Perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun ditinjau dari status pernikahan.

(1)

PERBEDAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MASA PENSIUN DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

Antonius Mei Setyabudi ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun yang ditinjau dari status pernikahan. Variabel kesejahteraan psikologis terdiri dari enam dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup, dan pertumbuhan pribadi. Subjek penelitian ini berjumlah 80 orang pensiunan yang terdiri dari 40 orang dari kelompok menikah dan 40 orang dari kelompok janda/duda dengan menggunakan metode pengambilan sampel convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kesejahteraan psikologis yang dikembangkan oleh peneliti. Skala kesejahteraan psikologis ini terdiri dari 38 item dengan nilai reliabilitas alpha berstrata sebesar 0,893 (αs = 0,893). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik analisis uji beda mann-whitnney u test. Hasil uji beda kesejahteraan psikologis antara kelompok menikah dan kelompok janda/duda diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,467 (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesejahteraan pada masa pensiun yang ditinjau dari status pernikahan.


(2)

THE DIFFERENCES OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN RETIREMENT THAT REVIEWED FROM THE MARITAL STATUS

Antonius Mei Setyabudi ABSTRACT

The purpose of this study was to understand the differences between psychological well-being in retirement that reviewed from the marriage status. Psychological well-being is concluded of six dimensions: self acceptance, positive relations with others, autonomy, enviromental mastery, purpose of life, and personal growth. There was 80 subjects that had been retired with 40 subjects from the married group and 40 subjects from the widows that obtained with sampling methods convenience sampling. The data obtained from well-being psychology scales that developed by researcher. The well-being scales included 38 items with reliability of alpha stratified 0,893 (αs = 0,893). This study was quantitative difference test with mann-whitnney u test. The result from well-being between married group and widows group showed the significancy 0,467 (p>0,05). The result showed that there was no differences between the well-being on the retired stage that reviewed from the marriage status.


(3)

PERBEDAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MASA PENSIUN DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Antonius Mei Setyabudi

NIM : 119114114

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Semua hasil dari usaha dan kerja keras ini, aku persembahkan untuk Tuhan Yesus Kristus; sumber kekuatan dan penolongku

Bunda Maria; Bunda yang terkasih

St. Antonius, St. Yoseph, dan St. Yohanes De Britto; pelindung dan penyemangatku

Bapak, Ibu, dan Adik; yang selalu menjadi motivasi dan semangatku Sahabat-sahabatku dan seluruh orang yang kukasihi,


(8)

(9)

vii

PERBEDAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MASA PENSIUN DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

Antonius Mei Setyabudi ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun yang ditinjau dari status pernikahan. Variabel kesejahteraan psikologis terdiri dari enam dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup, dan pertumbuhan pribadi. Subjek penelitian ini berjumlah 80 orang pensiunan yang terdiri dari 40 orang dari kelompok menikah dan 40 orang dari kelompok janda/duda dengan menggunakan metode pengambilan sampel convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kesejahteraan psikologis yang dikembangkan oleh peneliti. Skala kesejahteraan psikologis ini terdiri dari 38 item dengan nilai reliabilitas alpha berstrata sebesar 0,893 (αs = 0,893). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik analisis uji beda mann-whitnney u test. Hasil uji beda kesejahteraan psikologis antara kelompok menikah dan kelompok janda/duda diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,467 (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesejahteraan pada masa pensiun yang ditinjau dari status pernikahan.


(10)

viii

THE DIFFERENCES OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN RETIREMENT THAT REVIEWED FROM THE MARITAL STATUS

Antonius Mei Setyabudi ABSTRACT

The purpose of this study was to understand the differences between psychological well-being in retirement that reviewed from the marriage status. Psychological well-being is concluded of six dimensions: self acceptance, positive relations with others, autonomy, enviromental mastery, purpose of life, and personal growth. There was 80 subjects that had been retired with 40 subjects from the married group and 40 subjects from the widows that obtained with sampling methods convenience sampling. The data obtained from well-being psychology scales that developed by researcher. The well-being scales included 38 items with reliability of alpha stratified 0,893 (αs = 0,893). This study was quantitative difference test with mann-whitnney u test. The result from well-being between married group and widows group showed the significancy 0,467 (p>0,05). The result showed that there was no differences between the well-being on the retired stage that reviewed from the marriage status.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Krisus atas penyertaanNya hingga

penulisan skripsi dengan judul “Perbedaan Kesejahteraan Psikologis Pada Masa Pensiun Ditinjau Dari Status Pernikahan” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selama penulisan skripsi ini, penulis merasa banyak mendapat bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widianto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Debri Pristinella, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta yang selalu mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi.

4. Bapak T.M. Raditya Hernawa M.Psi. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu memberikan dukungan, nasehat, kritik dan saran serta diskusi yang sangat membantu dalam pengerjaan skripsi hingga dapat selesai dengan baik. 5. Suster Lidwina Tri Ariastuti, FCJ S.Pd., M.A. yang telah berkenan meluangkan

waktu untuk diskusi, sharing, dan dukungan untuk penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.


(13)

xi

6. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmu, tidak hanya Ilmu Psikologi saja namun juga mengenai nilai-nilai kehidupan.

7. Seluruh karyawan dan staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas segala bantuan yang diberikan.

8. Bapak Budiman selaku pengurus P2TEL Magelang, Bapak Mohadi selaku Ketua IKPLN Yogyakarta, Bapak Pramono selaku pengurus Persekutuan Doa BPN & Notaris Yogyakarta, Bapak Darmadi selaku pengurus PWRI Yogyakarta, dan seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam proses perizinan dan penyebaran kuisioner skripsi.

9. Bapak-Ibu pensiunan yang telah meluangkan waktu untuk mengisi kuisioner. 10.Kedua orang tuaku, Yohanes Suhartaya S. dan Natalia Naning K., yang tidak

henti-hentinya untuk selalu memotivasi, menyemangati, mengingatkan dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi.

11.Thomas Novian J.S., adik dan juga sahabat yang walaupun terkesan cuek namun masih memberikan kepeduliannya dan mendukung dalam progress skripsi penulis. Selanjutnya adalah tanggung jawabmu, pion ora ana mundur

e!

12.Seluruh keluarga besar yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah mendukung penulis.

13.Teman-teman alumni De Britto 2011 yang selalu saja dapat menjadi motivasi bagi penulis untuk memberikan yang terbaik untuk diri sendiri maupun orang lain. Terima kasih juga untuk Pika, Vico, Stanis, Saktya, dan Widek atas


(14)

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12


(16)

xiv

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis ... 12

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 14

3. Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ... 20

B. Status Pernikahan ... 29

1. Menikah ... 29

2. Janda/Duda ... 30

C. Masa Pensiun ... 31

1. Pengertian Masa Pensiun ... 31

2. Permasalahan Dalam Masa Pensiun ... 34

3. Mengatasi Permasalahan Dalam Masa Pensiun ... 35

D. Perbedaan Kesejahteraan Psikologis Pada Masa Pensiun Ditinjau Dari Status Pernikahaan ... 38

E. Skema Penelitian ... 41

F. Hipotesis ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

A. Jenis Penelitian ... 43

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 43

C. Definisi Operasional ... 43

D. Subjek Penelitian ... 44

E. Metode dan Alat Pengambilan Data ... 45

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 47

1. Validitas ... 48


(17)

xv

3. Daya Diskriminasi Item ... 49

G. Pengujian Alat Ukur Penelitian ... 49

1. Uji Coba Alat Ukur Penelitian ... 49

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 50

H. Metode Analisis Data ... 54

1. Uji Asumsi ... 54

2. Uji Hipotesis ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Pelaksanaan Penelitian ... 56

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 57

C. Deskripsi Data Penelitian ... 58

D. Hasil Analisis Data ... 60

1. Uji Asumsi ... 60

2. Uji Hipotesis ... 61

E. Pembahasan ... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Keterbatasan Penelitian ... 67

C. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70


(18)

xvi DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Distribusi Item Skala Kesejahteraan Psikologis ... 47

Tabel 2 : Persebaran Item Skala Kesejahteraan Psikologis ... 52

Tabel 3 : Hasil Uji Reliabilitas Skala Kesejahteraan Psikologis... 53

Tabel 4 : Persebaran Subjek Berdasarkan Status Pernikahaan ... 57

Tabel 5 : Persebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 58

Tabel 6 : Hasil Analisis Deskriptif Kesejahteraan Psikologis ... 59

Tabel 7 : Hasil Uji t Kesejahteraan Psikologis... 59

Tabel 8 : Hasil Uji Normalitas ... 60

Tabel 9 : Hasil Uji Homogenitas ... 61


(19)

xvii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Grafik Alur Hubungan Status Pernikahan Dengan Kesejahteraan Psikologis ... 41


(20)

xviii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis ... 76

Lampiran 2. Skala Try out ... 84

Lampiran 3. Skala Penelitian ... 94

Lampiran 4. Uji Reliabilitas Skala ... 102

Lampiran 5. Uji Koefisien Alpha Berstrata (varian item komponen dan skor total) ... 107

Lampiran 6. Data Deskriptif Subjek Penelitian ... 111

Lampiran 7. Deskriptif Data Penelitian (one sample t-test) ... 116

Lampiran 8. Uji Normalitas dan Homogenitas ... 118


(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan April tahun 2014 merilis Indeks Kebahagiaan (Happiness Index) masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil indeks tersebut, tingkat kebahagiaan rakyat Indonesia berada pada level 68,28% yang artinya rata-rata orang Indonesia masuk ke dalam kategori bahagia. Nilai indeks ini mengalami kenaikan daripada tahun 2013 yang hanya 65,11% (Suyanto, 2015). Hidup bahagia dan sejahtera memang merupakan cita-cita setiap orang, termasuk karyawan yang memiliki kehidupan di masa pensiun (Deil, 2014). Namun, hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi karyawan yang memiliki batas usia pensiun tertentu (BBC Indonesia, 2010).

Usia pensiun yang berkisar antara 50-55 tahun pada pegawai negeri sipil (PNS) dan 56 tahun pada pegawai swasta dikatakan masih terlalu muda (BBC Indonesia, 2010). Sebagian besar orang memiliki keinginan menolak pensiun dengan berbagai alasan, bahkan jika memungkinkan mereka ingin terus aktif bekerja atau menunda kehadiran masa pensiun (Suardiman, 2011). Hal ini tidak lepas dari keinginan mereka agar dapat tetap memenuhi kebutuhan yang lebih baik serta mempertahankan kualitas hidup (Afriyadi, 2014).

Masa pensiun merupakan fase menuju dewasa akhir yang ditandai dengan mulai menurunnya produktivitas seseorang serta diharapkan untuk beristirahat dari kegiatan yang berkaitan dengan rutinitas kerja (Trisusanti &


(22)

Satiningsih, 2012). Masa pensiun juga dapat dikatakan sebagai tahap terakhir dari tahap perencanaan karir yaitu tahap penarikan diri. Pada tahap ini, seseorang lebih fokus pada meninggalkan karir, meninggalkan kelekatan pada organisasi dan menghadapi tekanan secara fisik, psikologis maupun sosial pada masa pensiun (Apsari, 2012).

Safitri (2013) menjelaskan, bagi beberapa orang masa pensiun merupakan masa yang kurang menyenangkan karena adanya perubahan dalam kehidupannya seperti perubahan pendapatan ekonomi, aktivitas sehari-hari, dan lingkungan pergaulan. Masa pensiun bahkan sering dipandang sebagai masalah bahkan musibah bagi penerimanya hingga dapat menimbulkan stres (Suardiman, 2011). Berkurangnya kontak sosial seperti teman kerja, relasi, dan orang-orang di luar rumah menjadi pemicu munculnya stres ketika menghadapi masa pensiun. Hal ini membuat individu yang melalui masa pensiun cenderung rentan terhadap berbagai permasalahan yang timbul karena masa transisi dari bekerja ke masa pensiun (Suardiman, 2011).

Anggi (2004, dalam Trisusanti & Satiningsih, 2012) menggambarkan bahwa seseorang yang pada masa pensiunnya memiliki masalah, pada dasarnya memiliki kondisi mental yang tidak stabil, konsep diri yang negatif serta kurangnya rasa percaya diri yang berkaitan dengan kompetensi diri dan keuangan. Maka dari itu, diperlukan penyesuaian dan persiapan untuk menghadapi masa pensiun ini baik secara fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi (Apsari, 2012).


(23)

Aspek psikologis menjadi salah satu aspek yang sangat penting bagi orang-orang yang akan menjalani kehidupan di masa pensiunnya (Shultz & Wang, 2011). Fakta bahwa permasalahan pada aspek fisik dan finansial jauh lebih terlihat bagi kebanyakaan orang membuat aspek psikologis sering kali diabaikan (Shultz & Wang, 2011). Terlebih lagi bila dikaitkan dengan kebahagiaan diperlukan pemahaman yang lebih luas mengenai konsep kebahagiaan yang tidak hanya berdasarkan pada aspek materialistik saja, tetapi juga melihat dari arti kebahagiaan dalam konsep eudaimonia yaitu kebahagiaan yang bertumpu pada pengembangan diri (Amalia, 2015).

Santrock (dalam Apsari, 2012) menjelaskan bahwa saat seseorang menjalani masa pensiun, mereka akan mengalami beberapa perubahaan yang tidak terduga dan akan menghadapi situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Moen (2001, dalam Kim & Moen, 2002) menambahkan, perubahan ini tidak hanya sekedar transisi kehidupan semata, namun juga perkembangan individu serta perubahan bentuk sosial psikologis yang berhubungan dengan fisik serta kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Lebih lanjut lagi menurut Kim dan Moen (2002), pensiun dari pekerjaan dapat membuat seseorang mengalami tekanan psikologis. Namun, disisi lain pensiun dari pekerjaan juga diyakini mampu mengurangi ketegangan dan beban kerja yang berlebih, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis (psychological

well-being) (George, 1993; Elder, 1995; Moen, 2001 dalam Kim & Moen, 2002).

Kesejahteraan psikologis merupakan kemampuan individu untuk dapat menerima diri apa adanya, menjalin relasi dengan orang lain, mengendalikan


(24)

diri, mampu menghadapi tekanan sosial, serta mampu merealisasikan potensi yang dimiliki sehingga dapat memiliki arti dalam hidupnya (Ryff & Keyes dalam Anggraeni & Jannah, 2014). Individu yang memiliki skor kesejahteraan psikologis yang tinggi digambarkan sebagai individu yang memiliki perasaan bahagia, merasa berguna, puas terhadap kehidupannya, dan mendapat dukungan dari orang-orang disekitar (Winefield, Gill, Taylor, & Pilkington, 2012).

Ryff dan Singer (1998, dalam van Dierendonck, Díaz, Rodríguez-Carvajal, Blanco, & Moreno-Jiménez, 2008) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis memberikan pandangan baru bahwa mental yang sehat tidak hanya berdasarkan dari tidak munculnya penyakit namun juga munculnya sesuatu yang positif dalam diri seseorang. Adanya kesejahteraan psikologis akan membuat seseorang menyadari akan potensi yang dimiliki, meningkatkan kualitas hubungan interpersonal yang baik, dan tujuan dalam hidup (Ryff 1989, dalam Eldeleklioglu, Yilmaz, & Gultekin, 2010). Hal ini akan mendorong seseorang tidak hanya mendapatkan kebahagiaan semata namun juga berusaha untuk mencapai kesempurnaan terhadap potensi diri yang dimiliki (Ryff & Singer, 1998, 2000 dalam Aprianti, 2012).

Gagasan kesejahteraan psikologis dirumuskan oleh Ryff berdasarkan beberapa pandangan terhadap fungsi psikologis secara positif (positive

psychological functioning) yang menggabungkan konsep self-realization milik

Maslow, fully functioning people milik Roger, maturity milik Allport, dan


(25)

et al., 2010). Selain itu, Ryff (1989) juga menambahkan perspektif tahap perkembangan dalam kehidupan untuk mendefinisikan kesejahteraan psikologi dengan menekankan perbedaan tantangan yang dihadapi dalam setiap tahapan siklus hidup. Ryff (1989) juga menambahkan kriteria mental yang sehat milik Jahoda yang tidak hanya mendefiniskan well-being sebagai tidak munculnya penyakit namun juga memberikan definisi secara luas apa makna kesehatan psikologis yang baik.

Konsep kesejahteraan psikologis kemudian diformulasikan oleh Ryff ke dalam enam dimensi untuk mengungkapkan fungsi psikologis yang positif pada individu (van Dierendock et al., 2008; Trisusanti & Satiningsih, 2012). Dimensi kesejahteraan psikologis antara lain penerimaan diri

(self-acceptance), hubungan yang positif dengan orang lain (positive relations with other people), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan dalam hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi

(personal growth) (Ryff & Keyes, 1995; Eldeleklioglu et al., 2010; Anggreani & Jannah, 2014).

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Aprianti, 2012). Faktor tersebut antara lain usia, jenis kelamin, kebudayaan, status sosial, pengalaman hidup dan sejarah hidup (Ryff, 1996). Ryff (2014) menambahkan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya kesejahteraan psikologis individu adalah pengalaman berkeluarga yang berkaitan dengan status pernikahan (marital status). Individu yang berstatus menikah cenderung memiliki skor tinggi pada dimensi tujuan


(26)

hidup (purpose in life) dibandingkan dengan mereka yang berstatus berpisah atau bercerai, janda, dan tidak pernah menikah (Ryff, 2014). Selain itu, individu yang berstatus cerai dan tidak pernah menikah memiliki skor total yang rendah dengan keseluruhan dimensi pada skala kesejahteraan psikologis. Namun, pada kelompok wanita yang berstatus janda dan tidak pernah menikah memiliki skor total yang lebih tinggi dari pada laki-laki dengan status pernikahan yang sama pada skala kesejahteraan psikologis (Ryff, 2014). Namun sebagai catatan, individu dengan penguasaan lingkungan, harga diri serta optimisme yang tinggi lebih mampu untuk beradaptasi terhadap kehilangan pasangannya (Ryff, 2014).

Marks (1996) berpendapat bahwa ada dua hipotesis untuk menjelaskan mengenai efek perbedaan status pernikahan terhadap well-being individu yaitu hipotesis seleksi sosial (social selection hypothesis) dan hipotesis sebab-akibat sosial (social causation hypothesis). Hipotesis seleksi sosial menjelaskan bahwa seseorang yang sehat secara mental dan emosi lebih mungkin memilih pasangannya untuk menikah dan lebih mungkin dipilih untuk menikah dari pada seseorang yang tidak sehat secara mental dan emosi (Marks, 1996). Sebagai hasil dari hipotesis tersebut, individu yang menikah lebih menunjukkan profil psikologis yang lebih baik dari pada yang tidak pernah menikah (Marks, 1996).

Hipotesis mengenai sebab-akibat sosial (social causation hypothesis) berpendapat bahwa aspek pernikahan membuat seseorang lebih memiliki mental yang sehat (Marks, 1996). Pearlin dan Johnson (1977, dalam Marks,


(27)

1996) menyatakan bahwa orang yang tidak menikah lebih rentan terhadap hal-hal berkaitan dengan beban hidup seperti misalnya isolasi sosial dari pada orang yang menikah. Hal ini menjelaskan kenapa mereka yang tidak menikah memiliki skor yang tinggi pada pengukuran tingkat depresi dari pada responden yang menikah (Marks, 1996).

Lowenthal dan Haven (1968, dalam Marks, 1996) menjelaskan lebih lanjut bahwa memiliki hubungan yang intim dengan orang kepercayaan memberikan pengaruh yang kuat terhadap well-being individu. Hubungan dengan orang kepercayaan tersebut dapat muncul dalam pertemanan atau hubungan keluarga, dan diharapkan hubungan tersebut dapat memberikan dampak terhadap kesehatan mental (Marks, 1996). Dukungan emosional yang intim, kesempatan untuk pembukaan diri, dan kepercayaan menjadi bagian dan karakteristik yang penting untuk pasangan dalam pernikahan modern (Rossi & Rossi, 1990 dalam Marks, 1996). Berger dan Kellner (1964, dalam Marks, 1996) mengatakan bahwa pasangan yang baru saja menikah secara interaktif menciptakan rasa berbagi terhadap realita dan pemaknaan sosial yang menjadi pondasi penting terhadap terbentuknya kesejahteraan psikologis.

Disisi lain, orang dewasa yang masih lajang atau tanpa pasangan secara umum memiliki permasalahan dalam menjalin relasi yang akrab dengan orang dewasa lainnya, menghadapi kesepian, dan menemukan posisi yang sesuai dalam masyarakat yang berorientasi pada pernikahan (Koropeckjy-Cox, 2009, dalam Santrock 2012). Stres juga menjadi masalah yang biasa dihadapi pada orang dewasa yang masih lajang atau tanpa adanya pasangan (Santrock, 2012).


(28)

Sedangkan dalam kasus perceraian, pasangan yang menceraikan mungkin memandang bahwa perceraian sebagai jalan keluar dari relasi yang tidak dicapai (Santrock, 2012). Sebaliknya, pasangan yang diceraikan mungkin memandang perceraian sebagai sebuah pengkhianatan atau mengakhiri sebuah relasi yang telah dibangun, yang melibatkan komitmen dan kepercayaan (Santrock, 2012).

Bagaimana individu menginterpretasikan pengalaman yang mereka miliki merupakan kunci yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dimiliki, dapat disimpulkan bahwa status pernikahan baik itu menikah, maupun janda/duda (bercerai atau pasangannya meninggal) merupakan pengalaman dalam kehidupan setiap individu yang dapat memberikan pengaruh terhadap terbentuknya kesejahteraan psikologis terutama dalam menghadapi masa pensiun di mana kehadiran pasangan akan memberikan dukungan sosial sebagai dasar dari rasa kebermaknaan individu yang merupakan bagian penting terbentuknya kesejahteraan psikologis (Ryff, 1995). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Marks (1996) bahwa seseorang yang menikah lebih memiliki kepercayaan dalam keluarga dikarenakan kehadiran pasangan dapat memenuhi peran sebagai bagian dari dukungan sosial.

Penelitian Soulsby dan Bennett mengenai peranan dukungan sosial (2015) menemukan bahwa individu yang kurang mendapat dukungan sosial dari pasangannya (janda/duda, bercerai dan tidak menikah) jauh memiliki kondisi psikologis yang buruk dari pada yang memiliki pasangan (menikah). Cohen dan Wills (1985, dalam Aprianti, 2012) menjelaskan juga bahwa adanya


(29)

dukungan sosial terutama dari pasangan dapat membantu individu untuk mengatasi stres (coping stress) baik langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan penjabaran diatas muncul pertanyaan apakah perbedaan status pernikahan antara menikah dan janda/duda, yang dilihat dari kehadiran pasangan, mempengaruhi tingkat kesejahteraan pada karyawan yang telah pensiun. Pertanyaan tersebut akan dijawab melalui ada tidaknya perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun ditinjau dari status pernikahan. Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena pada penelitian sebelumnya, belum secara khusus melihat kesejahteraan psikologis pada kelompok yang telah menghadapi masa pensiun. Selain itu, penelitian yang dilakukan sebelumnya belum memberikan gambaran terhadap budaya timur yang lebih kolektif di mana orang-orang lebih menghidupi nilai-nilai keharmonisan dalam kelompok, koperatif, solidaritas, saling bergantung satu sama lain, dan mengedepankan hubungan dengan orang lain daripada budaya barat yang cenderung lebih individualis (McAdams, 2006).

Budaya timur terutama yang berada di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, memandang pernikahan sebagai suatu hal yang sakral, suci dan normatif (Jones, 2010). Retherford dan Ogawa (2006, dalam Jones, 2010) menambahkan pasangan memiliki peran dalam meningkatkan kontak dengan sosial. Apabila individu kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungan maupun pasangan, hal tersebut dapat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan psikologis yang dimiliki (Ryff, 1995; Marks, 1996). Sehingga penelitian ini


(30)

diharapkan mampu memberikan informasi serta pengetahuan lebih jauh terhadap kesejahteraan psikologis pada masa pensiun.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun ditinjau dari status pernikahan ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun ditinjau dari status pernikahan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi di bidang psikologi industri organisasi dan gerontologi dalam memahami kesejahteraan psikologis terutama pada masa pensiun.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perusahaan untuk membuat pendampingan yang tepat dan lebih baik bagi karyawan yang akan menghadapi masa pensiun serta memberikan perhatian kepada karyawan yang memiliki skor kesejahteraan psikologis yang rendah khususnya pada karyawan dengan status pernikahan tertentu.


(31)

b. Bagi para pensiunan

1) Memberikan gambaran mengenai kesejahteraan psikologis pada pensiunan sehingga diharapkan dapat mengelola, menjaga, serta mengembangkannya dengan lebih baik.

2) Memberikan gambaran kepada pensiunan yang masih memiliki dan tinggal bersama dengan pasangan agar lebih mampu untuk saling mendukung dalam menjalani kehidupan masa pensiun sehingga dapat mengurangi faktor penyebab stres yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis.

3) Memberikan gambaran kepada pensiunan yang sudah tidak memiliki pasangan agar lebih menyadari dan menerima kehadiran keluarga, saudara, maupun teman-teman di sekitar sehingga diharapkan mampu mengembangkan kesejahteraan psikologis menjadi baik.


(32)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesejahteraan Psikologis

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Kebahagiaan dapat diartikan sebagai suatu kesenangan, ketenteraman hidup, keberuntungan, serta kemujuran yang bersifat lahir batin (KBBI, 2008). Menurut Aristoteles (1947 dalam Ryff, 1989) dalam Nicomachean

Ethics miliknya berpendapat bahwa kebahagiaan atau dalam Bahasa

Yunani diterjemahkan sebagai eudaimonia, merupakan pencapaian tertinggi yang dicapai oleh manusia. Namun, Waterman (1984 dalam Ryff, 1989) berpendapat bahwa penerjemahan eudaimonia lebih merujuk pada

eudaimonic dan hedonic. Hedonic merupakan pengalaman yang dirasakan

atau didapatkan berdasarkan kepuasan akan kebutuhan fisik, sosial, maupun intelektual. Sedangkan, eudaimonic lebih mengarah pada bagaimana individu menggunakan potensi yang dimilikinya yang dapat membantu memaknai dan mencapai tujuan hidupnya (Waterman, 1993).

Terdapat dua model kesejahteraan yang dapat menjelaskan perbedaan dua kebahagiaan di atas yaitu kesejahteraan subjektif dan kesejahteraan psikologis. Model yang pertama menjelaskan mengenai kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan subjektif atau subjective well-being adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi dalam hidup (Ariati, 2010). Kesejahteraan


(33)

subjektif yang juga merujuk pada kesejahteraan emosional ini terbagi dalam tiga unsur yang saling berhubungan yaitu kepuasan hidup (life

satisfication), kehadiran afek positif (positive afffect), dan tidak adanya

afek negatif (negative affect) (Snyder, Lopez, & Pedrotti, 2011). Menurut Waterman (dalam Baumgardner & Crothers, 2009) kebahagian yang ingin dicapai dari kesejahteraan subjektif merupakan kebahagiaan hedonic karena lebih mengarah pada kepuasan fisik.

Model kesejahteraan selanjutnya adalah kesejahteraan psikologis atau

psychological well-being. Kesejahteraan psikologis menurut Ryff (dalam

Baumgardner & Crothers, 2009) merupakan kebahagian yang bersifat

eudaimonic sehingga memberikan kesempatan untuk tumbuh dan

mengembangkan kemampuan. Ryff (1989 dalam Eldeleklioglu et al., 2010) menambahkan adanya kesejahteraan psikologis akan membuat seseorang menyadari akan potensi yang dimiliki, kualitas hubungan interpersonal yang baik, dan meningkatkan tujuan dalam hidup.

Gagasan kesejahteraan psikologis dirumuskan oleh Ryff berdasarkan beberapa pandangan terhadap fungsi psikologis secara positif (positive

psychological functioning) yang menggabungkan konsep self-realization

milik Maslow, fully functioning people milik Roger, maturity milik Allport, dan individualization milik Jung (Ryff & Keyes, 1995; Ryff, 1995; Eldeleklioglu et al., 2010). Selain itu, Ryff (1989) juga menambahkan teori dari perspektif perkembangan hidup dengan menekankan berbedaan tantangan yang dihadapi dalam setiap tahapan


(34)

siklus hidup. Perspektif tersebut meliputi model tahapan psikososial milik Erikson dan deskripsi Buhler tentang perubahan kepribadian dalam masa dewasa dan lansia (Ryff, 1989).Ryff (1989) juga menambahkan kriteria mental yang sehat milik Jahoda yang tidak hanya mendefiniskan

well-being sebagai tidak munculnya penyakit namun juga memberikan definisi

secara luas apa makna kesehatan psikologis yang baik.

Berdasarkan penjelasan dan perspektif diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah berfungsinya sikap-sikap psikologis positif sehingga mampu mengarahkan individu untuk menggunakan potensi yang dimiliki. Adanya kesejahteraan psikologis akan memberikan kesempatan individu untuk tumbuh, menyadari serta mengembangkan kemampuan/potensi yang dimiliki, menciptakan kualitas hubungan interpersonal yang baik, dan meningkatkan tujuan dalam hidup.

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Ryff memformulasikan konsep kesejahteraan psikologis ke dalam enam dimensi untuk mengungkapkan fungsi psikologis yang positif pada individu (van Dierendonck et al., 2008). Dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989, 1995, 2014), Ryff dan Singer (1996) antara lain :

a. Penerimaan Diri

Salah satu kriteria agar seseorang dapat dikatakan sejahtera adalah mempunyai penerimaan diri atau menerima dirinya.


(35)

Penerimaan diri didefinisikan sebagai ciri utama mental yang sehat seperti halnya karakteristik aktualisasi diri, berfungsi optimal dan

maturity atau kedewasaan. (Ryff, 1995) Teori-teori mengenai life span juga menekankan pada penerimaan diri dan kehidupan masa

lalu (Ryff, 1989).

Individu dengan skor penerimaan diri yang tinggi memiliki karakteristik sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima beberapa aspek dalam diri termasuk kualitas diri yang baik maupun yang buruk, dan memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya. Sedangkan, individu yang memiliki skor rendah pada penerimaan diri digambarkan memiliki karakteristik merasa tidak puas dengan dirinya, kecewa dengan apa yang terjadi di kehidupan masa lalunya, memiliki masalah dengan kualitas pribadi, dan ingin menjadi berbeda daripada dirinya sekarang (Ryff, 2014).

b. Hubungan Positif Dengan Orang Lain

Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari mental yang sehat. Aktualisasi diri digambarkan sebagai memiliki perasaan yang kuat akan rasa empati dan kasih sayang terhadap semua orang dan mampu mencintai, persahabatan yang mendalam, dan lebih memahami orang lain. Kehangatan dengan orang lain sering dihubungkan sebagai bentuk kedewasaan (maturity). Teori fase perkembangan orang dewasa juga


(36)

menekankan pada penghargaan terhadap teman kerja (intimasi), bimbingan, dan arahan kepada orang lain (generativity). Hal ini yang ditekankan dalam konsep kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989).

Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain dengan skor yang tinggi digambarkan memiliki karakteristik hubungan yang hangat, menyenangkan, dan percaya pada orang lain; mementingkan kesejahteraan orang lain, memiliki empati, kasih sayang, dan keintiman yang kuat; memahami saling berbagi dalam hubungan. Sedangkan, individu yang mendapat skor rendah digambarkan memiliki karakteristik sedikit kedekatan dan kepercayaan dalam hubungan dengan orang lain; sulit untuk menjadi hangat, terbuka, dan peduli tentang orang lain; terisolasi dan frustrasi dalam hubungan interpersonal; tidak mau membuat kompromi untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 2014).

c. Otonomi

Seseorang yang berfungsi secara utuh digambarkan memiliki lokus evaluasi internal (internal locus of evaluation). Kondisi ini akan membuat individu tidak membutuhkan persetujuan dari orang lain untuk membuat evaluasi yang sesuai dengan standar milik dirinya sendiri. Konsep individuation milik Jung menjelaskan


(37)

tentang individu yang bebas dari ketakutan dengan keyakinan kolektifitas, dan memberikan kebebasan dari norma serta peraturan yang mengikat dalam kehidupan sehari-hari (Ryff, 1989; Ryff & Singer, 1996).

Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi digambarkan cenderung bebas dan dapat menentukan nasibnya, mampu bertahan dari tekanan sosial dengan berpikir dan bertindak sesuai dengan cara yang tepat, mengelola perilaku dari dalam, dan mengevaluasi diri dengan standar. Sedangkan, individu yang memiliki skor rendah cenderung mementingkan harapan dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, dan mengikuti tuntutan sosial dalam berpikir serta bertingkah laku (Ryff, 2014)

d. Penguasaan Lingkungan

Karakteristik mental yang sehat didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologis dirinya (Ryff, 1989). Allport menjelaskan bahwa individu yang dewasa membutuhkan keikutsertaan dan keterlibatan dengan kegiatan di luar lingkungan dirinya. Teori perkembangan juga menjelaskan bahwa individu memerlukan kemampuan untuk memanipulasi dan mengatur lingkungan yang komplek (Ryff, 1989). Kedua teori tersebut


(38)

menekankan pada kemampuan untuk menguasai dan mengubah lingkungan secara kreatif melalui aktifitas mental maupun fisik. Sedangkan, successful aging menekankan bahwa individu seharusnya dapat mengambil keuntungan dari lingkungannya (Ryff, 1989).

Individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi penguasaan lingkungan didefinisikan memiliki karakteristik mampu menguasai dan kompeten dalam mengatur lingkungannya, mengontrol aktivitas eksternal yang kompleks, menggunakan kesempatan yang ada di lingkungannya secara efektif, dan mampu untuk membuat atau memilih konteks yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta nilai-nilai dirinya sendiri. Sedangkan, individu yang memiliki skor rendah pada dimensi ini didefinisikan sebagai individu yang kesulitan untuk mengelola aktivitas sehari-harinya, merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki lingkungan di sekitarnya, tidak menyadari kesempatan yang ada di sekitarnya, dan kurangnya kemampuan untuk mengontrol dunia luar (Ryff, 2014).

e. Tujuan dalam Hidup

Individu yang sehat secara mental didefinisikan memiliki tujuan dan makna dalam hidupnya. Konsep kedewasaan juga menekankan bahwa karakteristik individu yang sudah dewasa adalah memiliki


(39)

tujuan dalam hidupnya. Sedangkan, teori perkembangan melihatnya sebagai perubahan-perubahan dalam tujuan hidupnya, keinginan untuk menjadi lebih produktif, dan menciptakan atau mencapai integritas emosional di kemudian hari (Ryff, 1989).

Karakteristik individu yang memiliki skor tinggi dalam dimensi tujuan dalam hidup digambarkan dengan memiliki tujuan hidup, kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut, merasa memiliki makna terhadap kehidupan saat ini dan masa lalunya, memegang keyakinan terhadap tujuan hidupnya, dan memiliki maksud serta tujuan dalam hidupnya. Sedangkan, individu yang memiliki skor rendah pada dimensi tujuan dalam hidup digambarkan memiliki karakteristik kurang memiliki makna terhadap hidupnya, hanya memiliki sedikit cita-cita dan tujuan, kurang memiliki arahan dalam hidupnya, tidak memiliki tujuan dari kehidupan masa lalunya, dan tidak memiliki pandangan atau keyakinan yang dapat membuat munculnya makna dalam hidupnya (Ryff, 2014).

f. Pertumbuhan Pribadi

Pengoptimalan fungsi psikologis membutuhkan tidak hanya satu perkembangan karakteristik di masa lalunya, namun juga potensi yang dapat terus dikembangkan agar tetap tumbuh dan semakin berkembang sebagai manusia (Ryff, 1989). Kebutuhan untuk mengaktualisasi diri dan merealisasikan potensi diri merupakan


(40)

salah satu perspektif utama dalam pertumbuhan pribadi. Teori perkembangan juga menekankan untuk menghadapi tantangan atau tugas-tugas baru pada setiap periode kehidupan yang berbeda (Ryff, 1989).

Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi digambarkan memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sebagai pribadi yang tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki, melihat peningkatan dalam diri dan perilaku dari waktu ke waktu, dan melakukan perubahan agar tetap mencerminkan pengetahuan tentang diri. Sedangkan, individu yang memiliki skor rendah pada dimensi ini adalah merasa dirinya sebagai pribadi yang tidak dapat melakukan apa-apa lagi untuk mengembangkan dirinya, kurangnya keinginan untuk melakukan perubahan atau perbaikan terhadap dirinya dari waktu ke waktu, merasa bosan dan kurang tertarik dengan kehidupannya, dan merasa tidak dapat berkembang ke sikap atau perilaku yang baru (Ryff, 2014).

3. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Faktor tersebut antara lain usia, jenis kelamin, kebudayaan, status sosial, dan pengalaman/sejarah hidup (Ryff & Singer, 1996). Ryff (2014) menambahkan bahwa terdapat enam lingkup


(41)

penelitian baru yang ditemukan berdasarkan lebih dari 350 jurnal ilmiah sepanjang tahun 1989 hingga 2014 yang berfokus pada pembentukan

well-being individu yaitu perkembangan dan penuaan; kepribadian;

pengalaman keluarga; keterikatan dengan pekerjaan dan kehidupan lain; penelitian terhadap kesehatan dan biologis; serta studi mengenai intervensi dan klinis.

a. Usia

Ryff dan Singer (1996) pada penelitian kesejahteraan psikologis terhadap segala usia menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan skor yang tinggi pada usia dewasa muda hingga dewasa tengah. Disisi lain, dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan dalam hidup menunjukkan skor yang rendah pada rentang usia dewasa tengah hingga usia lanjut. Sedangkan dimensi lainnya, seperti penerimaan diri dan hubungan yang positif dengan orang lain menunjukkan tidak ada perbedaan yang berarti pada ketiga rentang usia.

b. Jenis Kelamin

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1996) menemukan bahwa wanita dalam segala rentang usia secara konsisten memiliki rata-rata yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi daripada laki-laki. Hal ini dibuktikan dari berbagai hasil


(42)

penelitian mengenai depresi yang menunjukkan bahwa wanita lebih memiliki psikologis yang kuat dalam menghadapi depresi berkaitan dengan dimensi well-being (Ryff & Singer, 1996). c. Kebudayaan

Banyak diskusi yang melibatkan perbedaan kontras antara budaya individualistik (independent) dengan kolektif (interdependent) (Ryff & Singer, 1996). Pada budaya Barat yang cenderung individual, dimensi seperti penerimaan diri atau otonomi lebih memiliki skor yang lebih tinggi. Sedangkan pada budaya Timur yang cenderung kolektif, skor tinggi muncul pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain (Ryff & Singer, 1996).

Penelitian terhadap kesejahteraan psikologis dengan menggunakan self-report pada orang-orang dewasa tengah di negara Amerika dan Korea menunjukkan bahwa masyarakat Amerika lebih melihat pada kualitas yang positif dalam dirinya dibandingkan masyarakat di Korea. Pada masyarakat Korea, dimensi hubungan yang positif dengan orang lain menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada skor dimensi penerimaan diri dan pertumbuhan diri (Ryff & Singer, 1996).

d. Status Sosial

Perbedaan status sosial-ekonomi biasanya didefinisikan dalam hal pendidikan, pendapatan, dan jabatan dalam pekerjaan


(43)

(Ryff & Singer, 1996). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, seseorang, baik laki-laki dan perempuan, yang memiliki pendidikan yang tinggi memiliki skor yang tinggi pada dimensi tujuan dalam hidup dan perkembangan pribadi.

Berdasarkan dari literatur perkembangan ilmu menunjukkan bahwa kedudukan dalam status sosial berhubungan dengan kesehatan fisik maupun psikologis. Temuan ini menyatakan bahwa rendahnya posisi dalam status sosial berkaitan dengan menurunnya kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis (Ryff & Singer, 1996).

e. Pengalaman dan Sejarah Hidup

Ryff dan Singer (1996) berpendapat bahwa pengalaman hidup dan bagaimana individu mengartikan pengalaman tersebut merupakan kunci yang mampu mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya serta memberikan gambaran yang sangat berguna untuk memahami well-being manusia yang bervariasi. Sebagai contoh, ada variasi dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup, penerimaan diri, dan depresi dalam persepsi orangtua terhadap bagaimana

mereka membesarkan anak dan bagaimana anak

membandingkan dirinya dengan orangtuanya (Ryff & Singer, 1996).


(44)

Pada lansia wanita, ditemukan permasalahan terhadap kesehatan fisik mereka. Penilaian ini berdasarkan bagaimana pandangan mereka dengan membandingkan dirinya dengan lansia lain dan ditemukan variasi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, depresi, dan kecemasan (Ryff & Singer, 1996).

f. Perkembangan dan Penuaan

Penelitian yang berkaitan mengenai perkembangan dan penuaan berusaha untuk mencari tahu bagaimana orang dewasa mempersepsikan diri mereka ketika mereka menjadi tua nanti (subjective aging) (Ryff, 2014). Mereka yang masih berada pada masa dewasa awal dan masa dewasa tengah memandang dirinya masih dapat mengembangkan dirinya dari waktu ke waktu. Sedangkan, mereka yang sudah berada pada masa dewasa akhir, memikirkan untuk berusaha mengantisipasi menurunnya well-being yang dimiliki di masa mendatang (Ryff, 2014). Ryff (2014) menambahkan perbedaan antara seberapa tua yang mereka rasakan dengan seberapa tua mereka seharusnya, menunjukkan hasil bahwa well-being yang tinggi ditunjukkan pada mereka yan merasa muda namun tidak ingin menjadi muda.

Individu yang dapat beradaptasi dengan masa transisi pada kehidupan masa dewasanya juga berkaitan dengan well-being


(45)

yang dimiliki (Ryff, 2014). Transisi pada masa dewasa akhir dapat diartikan juga sebagai perpindahan yang biasanya diartikan sebagai perpindahan rumah menuju ke panti jompo. Mereka yang mampu melakukan adaptasi melalui proses psikologis seperti perbandingan sosial, persepsi diri yang fleksibel, mampu mengatasi permasalahan yang dimiliki serta dapat melakukan tugas perkembangan di masa dewasa akhir akan cenderung memiliki tingkat well-being yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak dapat beradaptasi dengan tugas perkembangan masa dewasa akhir (Ryff, 2014).

g. Kepribadian

Para psikolog memberikan perhatian yang cukup besar terhadap bagaimana well-being berkaitan dengan perbedaan pada individu seperti sifat-sifat individu (Ryff, 2014). Pada penelitian awal mengenai well-being yang menggunakan model kepribadian Big Five, menemukan hasil bahwa keterbukaan pada openness to experience berhubungan dengan pertumbuhan

personal growth, agreeableness berhubungan dengan positive relations with others, dan extraversion, conscientiousness, dan neuroticism berhubungan dengan environmental mastery, purpose in life, dan self-acceptance (Rfyy, 2014).

Ryff (2014) menambahkan berbagai variabel psikologis lain yang berkaitan dengan kepribadian, telah dikaitan dengan


(46)

well-being. Sebagai contoh, sikap optimis, mampu memprediksi

tingginya well-being dengan pengaruh yang dimediasi oleh

sense of control. Selain sikap optimis, telah banyak variabel

yang berkaitan dengan perbedaan individu yang dihubungkan dengan well-being seperti empati dan kecerdasan emosional (Ryff, 2014).

h. Pengalaman Keluarga

Keterlibatan orang dewasa dan peran di dalam lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam mengembangkan

well-being yang dimiliki, salah satunya peran dalam keluarga (Ryff,

2014). Ryff (2014) menambahkan, individu yang memiliki peran tersebut cenderung memiliki tingkat yang tinggi dalam dimensi tujuan dalam hidup dan penerimaan diri. Selain itu, individu yang menikah secara konsisten memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih baik dari pada individu yang bercera, janda/duda, dan tidak menikah. Meskipun pada wanita yang tidak menikah memiliki nilai yang lebih tinggi pada dimensi otonomi dan pertumbuhan pribadi daripada wanita yang menikah.

Orang dewasa yang juga memiliki peran sebagai orang tua juga mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis yang dimiliki, terutama jika anak-anak mereka dapat tumbuh dengan baik (Ryff, 2014). Namun, bagi mereka yang kehilangan anak


(47)

di masa dewasa cenderung mengalami permasalahan terhadap tingkat kesejahteraan psikologis yang dimiliki. Ryff (2014) menambahkan orang dewasa yang kehilangan orang tuanya di masa kecil atau yang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis di masa kecil, cenderung memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah.

i. Keterikatan dengan Pekerjaan dan Kehidupan Lain

Bagaimana individu menyelesaikan pekerjaan dan mengejar karir memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki sesuai dengan jenis pekerjaan atau karir mereka (Ryff, 2014). Penelitian mengenai beban kerja yang dialami seseorang menemukan hasil bahwa beban kerja berkontribusi terhadap depresi yang dialami individu (Ryff, 2014). Peran dalam pekerjaan maupun peran dalam keluarga memiliki keterkaitan terhadap kesejahteraan psikologis individu. Pria dan wanita yang memiliki peran yang berbeda di pekerjaan dan keluarga berkontribusi terhadap perbedaan kesejahteraan psikologis yang dimiliki (Ryff, 2014). Ryff (2014) menambahkan bahwa pekerjaan yang dibayar dan yang tidak dibayar juga berhubungan dengan kesejahteraan psikologis. Pada wanita yang bekerja dengan tidak dibayar cenderung memiliki penerimaan diri dan penguasaan lingkungan yang lebih rendah, sedangkan pada pria yang


(48)

bekerja dengan dibayar cenderung lebih memiliki nilai yang tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi. Pekerjaan sebagai relawan memiliki keterkaitan dengan tingginya kesejahteraan psikologis yang dimiliki, sedangkan pekerjaan yang berkaitan dengan keagamaan cenderung memiliki nilai yang tinggi pada tujuan dalam hidup dan pertumbuhan pribadi namun memiliki nilai yang rendah pada dimensi otonomi (Ryff, 2014).

j. Kesehatan

Beberapa penelitian mengenai kesehatan menunjukkan hasil bahwa mereka yang menderita penyakit fisik dan cacat memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan psikologis yang dimiliki (Ryff, 2014). Beberapa individu menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola kembali dan mendapatkan kesejahteraan psikologis setelah melewati masa sakit

k. Studi Klinis

Ryff (2014) berpendapat bahwa kesejahteraan yang bersifat

eudaimonic tidak bisa dipahami hanya sebagai kebalikan dari

tekanan psikologis. Keduanya merupakan indikator yang penting untuk memahami kesehatan mental secara menyeluruh. Dalam penelitian mengenai gangguan mental tertentu seperti

schizophrenia, depresi, gangguan panik, cyclothymia, agoraphobia, dan post-traumatic stress disorder menemukan


(49)

risiko gangguan mental tersebut yang ditunjukkan melalui dimensi penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, tujuan dalam hidup, dan penguasaan lingkungan tiap individu (Ryff, 2014).

Kesejahteraan psikologis dianggap sebagai kemajuan besar dalam studi mengeni intervensi klinis dan menjadi teknik baru untuk melakukkan treatment kepada pasien (Ryff, 2014). Ryff (2014) menambahkan kesejahteraan psikologis dianggap dapat mencegah dan meningkatkan resiliensi individu terhadap gejala gangguan mental. Sebagai contoh, program pelatihan dengan meditasi dianggap mampu untuk meningkatkan aspek

eudaimonia dalam kesejahteraan psikologis (Ryff, 2014).

B. Status Pernikahan

Menurut Badan Pusat Statistika (www.bps.go.id), terdapat empat status pernikahan yang ada di Indonesia yaitu Menikah, Cerai Mati, Cerai Hidup, dan Belum Menikah. Pada penelitian ini, peneliti hanya berfokus pada Menikah, Cerai Mati, dan Ceria Hidup. Status pernikaha Cerai Mati dan Cerai Hidup akan dijelaskan dalam pengertian Janda/Duda.

1. Menikah

Menurut KBBI (2008), menikah adalah ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang


(50)

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa menikah merupakan ikatan yang terbentuk antara seorang pria dan wanita sesuai berdasarkan ketentuan hukum dan agama dengan tujuan membentuk keluarga.

Pada hubungan orang dewasa terutama pada dewasa tengah, rasa aman, loyalitas, dan ketertarikan emosional menjadi hal yang penting (Santrock, 2014). Meskipun pada awalnya hubungan dengan pasangan terdapat permasalahan, namun hal ini menjadi landasan yang dapat memperkuat hubungan tersebut (Santrock, 2014). Santrock (2014) menambahkan bahwa masa dewasa tengah, pasangan akan lebih sedikit memiliki kekhawatiran pada finansial, berkurangnya pekerjaan rumah, serta memiliki waktu yang lebih banyak dengan satu sama lainnya

2. Janda/Duda

Janda menurut KBBI (2008) adalah wanita yang sudah tidak bersuami lagi dikarenakan perceraian ataupun karena kematian suaminya. Sedangkan, duda dalam KBBI (2008) diartikan sebagai seorang laki-laki yang tidak memiliki istri lagi karena kematian atau telah bercerai dengan istrinya.

Santrock (2014) mengatakan bahwa perceraian pada masa dewasa tengah dapat menjadi suatu pengalaman yang positif namun juga dapat menjadi pengalaman yang buruk. Pada perceraian, pasangan mungkin


(51)

dapat lebih memahami diri dan mencari perubahan yang dapat mengakhiri pernikahan yang dirasa tidak bahagia (Santrock, 2014). Bagi orang yang menceraikan, perceraian dianggap sebagai jalan keluar dari hubungan yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Sedangkan bagi yang diceraikan, perceraian dianggap sebagai suatu pengkhianatan, akhir dari hubungan yang sudah dibangun selama bertahun-tahun yang melibatkan komitmen serta kepercayaan (Santrock, 2014).

Santrock (2014) menambahkan berdasarkan survei yang dilakukan oleh AARP (American Association of Retired Persons) ada beberapa alasan utama yang menyebabkan perceraian. Bagi wanita, kekerasan dalam bentuk verbal, fisik maupun emosional menjadi alasan pertama mereka bercerai selain penyalahgunaan obat-obatan atau narkoba dan perselingkungan. Sedangkan bagi laki-laki, alasan pertama mereka bercerai lebih pada rasa tidak mencintai lagi, perselingkuhan, dan perbedaan nilai-nilai serta gaya hidup.

C. Masa Pensiun

1. Pengertian Masa Pensiun

Pensiun merupakan suatu pemutusan hubungan kerja di mana karyawan telah mencapai umur maksimum dan telah mencapai usia kerja sesuai dengan yang ditentukan dari perusahaan atau instansi (Tulus, 1996 dalam Apsari, 2012). Pensiun secara umum diasosiasikan dengan kehidupan di kemudian hari (later life) yang ditandai dengan


(52)

perubahan gaya hidup secara objektif, termasuk menerima dana pensiun dan menurunnya keterlibatan dalam aktivitas bekerja sebagai angkatan kerja (Setyarini & Atamimi, 2011). Pensiun merupakan fase menuju dewasa akhir, di mana produktivitas seseorang dinilai sudah menurun dan harus diistirahatkan untuk melakukan kegiatan yang terbebas dari rutinitas kerja (Trisusanti & Satiningsih, 2012). Pensiun juga dapat dikatakan sebagai tahap terakhir dari tahap perencanaan karir yaitu tahap penarikan diri. Pada tahap ini, seseorang lebih fokus pada meninggalkan karir, meninggalkan kelekatan pada organisasi dan menghadapi tekanan secara fisik, psikologis maupun sosial pada masa pensiun (Apsari, 2012).

Schwartz (dalam Ermayanti & Abdullah, 2011) menambahkan bahwa pensiun merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup yang baru sehingga pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai serta perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, perubahan-perubahan yang terjadi merupakan masa perubahan yang penting dalam hidup seseorang, individu yang bekerja menjadi tidak bekerja, berkurangnya penghasilan, berkurangnya interaksi dengan teman kerja dan relasi, serta meningkatnya waktu luang (Ermayanti & Abdullah, 2011).

Robert Archley (1976, dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa ada tujuh fase pensiun yang dilalui oleh individu yaitu : a) Fase Jauh


(53)

(The Remote Phase), pada fase ini individu mulai sedikit demi sedikit melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mempersiapkan masa pensiunnya. Individu pada fase ini mungkin saja menyangkal bahwa fase pensiun akan terjadi; b) Fase Mendekat (The Near Phase), pada fase ini individu-indivdu mulai berpartisipasi pada program pra-pensiun. Program ini akan membantu individu memutuskan kapan dan bagaimana mereka seharusnya pensiun dengan melibatkan diskusi yang komprehensif terhadap isu-isu seperti kesehatan fisik dan mental.; c) Fase Bulan Muda (The Honeymoon Phase), fase ini merupakan fase awal dari fase pensiun di mana banyak individu merasa bahagia dengan pensiunnya. Mereka mulai dapat melakukan segala sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan ketika mereka aktif bekerja dulu dan mereka mulai menikmati aktivitas-aktivitas dengan waktu luang yang lebih banyak mereka miliki. Namun, bagi mereka yang di-PHK atau pensiun karena tidak menyukai pekerjaannya, mungkin tidak mengalami kebahagiaan di fase bulan madu ini.; d) Fase Kekecewaan (The

Disenchantment Phase), pada fase ini individu-individu mulai

menyadari bahwa bayangan mereka ketika pra-pensiun dulu tentang pensiun ternyata tidak realistis.; e) Fase Orientasi (The

Re-orientation Phase), pada fase ini para pensiunan mulai mengumpulkan

dan mengembangkan alternatif-alternatif kehidupan yang lebih realistis. Mereka mulai mengevaluasi jenis-jenis gaya kehidupan yang memungkinkan agar mereka menikmati kepuasan hidup.; f) Fase Stabil


(54)

(The Stability Phase), individu pada fase ini mulai memutuskan pilihan yang mereka miliki berdasarkan kriteria dari alternatif yang ada pada masa pensiun dan bagaimana mereka mulai menjalani salah satu pilihan yang mereka buat.; g) Fase Akhir (The Termination Phase), pada fase terakhir peranan fase pensiun digantikan oleh peran tergantung karena orang-orang dewasa tidak dapat berfungsi secara mandiri lagi dan mencukupi kebutuhannya sendiri.

2. Permasalahan Dalam Masa Pensiun

Salah satu masalah yang dihadapi oleh para pensiunan adalah penyesuaian terhadap datangnya masa pensiun (Suardiman, 2011). Hal ini dikarena adanya perubahan yang tidak terduga yang terjadi pada individu yang menjalani masa pensiun (Santrock dalam Apsari, 2012). Perubahan yang terjadi tersebut menimbulkan ketidakpastian dan ketidaknyamanan bagi beberapa orang, sehingga masa pensiun dianggap menjadi masa yang kurang menyenangkan karena perubahan dalam kehidupannya seperti perubahan pendapatan ekonomi, aktivitas sehari-hari, dan lingkungan pergaulan (Apsari, 2012; Safitri, 2013).

Pada masa pensiun memang terjadi penurunan status yang disebabkan oleh penurunan beberapa aspek seperti fisiologis, psikis, dan fungsi-fungsi sensori motorik yang diikuti oleh penurunan fungsi fisik, kognitif, emosi, minat, sosial, ekonomi, dan keagamaan (Suardiman, 2011). Tidak adanya aktivitas dari bekerja menjadi tidak bekerja, yang tadinya memiliki keterlibatan kerja atau peran ditempat


(55)

kerja menjadi sudah tidak ada lagi, dan adanya perubahan relasi sosial membuat individu merasa kehilangnya peran yang menjadi bagian dari harga dirinya, yang biasanya diasumsikan sebagai proses munculnya stres (Suardiman, 2011; Apsari, 2012).

Kondisi ini memerlukan penyesuaian yang tidak mudah (Suardiman, 2011). Moen (2007, dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa pensiun merupakan suatu proses, bukan merupakan suatu peristiwa. Orang-orang yang menunjukkan penyesuaian paling baik terhadap pensiun adalah mereka yang sehat, memiliki keuangan yang memadai, aktif, lebih terdidik, memiliki jaringan sosial yang luas yang meliputi kawan-kawan dan keluarga (Santrock, 2012).

3. Mengatasi Permasalahan Dalam Masa Pensiun

Masa pensiun sering ditanggapi dengan perasaan yang bernada negatif, tidak menyenangkan, dan bahkan dipandang sebagai masa yang menakutkan (Suardiman, 2011). Suardiman (2011) menambahkan para pensiunan juga rentan terkena post power syndrome yang membuat para pensiunan tidak bisa berpikir realistis dan menerima kenyataan bahwa mereka sudah bukan karyawan lagi, tidak memiliki jabatan, dan sudah pensiun.

Penyesuaian terhadap masa pensiun perlu dilakukan agar para pensiunan lebih siap menghadapi perubahan dalam kehiduapan pada masa pensiun. Penelitian Bikson dan Goodchilds (Spacapan &


(56)

Oskamp, 1989 dalam Suardiman, 2011) terhadap persiapan masa pensiun menemukan bahwa selain penggunaan waktu dan proses perencanaan pensiun, penyesuaian terhadap keluarga dan sosial juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya waktu yang dihabiskan dengan pasangan dapat memberikan sumbangan kepada timbulnya situasi perkawinan yang bahagia. Selain itu, menjalin relasi dengan tetangga atau teman dekat juga dapat dilakukan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

Hurlock (1993, dalam Suardiman, 2011) menambahkan perubahan dalam kehidupan keluarga yang menuntut penyesuaian di masa pensiun adalah :

a. Pola hubungan yang baik dengan pasangan hidupnya Pada masa pensiun kebanyakan pria maupun wanita lebih banya menghabiskan waktunya di rumah daripada sebelum pensiun. Jika hubungan dengan pasangannya baik, hal ini akan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka dan sebaliknya.

b. Perubahan dalam perilaku seksual

Perubahaan perilaku seksual pada masa pensiun lebih banyak disebabkan oleh alasan psikis daripada alasan fisik sehingga memerlukan penyesuaian diri terutama pada masa pensiun.


(57)

c. Perubahan dalam hubungan dengan anak atau keturunan Orang tua yang pada masa pensiun mau untuk mengubah sikap dan menyesuaikan pada usia dan tingkat perkembangan anaknya jauh lebih menemukan banyak kepuasaan berteman dengan anak-anak mereka dibandingkan pensiunan yang enggan menyesuaikan diri. d. Kemungkinan ketergantungan orangtua (possibility of

parental dependency)

Ketergantungan orang tua secara ekonomi kepada anak terjadi karena berkurang atau hilangnya pendapatan dengan seiring meningkatnya usia. Penyesuaian yang tidak berjalan sesuai dengan harapan akan membuat orang tua yang pensiun kesulitan dalam menghadapi perubahan ini. Suardiman (2011) juga menambahkan ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika seseorang menghadapi masa pensiun yaitu penyesuaian atas berkurangnya pendapatan meliputi pola dan gaya hidup sehingga terjadi penghematan, penyesuaian atas berkurangnya kontak sosial dengan teman sekerja yang sering menimbulkan kesepian, penyesuaian atas berkurangnya kesibukan, dan melakukan berbagai kegiatan untuk mengisi waktu luang. Kegiatan yang bisa dilakukan oleh pensiunan atau yang berusia lanjut dapat berupa kegiatan fisik maupun nonfisik (Suardiman, 2011). Kegiatan fisik bertujuan untuk menjaga kebugaran, sedangkan kegiatan nonfisik bertujuan untuk mencegah


(58)

munculnya penyakit degeneratif seperti kepikunan. Selain kegiatan fisik mapun nonfisik, kegiatan yang bersifat keagamaan juga dapat membantu pensiunan mengisi waktu luang pada masa pensiunnya.

D. Perbedaan Kesejahteraan Psikologis Pada Masa Pensiun Ditinjau Dari Status Pernikahan

Masa pensiun merupakan fase di mana produktivitas seseorang dinilai sudah menurun dan harus diistirahatkan untuk melakukan kegiatan yang terbebas dari rutinitas kerja. Namun, bagi beberapa orang masa pensiun dianggap sebagai masa yang kurang menyenangkan karena adanya perubahan dalam kehidupannya seperti perubahan ekonomi, aktivitas sehari-hari, dan lingkungan pergaulan (Suardiman, 2011). Berkurangnya kontak sosial seperti teman kerja, relasi, dan orang-orang luar rumah menjadi pemicu munculnya stres ketika menghadapi masa pensiun (Suardiman, 2011). Maka dari itu, peran pasangan menjadi penting bagi orang yang akan menghadapi masa pensiun.

Marks (1996) berpendapat bahwa kehadiran pasangan akan membantu seseorang lebih memiliki mental yang sehat. Seseorang yang memiliki mental yang sehat diyakini lebih mudah untuk mengatasi stres dan situasi serta perubahan yang tidak terduga seperti masa pensiun. Berger dan Kellner (1964, dalam Marks, 1996) menambahkan bahwa kehadiran pasangan dapat menciptakan rasa berbagi terhadap realita dan pemaknaan


(59)

sosial yang menjadi pondasi penting terhadap terbentuknya kesejahteraan psikologis.

Kesejahteraan psikologis akan membuat seseorang menyadari akan potensi yang dimiliki, kualitas hubungan interpersonal yang baik, dan meningkatkan tujuan dalam hidup sehingga seseorang tidak hanya mendapatkan kebahagiaan semata namun juga berusaha untuk mencapai kesempurnaan terhadap potensi diri (Ryff dan Keyes 1998, 2000 dalam Aprianti 2012; Ryff 1989, dalam Eldeleklioglu et al., 2010). Selain itu, Moriwaki (1973) juga mengatakan bahwa kehadiran pasangan yang memiliki kedekatan secara emosional menjadi faktor yang penting untuk menambah rasa kepercayaan akan adanya kesejahteraan dalam dirinya.

Disisi lain, seseorang yang tidak memiliki pasangan atau sudah berpisah dengan pasangannya cenderung lebih mudah stres dan mengalami depresi. Hal ini berkaitan dengan permasalahan umum yang dihadapi seperti menjalin keakraban dengan orang lain dan menghadapi kesepian (Koropeckjy-Cox, 2009, dalam Santrock 2012). Selain itu, peran pasangan yang membantu dalam membentuk mental yang sehat dan memberikan dukungan secara sosial, tidak dirasakan oleh mereka yang tidak memiliki pasangan lagi.

Situasi ini dapat menimbulkan perbedaan kesejahteraan psikologis pada seseorang yang menghadapi masa pensiun. Seseorang yang memiliki pasangan lebih dapat mengatasi keadaan yang kurang menyenangkan dan kehadiran pasangan dapat menumbuhkan rasa kepercayaan pada dirinya


(60)

sehingga dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki. Sebaliknya, seseorang yang sudah tidak memiliki pasangan (meninggal ataupun cerai) akan cenderung mengalami kesulitan dalam menumbuhkan kepercayaan akan kesejahteraan pada dirinya karena tidak adanya lagi pasangan yang memiliki hubungan secara intim, yang memberikan dukungan sehingga tidak dapat memaksimalkan potensi pada diri.


(61)

E. Skema Penelitian

Gambar 1. Grafik Alur Hubungan Status Pernikahan Dengan Kesejahteraan Psikologis

Masa Pensiun

Status Pernikahan

Janda/Duda

(Sudah tidak memiliki secara hukum/meninggal) Menikah

(Masih memiliki pasangan)

Tidak puas dengan dirinya, kecewa dengan apa yang terjadi di kehidupan masa lalunya, memiliki masalah dengan kualitas pribadi, ingin menjadi berbeda daripada dirinya sekarang, sedikit kedekatan dan kepercayaan dengan orang lain, sulit untuk menjadi hangat, terbuka, dan peduli tentang orang lain; terisolasi dalam hubungan interpersonal; tidak mau membuat kompromi dalam hubungan dengan orang lain, cenderung

mementingkan harapan dari orang lain,

bergantung pada penilaian orang lain, mengikuti tuntutan sosial dalam bertindak, kesulitan mengelola aktivitas, tidak mampu memperbaiki lingkungan di sekitarnya, tidak menyadari

kesempatan yang ada, kurang mampu

mengontrol dunia luar, kurang memiliki makna terhadap hidup, memiliki sedikit cita-cita dan tujuan, kurang memiliki arahan dalam hidup, tidak memiliki tujuan dari kehidupan masa lalunya, tidak memiliki pandangan yang dapat memunculkan makna dalam hidup, merasa tidak dapat melakukan sesuatu untuk mengembangkan diri, merasa bosan dengan kehidupannya, dan merasa tidak dapat berkembang.

Sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui, menerima segala aspek dalam diri, memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya,

hangat, menyenangkan, percaya dan

mementingkan kesejahteraan orang lain,

berempati, kasih sayang, intim saling berbagi dalam hubungan, bebas dan dapat menentukan nasibnya, mampu bertahan dari tekanan sosial,

mengelola perilaku dari dalam, mampu

mengevaluasi diri, mampu menguasai dan mengatur lingkungannya, mengontrol aktivitas, menggunakan kesempatan yang ada, mampu untuk membuat atau memilih konteks yang tepat sesuai dengan dirinya, memiliki dan mampu mencapai tujuan hidup, memiliki makna terhadap kehidupan saat ini dan masa lalu, memegang keyakinan terhadap tujuan hidupnya, memiliki maksud dalam tujuan hidupnya, memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sebagai pribadi yang tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki, melihat peningkatan dalam diri dan perilaku, dan melakukan perubahan agar tetap mencerminkan pengetahuan tentang diri.


(62)

F. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

H0: Tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun

ditinjau dari status pernikahaan.

H1: Ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada masa pensiun ditinjau


(63)

43

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah komparatif yaitu penelitian yang bersifat membandingkan hasil penelitian dari dua kelompok penelitian yang berbeda namun masih dengan variabel yang sama (Siregar, 2013). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis pensiunan yang masih memiliki pasangan dengan pensiunan yang janda/duda.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini sebagai berikut :

Variabel Tergantung : Kesejahteraan Psikologis Variabel Bebas : Status Pernikahan

C. Definisi Operasional

1. Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being adalah berfungsinya fungsi-fungsi psikologis secara positif pada pensiunan yang mampu mengarahkan untuk menyadari, menggunakan, serta mengembangkan kemampuan/potensi yang dimiliki, sehingga memberikan kesempatan individu untuk tumbuh, menciptakan kualitas


(64)

hubungan interpersonal yang baik, mengelola aktivitas di luar dirinya, dan meningkatkan tujuan dalam hidup.

Tingginya tingkat kesejahteraan psikologis subjek ditunjukkan dari skor total skala kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi skor total skala kesejahteraan psikologis, maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis yang dimiliki.

2. Status Pernikahan

Status pernikahan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu menikah dan janda/duda. Menikah dapat diartikan sebagai ikatan perkawinan yang sah secara hukum dan agama, sedangkan janda/duda adalah pria/wanita yang sudah tidak memiliki pasangan yang dikarenakan perceraian secara hukum atau kematian pasangan. Identitas mengenai status pernikahan diungkap dengan pertanyaan terbuka yang ditujukan kepada subjek.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan/i perusahaan/instansi yang sudah pensiun. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah convenience

sample, yaitu pengambilan sampel berdasarkan kemudahan atau ketersediaan

untuk mengaksesnya pada waktu, situasi, dan tempat yang tepat (Prasetyo & Jannah, 2008; Supratiknya, 2015).

Tidak ada batasan yang tetap dalam menentukan berapa usia seseorang untuk pensiun (Suardiman, 2011). Namun, mengacu pada pasal 14 ayat 1 UU No.3


(65)

tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mengatakan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) diberikan kepada tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 tahun. Maka peneliti membuat batasan bahwa subjek penelitian yang akan digunakan adalah pensiunan yang berusia minimal 55 tahun.

Peneliti akan memilih subjek yang masih memiliki pasangan yang dikelompokkan dalam kelompok menikah dan subjek yang sudah tidak memiliki pasangan karena cerai secara hukum atau dikarenakan pasangan yang dimiliki telah meninggal dunia yang kemudian dikelompokkan ke dalam kelompok janda/duda. Dalam penelitian ini, peneliti tidak membedakan pensiunan berdasarkan jenis kelamin karena peneliti ingin melihat tingkat kesejahteraan psikologis pada pensiunan yang masih memiliki pasangan (menikah) dengan pensiunan yang sudah tidak memiliki pasangan (janda/duda).

E. Metode dan Alat Pengambilan Data

Alat pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kesejahteraan psikologis yang disertai dengan identitas subjek yang diperlukan terutama mengenai status pernikahan subjek. Skala kesejahteraan psikologis menggunakan metode Likert yang terdiri dari pernyataan favorable dan

unfavorable dengan empat alternatif jawaban yaitu Sangat Tidak Sesuai (STS),

Tidak Sesuai (TS), Sesuai (S), Sangat Sesuai (SS). Pemilihan berdasarkan tingkat kesesuaian ini bertujuan agar subjek benar-benar mempertimbangkan sejauh mana isi pernyataan dalam skala kesejahteraan psikologis benar-benar menggambarkan keadaan dirinya atau mengenai perilakunya (Azwar, 2012).


(66)

Skala ini tidak menggunakan alternatif jawaban Netral (N) dengan tujuan agar menghindari kecenderungan subjek memilih kategori tengah demi mencari aman (Supratiknya, 2014). Penilaian dalam skala ini menggunakan metode

summated rating dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Pada pernyataan favorable, jawaban “STS” memperoleh skor 1, jawaban “TS” memperoleh skor 2, jawaban “S” memperoleh 3, dan

jawaban “SS” memperoleh skor 4.

2. Pada pernyataan unfavorable, jawaban “STS” memperoleh skor 4,

jawaban “TS” memperoleh skor 3, jawaban “S” memperoleh skor 2, dan jawaban “S” memperoleh skor 1.

Tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan psikologis dilihat dari skor total jawaban subjek pada skala yang diberikan.

Distribusi item pada skala kesejahteraan psikologis dapat dilihat dari tabel 1 berikut.


(67)

Tabel 1.

Distribusi Item Skala Kesejahteraan Psikologis

Keterangan :

* : Item yang gugur

F. Validitas dan Reliabitas Alat Ukur

Supratiknya (2014) menyatakan bahwa tujuan utama analisis item adalah memeriksa ciri-ciri respon testi dalam uji coba yang sesungguhnya terhadap masing-masing item untuk keperluan seleksi item, yaitu memutuskan item-item mana yang dipandang memenuhi syarat untuk dimasukan ke dalam bentuk final tes dan mana yang harus digugurkan. Supratiknya (2014) menambahkan untuk memastikan bahwa bentuk final tes tersebut sungguh-sungguh menghasilkan pengukuran yang bisa mencerminkan atribut psikologis dalam taraf tertentu maka perlu adanya pemeriksaan reliabilitas, validitas, dan daya diskriminasi keseluruhan item.

No. Dimensi Nomor item Jumlah

Item Favorable Unfavorable

1. Penerimaan Diri 1, 8, 10, 14, 23*, 69* (8,33%)

12*, 44, 53*, 57, 58, 68 (8,33%)

12 (16,67%) 2. Hubungan Yang

Positif Dengan Orang lain

20, 25, 27*, 29, 42,

55* (8,33%)

4*, 13, 43, 50, 70*,

71*(8,33%)

12 (16,67%) 3. Otonomi 18, 24*, 56, 61*, 62*,

72 (8,33%)

11*, 28*, 33*, 34*,

41*, 47* (8,33%)

12 (16,67%) 4. Penguasaan

Lingkungan

19, 38, 51*, 52*, 54, 67 (8,33%)

3, 7, 16*, 22, 45*, 63* (8,33%)

12 (16,67%)

5. Tujuan Dalam

Hidup

15, 17*, 21, 31, 32,

60 (8,33%)

6*, 30*, 37*, 46*,

49*, 65* (8,33%)

12 (16,67%) 6. Pertumbuhan

Pribadi

9*, 35, 39*, 40*, 48*, 64 (8,33%)

2, 5, 26, 36, 59, 66 (8,33%)

12 (16,67%)

Total 36 36 72


(68)

1. Validitas

Validitas dapat dipahami sebagai sejauh mana kualitas alat tes dalam melakukan pengukuran atribut psikologis yang hendak diukurnya (Supratiknya, 2014).

Penelitian ini menggunakan pendekatan validitas isi (content validity) yang diestimasikan lewat pengujian isi tes dengan analisis rasional atau lewat

professional judgement (Azwar, 1999; 2012). Penyusunan skala penelitian ini

akan dikonsultasikan dengan seseorang yang kompeten, yang dalam penelitian ini peneliti mengkonsultasikannya dengan dosen pembimbing. 2. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan konsistensi hasil pengukuran jika prosedur pengetesannya dilakukan secara berulangkali terhadap suatu populasi atau kelompok (Supratiknya, 2014).

Penelitian ini menggunakan estimasi reliabilitas dengan pendekatan konsistensi-internal (internal consistency) yang didasarkan pada hubungan antar skor masing-masing item (Supraktinya, 2014). Hasil estimasi reliabilitas konsistensi internal ini didapatkan melalui prosedur satu kali pengadministrasian tes (single trial administration) (Azwar, 2012). Teknik yang digunakan untuk menentukan apakah suatu instrumen penelitian ini reliabel atau tidak dengan menggunakan teknik cronbach alpha. Dalam teknik ini, suatu instrumen penelitian dapat dikatakan reliabel bila memiliki koefisien reliabilitas > 0,60 (Siregar, 2014).


(69)

3. Daya Diskriminasi Item

Daya diskriminasi item atau daya beda item adalah sejauh mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2012). Pengujian daya diskriminasi item dilakukan dengan cara menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala itu sendiri yang akan menghasilkan koefisien korelasi item-total (rix) (Azwar, 2012).

Besarnya koefisien korelasi item-total bergerak dari 0,00 – 1,00 dengan tanda positif atau negatif. Bila koefisien korelasi mendekati angka 1,00 maka daya diskriminasi dapat dikatakan semakin baik. Sebaliknya, bila koefisien korelasi mendekati angka 0 atau memiliki tanda negatif maka hal tersebut mengindikasikan bahwa item tersebut tidak memiliki daya diskriminasi (Azwar, 2012). Azwar (2012) menambahkan kriteria pemilihan item berdasar korelasi item total, biasanya menggunakan batasan rix ≥ ,3 . Item yang

mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 dianggap memiliki daya beda yang memuaskan, sedangkan yang kurang dari 0,30 dianggap memiliki daya beda yang rendah.

G. Pengujian Alat Ukur Penelitian

1. Uji Coba Alat Ukur Penelitian

Penelitian ini menggunakan try out terpakai dimana data yang diperoleh dari hasil uji coba dipakai sebagai data penelitian. Alasan digunakan try out


(70)

terpakai karena minimnya akses untuk mendapatkan akses mendapatkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian.

Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur adalah untuk mengukur taraf reliabilitas alat ukur yang memadai sesuai tujuan penelitian (Supratiknya, 2014). Uji coba ini dilakukan pada total 80 subjek yang terdiri dari 40 subjek pada kelompok menikah serta 40 subjek pada kelompok janda/duda. Subjek didapat dari Ikatan Keluarga PLN (IKPLN) Yogyakarata, Pensiunan Pegawai Telkom (P2TEL) Magelang, Persekutuan Doa BPN & Notaris Yogyakarta, Pensiunan Guru dan Karyawan Kasihan Bantul, dan PWRI Yogyakarta. Subjek diberi skala kesejahteraan psikologis yang terdiri dari 72 item. Penyebaran skala dilakukan dengan terlebih dahulu meminta izin kepada pengurus masing-masing kelompok pensiunan. Pelaksanaan uji coba dilakukan pada tanggal 4 Februari 2016 sampai dengan 6 April 2016.. 2. Hasil Uji Coba Alat Ukur

a. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan dengan menggunakan program SPSS for

Windows versi 22. Seleksi item pada penelitian ini dilakukan dengan

menyeleksi item pada setiap dimensi skala kesejahteraan psikologis yang terdiri dari enam dimensi dan berjumlah 72 item dengan melakukan penghitungan korelasi item total (rit). Item yang memiliki nilai rit ≥ ,3

maka item tersebut akan dipertahankan. Namun, jika memiliki nilai rit < 0,30

maka item tersebut akan digugurkan. Setelah dilakukan seleksi item, terdapat 38 item yang memiliki nilai rit<0,30 dan harus digugurkan.


(71)

Penelitian ini akan melihat perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis serta perbedaan pada tiap dimensi kesejahteraan psikologis dengan melihat nilai

cronbach alpha pada masing-masing dimensi, sehingga penelitian ini

dianggap memiliki enam skala.

Pada dimensi Penerimaan Diri sebelum dilakukan seleksi item, memiliki rentang nilai koefisien rit antara 0,097 sampai dengan 0,524.

Pengguguran item dilakukan hingga akhirnya memperoleh delapan item yang memiliki rentang nilai rit 0,305 - 0,431. Selanjutnya, pada dimensi

Hubungan Yang Positif Dengan Orang Lain memiliki rentang nilai rit -0,026

sampai dengan 0,629 sebelum dilakukannya seleksi item. Sebanyak lima item pada dimensi ini harus digugurkan. Setelah pengguguran item diperoleh rentang nilai rit 0,395 – 0,659.

Dimensi Otonomi memiliki rentang nilai rit 0,070 sampai dengan 0,277

sebelum dilakukan pengguguran item. Namun, setelah dilakukan pengguguran item dimensi Otonomi mempunyai rentang nilai rit 0,337

sampai dengan 0,459. Pada dimensi Penguasaan Lingkungan, sebelum dilakukan pengguguran item memiliki nilai rit antara 0,187 sampai dengan

0,422. Setelah dilakukan pengguguran lima item diperoleh rentang nilai rit

antara 0,319 sampai dengan 0,444.

Nilai rit pada dimensi Tujuan Dalam Hidup sebelum pengguguran item

berkisar antara -0,013 sampai dengan 0,476. Setelah dilakukan pengguguran item, dimensi Tujuan Dalam Hidup memiliki rentang nilai rit 0,448 – 0,761.


(1)

120

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Kesejahteraan

Psikologis .148 80 .000 .933 80 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan Psikologis Stem-and-Leaf Plot

Frequency Stem & Leaf 2.00 10 . 04 5.00 10 . 77789

25.00 11 . 0000011111222333334444444 21.00 11 . 555555667888888888999 10.00 12 . 0112222334

7.00 12 . 5677888 3.00 13 . 234 3.00 13 . 556 4.00 Extremes (>=138) Stem width: 10

Each leaf: 1 case(s)


(2)

(3)

122 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

3. Uji Homogenitas

Group Statistics

Status Pernikahan N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean Kesejahteraan

Psikologis

Menikah 40 118.78 8.185 1.294

Janda/Duda 40 118.28 10.010 1.583

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Uppe r Kesejahtera an Psikologis Equal variances assumed

2.144 .147 .245 78 .807 .500 2.045 -3.570 4.57 0 Equal

variances not assumed

.245 75.041 .807 .500 2.045 -3.573 4.57 3


(5)

124

LAMPIRAN 9

Uji Hipotesis


(6)

Uji Hipotesis Penelitian

Ranks Status

Pernikahan N Mean Rank

Sum of Ranks Kesejahteraan

Psikologis

menikah 40 42.39 1695.50

janda/duda 40 38.61 1544.50

Total 80

Test Statisticsa

Kesejahteraan Psikologis

Mann-Whitney U 724.500

Wilcoxon W 1544.500

Z -.728

Asymp. Sig.

(2-tailed) .467