Sejarah Berdirinya Website www.detik.com dan Perkembangannya
jasa pengembangan aplikasi. Semua kontak bisnis dilakukan melalui email dan telepon. Preview pekerjaan juga dilakukan melalui Internet. Adapun diskusi
pekerjaan dipresentasikan melalui Chat yang secara khusus dibuat oleh Agrakom. Nilai proyek yang ditangani terus meningkat, awalnya hanya Rp. 300 juta, lalu
meningkat Rp. 425 juta bahkan sempat sampai mencapai Rp. 1 Miliar. Tapi kue manis tersebut tak berlangsung lama, Krisis Moneter 1997 membuyarkan
semuanya. Mensikapi kondisi tersebut, kemudian Budiono Darsono eks Wartawan
DeTik, Yayan Sofyan eks Wartawan DeTik, Abdul Rahman eks Wartawan Tempo dan Didi Nugrahadi tetangga rumah Budiono yang tinggal di Pamulan
Tangerang. Empat sekawan ini berpikir keras mencari konsep jasa web baru yang tetap laku dalam situasi krisis. Ada cerita lain bahwa ide ini lahir akibat paket
layanan baru dan pernah ditawarkan kepada salah satu penerbit koran besar, namun ditolak. Klien itu justru menyarankan agar Budiono dan kawan
kawannya menggarapnya sendiri. Dari serangkaian pertemuan, nongkrong di berbagai tempat, akhirnya konsep
itu ditemukan. Yaitu sebuah media yang 100 berbasis Internet dan memanfaatkan semaksimal mungkin keunggulannya, tersedia setiap saat dan
interaktif. Namun gagasan ini masih mentah karena Budiono dan kawan kawan masih bingung seperti apa wujudnya.
Terdapat beberapa alternatif matang dan tinggal menjiplak saja. Misalnya waktu itu lagi populer sekali Yahoo, dimana orang yang mau browsing pasti ke
Yahoo dulu, buat cari informasi, jadi ada rencana buat portal seperti Yahoo, atau
bikin Web Mail Gratis macam Hotmail. Tetapi pilihan akhirnya jatuh pada membuat situs berita yang cepat terupdate dalam hitungan menit, bukan lagi
harian seperti koran. Budiono sangat yakin orang-orang sedang membutuhkan berita macam seperti ini. Gagasan itu sepertinya mencontek gaya breaking news
televisi CNN tetapi ala internet. Sama juga seperti Yahoo yang sebetulnya sudah memakai konsep itu dengan berita update langganan dari pelbagai kantor berita.
Sayangnya, mesin pencari ini masih berbahasa Inggris. Padahal di Indonesia hanya sedikit orang yang mau baca Web Site berbahasa Inggris.
Detik.com waktu itu memang unik. Jangankan Di Indonesia, di seluruh dunia pun waktu itu tidak ada Portal Berita macam Detik.com. Pada awal
operasionalnya Budiono menjabat sebagai pemimpin redaksi sekaligus reporter dengan satu tape recorder. Lalu merekrut beberapa reporter, sembari rajin
menelepon bekas teman-teman wartawan di media lain untuk menyumbang berita. Beritanya singkat, orang yang sering di telpon Budiono adalah Sapto Anggoro,
redaktur di harian Republika, yang kerap memberi info baru di lapangan kepadanya. Tidak lama Sapto justru keluar dari koran itu dan bergabung, bahkan
sekarang tercantum sebagai dewan redaksi Detikcom. Delapan hari setelah Soeharto lengser, 30 Mei 1998, server Detikcom sudah
siap di akses, namun baru mulai on line dengan sajian lengkap pada 9 Juli 1998. Berita-beritanya segar, anyar, dan terus menerus diperbaharui dalam hitungan
detik. Desain website berbalut warna khas yang agak norak, hijau, biru, dan kuning. Warna ini sampai sekarang dipertahankan sebagai trademark. Baru
sebulan Detikcom on line telah ada sekitar 15.000 hits alias yang mengklik situs baru itu. Perkiraan itu akhirnya terbukti karena dalam waktu singkat Detikcom
menjadi sangat dicari. Satu tahun kemudian, jumlah pengunjung melesat menjadi 50.000 orang perhari, sebuah pencapaian luar biasa mengingat pengguna Internet
yang baru sedikit saat itu. Banyak cerita tentang sulitnya para reporter Detikcom menyajikan berita-
berita secara tepat waktu. Saat itu belum ada BlackBerry atau semacam SmartPhone yang bisa mengirimkan email berita dengan sekali pencet. Telepon
genggam Handphone apalagi PDA di tahun 1998-1999 amat mahal, dan terbatas. Satu satunya jalan adalah memanfaatkan telepon umum dan setiap pagi
para reporter Detikcom terlebih dahulu diwajibkan untuk masuk ke kantor mengambil beberapa kantung uang recehan. Yang terjadi adalah antrean panjang
telepon umum dan para wartawan itu sering kena omel para pengguna telepon. Dengan begitu berita yang dikirimkan disiasati lebih singkat dan pendek.
C.
Aspek Bisnis Detik.Com
2
.
Keberhasilan Detikcom pun turut menjadi pemicu munculnya demam Internet di Indonesia pada pertengahan 1999. Ini menyadarkan banyak konglomerat media
yang merasa kecolongan tidak memanfaatkan kesempatan emas di waktu yang sulit itu. Lagi pula, membangun sebuah situs tidak perlu modal yang banyak,
seperti mendirikan pabrik. Mulailah bermunculan perusahaan Internet serius didirikan seperti Satunet, Astagacom. James Riyadi pemilik Lippo Life membuat
Lippo e-Net dan Lippostar. Adapula Mweb, Kopitime, dan BolehNet. Bedanya portal-portal tersebut banyak yang didirikan hanya untuk mendapatkan
keuntungan sesaat. Investasi awal jor-joran dengan menawarkan pelbagai fasilitas
2 Cara Detik.com dengan modal awal hanya 40 juta bisa mengalahkan portal portal Online milik Konglomerat Media, Diakses pada tangal 1010 2010, jam 29.13 WIB, dari http:
Catatan Kaki Teknologi Informasi » detik.com.htm
canggih berbiaya besar yang di gratiskan seperti email, chatting, kirim SMS dan bahkan webfax gratis, untuk mengundang pengunjung. Setelah mencatat banyak
hits, mereka melepas kepemilikan di bursa saham untuk mendapatkan dana. Di kepung oleh pemodal besar membuat Agrakom pun menjual 15 saham
Detikcom kepada Investor asal Hongkong, Pasific Tech seharga USD2 juta. Uang sebanyak itu berpuluh kali lipat dari investasi awal DetikCom yang hanya Rp. 40
juta. Dana sebesar itu membuat Detikcom nervous harus seberapa besar pendapatan yang diperoleh kalau investasinya saja sudah hampir menginjak
belasan juta dollar Akhirnya di putuskan belanja teknologi dikeluarkan seperlunya. Tenaga
penjual iklan di rekrut. Bahkan, iklan dari dotcom lain di terima, termasuk dari kompetitor. Awal Januari 2000, Detikcom merilis email gratis, chating, ruang
diskusi, dan menambah sejumlah kanal baru. Ciri khas jurnalistik lebih di pertajam dengan serangkaian kerja sama organisasi kampanye untuk memasok
berita di daerah. Fasilitas SMS dan WebFax gratis yang biaya operasinya mahal ditiadakan. Tidak ada biaya promosi miliaran rupiah. Tidak ada content
management system seharga ratu san ribu dolar, tetapi mengembangkan sendiri. Langkah meniru nan hati-hati itu akhirnya bisa menyelamatkan.
Di awal milenium, krisis dotcom meledak di Amerika Serikat. Saham saham perusahaan berbasis teknologi bertumbangan. Kekecewaan investor bahwa
jaringan internet ternyata tidak mendatangkan keuntungan seperti yang dijanjikan terbukti sudah oleh kiamat dotcom yang datang lebih cepat. Dari sisi pendapatan
krisis dotcom tahun 2000 telah menyebabkan banyak pemasang iklan tidak lagi
mau percaya pada media Internet. Satu persatu portal yang pada tahun 1999 tumbuh pesat, kini mulai gulung tikar. Maka awal 2001 situs situs milik para
Konglomerat Media itu kehabisan modal. Budiono dan kawan kawan bertahan dengan modal pas-pasan setelah menutup
kembali fasilitas yang di anggap tak menguntungkan. Detikcom masih memiliki napas hasil menyisakan modal dan sedikit dari penghasilan iklan Oktober 2000
pendapatan iklan Detikcom mencapai lebih dari Rp. 500 juta. Berita yang tak banyak pembacanya dan tak menarik pemasang iklan dihentikan. Serangkaian
bidang usaha baru dirilis, tahun 2003 terlihat bahwa dari beberapa bidang usaha baru, mobile data layanan kirim berita lewat SMS adalah yang paling cepat
memberi hasil. Selanjutnya, Detikcom melenggang sendirian tanpa lawan yang berarti.
Banyak pujian datang karena Detikcom salah satu dari sedikit media yang bisa bertahan pada era industri media yang mulai bergerak ke arah konglomerasi. Ada
Kompas Gramedia, Media Group, Para Group, MNC, Jawa Pos Group, dan Visi Media Asia. Dan yang terjadi belakangan pada akhirnya adalah raksasa-raksasa
ini justru mengekor kepada semut. Kompas mereborn Kompas.com, MNC mendirikan okezone.com, Visi Media milik Grup Bakrie melahirkan VivaNews.
Tempo Inti Media mengaktifkan tempointeraktif.co.id, belum lagi Inilah.com dan Wartaone.com.
Menanggapi banyaknya portal Berita yang muncul, Budiono Darsono bilang “Dulu pun kami menghadapi pemain modal besar, tapi Detik bisa menghadapinya,
Bisnis ini dibangun dengan semangat jurnalistik, bukan dengan dan Modal”.