- Bagi Penulis : penelitian ini dapat memperluas pengetahuan
tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan di lapangan, serta menambah wacana ilmu hukum pidana tentang
perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan. -
Bagi Aparat Penegak Hukum khususnya yang berada di Lembaga Pemasyarakatan : penelitian ini diharapkan dapat menjadi
tambahan wacana dalam penerapan aturan hukum terhadap perlindungan anak didik pemasyarakatan.
- Bagi Pemerintah : penelitian ini diharapkan dapat membantu
pemerintah dalam mengetahui penerapan perlindungan hukum terhadap anak didik pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan
guna dapat membentuk peraturan baru ataupun memperbaiki peraturan yang telah ada.
- Bagi Masyarakat : penelitian ini diharapkan dapat memberikan
wawasan kepada masyarakat mengenai perlindungan hukum terhadap anak didik yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan.
E. Keaslian Penulisan
Karya tulis ini merupakan hasil buah pikiran penulis berdasarkan literatur- literatur yang telah ada, baik dari buku-buku yang dimiliki penulis sendiri maupun
dari perpustakaan, penelitian di lapangan, serta sumber-sumber lainnya yang dapat dipercaya dan yang mendukung penyelesaian skripsi ini.
Penulisan skripsi ini adalah murni dikerjakan sendiri dengan topik yang belum pernah dibahas oleh orang lain menurut survey data yang dilakukan oleh
pihak departemen pidana fakultas hukum USU. Bila ternyata terdapat topik
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang
sama dengan
karya tulis
ini, penulis
dapat mempertanggungjawabkannya.
F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Anak
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” di mata hukum positif
Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa minder jarigperson under a ge
, orang yang di bawah umur keadaan di bawah umur minderjarigheid inferiority atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali
minderjarige ondervoordij. Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia ius constitutum ius operatum tidak
mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.
12
Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Natoin Convention on The Right
of The Child Tahun 1989, Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations Standard Minimum Rules for the Administra tion of Juvenile Justice The Beijing Rules
Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau United Declaration of Human Rights
Ta hun 1948.
13
Secara nasional definisi anak didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Untuk meletakkan
batas usia seseorang yang layak dalam spesifikasi hukum seperti ini :
1. 1 Hukum Pidana
12
Lilik Mulyadi,
Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya,
Bandung, Mandar Maju, 2005, hlm. 3
13
Nashriana,
Op.Cit
, hlm. 33
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa batasan usia pada anak adalah di bawah 16 enam belas tahun, yang terdapat
dalam pasal 45 KUHP yang berbunyi : “Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena
melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun hakim dapat menentukan : Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada
orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana ataupun
memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu
pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun
sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dan putusannya telah menjadi tetap atau
menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.” Peraturan batas usia anak dalam KUHP di atas sebebnarnya sudah tidak
berlaku lagi karena pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara
kodrat memiliki substansi yang lemah dan di dalam system hukum yang dicangkokan dari bentuk pertanggungjawaban sebagaimana layaknya seseorang
subjek hukum yang normal. Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana
meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut : -
Ketidakmampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana -
Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara
dengan maksud untuk mensejahterakan anak -
Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan
oleh anak itu sendiri
Universitas Sumatera Utara
- Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan
- Hak anak dalam proses hukum acara pidana.
14
1. 2 Hukum Perdata
Dalam hukum perdata, mengenai batas usia anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 330 yang berbunyi :
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan
itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang
belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam
bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini.”
1. 3 Hukum Adat
Menurut hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak- anak dan siapa yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat
ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu yang nyata. Mr. Soepomo berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa
kedewasaan seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut : 1.
dapat bekerja sendiri 2.
cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab
3. dapat mengurus harta kekayaan sendiri
15
1. 4 Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak di antaranya adalah :
16
14
Definisi Anak
, https;andibooks.wordpress.comdefinisi-anak, akses 22 Agustus 2015, 23:45
15
Ibid
Universitas Sumatera Utara
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, misalnya, mensyaratkan usia
perkawinan 16 enam belas tahun dan 19 sembilan belas tahun bagi laki- laki.
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
mendefinisikan anak berusia 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin.
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 delapan belas tahun
dan belum pernah kawin. Undang-Undang di atas telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memuat definisi anak dalam Pasal 1 angka 3 bahwa, anak yang berkonflik dengan hukum
yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun yang diduga
melakukan tindak pidana. d.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
delapan belas tahun dan belum pernah kawin. e.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 lima belas tahun.
f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional memberlakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 tujuh sampai 15 lima belas tahun.
16
Ibid
, hlm. 41
Universitas Sumatera Utara
g. dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Karena definisi anak yang bermacam-macam, kebijakan perlindungan anak menjadi karut-marut. Bila misinya satu, melindungi anak, harusnyalah
mengenal satu definisi, definisi universal yang telah mengikat karena ratifikasi negara, yaitu undang-undang yang secara khusus menyangkut perlindungan anak :
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4. Pengertian Perlindungan Anak
Anak sebagai generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, sedini mungkin harus dipersiapkan juga sebagai subjek pelaksana pembangunan yang
berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara. Perlindungan anak berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia
seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Selain itu, perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya
demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
17
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif
17
Maidin Gultom,
Op.Cit
, hlm. 40
Universitas Sumatera Utara
yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.
18
Untuk itu, kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama
berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua , menyangkut pelaksanaan
kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.
19
Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
menentukan bahwa : “Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan
Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak”
Dasar pelaksana perlindungan anak adalah :
20
a. Dasar filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.
b. Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan profesi
yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan
anak. c.
Dasar yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum
yang berkaitan.
18
Arief Gosita,
Masalah Korban Kejahatan
, Jakarta : Akademika Pressindo 1993, hlm. 22, seperti dikutip oleh Nashriana,
Ibid
, hlm. 3
19
Nashriana,
Op.Cit
, hlm. 3
20
Maidin Gultom,
Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perampuan
, Bandung, PT Refika Aditama, 2012, hlm. 70
Universitas Sumatera Utara
Arif Gosita mengatakan bahwa Hukum Perlindungan Anak adalah hukum tertulis maupun tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya.
21
Perlindungan hukum yang didapat anak adalah perlindungan yang diberi sejak anak masih dalam kandungan hingga ia
melepas status sebagai seorang anak. Baik dalam kehidupannya sehari-hari dalam asuhan orang tua wali, ataupun saat anak harus berhadapan dengan hukum.
Prinsip-prinsip perlindungan hukum pidana terhadap anak tercermin dalam Pasal 37 dan Pasal 40 Konvensi Hak-Hak Anak Convention on the Rights of the
Child yang disahkan dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, tanggal 25
Agustus 1990. Pasal 37 memuat prinsip-prinsip sebagai berikut :
22
1 Seorang anak tidak dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat; 2
Pidana mati maupun pidana seumur hidup tanpa memperoleh kemungkinan memperoleh pelepasan pembebasan without possibility of
relea se tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia di bawah 18
delapan belas tahun; 3
Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang-wenang;
4 Penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya akan digunakan
sebagai tindakan dalam upaya akhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat pendek;
5 Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia;
21
Maidin Gutom,
Op.Cit
, hlm. 52
22
Lilik Mulyadi,
Op.Cit
, hlm, 48
Universitas Sumatera Utara
6 Anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisah dari orang dewasa dan
berhak melakukan hubungankontak dengan keluarganya; 7
Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum,
berhak melawanmenentang
dasar hukum
perampasan kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan atau pejabat lain yang
berwenang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan yang cepattepat atas tindakan terhadap dirinya.
Berkaitan dengan anak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum, UU Nomor 35 Tahun 2014 memuat beberapa pasal, yakni :
1. Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a.
Penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b.
Pelibatan dalam sengketa bersenjata; c.
Pelibatan dalam kerusuhan sosial; d.
Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan; e.
Pelibatan dalam peperangan; dan f.
Kejahatan seksual. 2.
Pasal 16 yang menyatakan : 1
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi. 2
Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 3
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara bagi anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir. 3.
Pasal 17 1
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a.
Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c.
Membela dari dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum. 2
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Universitas Sumatera Utara
4. Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Perlindungan anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :
I. Luas lingkup perlindungan :
a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan,
pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum. b.
Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah. c.
Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder yang berakibat pada prioritas pemenuhannya.
II. Jaminan pelaksanaan perlindungan:
a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan
terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat diketahui, dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan.
b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik
dalam bentuk
undang-undang atau
peraturan daerah
yang perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggung jawabkan serta
disebarluaskan secara merata dalam masyarakat. c.
Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan di negara
lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru peniruan yang kritis.
23
5. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
23
Nashriana,
Op.Cit,
hlm. 4-6
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana
strafbaar feit dengan tindakanperbuatan gedraginghandeling memiliki makna yang berbeda.
24
Dalam bahasa Indonesia istilah “peristiwa pidana” digunakan untuk menterjemahkan “strafbaar feict” atau “delict” sebagaimana yang dipakai
oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht. Beberapa ahli hukum telah berusaha untuk memberikan perumusan
tentang pengertian peristiwa pidana itu. Misalnya seperti yang dikemukakan beberapa ahli berikut :
25
a. D. Simons
Menurutnya istilah “peristiwa pidana” itu adalah Een Strafbaargestelde, onrechtma tige, met schuld in verba nds staa nde ha ndeling va n een
toerekeningva tba a r persoon . Terjemahan bebasnya yaitu Perbuatan salah
dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
b. Van Hamel
Perumusan ahli hukum ini sebenarnya sama dengan perumusan Simons, hanya saja Van Hamel menambah satu syarat lagi yaitu perbuatan itu harus
pula atau patut dipidana welk handeling een strafwaardig karakter heeft.
c. Vos
Menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh undang-undang een strafbaar feit is een door de wet
stra fba a r gesteld feit .
24
Mohammad Ekaputra,
Dasar-Dasar Hukum Pidana
, Medan, USU Press, 2013, hlm. 74
25
C. S.T Kansil, Engelien R. Palandeng, Altje Agustin Musa,
Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nasional
, Jakarta, Jala Permata Aksara, 2009, hlm. 2-3
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana atau delik ialah tindakan peristiwa pidana yang mengandung 5 unsur, yaitu :
26
a Harus ada sesuatu kelakuan gedraging;
b Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang wettelijke
omsschrijving ;
c Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;
d Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;
e Kelakuan itu diancam dengan hukuman.
Bambang Poernomo menyebutkan beberapa ahli yang membagi unsur- unsur tindak pidana secara mendasar, sebagai berikut :
27
1 Van Apeldoorn
Menurut Apeldoorn, bahwa elemen delik itu sendiri terdiri dari elemenobjektif yang berupa adanya suatu kelakuan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum onrechtmatigwederrechtelijk dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pembuat dader mampu
bertanggung jawab atau dapat dipersalahkan toereke-ningsvatbaarheid terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.
2 Van Bemmelen
Van Bemmelen menyatakan bahwa elemen-elemen dari strafbaar feit dapat dibedakan menjadi :
a elementen voor destrafbaarheid van het feit, yang terletak dalam
bidang objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum;
26
Ibid
, hlm. 3
27
Bambang Poernomo,
Asas-Asas Hukum Pidana
, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985, hlm.103, seperti dikutip oleh Mohammad Ekaputra,
Op.Cit
, hlm. 103
Universitas Sumatera Utara
b mengenai elementen voor strafbaarheid van dedader, yang terletak
dalam bidang subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan sikap bathin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu
merupakan elemen
yang diperlukan
untuk menentukan
dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan. 3
Pompe Pompe mengadakan pembagian elemen strafbaar feit atas :
a Wederrechtelijkheid unsur melawan hukum;
b Schuld unsur kesalahan;
c Subsociale unsur bahayagangguanmerugikan.
6. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika
Kata narkotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “narcois” yang berarti
“narkose” atau menidurkan, yaitu suatu zat atau obat-obatan yang membiuskan sehingga tidak merasakan apa-apa.
Selain itu mencakup obat-obatan yang dapat menyebabkan seseorang tertidur, narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu
bagi mereka yang menggunakannya, berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Dalam
dunia medis, narkotika dimanfaatkan untuk pengobatan seperti di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit.
28
Bila penggunaan narkotika tidak teratur, dapat menimbulkan efek yang negatif, yaitu kecanduan atau ketagihan kepada si pemakai. Akibat kecanduan
28
Maidin Gultom,
Op.Cit
, hlm. 122
Universitas Sumatera Utara
atau ketagihan narkotika, pemakai tidak segan-segan melakukan tindak kriminal demi tercapainya hasrat untuk memakai narkotika, seperti tindak pidana
pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lai-lain.
29
Pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam
keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Narkotika, dijelaskan bahwa
ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan
dihentikan. Sedangkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Narkotika, dijelaskan bahwa Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa
sepengetahuan dan pengawasan dokter.
30
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak,
seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya
dari morfin dan kokaina.
31
Menurut cara pembuatannya narkotika dibagi dalam 3 tiga golongan
yaitu :
a. Narkotika alam, adalah narkotika yang berasal dari olahan tanaman, yang
dikelompokkan dari 3 tiga jenis tanaman yaitu :
29
Soedjono Dirdjo Siswono, 1990,
Hukum Narkotika Indonesia
, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3, seperti dikutip oleh Maidin Gultom,
Op.Cit
, hlm. 122
30
Kusno Adi,
Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak
, Malang, UMM Press, 2009, hlm. 18
31
Lubis,
Tindak Pidana Narkotika
, www.amiee43.blogspot.com201305tindak-pidana- narkotika.html akses pada 15 Juni 2015, 17.49
Universitas Sumatera Utara
1 Opium yaitu berasal dari olahan getah dari buah tanaman Paparef Somni
Ferum. Termasuk dalam kelompok ini adalah opium mentah, opium masak, morfin, jenis tanaman yang menghasilkan opium tidak terdapat di
Indonesia. 2
Kokaina, yaitu berasal dari olahan daun tanaman koka. Tanaman ini banyak terdapat dan diolah secara gelapdi Amerika Selatan seperti Peru,
Bolivia, dan Columbia. 3
Conabis Sutira atau Mariyuana atau ganja termasuk hashish ataupun hashish oil minyak ganja. Tanaman ganja ini banyak ditanam secara
ilegal khususnya di daerah Aceh sekitarnya. b.
Narkotika Semi Sintetis yaitu narkotika yang dibuat dari Alkohol Opium dengan ini penanthem dan berkhasiat sebagai narkotika, contoh yang
terkenal sering disalahgunakan adalah heroin. c.
Narkotika Sintetis, narkotika ini diperoleh melalui proses kimia dengan menggunakan bahan kimia, sehingga diperoleh suatu hasil baru yang
mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon, dan lain-lain.
32
Mengenai tindak pidana narkotika, berarti merujuk pada suatu perbuatan atau peristiwa pidana dalam lingkup penyalahgunaan narkotika. Dalam UU
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat dijelaskan hal-hal tentang bentuk penyalahgunaan narkotika sebagai berikut :
33
1 Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut
asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan
32
Jeane Mandagi, 1996,
Penanggulangan Bahaya Narkotika
, Pramuka Saka Bayangkara, Jakarta, hlm. 9 seperti dikutip oleh Maidin Gultom,
Op.Cit
, hlm. 122
33
Taufik Makarao, Suhasril, Moh. Zakky,
Tindak Pidana Narkotika
, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 44-45
Universitas Sumatera Utara
penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikwalisir sebagai tindak pidana narkotika.
2 Penyalahgunaan narkotika meliputi pengertian yang lebih luas, antara lain :
a. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan
berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut di jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita, dan lain-lain;
b. Menentang suatu otoritas baik terhadap guru, orang tua, hukum,
maupun instansi tertentu; c.
Mempermudah penyaluran perbuatan seks; d.
Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman- pengalaman emosional;
e. Berusaha agar menemukan arti dari pada hidup;
f. Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada
kegiatan; g.
Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah; h.
Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan; i.
Hanya sekedar ingin tahu atau iseng. 3
Menurut ketentuan hukum pidana para pelaku tindak pidana itu pada dasarnya dapat dibedakan.
a. Pelaku utama
b. Pelaku peserta
c. Pelaku pembantu
4 Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini :
a. Penyalahgunaanmelebihi dosis;
Hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti yang telah diutarakan di atas
Universitas Sumatera Utara
b. Pengedaran narkotika;
Karena ketertarikan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional
c. Jual beli narkotika;
Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.
7. Lembaga Pemasyarakatan LAPAS
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memuat pengertian pemasyarakatan sebagai berikut :
“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.
Dari pengertian di atas, inti pemasyarakatan adalah pembinaan kepada
warga binaan pemasyarakatan supaya nantinya dapat kembali ke masyarakat dengan keadaan yang baik. Sebelumnya telah diuraikan bahwa anak didik
pemasyarakatan termasuk dalam lingkup warga binaan. Dalam pembinaan ini diperlukan suatu sistem yang dinamakan Sistem Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya sering disingkat dengan akronim LAPAS, yaitu merupakan tempat terpidana atau narapidana yang
menjalankan hukumannya baik hukuman penjara maupun kurungan. Lembaga Pemasyarakatan LAPAS dalam menjalanakan atau menerapkan sistem
pembinaannya, haruslah memperhatikan hak-hak yang melekat dalam diri warga binaan terutama dalam tulisan ini adalah anak didik pemasyarakatan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menegaskan, bahwa anak didik pemasyarakatan ditempatkan di LAPAS Anak
yang harus terpisah dengan orang dewasa. Hal ini untuk kepentingan anak, supaya tidak terpengaruh jika dicampur, sehingga perlembangan anak tidak menjadi gelap
bagi masa depannya. Anak yang ditempatkan di LAPAS Anak, berhak untuk memperoleh
pendidikan dan latihan baik formil maupun informil sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lainnya
34
yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014. Hak-hak anak harus tetap dijunjung
tinggi sehingga tidak adanya kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
G. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang jelas dan memuaskan mengenai pengaturan perlindungan anak dalam hukum positif di Indonesia serta bagaimana
perlindungan anak didik pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, maka metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian juridis empiris atau lapangan field research dan juridis normatif atau
penelitian kepustakaan library research. Jenis penelitian juridis empiris atau lapangan ini menunjukkan peneliti untuk mendapatkan data primer
dan mengidentifikasi hukum sebagai perilaku yang mempola. Dimana
34
Nashriana,
Op.Cit
, hlm. 159
Universitas Sumatera Utara
pendekatan ini ditujukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan, dan data mengenai pengaturan perlindungan anak dan melihat secara
langsung bentuk penerapannya di lembaga pemasyarakatan. Penulis juga menggunakan jenis penelitian kepustakaan library
research. Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menunjukkan perpustakaan
sebagai tempat dilaksanakannya suatu penelitian.
Sebenarnya suatu penelitian mutlak menggunakan kepustakaan sebagai sumber data sekunder.
35
Pada pendekatan bersifat juridis normative ini, hukum diidentifikasikan sebagai norma peraturan atau Undang-Undang
yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Melalui pendekatan normative ini diharapkan kita dapat memahami peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Khususnya dalam penelitian ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. 2.
Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penyelesaian skripsi ini meliputi :
a Data primer
Data yang diperoleh langsung melalui penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan. Data primer ini
diperoleh melalui wawancara dengan Pegawai dan Anak Didik Pemasyarakatan Klas II A Medan.
b Data Sekunder
35
Tampil Anshari Siregar,
Metodologi Penelitian Hukum : Penulisan Skripsi
, Medan, Multi Grafik, 2007, hlm. 21
Universitas Sumatera Utara
Data sekunder ini adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur yang relevan dengan judul ini, dokumen-dokumen, pendapat para ahli hukum
dan hasil penelitian. 3.
Metode Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data-data, penulis melakukan beberapa metode
yaitu : a
Wawancara adalah teknik pengumpulan informasi dan data dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan langsung kepada anak didik
pemasyarakatan dan pegawai LAPAS yang bertugas pada saat itu. b
Dokumentasi Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh
data berkaitan dengan penerapan hak-hak anak didik pemasyarakatan dan keadaan anak sehari-hari di lembaga pemasyarakatan.
c Studi Kepustakaan
Yaitu dengan mengumpulkan data dari referensi-referensi yang mendukung terhadap penelitian ini berupa dokumen, literatur, peraturan
perundang-undangan, serta artikel-artikel yang memiliki kaitan dengan permasalahan. Kemudian meenjadi bahan masukkan dalam melengkapi
analisis dalam permasalahan ini. 4.
Analisis Data Analisis data merupakan suatu proses untuk menafsirkan, merumuskan,
atau memaknai suatu data. Analisis data merupakan tindak lanjut proses pengolahan data yang dilakukan peneliti yang memerlukan kecermatan,
ketelitian, dan pencurahan daya pikir yang optimal. Hasil analisis data ini diharapkan mampu memberikan jawaban dari permasalahan yang
Universitas Sumatera Utara
dikemukakan dalam skripsi ini. Adapun metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
analisis deskriptif Kualitatif yaitu menggambarkan secara lengkap kualitas dan karakteristik dari data-data yang sudah terkumpul, dilakukan
pengolahan data, kemudian disimpulkan.
H. Sistematika Penulisan