukan yang mereka peroleh akan cenderung puas terhadap pernikahannya, tetapi mungkin saja keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang buruk dapat bahagia dan langgeng selama tercipta kesepakatan bersama dalam pengelolaan keuangan. Konflik dapat muncul jika salah seorang dari pasangan menunjukan otoritas terhadap pasangannya dan meragukan kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan. f. Hubungan seksual

Area ini melihat bagaimana perasaan pasangan dalam hal kasih sayang dan hubungan seksual. Fokusnya area ini adalah refleksi sikap yang berhubungan


(34)

dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan dan memilih waktu yang tepat untuk berhubungan seksual sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Kualitas dan kuantitas hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan pernikahan.

g. Keluarga dan teman

Area ini menilai perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman dapat dilihat dalam area ini. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Hubungan yang baik antara menantu dan mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika individu dapat menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Pernikahan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu yang lama (Hurlock, 1999).

h. Anak dan pengasuhan anak

Area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orangtua, memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana


(35)

pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan jika itu dapat tercapai. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan.

i. Kepribadian

Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasan serta kepribadian pasangan. Biasanya, sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Namun setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul dan perbedaan dari apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dapat menimbulkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

j. Kesetaraan peran

Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Hurlock (1999) menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis kelamin tertentu. Pria dapat bekerjasama


(36)

dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar dan jabatan lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan antara lain, sebagai berikut:

a. Kehadiran anak

Duvall (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa hadirnya anak di kemudian hari terbukti potensial dalam mengurangi kepuasan pernikahan, mengingat keakraban dan perhatian suami istri terbagi dengan anak. Selain itu, anak menuntut banyak energi dan juga uang yang dalam banyak hal akan menambah kompleks beban keluarga. Ditambahkan oleh Kurdek (dalam Bhrem, 2002) bahwa anak adalah pekerjaan yang tidak ada akhirnya, dan sebagian besar orangtua mengalami penurunan yang drastis dan tidak diharapkan dalam menikmati waktu berdua. Ketika bayi lahir, konflik meningkat dan kepuasan pernikahan (dan cinta terhadap pasangan) menurun, khususnya pada wanita (Belsky, dalam Bhrem, 2002). Selain menambah stres pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992), kehadiran anak dalam keluarga juga meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian (Katvetz, Warner & Acock, dalam Bhrem, 2002).


(37)

b. Tingkat pendidikan

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Kurdek (dalam Lefrancois, 1993), ditemukan bahwa bagi pria dan wanita, rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan terjadinya persengketaan dalam pernikahan. Hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan akan mengurangi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan verbal dan sosial dalam menyelesaikan konflik, dan persiapan yang kurang baik yang terjadi pada awal-awal pernikahan. Ditambahkan oleh Hendrick & Hendrick (1992) bahwa pasangan yang memiliki tingkat pendidikan rendah akan merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih benyak menghadapi stressor seperti pengangguran dan tingkat penghasilan yang rendah.

c. Latar belakang ekonomi

Status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan pernikahan (Hendrick & Hendrick, 1992). Umumnya, individu dengan status pekerjaan rendah, kurang pendidikan, dan pendapatan yang rendah memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk bercerai (Kitson et al; Karney & Brabury, dalam Bhrem, 2002).

d. Usia ketika menikah.

Pada wanita, usia ketika pertama kali menikah merupakan faktor penting yang berhubungan dengan kepuasan pernikahan. Pada umumnya, semakin dewasa wanita ketika menikah, maka akan semakin bahagia ia dalam pernikahannya. Selain itu, ditemukan juga bahwa remaja yang menikah memiliki frekuensi dua


(38)

kali lebih besar untuk bercerai dibandingkan dengan wanita yang lebih dewasa (Lefrancois, 1993).

e. Lama Pernikahan

Sebagaimana dikemukakan oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993) bahwa tingkat kepuasan tertinggi terjadi pada awal pernikahan, menurun setelah kelahiran anak pertama, dan meningkat kembali setelah anak terakhir meninggalkan rumah.

B. Tahap-Tahap Pernikahan

1. Pengertian Tahap-Tahap Pernikahan

Dalam setiap pernikahan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers, dalam Sigelman & Rider, 2003)

Duvall (dalam Lefrancois, 1993) membagi tahap-tahap pernikahan menjadi 8 (delapan) tahap yang disebut juga sebagai Family Life Cycle, sebagai berikut:

1. Keluarga awal: Pasangan baru menikah dan belum memiliki anak, berlangsung selama lebih kurang 2 tahun

2. Childbearing family (kelahiran anak pertama sampai berusia 30 bulan),

berlangsung sekitar 2.5 tahun

3. Keluarga dengan anak prasekolah (anak tertua berusia 30 bulan - 6 tahun), berlangsung sekitar 3.5 tahun


(39)

4. Keluarga dengan anak sekolah (anak tertua berusia 6 - 13 tahun), berlangsung sekitar 7 tahun

5. Keluarga dengan anak remaja (anak tertua berusia 13 - 20 tahun), berlangsung sekitar 7 tahun

6. Keluarga dalam periode launching young adults (kepergian anak pertama sampai anak terakhir), berlangsung sekitar 8 tahun

7. Middle – aged parents (masa emptynest dan retirement), merupakan

periode terlama yang berlangsung sekitar 15 tahun

8. Aging family members (dari masa pensiun hingga meninggalnya salah

seorang pasangan), berlangsung selama lebih kurang 10 - 15 tahun.

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Family Life Cycle oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993)

2 y

1 2.5 y

2

3.5 years

3

7 years 4

7 years 5

8 years 6 7 8

15+ years 10 to 15 + years

Dalam masing-masing tahap-tahap, anggota keluarga memegang peran berbeda dan tugas perkembangan yang berbeda yaitu: membangun hubungan yang memuaskan pada fase “newlywed“, menyesuaikan dari sebagai orangtua pada fase


(40)

“childbearing“, beradaptasi terhadap keluarnya anak-anak pada fase “launching“ (Sigelman & Rider, 2003).

Secara umum, Anderson, Russel & Schumn (Dalam Hoyer & Roodin, 2003) membagi tahap pernikahan menjadi tahap sebelum kehadiran anak pertama, kehadiran anak & setelah keluarnya anak dari rumah. Sementara, Cole (dalam Lefrancois, 1993) membagi tahap pernikahan menjadi awal pernikahan, kelahiran & mengasuh anak & emptynest sampai usia tua.

a. Tahap I : Pasangan Awal (Married Couple)

Berdasarkan family life cycle dari Duvall, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah & berakhir ketika anak pertama lahir. Selama tahun pertama dan kedua pernikahan pasangan suami istri biasanya harus melalui beberapa penyesuaian utama (Hurlock, 1999), yaitu: a. Penyesuaian dengan pasangan

Merupakan penyesuaian yang paling pokok dan pertama kali dihadapi oleh keluarga baru. Tidak mudah menyatukan dua orang yang berlainan jenis, kepribadian, sifat dan juga kebiasaan-kebiasaan. Dalam penyesuaian pernikahan yang jauh lebih penting adalah kesanggupan dan kemampuan suami istri untuk berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta.

b. Penyesuaian seksual

Masalah ini merupakan salah satu penyesuaian yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan tak dapat dicapai dan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung lebih sulit


(41)

untuk mengakhirinya secara memuaskan dikarenakan wanita sejak masa bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya dan tidak dapat dengan segera berubah untuk tidak malu-malu menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami (Rubin, dalam Hurlock, 1999)

c. Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang dewasa dengan pernikahannya. Suami dan istri harus mampu menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran dengan kebiasaan-kebiasaan karena sering kali permasalahan keuangan menjadi awal percekcokan antara suami dan istri

d. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan.

Melalui pernikahan, setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga yaitu anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga nenek/kakek, yang kerap kali mempunyai minat dan nilai yang berbeda, bahkan sering sekali sangat berbeda dari segi pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya. Suami istri harus mempelajari dan menyesuaikan diri bila tidak menginginkan hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka.

b. Tahap II: Membesarkan Anak (Childrearing)

Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun (Duvall,


(42)

dalam Lefrancois, 1993). Rata-rata masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan; Monk et al, dalam Sigelman & Rider, 2003). Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak (Levy & Shiff, dalam Sigelman & Rider, 2003).

Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic & Booth (dalam Sigelman & Rider, 2003) bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stres orangtua (O’ Brien, dalam Sigelman & Rider, 2003).

Semakin dewasa usia anak maka timbul konflik-konflik baru antara anak dan orangtua walaupun sebagian besar orangtua menyatakan lebih puas terhadap pernikahan dan hubungan dengan anak-anak, namun anak-anak menyulitkan terhadap orangtua dengan memaksa orangtua untuk memberi waktu dan tenaga kepada mereka sehingga menambah stres orangtua. Dalam hubungan pernikahan, kehadiran anak-anak hanya memberikan dampak negatif (Kurdek, 1999).

c. Tahap III: Kekosongan (Emptynest)

Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan finansial dari orangtua mereka. Istilah emptynest sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah (Hoyer & Roodin,


(43)

2003). Tahap emptynest dimulai dengan “launching” anak terakhir dan

berlangsung selama lebih kurang 15 tahun (Duvall, dalam Lefrancois, 1993). Usia rata-rata ibu pada awal tahap ini sekitar 52 tahun dan 54 tahun untuk ayah,

sedangkan menurut Hurlock (1999), tahap ini terjadi pada usia 40 sampai 49 tahun.

Ketika remaja atau dewasa awal meninggalkan rumah, beberapa orangtua mengalami perasaan kehilangan yang dalam yang disebut sebagai Sindrom

Emptynest (Hoyer & Roodin, 2003). Hal ini didukung oleh penelitian Rubin

(dalam Lefrancois, 1993) bahwa pada masa emptynest, wanita mengalami kesedihan, namun tidak ditemukan adanya depresi. Kenyataannya banyak orangtua yang memandang ketidakhadiran anak dalam keluarga sebagai saat untuk membangun kebebasan hidup sebagai orang dewasa. Tekanan yang berat dikarenakan kondisi ekonomi dan pekerjaan terjadi ketika anak-anak tidak benar-benar membuat masa emptynest terjadi sebagaimana diharapkan atau mereka kembali lagi ke rumah (Glick & Lin, dalam Lefrancois, 1993)

Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka berlangsung baik hampir setiap waktu. Kebahagiaan dan kepuasan tertinggi terjadi pada tahap pertama semakin rendah ketika anak tertua memasuki usia remaja. Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun ( Rollin & Feldman, dalam Lefrancois, 1993) dan usia tua (Foner & Schwab, dalam Lefrancois, 1993).


(44)

2. Tugas Perkembangan Keluarga

Tugas perkembangan merupakan suatu kemampuan atau tantangan yang jika dapat dicapai dan diselesaikan dengan tepat akan memberikan kepuasan pada tahap tersebut dan menjadi dasar yang kuat untuk kesuksesan di tahap berikutnya (Havighurst, dalam Lemme, 1995).

Setiap anggota dalam keluarga mengalami level perkembangan yang berbeda dengan tugas perkembangan yang berbeda pula. Hal ini sering menimbulkan ketegangan dan konflik dalam keluarga, karena masing-masing anggota keluarga memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda dan harus dipenuhi, sementara pada saat yang sama mereka juga harus memperhatikan posisi anggota keluarga yang lain (Lemme, 1995).

Duvall (dalam Lemme, 1995) menjelaskan tugas-tugas perkembangan dalam tiap tahap perkembangan keluarga dalam Tabel 1 berikut ini:


(45)

Tabel 1. Tugas Perkembangan Keluarga dalam Tiap Tahap Tahap-tahap dalam Siklus Kehidupan Keluarga Peran dalam Keluarga Tahap Kritis

Tugas Perkembangan Keluarga

1. Married couple

Istri Suami

Membangun pernikahan yang memuaskan

Menyesuaikan diri dengan kehamilan dan peran orangtua

2. Childbearing Istri-ibu Suami-ayah

Bayi laki-laki dan/atau perempuan

Punya anak, menyesuaikan diri, dan mengendalikan perkembangan anak Membangun keluarga yang memuaskan bagi anak dan orangtua

3. Preschool age Istri-ibu

Suami-ayah

Anak perempuan-kakak

Anak laki-laki-abang

Beradaptasi terhadap kebutuhan dan minat kritis anak prasekolah

Coping terhadap energi yang terkuras

dan kekurangan privasi dengan pasangan

4. School age Istri-ibu Suami-ayah

Anak perempuan-kakak

Anak laki-laki-abang

Memasuki komunitas sekolah dan menyesuaikan keluarga

Membantu pencapaian pendidikan anak

5. Teenage Istri-ibu Suami-ayah

Anak perempuan-kakak

Anak laki-laki-abang

Menyeimbangkan kebiasaan dan tanggung jawab pada anak remaja

Membangun minat postparental dan perkembangan karir 6. Launching center Istri-ibu-nenek Suami-ayah-kakek Anak perempuan-kakak-bibi Anak laki-laki-abang-paman

Melepas dewasa ke dunia kerja, kuliah, pernikahan, dan lain-lain dengan bantuan yang sesuai

Mempertahankan dukungan bagi keluarga

7. Middle aged

parents

Istri-ibu-nenek Suami-ayah-kakek

Membangun kembali hubungan pernikahan

Mempertahankan hubungan dengan generasi yang lebih tua dan lebih muda 8. Aging family

members

Istri-ibu-nenek Suami-ayah-kakek Janda/duda

Coping terhadap kematian pasangan dan

hidup sendiri

Beradaptasi terhadap masa tua Adaptasi terhadap masa pensiun


(46)

C. Dinamika Kepuasan Pernikahan Wanita pada Tahap-Tahap Pernikahan Hidup berkeluarga dimulai dengan adanya upacara sakral pengikatan janji nikah yang dilaksanakan di depan umum dengan menggunakan adat dan aturan tertentu, yang dilakukan atas dasar keinginan yang kuat untuk menetapkan hubungan sepanjang hidup.

Tahap awal pernikahan diisi dengan eksplorasi dan evaluasi. Secara bertahap, pasangan mulai menyesuaikan harapan dan fantasi mengenai pernikahan dengan kenyataan yang ada (Hoyer & Roodin, 2003)

Dalam setiap pernikahan, pasangan memperoleh peran masing-masing dan peran ini bertambah seiring berjalannya waktu. Pasangan yang baru menikah, tidak hanya mencari tahu peran-peran dalam pernikahannya, tetapi juga melaksanakan peran-peran tersebut (Hoyer & Roodin, 2003). Ditambahkan oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993), pada masa ini, pasangan mulai mempertimbangkan keputusan untuk memiliki anak atau tidak. Peran sebagai suami dan istri berlangsung sekitar dua tahun sebelum kelahiran anak

Tahap berikutnya dalam Duvall’s family life cycle adalah tahapan dimana hadirnya anggota keluarga baru yaitu anak. Kelahiran anak dan kewajiban untuk mengasuh anak seringkali diasosiasikan dengan porsi yang paling awal dari rentang kehidupan orang dewasa (Hoyer & Roodin, 2003). Gutmann (dalam Hoyer & Roodin, 2003) menjelaskan periode ini sebagai periode dimana orang dewasa membuat suatu pola parental imperative untuk memaksimalkan pembagian tugas masing-masing pasangan dan menjamin kelangsungan komunitas sosial.


(47)

Kelahiran anak pertama memberikan dampak yang besar bagi pasangan karena anak memaksa pasangan untuk menambah peran baru sebagai ibu dan ayah, padahal sebelumnya sudah memiliki identitas sebagai pasangan. Orangtua sering melaporkan bahwa terasa sekali penurunan jumlah waktu yang dapat dilalui bersama setelah kelahiran anak pertama (Campbell, dalam Sadarjoen, 2005). Selain itu, kehadiran anak dalam keluarga akan menambah aktivitas pasangan, dan berdampak pada berkurangnya pendapatan pasangan karena biaya yang harus dikeluarkan (Lefrancois, 1993). Selain itu, pada tahap ini juga terjadi penurunan intensitas komunikasi antara pasangan suami istri dikarenakan kewajiban istri yang bertambah dan disibukkan dengan tugas baru sebagai ibu. Kepuasan pernikahan dilaporkan menurun pada tahap ini dan lebih krusial terjadi pada ibu dikarenakan tanggungjawab dalam mengasuh anak lebih besar dibebankan pada ibu.

Pada tahap ketiga dalam Duvall’s family life cycle adalah tahap dimana pasangan mulai melepaskan anak-anak keluar dari rumah. Tahap ini berlangsung selama 15 tahun dimulai dari keluarnya anak terakhir dalam keluarga meninggalkan rumah. Tahap ini disebut juga dengan masa emptynest.

White dan Edwards (dalam Billindeau, 1997) menemukan bahwa pada tahap emptynest (anak meninggalkan rumah) memiliki efek positif terhadap kebahagiaan pernikahan. Kebahagiaan ditemukan relatif kuat segera setelah anak terakhir keluar dari rumah. Derajat kebahagiaan pasangan pada fase ”post-launch

honeymoon” akan lebih tinggi bila anak terakhir yang meninggalkan rumah adalah


(48)

anak akan menjadi lebih singkat sehingga stres orangtua berkurang. Dilaporkan bahwa pada tahap ini kepuasan pernikahan akan meningkat kembali terutama pada wanita, dikarenakan lepasnya tanggungjawab dalam mengasuh anak.

Long (dalam Domikus, 1999) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan bersifat temporer yang berubah dari waktu ke waktu yang antara lain tergantung pada periode pernikahan itu sendiri. Sejalan dengan pendapat tersebut, Karney & Bradbury (dalam Domikus, 1999) menambahkan bahwa ketika berbicara tentang pernikahan berarti berurusan dengan sesuatu yang bersifat pasang surut. Artinya, sangat mungkin pada suatu waktu pasangan suami istri merasakan kepuasan yang tinggi dan di lain waktu menjadi sebaliknya.

Studi mengindikasikan adanya hubungan kurva linier antara kebahagiaan perkawinan dan tahapan dalam siklus kehidupan keluarga (Cole, dalam Lefrancois, 1993). Kepuasan pernikahan berhubungan dengan siklus pernikahan dalam bentuk kurva-U, dengan level kepuasan tertinggi pada tahun-tahun awal sebelum anak lahir, menurun pada tahun-tahun mengasuh anak, dan meningkat kembali ke level yang lebih tinggi pada tahun-tahun berikutnya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa perkembangan kepuasan pernikahan bervariasi pada tiap tahapan dalam pernikahan. Perubahan-perubahan dalam pernikahan lebih krusial dan dirasakan oleh istri dikarenakan istri lebih sensitif terhadap masalah dalam pernikahan dan kewajiban yang lebih besar dalam hubungannya dengan anak dibandingkan dengan suami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri melaporkan kepuasan pernikahan yang lebih rendah daripada suami.


(49)

D. Hipotesa

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah ”Ada perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahap-tahap pernikahan.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000).

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian cross sectional yaitu membandingkan orang-orang yang berbeda pada tahapan atau usia yang berbeda dalam proses perkembangan (Bhrem, 2002).

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Untuk dapat menguji hipotesa penelitian, maka terlebih dahulu diidentifikasikan variabel penelitian. Dalam penelitian ini variabel-variabel penelitian yang digunakan terdiri dari:

Variabel Bebas (IV) : Tahap-tahap pernikahan Variabel Tergantung (DV) : Kepuasan pernikahan

B. Definisi Operasional 1. Tahap-Tahap Pernikahan

Tahap-tahap dalam pernikahan dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar tahapan pernikahan yang dapat dilihat pada tabel berikut:


(51)

Tabel 2. Definisi Operasional Tahap-Tahap Pernikahan

No. Tahap Karakteristik

1. Pasangan awal

- Menikah

- Belum memiliki anak

- Usia pernikahan maksimal 2 tahun 2. Membesarkan

anak

- Menikah dan mengasuh anak

- Memiliki anak yang berusia lebih kurang 30 bulan – 28 tahun. - Usia pernikahan maksimal 2,5 – 28 tahun

3. Kekosongan - Menikah dan berada pada masa emptynest

- Memiliki anak yang berusia lebih dari 28 tahun dan telah

meninggalkan rumah

- Usia pernikahan lebih dari 28 tahun

Data mengenai tahap-tahap pernikahan ini akan diperoleh melalui pertanyaan yang dicantumkan pada alat ukur yaitu skala kepuasan pernikahan.

2. Kepuasan Pernikahan

Berdasarkan beberapa pengertian kepuasan pernikahan yang telah diungkapkan dalam landasan teori, maka definisi operasional kepuasan pernikahan adalah evaluasi mengenai kehidupan pernikahan yang diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan yang mencakup: komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.

Kepuasan pernikahan dalam penelitian ini akan diungkap dengan menggunakan alat ukur berupa skala yang disusun berdasarkan sepuluh aspek kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) yaitu:

1. Komunikasi, yaitu melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berinteraksi dengan pasangannya. Fokus area ini adalah perasaan senang yang


(52)

dirasakan pasangan suami istri dalam berkomunikasi, saling berbagi dan menerima informasi.

2. Kegiatan di waktu luang, yaitu menilai pilihan kegiatan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama, pilihan personal atau bersama, dan harapan-harapan dalam mengisi waktu senggang bersama pasangan.

3. Orientasi keagamaan, yaitu menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian ini dilihat dari pemberian dasar-dasar agama kepada anak, pembiasaan diri pergi beribadah, melaksanakan praktek agama, beribadah secara teratur, dan keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan.

4. Penyelesaian konflik, yaitu menilai keterbukaan pasangan untuk saling mengenal dan memecahkan masalah, serta strategi yang digunakan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya dukungan dari seluruh anggota keluarga dalam mencapai solusi terbaik, mengatasi masalah bersama, serta membangun kepercayaan satu sama lain.

5. Pengelolaan keuangan, yaitu menilai kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran, dan pembuat keputusan tentang keuangan.

6. Hubungan seksual, yaitu melihat bagaimana perasaan pasangan yang berhubungan dengan kasih sayang dan hubungan seksual melalui sikap terhadap permasalahan seksual, tingkah laku seksual, dan kesetiaan terhadap pasangan.


(53)

7. Keluarga dan teman, yaitu menilai perasaan dan perhatian terhadap hubungan dengan kerabat, mertua dan teman melalui harapan dan perasaan senang mengisi waktu bersama keluarga dan teman.

8. Anak dan pengasuhan anak, yaitu menilai sikap dan perasaan menjadi orangtua yang memiliki dan membesarkan anak melalui penerapan keputusan terhadap anak, cita-cita terhadap anak, serta pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan.

9. Kepribadian, yaitu menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangan dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan tersebut dengan melihat penyesuaian terhadap tingkah laku pasangan, kepribadian, serta kebiasaan-kebiasaan pasangan.

10. Kesetaraan peran, yaitu menilai sikap dan perasaan individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan dan keluarga melalui pembagian pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua.

Semakin tinggi skor yang diperoleh dalam skala kepuasan pernikahan maka semakin tinggi kepuasan pernikahan individu dan sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh individu maka akan semakin rendah kepuasan pernikahan individu.


(54)

C. Subjek Penelitian 1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi pada penelitian ini sebanyak 3 (tiga), yaitu:

1. Wanita yang telah menikah dan berada pada tahap married couple: Menikah dan belum mempunyai anak.

2. Wanita yang telah menikah dan berada pada tahap childrearing: Membesarkan anak.

3. Wanita yang telah menikah dan berada pada tahap emptynest.

Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi yang dinamakan sampel. Sampel adalah sebahagian dari populasi yang merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari wanita yang telah menikah, yang berada pada masing-masing tahap dalam pernikahan.

Subjek penelitian menurut Azwar (1999) adalah sumber utama data penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel yang akan diteliti. Karakteristik sampel diperlukan untuk menjamin homogenitas sampel penelitian.


(55)

Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah: 1. Wanita

2. Menikah

3. Berada pada masing-masing tahap pernikahan 4. Berada di kota Medan dan Berastagi.

Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 90 orang dengan rincian 25 orang wanita menikah yang berada pada tahap pasangan awal, 40 orang wanita menikah yang berada pada tahap membesarkan anak, 25 orang wanita menikah yang berada pada tahap kekosongan.

2. Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

incidental sampling. Incidental sampling adalah teknik pengambilan sampel non probability (tidak semua populasi diberi peluang yang sama untuk dijadikan

sampel) dimana hanya individu-individu atau kelompok-kelompok yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai yang dijadikan sampel penelitian (Hadi, 2000).

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah skala sikap yang diberikan kepada sejumlah responden untuk diisi sesuai dengan keadaan responden. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui


(56)

indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2002).

Pada penelitian ini, alat ukur yang digunakan untuk mengukur kepuasan pernikahan adalah skala kepuasan pernikahan yang dirancang sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003).

Skala ini menggunakan kombinasi dua model skala yaitu Semantic

Differrential dari Osgood dan model Likert. Skala Semantic Differential terdiri

dari pernyataan yang diikuti oleh dua kutub jawaban. Diantara kedua kutub jawaban diletakkan tujuh buah kotak alternatif jawaban. Subjek diminta untuk meletakkan tanda checklist () pada salah satu dari tujuh buah tempat jawaban. Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 7.

Skala model Likert terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban, yaitu: Sangat Tidak Puas, Tidak Puas, Netral, Puas, Tidak Puas. Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 5. Subjek diminta untuk meletakkan tanda

Checklist () pada salah satu pilihan jawaban. Skala model Likert berupa pernyataan yang merangkum seluruh pernyataan skala Semantic Differential pada setiap aspek kepuasan pernikahan.


(57)

Tabel 3. Blue Print Skala Kepuasan Pernikahan Sebelum Uji Coba

No Aspek Indikator No. Aitem Jlh Persentase

1. Komunikasi Keterbukaan, Kejujuran, Dapat Dipercaya, Empati, Kemampuan Mendengar

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8

8 10%

2. Kegiatan di Waktu

Luang

Jenis kegiatan, harapan, kebersamaan

9, 10, 11, 12, 13, 14,

15, 16 8 10% 3. Orientasi Keagamaan Aktivitas keagamaan, pelaksanaan, frekuensi

17, 18, 19, 20, 21, 22,

23, 24

8 10%

4. Penyelesaian Konflik

Keterbukaan, strategi, solusi 25, 26, 27, 28, 29, 30,

31, 32

8 10%

5. Pengelolaan Keuangan

Cara mengatur keuangan, bentuk pengeluaran, pembuat keputusan

33, 34, 35, 36, 37, 38,

39, 40

8 10%

6. Hubungan Seksual

Memahami kebutuhan, mengungkapkan hasrat dan cinta, membaca tanda-tanda berhubungan seksual.

41, 42, 43, 44, 45, 46,

47, 48

8 10%

7. Keluarga dan teman

Hubungan menantu-mertua dan saudara ipar, harapan, perasaan senang

menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman

49, 50, 51, 52, 53, 54,

55, 56

8 10%

8. Anak dan Pengasuhan Anak

Keputusan terhadap disiplin anak, pengaruh kehadiran anak.

57, 58, 59, 60, 61, 62,

63, 64

8 10%

9. Kepribadian Penyesuaian diri, kebiasaan pasangan, kepribadian

pasangan.

65, 66, 67, 68, 69, 70,

71, 72

8 10%

10. Kesetaraan Peran

Pembagian peran dalam rumah tangga.

73, 74, 75, 76, 77, 78,

79, 80

8 10%

Jumlah 80 80 100%

E. UJI DAYA BEDA BUTIR PERNYATAAN

Uji daya beda butir pernyataan dilakukan untuk melihat sejauh mana skala itu mampu membedakan antara individu dan kelompok yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang dimaksudkan untuk diukur (Azwar, 2000).

Pengujian daya beda butir pernyataan ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi distribusi skor pada setiap butir pernyataan dengan suatu


(58)

kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisien korelasi item total yang dikenal dengan indeks daya beda butir pernyataan (Azwar, 2000). Uji daya beda butir pernyataan ini akan dilakukan pada alat ukur dalam penelitian, yaitu skala kesepian. Setiap butir pernyataan pada skala ini akan dikorelasikan dengan skor total skala. Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 1 % (p<0,1).

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian

Terdapat dua tujuan dilakukannya uji coba alat ukur, yaitu: untuk mengetahui seberapa jauh alat ukur dapat mengungkap atau mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan untuk mengetahui seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2000). Kedua hal tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh suatu alat ukur agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

1. Validitas

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung mampu atau tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat.


(59)

Dalam penelitian ini skala akan diuji validitasnya berdasarkan pada

content validity (validitas isi) dengan menggunakan professional judgement, yaitu

validitas yang didasarkan pada pengukuran subjektif tentang aitem atau skala yang diperoleh dari orang yang memiliki pengetahuan dalam bidang yang diteliti (Litwin, 2003).

Validitas isi ditentukan melalui pendapat profesional dalam proses telaah soal. Dengan menggunakan spesifikasi tes yang telah ada, orang melakukan analisis logis untuk menetapkan apakah aitem-aitem tersebut memang mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur (Azwar, 2002).

Skala dinyatakan memiliki validitas soal bila aitem-aitem tidak menyimpang dan mewakili konsep yang akan diukur (Azwar, 2002). Validitas soal dilakukan dengan cara mengkorelasikan nilai-nilai tiap butir dengan nilai totalnya. Dalam penelitian ini uji validitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment (Hadi, 1999).

2. Reliabilitas

Reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan, bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda (Hadi, 2000). Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi atau alat kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2000).

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan internal consistency yaitu bentuk tes yang hanya memerlukan satu kali pengenaan tes tunggal pada


(60)

sekelompok individu sebagai subjek dengan tujuan untuk melihat konsistensi antar item atau bagian dalam skala. Teknik ini dipandang ekonomis dan praktis (Azwar, 2000). Teknik estimasi reliabilitas yang digunakan adalah koefisien

Alpha Cronbach pada program SPSS versi 12 for windows.

G. Prosedur Penelitian 1. Pembuatan Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kepuasan pernikahan yang disusun berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (dalam Saragih, 2003).

Skala ini menggunakan kombinasi dua model skala yaitu Semantic

Differrential dari Osgood dan model Likert. Skala Semantic Differential terdiri

dari pernyataan yang diikuti oleh dua kutub jawaban. Diantara kedua kutub jawaban diletakkan tujuh buah kotak alternatif jawaban. Subjek diminta untuk meletakkan tanda checklist () pada salah satu dari tujuh buah tempat jawaban. Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 7.

Skala model Likert terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban, yaitu: Sangat Tidak Puas, Tidak Puas, Netral, Puas, Tidak Puas. Subjek diminta untuk meletakkan tanda Checklist () pada salah satu pilihan jawaban. Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 5. Skala model Likert berupa pernyataan yang merangkum seluruh pernyataan skala Semantic Differential pada tiap aspek kepuasan pernikahan.


(61)

2. Pelaksanaan Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur dilaksanakan pada tanggal 5-8 September 2007. Skala yang disebarkan sebanyak 60 eksemplar. Setelah uji coba, peneliti langsung memeriksa setiap eksemplar skala sehingga dapat diketahui skala mana yang belum lengkap kemudian meminta subjek untuk melengkapinya. Aitem-aitem dalam skala tersebut kemudian diberi penilaian dengan format penilaian yang telah dibuat. Kemudian, skor yang merupakan pilihan responden pada setiap aitem ditabulasikan sehingga diperoleh aitem-aitem yang layak untuk diikutsertakan dalam skala penelitian.

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur dilakukan pada 60 orang wanita yang telah menikah. Skala kepuasan pernikahan untuk uji coba ini berisi 80 aitem. Distribusi aitem-aitem pada skala kepuasan pernikahan pada saat uji coba untuk masing-masing aspek kepuasan pernikahan adalah sebanyak delapan aitem.

Berdasarkan hasil estimasi daya beda butir pernyataan dan reliabilitas terhadap data uji coba yang telah diperoleh dengan menggunakan program SPSS

versi 12 for windows, maka diperoleh koefisien Alpha keseluruhan butir

pernyataan sebesar 0.972 yang bergerak dari 0.362 sampai 0.846 sedangkan berdasarkan daya beda butir pernyataan ditemukan 13 butir pernyataan yang gugur atau tidak dapat digunakan lagi. Selain itu, peneliti melakukan pemotongan terhadap tujuh aitem yang memiliki daya beda butir terendah, sehingga jumlah pernyataan yang digunakan untuk pengambilan data sebenarnya sebanyak 60


(1)

Faktor lain yang mungkin mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan adalah kepribadian. Hasil penelitian Skolnick (dalam Lefrancois, 1993) menemukan bahwa kepribadian yang berlawanan tidak akan saling tertarik dan saling melengkapi satu sama lain, dan orang-orang yang memiliki kemiripan akan saling tertarik satu sama lain. Semakin mirip kepribadian seseorang dengan pasangannya maka semakin cenderung mereka memiliki kepuasan pernikahan yang tinggi.

C. SARAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka terdapat beberapa saran yang diberikan oleh peneliti untuk lebih menyempurnakan hasil maupun penelitian selanjutnya, antara lain:

1. Saran Metodologis

a. Untuk peneliti selanjutnya peneliti menyarankan untuk melengkapi metode pengambilan data dengan observasi dan wawancara untuk dapat memperkaya hasil penelitian.

b. Hendaknya peneliti selanjutnya memberi kontrol yang ketat terhadap karakteristik sampel sehingga sampel penelitian lebih representatif.

c. Peneliti selanjutnya hendaknya menggunakan teknik pengambilan sampel secara random dan memperbanyak jumlah sampel sehingga hasil


(2)

2. Saran Praktis

a. Saran untuk wanita menikah dan akan menikah

Melalui hasil penelitian ini, diharapkan kepada wanita yang telah menikah dan yang akan menikah agar dapat lebih memahami dinamika yang terjadi dalam suatu pernikahan mulai dari awal menikah, memiliki anak, dan masa tua. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak informasi mengenai seluk-beluk pernikahan melalui buku, televisi, internet, pengalaman orang lain, dan berkonsultasi dengan konsultan pernikahan, serta mempersiapkan diri dari segi fisik, psikis, spiritual, dan finansial sehingga mempunyai cukup bekal untuk mengambil peran dan status baru dalam pernikahan.

b. Saran untuk pasangan (suami)

Berdasarkan hasil studi diketahui bahwa pria/suami memiliki kepuasan pernikahan yang lebih tinggi daripada wanita/istri. Oleh karena itu, bagi suami maupun calon suami diharapkan dapat lebih memahami posisi wanita dalam sebuah pernikahan dengan mengambil peran yang seimbang dengan istri baik dalam urusan rumah tangga maupun dalam hal pengasuhan anak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Caecilia D. P. (2003). Hubungan Kualitas Komunikasi Dan Toleransi

Stres Dalam Perkawinan. Suksma. 1, 52-60.

Azwar, S. (2000). Reliabilitas Dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

______. (2002). Penyusunan Skala Psikologi (edisi 1). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Basow, Susan A. (1992). Gender: Stereotype And Roles (3rd ed.). Pacific Grove,

California: Brooks/Cole Publishing Company.

Bhrem, S. (2002). Intimate relationship. New York : McGraw Hill Inc.

Billindeau, M. (1997). Marital satisfaction: Recent Research. [on-line]. http://www.hope.edu/academic/psycholody/335/webrep/marsat.html.. Tanggal akses: 30 Maret 2007.

Domikus, Y. (1999). Perilaku Sosioemosional Dalam Perkawinan Aplikasi Teori

Pertukaran Sosial Dalam Mewujudkan Perkawinan Yang Stabil Dan Memuaskan. Jurnal Psikologi Sosial: No.V. Jakarta: Fakultas Psikologi UI.

Dyer, Iverett D. (1983). Courtship, Marriage, And Family: American Style. Illinois: The Dorsey Press.

Gunarsa, Singgih D., (2003). Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia Hadi, S. (2000). Metodologi Research. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Hendrick, S. & Hendrick, C. (1992). Liking, Loving, and Relating (2nd ed.).

California: Brooks/Cole Pub.Co

Henslin, J. M., & Miller. B. C. (1985). Marriage and family in a changing

society. New York: Macmillan, Inc.

Hidir, A. (2000). Bias Jender dalam Infertilitas. [on-line]. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/03/swara/151618.htm.

Tanggal Akses: 30 Oktober 2007


(4)

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Jayantini, S. (2003). Menanti Kehadiran Anak, Kapan Suami Istri Siap. [on-line]. http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2003/3/30/kl.html. Tanggal Akses: 30 Oktober 2007

Judge, Timothy A, dkk. (2006). Work-Family Conflict And Emotions: Effects At

Work And At Home. [on-line].

http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1182691071&sid=1&Fmt=4&client Id=63928&RQT=309&VName=PQD. Vol. 59, Iss. 4; pg. 779, 36 pgs. Tanggal akses: 30 Maret 2007.

Kail, R.V., & Cavanaugh, J.C. (2000). Human development (2nd ed). USA:

Wadsworth Publishing Company.

Kurdek, L. A. (1999). The Nature And Predictors Of The Trajectory Of Change In

Marital Quality For Husbands And Wives Over The first 10 YearsOf Marriage. Journal Of Development Psychology, 35, 1283-1296.

Lemme, B.H. (1995). Developmental In Adulthood. USA : Allyn & Bacon.

Lefrancois, Guy. (1993). The Life-Span (4th ed.). Belmont California: Wadsworth Publishing Company.

Litwin, Mark. S. (2003). How To Assess And Interpret Survey Psychometrics (2nd ed.). California: Sage Publications, Inc.

Mantra, I. B. (2004). Filsafat penelitian dan metode penelitian sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Matlin, M. W. (2004). The Psychology Of Women (5th ed.). California: Wadsworth.

Newman, & Newman. (2004). Development Through Life: A Psychosocial

Approach (9th ed.). USA: Wadsworth.

Olson, D. H., & Fowers B. J., (1989). Enrich Marital Inventory: Discriminant

validity and cross-validity assessment. [on-line]. Available FTP:

www.prepareenrichcanada.com/studies/study3.html. Tanggal akses: 27 Februari 2007.

Papalia, D. E, dkk. (2000). Human Development (8th ed.). New York: McGraw Hill Inc.


(5)

Prasetya, Berta Esti Ari. (Maret, 2005). Socioeconomic Variables in Correlation

with Marital Satisfaction Among Filifino Wives. Jurnal Psikologi. Vol 15,

No. 1.

Pujiastuti, E., & Retnowati, S. (2004). Kepuasan Pernikahan Dengan Depresi

Pada Kelompok Wanita Menikah Yang Berkerja Dan Yang Tidak Bekerja.

Jurnal Psikologi Indonesia. 1, 1-9.

Rosen, J. R., & Grandon. (1999). The Role Of Kids And Religion In Marital

Satisfaction. [on-line]. http://www.dr-jane.com/chapters/satisfaction.htm.

Tangggal Akses: 27 Februari 2007.

Santrock, John W. (1997). Life Span Development (6th ed.). USA: Brown &

Benchmark Publisher.

Sadarjoen, Sawitri Supardi. (2005). Konflik Marital Pemahaman

Konseptual, Aktual Dan Alternatif Solusinya. Bandung: Refika Aditama.

Saragih, R. (2003). Perbedaan Kepuasan Perkawinan Pada Wanita Bekerja Pasangan Single Career dan Pasangan Dual Career. Skripsi (tidak diterbitkan). Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara. Medan. Sarwono, Sarlito W. (2003). Psikologi Remaja (cetakan keenam). Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Scanzoni, L., & Scanzoni, John. (1976). Men, Women, And Change: A

Sociobiology Of Marriage And Family. New York: McGraw Hill Book

Company.

Sigelman, Carol. K., Rider, Elizabeth A. (2003). Life-Span Human Development (4th.ed). Belmont California: Wadsworth Publishing Company.

Sobardi, Ahmad. (2005). Selingkuh Dominasi Perceraian Di Medan. [on-line]. http://www.waspada.co.id/serba_serbi/features/artikel.php?article_id=71126. Tanggal akses: 9 Juni 2007

Suara Merdeka. (2004). Ingin Bahagia, Suami Istri Harus Mau Berkorban. [on-line]. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0410/27/dar5.htm. Tanggal Akses: 30 Maret 2007.

Then, Debbie. (2002). Jika Suami Anda Berselingkuh. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


(6)

Wikipedia. (2007). Pernikahan. [on-line]. http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pernikahan&oldid=675890. Tanggal