Pengaruh penurunan HbA1C terhadap kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2

(1)

Pengaruh Penurunan HbA1C terhadap Kadar

Adiponektin pada Penderita DM Tipe 2

PENELITIAN EKSPERIMENTAL DI DEPARTEMEN

ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN

SEPTEMBER 2010 – JANUARI 2011

TESIS

OLEH

HENY SYAHRINI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “Pengaruh penurunan HbA1C terhadap kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2“ yang merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter ahli di bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Salli Roseffi Nasution SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H ADAM MALIK MEDAN yang telah memberikan kemudahan dan dorongan buat penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

2. Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr. Zulhelmi Bustami SpPD-KGH dan Sekretaris Program Ilmu Penyakit Dalam Dr Zainal Safri, SpPD, SpJP yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.

3. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Dharma Lindarto SpPD, KEMD dan Dr. Santi Syafril, SpPD sebagai pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini. Kiranya Allah SWT memberikan rahmat dan karunia kepada beliau beserta keluarga. 4. Prof . Dr. Lukman Hakim Zein, SpPD, KGEH selaku kepala Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP. HAM dan Dr. Syafii Piliang, SpPD, KEMD (alm) selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam yang


(3)

5. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUD Dr Pirngadi / RSUP H Adam Malik medan : Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis SpPD-KGH, Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis SpPD-KHOM, Prof. Dr. Habibah Hanum SpPD-KPsi, Prof. Dr. Sutomo Kasiman SpPD-KKV, Prof. Dr. Azhar Tanjung SpPD-KP-KAI-SpMK, Prof. Dr. OK Moehad Sjah SpPD-KR, Prof. Dr. Lukman H. Zain SpPD-KGEH, Prof. Dr. M. Yusuf Nasution SpPD-KGH, Prof. Dr. Azmi S Kar SpPD-KHOM, Prof. Dr. Gontar A Siregar SpPD-KGEH, Prof. Dr. Haris Hasan SpPD-SpJP(K), Dr. Nur Aisyah SpPD-KEMD, Dr. A Adin St Bagindo SpPD-KKV, Dr. Lutfi Latief SpPD-KKV, Dr. Syafii Piliang SpPD-KEMD (alm), Dr. T. Bachtiar Panjaitan SpPD, Dr. Abiran Nababan SpPD-KGEH, Dr. Betthin Marpaung SpPD KGEH, Dr. Sri M Sutadi SpPD-KGEH, Dr. Mabel Sihombing SpPD-KGEH, Dr. Salli R. Nasution SpPD-KGH, DR. Dr. Juwita Sembiring SpPD-KGEH, Dr. Alwinsyah SpPD-KP, Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis SpPD-KGH, Dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD, DR.Dr Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA, Dr. Yosia Ginting SpPD-KPTI, Dr. Refli Hasan SpPD-SpJP, Dr. EN. Keliat SpPD-KP, DR. Dr. Blondina Marpaung SpPD-KR, Dr. Leonardo D SpPD-KGEH, Dr. Pirma Siburian SpPD-KGer, Dr. Mardianto SpPD-KEMD, Dr. Santi Safril SpPD, Dr. Dairion Gatot SpPD-KHOM, Dr Zuhrial SpPD yang merupakan guru-guru penulis yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

6. Dr. Armon Rahimi SpPD-KPTI, Dr. R Tunggul Ch Sukendar SpPD-KGH (Alm), Dr. Daud Ginting SpPD, Dr. Tambar Kembaren SpPD, Dr. Saut Marpaung SpPD, Dr. Dasril Effendi SpPD-KGEH, Dr. Ilhamd SpPD, Dr. Calvin Damanik SpPD, Dr. Zainal Safri SpPD, SPJP, Dr. Rahmat Isnanta SpPD, Dr. Jerahim Tarigan SpPD, Dr. Maringan Lumban Gaol SpPD, Dr. Endang SpPD, Dr. Abraham SpPD, Dr. Soegiarto Gani SpPD, Dr. Savita Handayani SpPD, Dr. Fransciscus Ginting SpPD, Dr. Deske


(4)

7. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

8. Kepada teman-temanku yang memberikan dorongan semangat: Dr. Nina Karmila SpPD, Dr. Lybia Husen SpPD, Dr. Suherdi SpPD, Dr. Wahyudiansyah SpPD, Dr. Eric Halim Sumampow SpPD, Dr. Suvianto, Dr. Jenda Maulana. Juga para sejawat dan PPDS interna lainnya yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, paramedik dan Syarifuddin Abdullah, Kak Leli, Fitri, Deni, Wanti, Yanti, Tika dan Sari atas kerjasama yang baik selama ini.

9. Para co-asisten, petugas kesehatan, dan penderita di SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr. Pirngadi Medan /RS Tembakau Deli, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

10. Laboratorium Prodia cabang Medan yang telah memberikan kemudahan dan kerjasama dengan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

11. Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

Rasa hormat dan terima kasih penulis yang setinggi-tingginya dan setulusnya penulis tujukan kepada ayahanda Drs. Bardansyah Alam Lubis (Alm) dan ibunda Emmy Gusmy yang sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata yang tepat untuk mengucapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa-jasanya ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Demikian juga dengan mertua penulis Prof. Dr. Ir. Usman Nasution dan Drg. Nurhayati Harahap, SpOrt yang telah mendukung, membimbing, menyemangati dan menasehati agar kuat dalam menjalani


(5)

pendidikan, penulis ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kebahagian kepada orang tua yang sangat penulis cintai dan sayangi.

Kepada Suamiku tercinta Muhammad Ihsan Nasution, ST dan anakku tercinta Luqman Aziz Nasution terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan dukungan yang telah diberikan selama ini, semoga apa yang kita capai ini dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan diberkahi Allah SWT.

Kepada saudara-saudaraku Erika Syahrani, SP dan Muhammad Ardiansyah Lubis, ST serta kakak/abang/adik iparku yang telah banyak membantu memberi semangat dan dorongan selama pendidikan, terima kasihku yang tak terhingga untuk segalanya.

Kepada semua pihak baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin Penulis ucapkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan spesialis ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih, maha pemurah dan maha penyayang.

Amin ya Rabbal Alamin Medan, April 2011

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR...viii

DAFTAR SINGKATAN...ix

ABSTRAK...xi

BAB I PENDAHLUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Perumusan Masalah...4

1.3 Hipotesa...4

1.4 Tujuan Penelitian...5

1.5 Manfaat Penelitian...5

1.6 Kerangka Konsepsional...6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...7

2.1 Hemoglobin terglikasi (HbA1C) pada DM tipe 2...8

2.2 Adiponektin ...8

2.2.1 Efek adiponektin sebagai insulin-sensitizing....10

2.2.2 Efek adiponektin pada fungsi dan struktur vaskuler...11

2.2.3 Efek antiinflamasi adiponektin...14


(7)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...16

3.1 Desain penelitian... 16

3.2 Waktu dan tempat penelitian...16

3.3 Subjek penelitian…...16

3.4 Kriteria inklusi………...16

3.5 Kriteria eksklusi………...16

3.6 Besar sampel…………...17

3.7 Cara kerja……...18

3.8 Definisi opperasional...19

3.9 Analisa data...20

3.10 Ethical clearence dan informed consent...20

3.11 Kerangka operasional...21

BAB IV HASIL PENELITIAN...22

4.1 Karakteristik dasar subjek penelitian...22

4.2 Perbandingan kadar HbA1C dan adiponektin sebelum dan setelah terapi………...23

4.3 Korelasi penurunan kadar HbA1C terhadap kadar adiponektin……..26

BAB V PEMBAHASAN...28

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...34

6.1 Kesimpulan...34

6.2 Saran...34


(8)

LAMPIRAN 1. Lembar informasi subjek penelitian...43

LAMPIRAN 2. Lembar persetujuan subjek penelitian...45

LAMPIRAN 3. Surat izin komite etik penelitian...46

LAMPIRAN 4. Master tabel hasil penelitian...47

LAMPIRAN 5. Profil Peserta Penelitian ...48


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 : Karakteristik dasar subjek penelitian...22 Tabel 2. : Perbandingan HbA1C pre dan post terapi ...25 Tabel 3. : Perbandingan Adiponektin pre dan post terapi ...25 Tabel 4. :.Korelasi penurunan kadar HbA1C terhadap kadar adiponektin

pada seluruh subjek penelitian...27

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1:. Mekanisme molekuler dari fungsi-fungsi anti aterogenik

adiponektin...12 Gambar 2:.Penekanan proses aterosklerosis yang dilakukan oleh


(10)

DAFTAR SINGKATAN

ACRP30 : Adipocyte Complement-Related Proteinsebesar 30kDa ADA : American Diabetes Association

apM1 : adipose most anbundant gene transcript 1 ARB : Angiotensin Receptor Blocker

cAMP : cyclic-Adenosine Mono Phosphate CRP : C-Reactive protein

DM : Diabetes Mellitus EAG : Estimated Average Glucose eNOS : endothelial Nitric Oxide Synthase ERK : Extracellular Signal Related Kinase HbA1C : Hemoglobin A1C

HB-EGF : Heparin Binding-Epidermal Growth Factor IL-6 : Interleukin-6

IMT : Indeks Massa Tubuh KGD : Kadar Gula Darah LDL : Low Density Lipoprotein

NO : Nitric Oxide

OHO : Obat Hipoglikemik Oral

PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1 PERKENI : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia


(11)

ROS : Reactive Oxygen Species TNF-α : Tumor Necrosis Factor - α


(12)

Abstrak

PENGARUH PENURUNAN HbA1C TERHADAP KADAR ADIPONEKTIN PADA PENDERITA DM TIPE 2

Heny Syahrini, Dharma Lindarto, Santi Syafril

Divisi Endokronologi dan Metabolik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan organ dalam jangka panjang. Pengendalian DM merupakan langkah utama dalam penanganan DM. Adiponektin merupakan protein spesifik yang disekresikan oleh jaringan adipose dan berperan sebai insulin sensitizing, fungsi dan struktur vaskuler dan anti inflamasi. Kadar adiponektin berhubungan terbailk dengan resistensi insulin, DM tipe 2, obesitas, penyakit kardiovaskuler, dan inflamasi. Adanya pengendalian DM diharapkan dapat meningkatkan kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2.

Tujuan

Untuk mengetahui perbedaan kadar adiponektin sebelum dan setelah turunnya HbA1C serta korelasi penurunan HbA1C terhadap kadar adiponektin.

Bahan dan Cara

Penelitian eksperimental dilakukan terhadap 14 orang penderita DM tipe 2 (terdiri dari 7 pria dan 7 wanita) yang berkunjung ke poliklinik Endokrinologi RSUP. HAM Medan dari bulan September 2010 hingga Januari 2011. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium HbA1C dan adiponektin sebelum terapi. Setelah diterapi selama 3 bulan dengan insulin dan atau OHO, HbA1C dan adiponektin diperiksa kembali. Penilaian statistik dengan menggunakan uji t berpasangan dan uji korelasi Pearson.

Hasil

Dari 14 sampel yang diperiksa, diperoleh rerata HbA1C mengalami penurunan secara bermakna setelah terapi (10,792 ± 2,696 vs 8,328 ± 1,741, p = 0,001) diikuti dengan peningkatan rerata kadar adiponektin secara bermakna (2,112 ± 0,573 vs 2,584 ± 1,014, p = 0,012). Bila dibagi berdasarkan kelompok terapi insulin, insulin plus OHO dan OHO saja, tidak dijumpai penurunan kadar HbA1C maupun peningkatan kadar adiponektin yang bermakna. Sementara untuk uji korelasi, tidak dijumpai korelasi bermakna antara penurunan kadar HbA1C terhadap perubahan kadar adiponektin (r = 0,157, p = 0,592). Begitu juga bila dibagi berdasarkan kelompok terapi insulin, insulin plus OHO, dan OHO saja.

Kesimpulan

Terdapat peningkatan bermakna kadar adiponektin antara sebelum dengan setelah penurunan HbA1C dan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara penurunan kadar HbA1C dengan perubahan kadar adiponektin.

Kata Kunci


(13)

Abstract

IMPACT OF DECREASED HbA1C TO ADIPONECTIN LEVEL IN TYPE 2 DIABETIC PATIENTS

Heny Syahrini, Dharma Lindarto, Santi Syafril

Division of Endocrinology and Metabolic, Department of Internal Medicine University of Sumatera Utara / H. Adam Malik General Hospital, Medan-Indonesia.

Background

Chronic hyperglicaemia in diabetic is relationship with organ damage in a long time. Controlled of diabetic is as a prime diabetic management. Adiponectin is a specific protein, its secreted by adipose organ and play a role as insulin sensitizing, in function and vascular structure, and anti inflammation. Adiponectin level is inversely correlate with insulin resistance, type 2 diabetic, obesity, cardiovascular disease, and inflammation. Controlled of diabetic may expect to increase adiponectin level in type 2 diabetic patients.

Objective

To determine the difference of adiponectin level between pre and post decrease HbA1C level and to determine the correlate of decreased HbA1C with adiponectin level.

Materials and Methods

Experimental study had been done in 14 patients with type 2 diabetic (consists of 7 women and 7 men) who visit in Endocrinology policlinic H. Adam Malik Hospital from September 2010 until January 2011. Anamnesis, physical and laboratory examination (HbA1C and adiponectin level) in pre therapy were measured and then after 3 months therapy with insulin and or anti diabetic, HbA1C and adiponectin level were measured again. Statistic analysis with paired t test and pearson correlation test.

Result

From 14 samples, there was significance difference (decrease) in mean of HbA1C level between before and after therapy (10,792 ± 2,696 vs 8,328 ± 1,741, p = 0,001) and there was siginficance difference (increase) in mean of adiponectin between before and after therapy (2,112 ± 0,573 vs 2,584 ± 1,014, p = 0,012). If the samples divided in the group therapy of insulin, insulin plus anti diabetics, or anti diabetics only, there was no significance difference in mean of HbA1C or adiponectin level. Furthermore, there was no significance correlation between decrease of HbA1C level with adiponectin level (r = 0,157, p = 0,592) and the same result if the samples divided in to the group therapy of insulin, insulin plus anti diabetics and anti diabetics only.

Conclusion

There was significance difference (increase) adiponectin level between pre and post decreased of HbA1C level and there was no significance correlate between decreased of HbA1C level with adiponectin level.

Key Word


(14)

Abstrak

PENGARUH PENURUNAN HbA1C TERHADAP KADAR ADIPONEKTIN PADA PENDERITA DM TIPE 2

Heny Syahrini, Dharma Lindarto, Santi Syafril

Divisi Endokronologi dan Metabolik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan organ dalam jangka panjang. Pengendalian DM merupakan langkah utama dalam penanganan DM. Adiponektin merupakan protein spesifik yang disekresikan oleh jaringan adipose dan berperan sebai insulin sensitizing, fungsi dan struktur vaskuler dan anti inflamasi. Kadar adiponektin berhubungan terbailk dengan resistensi insulin, DM tipe 2, obesitas, penyakit kardiovaskuler, dan inflamasi. Adanya pengendalian DM diharapkan dapat meningkatkan kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2.

Tujuan

Untuk mengetahui perbedaan kadar adiponektin sebelum dan setelah turunnya HbA1C serta korelasi penurunan HbA1C terhadap kadar adiponektin.

Bahan dan Cara

Penelitian eksperimental dilakukan terhadap 14 orang penderita DM tipe 2 (terdiri dari 7 pria dan 7 wanita) yang berkunjung ke poliklinik Endokrinologi RSUP. HAM Medan dari bulan September 2010 hingga Januari 2011. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium HbA1C dan adiponektin sebelum terapi. Setelah diterapi selama 3 bulan dengan insulin dan atau OHO, HbA1C dan adiponektin diperiksa kembali. Penilaian statistik dengan menggunakan uji t berpasangan dan uji korelasi Pearson.

Hasil

Dari 14 sampel yang diperiksa, diperoleh rerata HbA1C mengalami penurunan secara bermakna setelah terapi (10,792 ± 2,696 vs 8,328 ± 1,741, p = 0,001) diikuti dengan peningkatan rerata kadar adiponektin secara bermakna (2,112 ± 0,573 vs 2,584 ± 1,014, p = 0,012). Bila dibagi berdasarkan kelompok terapi insulin, insulin plus OHO dan OHO saja, tidak dijumpai penurunan kadar HbA1C maupun peningkatan kadar adiponektin yang bermakna. Sementara untuk uji korelasi, tidak dijumpai korelasi bermakna antara penurunan kadar HbA1C terhadap perubahan kadar adiponektin (r = 0,157, p = 0,592). Begitu juga bila dibagi berdasarkan kelompok terapi insulin, insulin plus OHO, dan OHO saja.

Kesimpulan

Terdapat peningkatan bermakna kadar adiponektin antara sebelum dengan setelah penurunan HbA1C dan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara penurunan kadar HbA1C dengan perubahan kadar adiponektin.

Kata Kunci


(15)

Abstract

IMPACT OF DECREASED HbA1C TO ADIPONECTIN LEVEL IN TYPE 2 DIABETIC PATIENTS

Heny Syahrini, Dharma Lindarto, Santi Syafril

Division of Endocrinology and Metabolic, Department of Internal Medicine University of Sumatera Utara / H. Adam Malik General Hospital, Medan-Indonesia.

Background

Chronic hyperglicaemia in diabetic is relationship with organ damage in a long time. Controlled of diabetic is as a prime diabetic management. Adiponectin is a specific protein, its secreted by adipose organ and play a role as insulin sensitizing, in function and vascular structure, and anti inflammation. Adiponectin level is inversely correlate with insulin resistance, type 2 diabetic, obesity, cardiovascular disease, and inflammation. Controlled of diabetic may expect to increase adiponectin level in type 2 diabetic patients.

Objective

To determine the difference of adiponectin level between pre and post decrease HbA1C level and to determine the correlate of decreased HbA1C with adiponectin level.

Materials and Methods

Experimental study had been done in 14 patients with type 2 diabetic (consists of 7 women and 7 men) who visit in Endocrinology policlinic H. Adam Malik Hospital from September 2010 until January 2011. Anamnesis, physical and laboratory examination (HbA1C and adiponectin level) in pre therapy were measured and then after 3 months therapy with insulin and or anti diabetic, HbA1C and adiponectin level were measured again. Statistic analysis with paired t test and pearson correlation test.

Result

From 14 samples, there was significance difference (decrease) in mean of HbA1C level between before and after therapy (10,792 ± 2,696 vs 8,328 ± 1,741, p = 0,001) and there was siginficance difference (increase) in mean of adiponectin between before and after therapy (2,112 ± 0,573 vs 2,584 ± 1,014, p = 0,012). If the samples divided in the group therapy of insulin, insulin plus anti diabetics, or anti diabetics only, there was no significance difference in mean of HbA1C or adiponectin level. Furthermore, there was no significance correlation between decrease of HbA1C level with adiponectin level (r = 0,157, p = 0,592) and the same result if the samples divided in to the group therapy of insulin, insulin plus anti diabetics and anti diabetics only.

Conclusion

There was significance difference (increase) adiponectin level between pre and post decreased of HbA1C level and there was no significance correlate between decreased of HbA1C level with adiponectin level.

Key Word


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun kedua-duanya1. DM tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%)2. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh darah1. Adanya disfungsi endotel diperkirakan menjadi langkah awal proses aterogenesis dan sudah terjadi sebelum adanya perubahan morfologi dari dinding arteri3. Haffner dkk (tahun 1998), membuktikan bahwa aterosklerosis pada pasien DM mulai terjadi sebelum timbul onset klinis DM4. Penyebab aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, hiperinsulinemia dan atau hiperproinsulinemia, sters oksidatif, penuaan dini, serta perubahan-perubahan dalam proses koagulasi dan fibrinolisis5. Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyulit makrovaskular dan menjadi penyebab kematian nomor satu pada penderita DM tipe 2. Pengendalian gula darah merupakan langkah utama penanganan DM5,6,7. United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menyarankan terapi


(17)

intensif menurunkan glukosa sehingga kejadian komplikasi makrovaskular menjadi berkurang8.

Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin atau HbA1C (A1C) meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Pemeriksaan HbA1C tersebut bermanfaat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe penyandang DM9.

Adiponektin merupakan plasma protein yang spesifik dari jaringan adipose yang berperan penting untuk mengendalikan homeostasis energi, metabolisme glukosa dan lemak, serta merespon antiinflamasi pada sistem vaskular. Molekul tersebut dilibatkan dalam perkembangan penyakit jantung aterosklerosis. Rendahnya kadar adiponektin dikaitkan dengan penyakit DM tipe 2, infark miokard, dan stroke iskemik10. Banyak data dari penelitian hewan maupun manusia menunjukkan bahwa adipositokin ini memiliki sifat insulin-sensitizing, anti aterogenik dan anti inflamasi yang berperan dalam pencegahan progresifitas penyakit diabetes10,11,12.

Tingginya kadar glukosa ekstraseluler akan mencetuskan peningkatan produksi ROS (Reactive Oxygen Species) yang pada akhirnya akan mencetuskan kaskade proinflamasi dan hal tersebut menjadi umpan balik terhadap adiposit dan menyebabkan penurunan sensitivitas insulin13. Mediator proinflamasi dari jaringan adipose berkontribusi secara langsung terhadap kerusakan vaskuler, resistensi


(18)

insulin, dan aterogenesis. Yang termasuk adipositokin atau adipokin proinflamasi ini adalah TNF-α (Tumor Necrosis Factor - α), IL-6 (Interleukin-6), leptin, PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1), angiotensinogen, resistin, dan CRP (C-Reactive protein). Di sisi lain, NO (nitric oxide) dan adiponektin memberikan perlindungan terhadap inflamasi dan resistensi insulin yang terkait dengan obesitas14.

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa adanya adiponektin pada konsentrasi yang fisiologis memaksimalisasi efek insulin meskipun konsentrasi insulin rendah, menunjukkan bahwa fungsi adiponektin cukup efektif meningkatkan sensitifitas insulin pada hati. Rendahnya kadar adiponektin memainkan peranan penting terhadap berkembangnya resistensi insulin dan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel13.

Penelitian eksperimental, Ouchi dkk (tahun 1999) menunjukkan adiponektin menghambat ekspresi molekul-molekul adesi endotel yang dipengaruhi TNF-α pada sel endothelial dan adiponektin menurunkan transformasi aterogenik dari makrofag ke sel busa dengan menekan ekspresi reseptor scavenger. Mekanisme yang potensial dari adiponektin diantaranya berperan menghambat proliferasi sel otot polos, adesi monosit ke endotel dan pengambilan LDL oleh makrofag15.

Pada studi yang dilakukan oleh Nakashima dkk tahun 2006 didapati penurunan kadar adiponektin pada penderita diabetes dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes (9.47 ± 0.48 vs 11.69 ± 0.25,


(19)

(8.01 ± 2.55 vs 9.06 ± 2.41, p <0.001) dan Hotta dkk tahun 2000 (6.6 ± 0.4 vs 7.9 ± 0.5, p<0.001) 16,17,18. Sementara studi observasional yang dilakukan oleh David Stejskal dkk tahun 2003 membandingkan adiponektin/IMT (indeks massa tubuh) pada penderita DM yang terkendali baik, ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak terkendali (rata-rata adiponektin/IMT adalah 9,7 vs 6,7, p< 0.01) dan juga terdapat hubungan yang terbalik antara kadar adiponektin dengan kadar HbA1C (-0,32, P=0,02) 11.

Berdasarkan uraian di atas sampai saat ini sepanjang pengetahuan penulis, penelitian untuk mengetahui pengaruh penurunan HbA1C dengan kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2 belum pernah diteliti di Indonesia dan khususnya di Medan. Oleh karenanya penulis berminat meneliti tentang hal tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah terdapat peningkatan kadar adiponektin setelah turunnya HbA1C dibandingkan sebelumnya?

2. Apakah terdapat korelasi penurunan HbA1C terhadap kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2?

1.3 Hipotesa

1. Terdapat peningkatan kadar adiponektin setelah turunnya HbA1C dibandingkan sebelumnya.


(20)

2. Penurunan kadar HbA1C berkorelasi terhadap peningkatan kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perbedaan kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2 antara sebelum dengan sesudah HbA1C turun.

2. Mengetahui korelasi penurunan HbA1C terhadap kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bidang akademik/ilmiah : meningkatkan pengetahuan di bidang endokrinologi, khususnya mengenai pengaruh penurunan HbA1C terhadap kadar adiponektin pada pasien DM tipe 2.

2 Bidang pelayanan masyarakat : meningkatkan kwalitas pelayanan pada penderita DM tipe 2 khususnya dalam menurunkan HbA1C dan manfaat pemeriksaan adiponektin untuk penanda penyakit kardiovaskuler yang sering menyebabkan kematian terutama pada penderita DM tipe 2.

3 Bidang pengetahuan dan penelitian : memberi data awal kepada divisi endokrinologi mengenai pengaruh penurunan HbA1C terhadap kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2.


(21)

1.6 Kerangka Konsepsional

DM tipe 2, HbA1C ≥ 7% DM tipe 2, HbA1C

Adiposit Adiposit

Terapi Pengendalian DM selama 3 bulan


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 tahun ini bertambah 2 kali lipat. Penderita DM mempunyai resiko terhadap penyakit kardiovaskular 2 sampai 5 kali dibandingkan dengan penderita tanpa DM. Kelainan makrovaskular merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita DM tipe 2. Aterosklerosis merupakan penyebab mortalitas setinggi 80% pada penderita DM. Pada UKPDS terlihat selama 10 tahun resiko komplikasi makrovaskullar lebih dari 4 kali komplikasi mikrovaskular19.

Faktor-faktor yang paling penting untuk terjadinya dan progresi kelainan diabetik vaskular adalah hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin, dan hormon vasoaktif. Pengaruh berbagai faktor tersebut untuk terjadinya komplikasi vaskular tidak saja hanya tergantung macam jaringan vaskular tetapi juga pada fase proses kelainan. Faktor herediter dan lingkungan juga mempengaruhi terjadinya komplikasi kardiovaskular19.

Disfungsi endotel merupakan kelainan dini timbulnya aterosklerosis, disfungsi endotel menghubungkan dismetabolisme DM dengan kelainan mikrovaskular dan makrovaskular yang menyebabkan kerusakan organ target19.


(23)

2.1Hemoglobin terglikasi (HbA1C) pada DM tipe 2

Hemoglobin A1C (HbA1C) awalnya dikenal dengan istilah ”unusual hemoglobin pada penyandang diabetes” oleh Rahbar dkk pada tahun 1960-an d1960-an baru digunak1960-an secara klinis sebagai pemeriksa1960-an kontrol glikemik bagi penyandang diabetes pada tahun 198020 . Pemeriksaan hemoglobin terglikasi, yang disebut juga sebagai glycohemoglobin atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Kadar HbA1C yang diharapkan pada penderita diabetes menurut ADA (American Diabetes Association) adalah <7% 21,22.

Perbaikan pengendalian gula darah dapat mencegah timbulnya dan progresifitas komplikasi mikrovaskular dan lebih sedikit pada komplikasi makrovaskular. Suatu data analisa epidemiologi dari UKPDS menunjukkan bahwa setiap penurunan 1 % HbA1C diikuti dengan penurunan yang bermakna baik klinik maupun statistik pada komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular19.

2.2 Adiponektin

Jaringan adipose tidak lagi dilihat sebagai tempat penyimpanan sementara trigliserida yang pasif dan sebagai sumber asam lemak bebas. Saat preadiposit berdiferensiasi menjadi adiposit dewasa, preadiposit mampu mensintesis ratusan protein. Beberapa diantaranya adalah enzim, sitokin,


(24)

faktor pertumbuhan, dan hormon yang terlibat dalam keseluruhan homeostasis energi. Adiposit dewasa telah diakui secara luas, sebagai suatu organ endokrin dan parakrin yang aktif, yang mensekresikan mediator yang berpartisipasi pada proses metabolik dengan jumlah yang terus bertambah14. Jaringan adipose mampu memproduksi berbagai sitokin dan hormon (yang disebut adipokin atau adipositokin) yang bisa berkaitan dengan perkembangan penyakit jantung koroner. Di antaranya, TNF-α, IL-6, hormon yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah seperti yang terdapat dalam sistem renin-angiotensin, faktor-faktor yang mempengaruhi homeostasis dan angiogenesis (PAI-1 dan VEGF-Vascular Endothelial Growth Factor), dan hormon yang terlibat dalam metabolisme energi seperti leptin dan adiponektin23.

Adiponektin, dikenal juga sebagai Adipocyte Complement-Related Protein sebesar 30kDa (ACRP30), adipoQ, adipose most anbundant gene transcript 1 (apM1), dan gelatin binding protein sebesar 30kDa, merupakan suatu protein yg spesifik disekresikan oleh adiposit dengan peran pada homeostasis glukosa dan lemak24.

Kadar adiponektin berhubungan terbalik dengan obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe 2, penyakit kardiovaskuler dan keadaan inflamasi13. Kadar adiponektin juga sangat dipengaruhi oleh obat-obatan yang meningkatkan sensitivitas insulin seperti agonis PPAR-γ (Peroxisome Proliferator activated receptor gamma), glimepiride, maupun golongan ARB (angiotensin receptor blocker)13,25,26.


(25)

Jaringan adipose juga dikenal sebagai sumber mediator proinflamasi yang penting dan berkontribusi secara langsung terhadap kerusakan vaskuler, resistensi insulin, dan aterogenesis. Adipositokin atau adipokin proinflamasi ini, termasuk TNF-α, IL-6, leptin, PAI-1, angiotensinogen, resistin, dan CRP14.

Ekspresi dan sekresi dari adipose meningkat oleh insulin like growth factor-1, ionomycin dan aktivasi dari PPAR-, dan menurun oleh TNF-, glukokortikoid, agonis dari -adrenergic dan cAMP. Reseptor adiponektin telah dilaporkan diekspresikan pada otot skletal sebagai Adipo R1 dan di hati sebagai Adipo R2 27.

2.2.1 Efek adiponektin sebagai insulin-sensitizing

Penelitian baru-baru ini yang menggunakan teknik euglycemic clamp

menunjukkan bahwa adiponektin memiliki peranan yang cukup besar pada hati ketika adiponektin dalam bentuk rekombinan diinjeksikan. Lebih khususnya, adiponektin tersebut dapat menurunkan kebutuhan infus glukosa dengan meningkatkan penekanan produksi glukosa di hati yang diperantarai insulin13.

Penelitian yang sama yang dibuat secara in vitro menggunakan paparan sel-sel hati terhadap berbagai kadar insulin dengan atau tanpa adanya adiponektin. Meningkatnya kadar insulin akan menekan pengeluaran glukosa oleh sel hati. Adanya adiponektin pada konsentrasi yang fisiologis


(26)

memaksimalisasi efek insulin meskipun konsentrasi insulin rendah, menunjukkan bahwa fungsi adiponektin cukup efektif meningkatkan sensitifitas insulin pada hati. Rendahnya kadar adiponektin memainkan peranan penting terhadap berkembangnya resistensi insulin dan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel13.

2.2.2 Efek adiponektin pada fungsi dan struktur vaskular

Studi yang dilakukan baik terhadap manusia maupun hewan telah menunjukkan hubungan antara kadar adiponektin yang beredar dan fungsi endotel. Pada manusia dijumpai banyak faktor-faktor ofensif yang ada, termasuk LDL yang teroksidasi, stimulus inflamasi dan zat-zat kimia yang dapat menyebabkan cedera vaskular. Pada saat yang bersamaan, adiponektin yang disekresikan dari jaringan adipose dapat masuk ke arteri-arteri yang cedera dan melindungi perubahan vaskular aterogenik untuk berkembang (Gambar-1). Oleh karena itu, adiponektin dapat digambarkan seperti pemadam kebakaran yang dapat memadamkan api dari dinding vaskular ketika apinya masih kecil. Bila level adiponektin pada seseorang berkurang, maka api yang kecil dapat berkembang menjadi lebih besar oleh karena sedikitnya pemadam kebakaran 28,29.


(27)

Gambar-1. Mekanisme molekuler dari fungsi-fungsi anti aterogenik adiponektin (Dikutip dari29)

Adiponektin telah dilaporkan mempunyai efek anti aterosklerotik yang langsung. Konsentrasi dari adiponektin secara fisiologi telah ditunjukkan dapat menghambat ekspresi dari molekul-molekul adesi secara nyata, yang mana molekul-molekul adesi merupakan salah satu faktor penyebab aterosklerosis, termasuk intracellular adhesion molecule-1, vaskuler cellular adhesin molecule-1 dan E-selectin. (Gambar-2). Adiponektin juga dapat menghambat aktivasi dari TNF-, yang mungkin merupakan mekanisme molekuler utama untuk penghambatan dari pelekatan monosit ke sel-sel endotel. Adiponektin juga dapat menghambat proliferasi dan migrasi dari sel-sel otot polos. Adiponektin juga menghambat ekspresi reseptor kelas A-1 makrofag, yang menyebabkan penurunan ambilan dari LDL yang teroksidasi oleh makrofag dan menghambat pembentukan sel sabun. Penghambatan ini


(28)

diakibatkan oleh kompetisi dari ikatan pada reseptor adiponektin dan penghambatan signal transduksi melalui extracellular signal related kinase

(ERK)30,31,32,33.

Gambar-2. Penekanan proses aterosklerosis yang dilakukan oleh adiponektin (Dikutip dari 33)

Salah satu fungsi utama dari sel-sel endotel adalah untuk menghasilkan NO. Efek yang bermanfaat dari adiponektin terhadap pembuluh darah telah diduga berhubungan dengan meningkatnya pembentukan NO. Pada studi yang dilakukan terhadap efek dari LDL yang teroksidasi pada sel-sel endotel, adiponektin dapat meningkatkan pembentukan NO dengan


(29)

memperbaiki supresi dari aktivitas endothelial NO synthase (eNOS) pada LDL yang teroksidasi 28,34.

2.2.3 Efek anti inflamasi adiponektin

Sejalan dengan efek protektif terhadap penyakit makrovaskular, studi-studi in vitro telah mendapatkan hubungan langsung adiponektin terhadap fungsi vaskular dan sel-sel inflamasi, termasuk menghilangkan efek-efek TNF- yang mengganggu pada fungsi endotel. Efek anti inflamasi adiponektin juga termasuk supresi dari pembentukan koloni leukositik, reduksi dari aktivitas fagosit dan reduksi sekresi TNF- dari makrofag28.

2.3 Peranan adiponektin pada DM tipe 2

Studi sebelumnya menunjukkan rendahnya kadar adiponektin terjadi pada individu yang obese, pasien dengan tanda-tanda resistensi insulin, penderita DM tipe 2. Hubungan secara langsung antara adiponektin dan resistensi insulin pernah dibuktikan (studi hyperinsulinemic euglycemic clamp). Adiponektin berhubungan secara terbalik dengan indeks massa tubuh (IMT), jumlah jaringan lemak, kadar triasilgliserol, uricemia. Dipercaya bahwa resistensi insulin menjadi faktor kunci terhadap patogenesis diabetes mellitus, sehingga pengaruh adiponektin berkaitan secara langsung terjadinya dan perkembangan DM tipe 211.


(30)

Studi lain (Pima Indians) juga menyebutkan dimana populasi yang diteliti dengan angka insiden dan prevalensi DM tipe 2 yang tinggi menunjukkan tingginya kadar adiponektin berhubungan dengan rendahnya resiko DM tipe 2. Selain itu studi yang pernah membandingkan kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2 dengan yang bukan, hasilnya menunjukkan bahwa kadar adiponektin pada DM tipe 2 lebih rendah dibandingkan yang bukan DM tipe 2 dan kadar adiponektin tersebut berhubungan terbalik dengan petanda resistensi insulin11.


(31)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Penelitian bersifat eksperimental.

3.2 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian direncanakan dilakukan mulai bulan September 2010 sampai dengan Januari 2011 di Poliklinik Endokrin dan Metabolik Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

3.3 Subjek penelitian

Penderita DM tipe-2 yang rawat jalan di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.4 Kriteria inklusi

o Usia 18-50 tahun

o Penderita DM tipe 2 yang HbA1C ≥7% yang diterapi dengan insulin dan atau OHO (Obat Hipoglikemik Oral) kecuali golongan thiazolidindione dan glimepiride.

o Bersedia mengikuti penelitian

3.5 Kriteria eksklusi


(32)

o Dengan penyakit penyerta seperti infeksi, keganasan, gangren diabetik, stroke, infark miokard, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, konsumsi obat penghambat reseptor angiotensin, glimepiride, dan golongan thiazolidindione.

3.6 Besar sampel

(Z + Z) x Sd 2 Perkiraan besarnya sampel : n =

d

 = tingkat kemaknaan (ditetapkan peneliti)  = 0,05 Z = 1,96 (nilai dua arah) Sd = perkiraan simpang baku = 2,55

(sumber dari penelitian Daimon dkk tahun 2003)  = power of test (ditetapkan peneliti), 80% Z = 0,842

d = perbedaan klinik ditentukan 2,0 (1,96+0,842) x 2,55 2

n = = 12,763 ≈ 13 2,0


(33)

3.7 Cara kerja

o Seluruh subyek penelitian (penderita diabetes) dimintakan persetujuan secara tertulis tentang kesediaan mengikuti penelitian (informed consent).

o Dilakukan pengambilan data subyek penelitian meliputi : umur, jenis kelamin, kondisi / penyakit penyerta.

o Dilakukan pengukuran vital sign dan pemeriksaan fisik diagnostik.

o Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan : HbA1c dan kadar adiponektin.

o Subyek dengan HbA1C ≥ 7% diberikan terapi pengendalian DM berupa OHO dan atau insulin selama minimal 3 bulan sampai HbA1C nya mengalami penurunan dari sebelumnya.

o Subyek yang HbA1C nya sudah mengalami penurunan dilakukan pemeriksaan adiponektin ulang.

o Kadar adiponektin dibandingkan antara sebelum dan sesudah turunnya HbA1C.

o Prosedur pengambilan dan pengiriman sampel

a) Alat disiapkan berupa : spuit, sarung tangan, dan kapas alkohol.

b) Tempelkan stiker pada setiap spuit dan tuliskan nama pasien serta tanggal pengambilan sampel darah.

c) Pengambilan sampel darah dengan menggunakan plasma EDTA.


(34)

d) Sampel dapat disimpan sampai 24 jam pada suhu 2-8°C, penyimpanan jangka lama (sampai 24 bulan) dapat disimpan pada suhu -20°C.

3.8 Definisi operasional

1. Diagnosis DM Tipe 2 (PERKENI 2006)

a. Keluhan klasik diabetes + KGD sewaktu ≥200 mg/dl atau KGD puasa ≥ 126 mg/dl

b. Dalam 2 masa pemeriksaan : KGD sewaktu ≥ 200 mg/dl atau KGD puasa ≥ 126 mg/dl

2. Terapi pengendalian DM : terapi yang diberikan pada subjek penelitian berupa insulin dan atau OHO. Insulin yang diberikan adalah rapid acting dan atau long acting atau mixed. Sedangkan OHO yang diberikan yaitu golongan sulfonylurea (kecuali glimepiride) dan atau biguanide dan atau α-glucosidase inhibitor.

3. HbA1c : Senyawa yang terbentuk dari ikatan antara glukosa dengan hemoglobin.

4. Adiponektin adalah suatu protein yang spesifik disekresikan oleh adiposit yang berperan pada homeostasis glukosa dan lemak.


(35)

3.9 Analisa data

Semua data diolah dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS 11,5. Untuk mengetahui sebaran data normal digunakan uji One Sample

Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk rerata ± simpangan baku.

Untuk membandingkan kadar HbA1C dan kadar adiponektin antara kelompok DM tipe 2 sebelum dan setelah terapi digunakan uji t berpasangan jika sebaran data normal, tetapi jika sebaran data tidak normal maka digunakan uji Wilcoxon. Untuk mengetahui korelasi kadar HbA1C terhadap kadar adiponektin digunakan uji korelasi pearson bila sebaran data normal, tetapi bila sebaran data tidak normal dipakai uji spearman. Dikatakan bermakna bila p<0,05.

3.10 Ethical clearance dan informed consent

Ethical clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP (K) pada tanggal 23 April 2011 dengan nomor surat 103/KOMET/FK USU/2011.

Informed consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian yang bersedia untuk ikut dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian ini.


(36)

3.11 Kerangka Operasional

Terapi pengendalian DM dan diikuti minimal 3 bulan Pemeriksaan kadar adiponektin

Subyek penelitian penderita DM tipe 2, HbA1C ≥ 7%

Pemeriksaan HbA1c, hasilnya mengalami penurunan

Pemeriksaan kadar adiponektin

Hasil dibandingkan dan data dianalisis Hasil dikorelasikan

dan data dianalisis

∆ penurunan adiponektin


(37)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik dasar subjek penelitian

Sampel yang direkrut sebanyak 17 orang, kemudian diberikan terapi pengendalian DM. Satu orang tidak meneruskan terapi yang diberikan (keluar dari penelitian), dan 2 orang lainnya tidak teratur menggunakan terapi insulin maupun OHO sehingga penurunan HbA1C tidak tercapai. Sampel yang diteliti sebanyak 14 orang dan karakteristik dasar subjek penelitian pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik dasar subjek penelitian

Karakteristik N X ± SD

Jenis kelamin

Laki-laki 7

Perempuan Terapi

Insulin

Insulin + OHO OHO

7

4 5 5

Usia (tahun) 14 43,000 ± 6,656

BB (kg) 14 65,643 ± 11,962

TB (m) 14 1,577 ± 0,106

IMT (kg/m2) 14 26,629 ± 5,549

LP (cm) 14 88,000 ± 8,448

TDS (mmHg) 14 129,285 ± 18,590

TDD (mmHg) 14 82,857 ± 12,666

Keterangan : BB (Berat Badan), TB (Tinggi Badan), IMT (Indeks Massa Tubuh), LP (Lingkar Pinggang), TDS (Tekanan Darah Sistol), TDD (Tekanan Darah Diastol)


(38)

4.2 Perbandingan kadar HbA1C dan adiponektin sebelum dan setelah terapi Untuk membandingkan rerata kadar HbA1C dan adiponektin sebelum dan setelah terapi pada sampel yang diteliti menggunakan uji t berpasangan. Pada seluruh subjek penelitian rerata kadar HbA1C sebelum dan setelah terapi terdapat penurunan yang cukup bermakna (10,792 ± 2,696 vs 8,328 ± 1,741, p = 0,001), demikian halnya bila dibandingkan berdasarkan jenis kelamin, masing-masing rerata kadar HbA1C pada subjek wanita dan pria sebelum dan setelah terapi dijumpai penurunan yang bermakna (9,985 ± 2,055 vs 8,714 ± 2,037, p = 0,045 dan 11,600 ± 3,162 vs 7,942 ± 1,439, p = 0,005) . Bila dibagi berdasarkan kelompok terapi, rerata penurunan HbA1C antara sebelum dan setelah terapi pada subjek yang diterapi dengan insulin saja atau insulin plus OHO atau OHO saja dijumpai penurunan yang secara statistik tidak bermakna (12,825 ± 3,247 vs 9,175 ± 0505, p = 0,095; atau 11,080 ± 1,766 vs 9,360 ± 1,934, p = 0,067; atau 8,880 ± 1,944 vs 6,620 ± 0,476, p = 0,058). Pada subjek yang mengalami penurunan HbA1C < 7% (terkendali baik) setelah terapi, bila dibandingkan HbA1C sebelum dan setelah terapi terlihat mengalami penurunan yang secara statistik tidak bermakna (8,320 ± 1,588 vs 6,480 ± 0,294, p = 0,081), sementara pada subjek lainnya yang penurunan HbA1C setelah terapi tidak sampai terkendali baik (HbA1C ≥ 7%), perbandingan kadar HbA1C sebelum dan setelah terapi mengalami penurunan bermakna (12,166 ± 2,145 vs 9,355 ± 1,250, p = 0,007) (tabel 2).

Untuk rerata kadar adiponektin sebelum dan setelah terapi (turunnya HbA1C) menunjukkan peningkatan yang bermakna (2,112 ± 0,573 vs 2,584 ±


(39)

1,014, p = 0,012). Bila dibandingkan berdasarkan jenis kelamin, pada subjek wanita, rerata kadar adiponektin sebelum dan setelah turunnya HbA1C dijumpai peningkatan secara bermakna (2,197 ± 0,553 vs 2,975 ± 1,213, p= 0,031). Sementara pada subjek pria, rerata kadar adiponektin sebelum dan setelah turunnya HbA1C dijumpai peningkatan tetapi secara statistik tidak bermakna (2,028 ± 0,623 vs 2,192 ± 0,632, p = 0,069). Bila dibandingkan berdasarkan kelompok terapi yaitu insulin, insulin plus OHO ataupun OHO saja, rerata kadar adiponektin sebelum dan setelah HbA1C turun menunjukkan peningkatan yang secara statistik tidak bermakna (2,252 ± 0,594 vs 3,117 ± 1,582, p = 0,179; 2,408 ± 0,530 vs 2,616 ± 0,596, p = 0,128; 1,706 ± 0,432 vs 2,126 ± 0,750, p = 0,073). Pada subjek yang HbA1C setelah terapi < 7% (terkendali baik), rerata kadar adiponektin sebelum dan setelah turunnya HbA1C menunjukkan peningkatan secara bermakna (1,754 ± 0,412 vs 2,198 ± 0,676, p = 0,048), sementara pada subjek HbA1C setelah terapi ≥ 7% (tidak terkendali baik), rerata kadar adiponektin sebelum dan setelah terapi menunjukkan peningkatan yang secara statistik tidak bermakna (2,312 ± 0,569 vs 2,798 ± 1,139, p = 0,08) (tabel 3).


(40)

Tabel 2. Perbandingan HbA1C pre dan post terapi (a)

Pre Post Data n

X ± SD X ± SD p

HbA1C seluruh subjek 14 10,792 ± 2,696 8,328 ± 1,741 0,001** HbA1C wanita 7 9,985 ± 2,055 8,714 ± 2,037 0,045* HbA1C pria 7 11,600 ± 3,162 7,942 ± 1,439 0,005** HbA1C (I) 4 12,825 ± 3,247 9,175 ± 0,505 0,095 HbA1C (I+OHO) 5 11,080 ± 1,766 9,360 ± 1,934 0,067 HbA1C (OHO) 5 8,880 ± 1,944 6,620 ± 0,476 0,058 HbA1C post terapi < 7%

(terkendali baik)

5 8,320 ± 1,588 6,480 ± 0,294 0,081

HbA1C post terapi ≥ 7% (tidak terkendali baik)

9 12,166 ± 2,145 9,355 ± 1,250 0,007**

Keterangan : I (Insulin), OHO (Obat Hipoglikemik Oral)

(a) uji t berpasangan, * bermakna, p<0,05, **bermakna, p<0,01

Tabel 3. Perbandingan Adiponektin pre dan post terapi (a)

Pre Post Data n

X ± SD X ± SD p

Adipo seluruh subjek 14 2,112 ± 0,573 2,584 ± 1,014 0,012* Adipo wanita 7 2,197 ± 0,553 2,975 ± 1,213 0,031* Adipo pria 7 2,028 ± 0,623 2,192 ± 0,632 0,069 Adipo (I) 4 2,252 ± 0,594 3,117 ± 1,582 0,179 Adipo (I+OHO) 5 2,408 ± 0,530 2,616 ± 0,596 0,128 Adipo (OHO) 5 1,706 ± 0,432 2,126 ± 0,750 0,073 Adipo (terkendali baik) 5 1,754 ± 0,412 2,198 ± 0,676 0,048* Adipo (tidak terkendali baik) 9 2,312 ± 0,569 2,798 ± 1,139 0,080

Keterangan : Adipo : Adiponektin, I (Insulin), OHO (Obat Hipoglikemik Oral) (a) uji t berpasangan, * bermakna, p<0,05


(41)

4.3 Korelasi penurunan kadar HbA1C terhadap kadar adiponektin

Dilakukan uji korelasi pearson antara penurunan kadar HbA1C terhadap perubahan kadar adiponektin pada sampel yang diteliti. Pada seluruh subjek penelitian, tidak dijumpai korelasi bermakna antara penurunan kadar HbA1C terhadap perubahan kadar adiponektin (r = 0,157, p = 0,592). Bila dibagi berdasarkan jenis kelamin, penurunan kadar HbA1C terhadap perubahan kadar adiponektin pada subjek wanita maupun pria juga tidak menunjukkan korelasi yang bermakna (r = -0,102, p = 0,828; r = -0,711 p = 0,073). Sementara bila dibagi berdasarkan kelompok terapi insulin, insulin plus OHO dan OHO saja, korelasi antara penurunan kadar HbA1C terhadap perubahan kadar adiponektin pada masing-masing kelompok tersebut tidak dijumpai korelasi yang bermakna (r = 0,301, p = 0,699; r = 0,767, p = 0,130; dan r = 0,569, p = 0,317). Pada subjek yang mengalami penurunan HbA1C sampai terkendali baik (HbA1C post terapi < 7%), korelasi penurunan kadar HbA1C terhadap kadar adiponektin juga tidak menunjukkan korelasi yang bermakna (r = 0,275, p = 0,655), demikian halnya pada subjek yang penurunan HbA1C nya tidak terkendali baik (HbA1C post


(42)

Tabel 3. Korelasi penurunan kadar HbA1C terhadap kadar adiponektin (b)

∆ Adiponektin

n R P

∆ HbA1C seluruh subjek 14 0,157 0,592

∆ HbA1C wanita 7 -0,102 0,828

∆ HbA1C pria 7 -0,711 0,073

∆ HbA1C (I) 4 0,301 0,905

∆ HbA1C (I+OHO) 5 0,767 0,130

∆ HbA1C (OHO) 5 0,569 0,317

∆ HbA1C (terkendali baik) 5 0,275 0,655

∆ HbA1C (tidak terkendali baik) 9 0,153 0,695


(43)

BAB V PEMBAHASAN

DM merupakan salah satu penyakit yang underdiagnosed, sering asimtomatik pada tahap awal sehingga dapat tidak terdeteksi pada beberapa tahun pertama, akibatnya seringkali komplikasi DM sudah dimulai sejak dini sebelum diagnosis ditegakkan. Sekitar 30% penyandang diabetes sering tidak menyadari penyakitnya, dan diperkirakan 25% dari jumlah tersebut sudah mengalami komplikasi mikrovaskular saat diagnosis ditegakkan. Rata-rata keterlambatan waktu sejak onset hingga diagnosis ditegakkan diperkirakan 7 tahun. Pemeriksaan HbA1C lebih banyak dikenal dalam menilai kualitas pengendalian glikemik jangka panjang, menilai efektifitas suatu terapi, di samping itu juga studi terbaru menunjukkan manfaatnya semakin luas sebagai alat untuk skrining dan diagnosis DM tipe 2 serta digunakan juga dalam menghitung estimated average glucose (EAG)35-40.

Penatalaksanaan diabetes meliputi tatalaksana non farmakologis (yang meliputi perencanaan makanan dan kegiatan jasmani), dan tatalaksana farmakologis41,42. Penatalaksanaan tersebut bertujuan dapat mengendalikan kadar glukosa darah seperti yang diharapkan. Efek jangka pendek yang diharapkan dari tatalaksana tersebut yaitu dapat menghilangkan keluhan atau gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat, sedangkan jangka panjang yaitu mencegah penyulit baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortalitas DM42.


(44)

Pemantauan status metabolik penyandang DM merupakan hal yang penting dan sebagai bagian dari pengelolaan DM. Hasil pemantauan tersebut digunakan untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai pegangan penyesuaian diet, latihan jasmani, dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa darah senormal mungkin, terhindar dari keadaan hiperglikema ataupun hipoglikemia. Untuk mengetahui status metabolik penyandang DM dapat dinilai dengan beberapa parameter, salah satunya adalah kadar hemoglobin glikat9.

Pada penelitian ini terdapat penurunan yang bermakna kadar HbA1C antara sebelum dengan sesudah terapi pada seluruh subjek yang diteliti, pada jenis kelamin wanita, pria, dan subjek yang HbA1C sesudah terapi ≥ 7% (10,792 ± 2,696 vs 8,328 ± 1,741, p = 0,001; 9,985 ± 2,055 vs 8,714 ± 2,037, p = 0,045; 11,600 ± 3,162 vs 7,942 ± 1,439, p = 0,005; dan 12,166 ± 2,145 vs 9,355 ± 1,250, p=0,007). Sementara bila subjek dikelompokkan berdasarkan terapi dengan insulin, insulin plus OHO, OHO saja, dan subjek yang HbA1C sesudah terapi < 7%, maka kadar HbA1C sebelum dan sesudah terapi mengalami penurunan tetapi secara statistik tidak bermakna (12,825 ± 3,247 vs 9,175 ± 0,505, p=0,095; 11,080 ± 1,766 vs 9,360 ± 1,934; p=0,067; 8,880 ± 1,944 vs 6,620 ± 0,476, p=0,058; dan 8,320 ± 1,588 vs 6,480 ± 0,294, p = 0,081). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa jauhnya penurunan atau perubahan kadar HbA1C pada penderita yang diberikan terapi anti diabetik dikaitkan dengan tingginya kadar HbA1C pada saat awal sebelum diberikan terapi43. Penurunan kadar HbA1C ini sangat diharapkan bagi penyandang DM oleh karena setiap penurunan 1% HbA1C akan menurunkan resiko komplikasi sebesar 35%9. Pada


(45)

sampel yang diteliti dikelompokkan berdasarkan obat yang diberikan maupun pada kelompok subjek yang HbA1C sesudah terapi < 7% (terkendali baik) maka penurunan HbA1C antara sebelum dan setelah terapi menjadi tidak bermakna, mungkin hal tersebut disebabkan oleh sampel yang diteliti menjadi lebih sedikit oleh karena pengelompokan tersebut.

Penelitian ini juga menilai rerata kadar adiponektin antara sebelum dan sesudah turunnya HbA1C. Terlihat bahwa terdapat peningkatan yang bermakna kadar adiponektin setelah turunnya HbA1C dibandingkan HbA1C pada saat awal penelitian pada seluruh subjek yang diteliti (2,112 ± 0,573 vs 2,584 ± 1,014, p = 0,012), demikian halnya dengan kelompok wanita saja maupun pada subjek yang HbA1C sesudah terapi menjadi terkendali baik (<7%), rerata kadar adiponektin juga meningkat secara bermakna (2,197 ± 0,553 vs 2,975 ± 1,213, p = 0,031 dan 1,754 ± 0,412 vs 2,198 ± 0,676, p = 0,048). Penelitian sebelumnya yang mendukung penelitian ini, studi observasional yang dilakukan oleh David Stejskal dkk tahun 2003 membandingkan kadar adiponektin/IMT pada penderita DM tipe 2, ternyata pada DM tipe 2 yang terkendali baik lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak terkendali (rata-rata adiponektin/IMT adalah 9,7 vs 6,7, p< 0.01)11. Penelitian lainnya yang mendukung yaitu penelitian kasus kontrol oleh Zahra Farahnak dkk tahun 2007 yang membandingkan kadar adiponektin pada DM tipe 2 yang terkendali dibandingkan tidak terkendali (HbA1C : 7,09 ± 0,58 vs 8,88 ± 0,64, p < 0,001), ternyata kadar adiponektin pada DM tipe 2 yang terkendali lebih tinggi dibandingkan tidak terkendali, walaupun hal ini tidak bermakna (Adiponektin : 6,98 ± 3,42 vs 6,17 ± 3,6, p > 0,05)44. Peningkatan


(46)

kadar adiponektin pada penelitian ini kemungkinan berkaitan dengan adanya perbaikan status metabolik seperti penurunan HbA1C, sehingga keadaan inflamasi yang disebabkan hiperglikemia akan berkurang, dan kadar adiponektin menjadi meningkat. Diketahui bahwa adanya hiperglikemia dapat menyebabkan produksi ROS (reactive oxygen species) yang merupakan hasil respirasi dari mitokondria. Hal tersebut akan mencetuskan suatu kaskade proinflamasi yang merangsang beberapa sitokin, diantaranya interleukin (IL)-613. Inflamasi berkorelasi negatif terhadap kadar adiponektin45,46,47. Sementara pada subjek yang penurunan HbA1C nya belum mencapai kendali baik (HbA1C setelah terapi

≥ 7%), rerata kadar adiponektin sebelum dan setelah penurunan HbA1C juga mengalami peningkatan tetapi secara statistik tidak bermakna (2,312 ± 0,569 vs 2,798 ± 1,139, p=0,080). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena walaupun status metabolik sudah mengalami perbaikan tetapi belum mencapai kendali yang baik (HbA1C ≥ 7%). Demikian halnya pada subjek pria, menunjukkan peningkatan kadar adiponektin yang secara statistik tidak bermakna (2,028 ± 0,623 vs 2,192 ± 2,632, p = 0,069) dan rerata kadar adiponektin pada pria lebih rendah dibandingkan wanita baik sebelum maupun setelah penurunan HbA1C kemungkinan disebabkan oleh adanya pengaruh androgen terhadap kadar adiponektin. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa androgen menyebabkan hipoadiponektinemia yang berkaitan dengan resiko tinggi resistensi insulin dan aterosklerosis pada pria13,48,49. Pada subjek yang dibagi berdasarkan terapi insulin, insulin plus OHO dan OHO saja juga menunjukkan peningkatan kadar adiponektin dibandingkan sebelumnya tetapi hal tersebut secara statistik tidak


(47)

bermakna (2,252 ± 0,594 vs 3,117 ± 1,582, p = 0,179; 2,408 ± 0,530 vs 2,616 ± 0,596, p = 0,128; dan 1,706 ± 0,432 vs 2,126 ± 0,750, p = 0,073). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sampel yang menjadi lebih sedikit karena pengelompokan tersebut.

Uji korelasi yang dilakukan untuk menilai penurunan kadar HbA1C dengan perubahan kadar adiponektin pada seluruh subjek yang diteliti menunjukkan korelasi yang tidak bermakna (r = 0,223, p = 0,464), demikian halnya dengan subjek yang masing-masing dikelompokkan berdasarkan terapi insulin atau insulin plus OHO atau OHO saja (r = 0,149, p = 0,905; atau r = 0,767, p = 0,130; atau r = 0,569, p = 0,317). Pada sampel yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, baik wanita maupun pria juga tidak dijumpai korelasi yang bermakna (r = -0,102, p = 0,828 dan r = -0,711, p = 0,073) . Begitu pula pada sampel yang dikelompokkan berdasarkan penurunan HbA1C terkendali baik (HbA1C setelah terapi < 7%) dan tidak terkendali baik (HbA1C setelah terapi ≥ 7%) (r = 0,275, p = 0,655 dan r = 0,153, p = 0,695) . Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang bertentangan, dimana sebagian peneliti menyatakan kadar HbA1C berkorelasi negatif dengan kadar adiponektin11,46,47,50,51,52. Sementara beberapa penelitian lainnya sejalan dengan penelitian ini seperti yang dilakukan oleh Jonathan Krakoff tahun 2003 dalam studi kasus kontrolnya menyebutkan tidak dijumpai korelasi bermakna kadar HbA1C terhadap kadar adiponektin (r = 0,01, p > 0,05)45 begitu pula penelitian prospektif yang dilakukan oleh Edoardo Manucci dkk tahun 2003 menyatakan bahwa kadar adiponektin tidak berkorelasi terhadap HbA1C pada saat awal penelitian demikian halnya


(48)

selama pengamatan prospektif bahwa variasi kadar adiponektin juga tidak berkorelasi terhadap variasi kadar HbA1C53. Hasil yang sejalan juga diungkapkan oleh J.A. Wagner dkk tahun 2009, menyatakan bahwa tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara perubahan HbA1C terhadap perubahan kadar adiponektin (dari sebelum dan sesudah terapi) pada subjek yang diterapi dengan anti diabetik non PPAR-γ (r = -0,07, p > 0,05) tetapi sebaliknya dengan terapi anti diabetik PPAR-γ, korelasi kadar HbA1C tersebut terhadap kadar adiponektin menjadi bermakna (r = (-0,08, p < 0,05). Pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi yang bermakna penurunan HbA1C terhadap perubahan kadar adiponektin kemungkinan berkaitan dengan jumlah sampel yang relatif sedikit selain itu terapi yang diberikan merupakan anti diabetik non PPAR-γ dan atau pemberian insulin. Diketahui bahwa anti diabetik PPAR-γ memiliki peranan dalam memperbaiki sensitivitas insulin sehingga hal tersebut menyebabkan peningkatan kadar adiponektin 13,43.

Adapun yang menjadi keterbatasan penelitian ini adalah jumlah sampel yang relatif sedikit dan tidak dilakukannya pemeriksaan penanda inflamasi (CRP) karena keterbatasan dana.


(49)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat diajukan kesimpulan sebagai berikut :

1. T erdapat peningkatan bermakna kadar adiponektin antara sebelum dengan setelah penurunan HbA1C.

2. T idak terdapat korelasi yang bermakna antara penurunan kadar HbA1C dengan perubahan kadar adiponektin.

6.2 SARAN

1. S ebaiknya dilakukan penelitian serupa dengan dengan jumlah sampel yang lebih besar.

2. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang mirip dengan penelitian ini tetapi seluruh subjek yang diteliti dengan target penurunan HbA1C sampai terkendali baik.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soegondo S. Diagnosis dan Kalsifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam Soegondo S dkk (eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit FKUI. Jakarta. 2005.

2. Suyono S. Patofisiologi Diabetes Mellitus. Dalam Soegondo S dkk (eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit FKUI. Jakarta. 2005.

3. Koenig W, Khuseyinova N, Baumert J, et al. Serum Concentrations of Adiponectin and Risk of Type 2 Diabetes Mellitus and Coronary Heart Disease in Apparently Healthy Middle-Aged Men : Results From the 18 year follow up of a Large Cohort From Southern Germany. Journal of American College of Cardiology 2006; 48:1369-77.

4. Haffner SM, Lehto S, Ronneemaa T, Pyorala K, Laakso M. Mortality from coronary heart disease in subjects with Type 2 diabetes and in nondiabetic subjects with and without prior myocardial infarction. N Engl J Med. 1998 ; 339; 229-34.

5. Shahab A. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam Sudoyo AW, dkk (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2009.


(51)

6. Sharpless JL. Polycystic Ovary Syndrome and the Metabolic Syndrome. Clinical Diabetes 2003;21:154-7.

7. Fard A, Tuck CH, Donis JA, et al. Acute Elevations of Plasma Asymmetric Dimethylarginine and Impaired Diabetes Endothelial Function in Response to a High-Fat Meal in Patients with Type 2. Arterioscler Thromb Vasc Biol.2000; 20; 2039-44.

8. Williams SB, Goldfine AB, Timimi FK, et al. Acute hyperglycemia attenuates endothelium-dependent vasodilation in humans in vivo. Circulation.1998; 97:1695-1701.

9. Soewondo P. Pemantauan Pengendalian Diabetes Mellitus. Dalam Soegondo S dkk (eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit FKUI. Jakarta. 2005.

10. Aqil S, Jaleel A, Jaleel F, Basir F. Comparison of Adiponectin in Ischemic Heart Disease Versus Ischemic Stroke in Diabetic Patients. World Applied Science journal 2008; 3: 759-62.

11. Stejskal D, Ruzieka V, Adamovska S, et al. Adiponectin Concentration as a Criterion of Metabolic Control in Persons with type 2 Diabetes Mellitus?. Biomed Papers 2003;147(2):167-72.

12. Duncan BB, Schmidt MI, Pankow JS, et al. Adiponectin and the Development of Type 2 Diabetes, The Atherosclerosis Risk in Communities Study.Diabetes 2004; 53: 2473-78.

13. Scherer PE. Adipose Tissue, From Lipid Storage Compartment to Endocrine Organ. Diabetes 2005; 55: 1537-45.


(52)

14. Lau DCW, Dhillon B, Yan H, Szmitko PE, Verma S. Adipokines : Molecular Links between Obesity and Atherosclerosis. Am J Physiol Heart Circ Physiol 2005; 288 : H2031-H2041.

15. Ouchi NS, Kihara Y, Arita K, Maeda H, Kuriyama Y, Okamoto K, et al. Novel Modulator for Endothelial Adhesion Molecules : Adipocyte-derived plasma protein, adiponectin. Circulation. 1999; 100; 2473-2476.

16. Daimon M, Oizumi T, Saitoh T, et al. Decreased Serum Levels of Adiponectin are a Risk Factor for the Progression to Type 2 Diabetes in the Japanese Population. Diabetes Care 2003;26:2015-20

17. Nakashima R, Kamei N, Yamane K, et al. Decrease Total and High Molecular Weight Adiponectin are Independent Risk Factors for the Development o0f Type 2 Diabetes in Japanese – Americans. J Clin Endocrinol Metab 2006;91:3873-7

18. Hotta K, Funahashi T, Arita Y, et al. Plasma Concentrations of a Novel, Adipose-Specific Protein, Adiponectin, in Type 2 Diabetic Patients. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2000;20:1595-9.

19. Sungkar MA. Hubungan Antara Pengendalian Metabolik dan Komplikasi Kronik Diabetes Tipe 2 pada Penyakit Kardiovaskular. Dalam Darmono, dkk (eds), Naskah Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit Dalam. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2007. 257-65.

20. Gallagher EJ, Roith D, Bloomgarden Z. Review of hemoglobin A1C in the management of diabetes. Journal of diabetes 2009 ; 1 : 9-17.


(53)

21. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006. PB PERKENI. Jakarta. 2006.

22. Report of the expert committee on the diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care. 2003; 26 Suppl 1: S5-20.

23. Pischon T, Rimm EB. Adiponectin : A Promising Marker for Cardiovascular Disease. Clin Chem 2006 ; 52 : 797-799.

24. Meier U, Gressner M. Endocrine Regulation of Energi Metabolism : Review of Pathobiochemical and Clinical Chemical Aspects of Leptin, Ghrelin, Adipnectin, and Resistin. Clin Chem 2004; 50: 1511-1525.

25. Xu Dan-yan, Zhao Shui-Ping, Huang Qiu-xia, Du wei, Liu Yu-hua, Liu Ling, Xie Xiao-mei. Effects of Glimepiride on metabolic parameters and cardiovascular risk factors in patients with newly diagnosed type 2 diabetes mellitus. Diabetes Research and Clinical Practice. 2010; 88 : 71-75.

26. Pscherer S, Heemann U, Frank H. Effect of Renin-Angiotensin System Blockade on Insulin Resistance and Inflammatory Parameters in Patients with Impaired Glucose Tolerance. Diabetes Care. 2010; 33 : 914-919. 27. Matsubara M. Plasma Adiponectin Decrease in Women with Nonalcoholic

Fatty Liver. Endocrine Journal 2004;51:587-93

28. Goldstein BJ, Scalia R. Adiponectin: A Novel Adipokine Linking Adipocytes and Vaskuler Funtion. J Clin Endocrinol Metab 2004; 89(6):2563-8


(54)

29. Matsuzawa Y, Funahashi T, Kihara S, Shimomura I. Adiponectin and Metabolic Syndrome. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004;24:29-33.

30. Arita Y, Kihara S, Ouchi N, et al. Adipocyte-Derived Plasma Protein Adiponectin Acts as a Platelet-Derived Growth Factor-BB-Binding Protein and Regulates Growth Factor-Induced Common Post Receptor Signal in Vaskuler Smooth Muscle Cell. Circulation 2002;105:2893-8.

31. Ouchi N, Kihara S, Anita Y. Adiponectin, an Adipocyte-Derived Plasma Protein, Inhibits Endothelial NF-kB Signaling a cAMP-Dependent Pathway. Circulation 2000;102:1296-301

32. Ouchi N, Kihara S, Anita Y, et al. Novel Modulator for Endothelial Adhesion Molecules. Circulation 1999;100:2473-6

33. Kadowaki T, Yamauchi T. Adiponectin and Adiponectin Receptors. Endocrine Reviews 2005;26:439-51

34. Motoshima H, Wu X, Mahadev K, Goldstein BJ. Adiponectin suppresses proliferation and super oxide generation and enhances eNOS activity in endothelial cells treated with oxidized LDL. Biochem Biophys Res Commun 2004;315:264-271.

35. Bennet CM, Guo M, Dharmage SC. HbA1C as a screening tool for detection of type 2 diabetes : a systematic review. Diabetic Medicine 2007; 24 : 333-343.

36. Buell C, Kermah D, Davidson. Utility of A1C for diabetes screening in the 1999-2004 NHANES Population. Diabetes Care 2007; 30 : 2233-2235


(55)

37. Selvin E, Steffes MW, Matshushita K, Wagenknecht L, Pankow J, Coresh J, Brancati FL. Glycated Hemoglobin, Diabetes, and Cardiovascular risk in nondiabetic adults. N Engl J Med 2010; 362 : 800-811.

38. Little RR, Sacks DB. HbA1C : how do we measure it and what does it mean? Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes 2009; 16 : 113-118.

39. Kramer CK, Araneta MR, Barret-Connor E. A1C and diabetes diagnosis : the rancho bernardo study. Diabetes Care 2010; 33 : 101-103.

40. Bruns DE, Boyd JC. Few point of care hemoglobin A1C assay methods meet clinical needs. Clinical Chemistry 2010; 56 (1) : 4-6.

41. Yunir E, Soebardi S. Terapi non farmakologis pada diabetes mellitus. Dalam Sudoyo AW, dkk (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2009.

42. Waspadji S. Diabetes Mellitus : Mekanisme dasar dan pengelolaannya yang rasional. Dalam Soegondo S dkk (eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit FKUI. Jakarta. 2005.

43. Wagner JA, Wright EC, Ennis MM, Prince M, Kochan J, Nunez DJR, et al. Utility of Adiponectine as a Biomarker Predictive of Glycemic Efficacy is Demonstrated by Collaborative Pooling of Data From Clinical Trials Conducted by Multiple Sponsors. Clinical Pharmacology and Theraupetics. 2009.


(56)

44. Fahranak Z, Djalil M, Hosseinzadeh MJ, Eshragheian MR. Comparing Serum Leptin and Adiponectin Levels in Controlled and Non-controlled type 2 Diabetes. ARYA Atherosclerosis Journal 2007; 3; 135-138.

45. Krakoff J, Funahashi T, Stehouwer CDA, Schalwijk CG, Tanaka S, Matsuzawa Y. Inflammatory markers, adiponectin, and risk of type 2 diabetes in the Pima Indian. Diabetes Care; 26; 6 : 1745-1751.

46. Pischon T, Girman CJ, Hotamisligil GS, Rifai N, Hu FB, Rimm EB. Plasma adiponectin levels and risk of myocardial infarction in men. JAMA, 2004; 291, 14; 1730-1737.

47. Schulze MB, Rimm EB, Shai I, Rifai N, Hu FB. Relationship between adiponectin and glycemic control, blood lipids, and inflammatory markers in men with type 2 diabetes. Diabetes Care 2004; 27; 1680-1687.

48. Nishizawa H, Shimomura I, Kishida K, Maeda N, Kuriyama H, Nagaretani H, et al. Androgens decrease plasma adiponectin, an insulin-sensitizing adipocyte-derived protein. Diabetes, 2002; 51 : 2734-2741.

49. Kim M-J, Yoo K-H, Park H-S, Chung S-M, Jin C-J, Lee Y. Plasma adiponectin and insulin resistance in Korean type 2 diabetes mellitus.Yonsei Med J, 2005; 46 : 42-50.

50. Zurawska-Klis M, Kasznicki J, Kosmalski M, Smigielski J, Drzewoski J. Adiponectin plasma concentration, type 2 diabetes mellitus, cardiovascular diseases and features of metabolic syndrome. Diabetologia Doswiadczalna I Kliniczna 2009; 9; 2; 81-87.


(57)

51. Fernandez-Real JM, Botas-Cervero P, Lopez-Bermano A, Casamitjana R, Funahashi T, Delgado E, et al. Adiponectin is independently associated with glycosilated haemoglobin. European journal of endocrinology, 2004; 150; 201-205.

52. Tabak AG, Brunner EJ, Miller MA, Karanam S, McTernan PG, Capuccio FP, et al. Low serum adiponectin predicts 10-year risk of type 2 diabetes and HbA1C independently of obesity, lipids and inflammation-Whitehall II study. Horm Metab Res, 2009; 41 (8); 626-629.

53. Manucci E, Ognibene A, Crenasco F, et al. Plasma adiponectin and hyperglycaemia in diabetic patients. Clin Chem Lab Med 2003; 41 : 1131-1135.


(58)

LAMPIRAN 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN

Selamat pagi/siang Saudara/Saudari, pada hari ini, saya, Dr Heny Syahrini, akan melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Penurunan HbA1C Terhadap Kadar Adiponektin Pada Penderita DM Tipe 2”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar adiponektin sebelum dan setelah dilakukan terapi untuk menurunkan HbA1C serta menilai korelasi kadar adiponektin terhadap penurunan kadar HbA1C tersebut. Kadar adiponektin diketahui memiliki efek untuk membuat insulin menjadi lebih sensitif dan diharapkan kendali terhadap gula darah menjadi lebih baik, selain itu juga berfungsi untuk melindungi pembuluh darah dari kekakuan (aterosklerosis), dan sebagai anti peradangan. Perlunya dilakukan terapi adalah untuk mengendalikan gula darah dan hal tersebut merupakan salah satu cara dalam memperbaiki status metabolik. Pengendalian gula darah tersebut dapat diketahui melalui pemeriksaan HbA1C. Adanya pengendalian gula darah diharapkan dapat meningkatkan kadar adiponektin.

Saudara/Saudari, saat ini kami akan melakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar HbA1C dan kadar adiponektin yang pertama, kemudian saudara/saudari akan diberikan terapi pengendalian DM selama 3 bulan, dan setelah itu akan dilakukan kembali pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar HbA1C dan kadar adiponektin ulang.

Hasil kadar HbA1C yang mengalami penurunan setelah terapi 3 bulan, maka kadar adiponektin diperiksa dan dibandingkan sebelum dan setelah


(59)

penurunan HbA1C, selanjutnya penurunan kadar HbA1C tersebut dikorelasikan dengan perubahan kadar adiponektin, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

Bila ada pertanyaan, maka Saudara/Saudari dapat menghubungi saya . Nama : Dr. Heny Syahrini

Alamat : Jl. Suka Amal no 7, STM Ujung, Medan.

No. Telp : 081361220202 atau 061-76333397

Peneliti,


(60)

LAMPIRAN 2

INFORMED CONSENT UNTUK PENELITIAN PENGARUH PENURUNAN HbA1C TERHADAP KADAR ADIPONEKTIN

PADA PENDERITA DM TIPE 2

============================================================= Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Alamat : ... Umur : ... Jenis Kelamin : ... Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang kebaikan dan keburukan prosedur penelitian ini, menyatakan bersedia untuk ikut dalam penelitian tentang pengaruh penurunan kadar HbA1C terhadap kadar adiponektin pada penderita DM tipe 2.

Demikianlah surat pernyataan bersedia ikut dalam penelitian ini saya buat untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan,... 2010

(...)


(61)

LAMPIRAN 3


(62)

LAMPIRAN 4


(63)

LAMPIRAN 5

PROFIL PESERTA PENELITIAN I. Anamnesa pribadi

Nama :

Jenis Kelamin : Tanggal Lahir :

Alamat :

No telp/HP :

MR :

Riwayat penyakit :

II. Pemeriksaan

Berat badan I : kg

Berat badan II : kg

Tinggi badan : m

Lingkar pinggang I : cm Lingkar pinggang II : cm

Tekanan darah I : mmHg

Tekanan darah II : mmHg

EKG :

Ureum : mg/dL

Kreatinin : mg/dL


(64)

SGPT : U/L

HbA1C I : %

HbA1C II : %

Adiponektin I : µg/mL


(65)

LAMPIRAN 6

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I.DATA PRIBADI

Nama : Dr. Heny Syahrini

Tempat/tanggal lahir : Aek Nabara, 27 januari 1980

Status : Peserta PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam FK USU Alamat : Jl.Suka Amal no 7-STM Ujung, Medan

Telp/HP : 081361220202

II.RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Swasta Harapan 1 Medan Ijazah 1991 2. SMP Swasta Harapan 1 Medan Ijazah 1994

3. SMA Negeri 1 Medan Ijazah 1997

4. FK Universitas Brawijaya Ijazah 2004 5. PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam FK USU Juli 2004 – sekarang

III.KEANGGOTAAN PROFESI 1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

2. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)

IV.KARYA ILMIAH DI DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM

1. Heny Syahrini, Refli Hasan, Harris Hasan. Pericardiosentesis on cardiac tamponade. 11th National Congress of Indonesian Heart Association


(66)

2. Heny Sayhrini, Abdurrahim Rasyid Lubis. Gagal Ginjal Akut setelah Konsumsi Jamur Kuping (laporan kasus). Kongres Nasional PAPDI XIII. Palembang 5-9 Juli 2006.

V.PARTIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Peserta Simposium Infection Update I 2004, Medan 24 Juli 2004

2. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VI Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU. Medan 3-5 Maret 2005.

3. Peserta Simposium Infection Update II 2005, Medan 13 Agustus 2005. 4. Peserta Simposium Hypertension and Diabetes Bagian Ilmu Penyakit

Dalam FK USU. Medan 28 Agustus 2005.

5. Peserta dan pembicara 11th National Congress of Indonesian Heart Association, 15th Annual Scientific Meeting of the Indonesian Heart Association, Medan 19-22 April 2006.

6. Peserta Pelatihan Dasar Edukator Diabetes ke-2, Medan 17-18 Juni 2006.

7. Peserta dan pembicara 7th National Congress of PERKENI, The Indonesian Society of Endocrinology. Malang 30 Juni-2 Juli 2006.

8. Peserta Insulin Short Course, 13th National Congress of the Indonesian Society of Internal Medicine (KOPAPDI XIII), Palembang 5 Juli 2006.


(67)

9. Peserta dan pembicara 13th National Congress of the Indonesian Society of Internal Medicine (KOPAPDI XIII), Palembang 6-9 Juli 2006. 10. Peserta Kongres Nasional PETRI XII, PERPARI VIII, PKWI IX,

Simposium Infections Update III 2006 PETRI-PERPARI-PKWI Cabang SUMUT. Medan, 28-29 Juli 2006.

11. Peserta Gastroentero-Hepatologi Update IV 2006, Medan 8-9 September 2006.

12. Peserta DHF Course II “Meningkatkan Kepedulian Masyarakat Terhadap Demam Berdarah Dengue”, Medan 24 Februari 2007.

13. Peserta dan Panitia Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VIII 2007 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 8-10 Maret 2007.

14. Pesrta simposium Current issuees : Urinary tract stone, prostate and overactive bladder, Medan 3 Maret 2007.

15. Peserta Road Show PAPDI 2007 Which Anti Hypertension’s giving the smart solution for asian, Hotel Tiara Medan 14 April 2007.

16. Peserta Pelatihan Penatalaksanaan Diabetes Melitus bagi Dokter Spesialis Penyakit Dalam , Medan 24-27 Mei 2007.

17. Peserta simposium “Current Issues in the Management of Gastritis and Gastropathy”, Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam/FK USU, Medan 9 Juni 2007.

18. Peserta pada The 4th New Trend in Cardiovascular Management Theme From Infant to Adult, Medan 15 -16 Juni 2007.


(68)

19. Peserta Simposium IDI “Peranan Vitamin dan Mikronutrien dalam Meningkatkan Kekebalan Tubuh”, Medan 03 november 2007.

20. Peserta Workshop dan Simposium Gastroentero-Hepatologi Update V , Medan 09-10 Nopember 2007.

21. Peserta Pletaal simposium “Update on Management of vascular events”, Medan 2 Februari 2008.

22. Peserta simposium “New Era in Therapeutic Options” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 17-19 April 2008.

23. Peserta Simposium “Penanganan Thalassemia Secara Menyeluruh” FK USU, Medan 24 Mei 2008.

24. Peserta simposium “Fucoidan, Nature’s Way for Faster Peptic Ulcer Healing”. Medan, 14 Juni 2008.

25. Peserta “Simposium of Venous Thromboembolism “, Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia cabang Medan, Medan, 26 Juli 2008. 26. Peserta Gastroentero-Hepatologi Update VI 2008, Hotel Danau Toba

Medan , 17-18 Oktober 2008.

27. Peserta simposium “ Festschrift Prof.Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH. Medan , 10 November 2008.

28. Peserta Gastroentero-Hepatologi Update VII 2009. Medan, 9-10 Oktober 2009.

29. Peserta pad 2nd Regional Symposium of Thrombosis Hemostasis”, Medan, 5 Juni 2010.


(69)

30. Peserta pada Workshop Injeksi Intra Artikular pada Rheumatology Update 2010, Medan 30 Juli 2010.

31. Peserta pada simposium Rheumatology Update 2010 Clinical Rheumatology in Daily Practice, Medan 31 Juli-1 Agustus 2010.


(1)

SGPT : U/L

HbA1C I : %

HbA1C II : %

Adiponektin I : µg/mL


(2)

LAMPIRAN 6

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I.DATA PRIBADI

Nama : Dr. Heny Syahrini

Tempat/tanggal lahir : Aek Nabara, 27 januari 1980

Status : Peserta PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam FK USU Alamat : Jl.Suka Amal no 7-STM Ujung, Medan

Telp/HP : 081361220202

II.RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Swasta Harapan 1 Medan Ijazah 1991 2. SMP Swasta Harapan 1 Medan Ijazah 1994

3. SMA Negeri 1 Medan Ijazah 1997

4. FK Universitas Brawijaya Ijazah 2004 5. PPDS-1 Ilmu Penyakit Dalam FK USU Juli 2004 – sekarang

III.KEANGGOTAAN PROFESI 1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

2. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)

IV.KARYA ILMIAH DI DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM

1. Heny Syahrini, Refli Hasan, Harris Hasan. Pericardiosentesis on cardiac tamponade. 11th National Congress of Indonesian Heart Association


(3)

2. Heny Sayhrini, Abdurrahim Rasyid Lubis. Gagal Ginjal Akut setelah Konsumsi Jamur Kuping (laporan kasus). Kongres Nasional PAPDI XIII. Palembang 5-9 Juli 2006.

V.PARTIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Peserta Simposium Infection Update I 2004, Medan 24 Juli 2004

2. Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VI Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU. Medan 3-5 Maret 2005.

3. Peserta Simposium Infection Update II 2005, Medan 13 Agustus 2005. 4. Peserta Simposium Hypertension and Diabetes Bagian Ilmu Penyakit

Dalam FK USU. Medan 28 Agustus 2005.

5. Peserta dan pembicara 11th National Congress of Indonesian Heart Association, 15th Annual Scientific Meeting of the Indonesian Heart Association, Medan 19-22 April 2006.

6. Peserta Pelatihan Dasar Edukator Diabetes ke-2, Medan 17-18 Juni 2006.

7. Peserta dan pembicara 7th National Congress of PERKENI, The Indonesian Society of Endocrinology. Malang 30 Juni-2 Juli 2006.

8. Peserta Insulin Short Course, 13th National Congress of the Indonesian Society of Internal Medicine (KOPAPDI XIII), Palembang 5 Juli 2006.


(4)

9. Peserta dan pembicara 13th National Congress of the Indonesian Society of Internal Medicine (KOPAPDI XIII), Palembang 6-9 Juli 2006. 10. Peserta Kongres Nasional PETRI XII, PERPARI VIII, PKWI IX,

Simposium Infections Update III 2006 PETRI-PERPARI-PKWI Cabang SUMUT. Medan, 28-29 Juli 2006.

11. Peserta Gastroentero-Hepatologi Update IV 2006, Medan 8-9 September 2006.

12. Peserta DHF Course II “Meningkatkan Kepedulian Masyarakat Terhadap Demam Berdarah Dengue”, Medan 24 Februari 2007.

13. Peserta dan Panitia Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VIII 2007 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 8-10 Maret 2007.

14. Pesrta simposium Current issuees : Urinary tract stone, prostate and overactive bladder, Medan 3 Maret 2007.

15. Peserta Road Show PAPDI 2007 Which Anti Hypertension’s giving the smart solution for asian, Hotel Tiara Medan 14 April 2007.

16. Peserta Pelatihan Penatalaksanaan Diabetes Melitus bagi Dokter Spesialis Penyakit Dalam , Medan 24-27 Mei 2007.

17. Peserta simposium “Current Issues in the Management of Gastritis and Gastropathy”, Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam/FK USU, Medan 9 Juni 2007.

18. Peserta pada The 4th New Trend in Cardiovascular Management Theme From Infant to Adult, Medan 15 -16 Juni 2007.


(5)

19. Peserta Simposium IDI “Peranan Vitamin dan Mikronutrien dalam Meningkatkan Kekebalan Tubuh”, Medan 03 november 2007.

20. Peserta Workshop dan Simposium Gastroentero-Hepatologi Update V , Medan 09-10 Nopember 2007.

21. Peserta Pletaal simposium “Update on Management of vascular events”, Medan 2 Februari 2008.

22. Peserta simposium “New Era in Therapeutic Options” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 17-19 April 2008.

23. Peserta Simposium “Penanganan Thalassemia Secara Menyeluruh” FK USU, Medan 24 Mei 2008.

24. Peserta simposium “Fucoidan, Nature’s Way for Faster Peptic Ulcer Healing”. Medan, 14 Juni 2008.

25. Peserta “Simposium of Venous Thromboembolism “, Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia cabang Medan, Medan, 26 Juli 2008. 26. Peserta Gastroentero-Hepatologi Update VI 2008, Hotel Danau Toba

Medan , 17-18 Oktober 2008.

27. Peserta simposium “ Festschrift Prof.Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH. Medan , 10 November 2008.

28. Peserta Gastroentero-Hepatologi Update VII 2009. Medan, 9-10 Oktober 2009.

29. Peserta pad 2nd Regional Symposium of Thrombosis Hemostasis”, Medan, 5 Juni 2010.


(6)

30. Peserta pada Workshop Injeksi Intra Artikular pada Rheumatology Update 2010, Medan 30 Juli 2010.

31. Peserta pada simposium Rheumatology Update 2010 Clinical Rheumatology in Daily Practice, Medan 31 Juli-1 Agustus 2010.