bisa  terdeteksi  dengan  foto  toraks  PA  dengan  memperlihatkan  tanda  meniscus atau ellis line, apabila jumlahnya 175 ml. Pada foto lateral dekubitus efusi pleura
sudah bisa dilihat bila ada penambahan 5 ml dari jumlah normal dan pada posisi lateral efusi pleura bisa terlihat bila jumlah cairannya 100 cc. Pada posisi supine
efusi  pleura  bisa  terdeteksi  bila  jumlahnya  500  ml.  Penebalan  pleura  di  apikal relatif biasa pada TB paru atau bekas TB paru. Efusi pleura sering dijumpai pada
pasien TB yang disertai lesi luas di paru, tapi bisa berdiri sendiri tanpa ada lesi di paru Icksan dan Luhur, 2008.
2.6. Pengertian Tuberkulosis dengan HIV
Berdasarkan  JUKNIS  TB-HIV  KEMENKES  2013,  Pasien  TB  dengan
HIV  positif  dan  Orang  Dengan  HIVAIDS  ODHA  dengan  TB  disebut  sebagai pasien  ko-infeksi  TB-HIV.  Risiko  berkembangnya  TB  meningkat  secara  tajam
seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh. Pada pasien yang terinfeksi  HIV  jumlah  dan  fungsi  limfosit-T  CD4+  menurun.  Sel-sel  ini
mempunyai  peran  yang  penting  untuk  melawan  kuman  TB.  Dengan  demikian, sistem  kekebalan  tubuh  menjadi  kurang  mampu  untuk  mencegah  perkembangan
dan  penyebaran  lokal  kuman  ini  sehingga  TB  dapat  terjadi  kapanpun  saat perjalanan infeksi HIV pada tubuh manusia.
Dibandingkan  dengan  orang  yang  tidak  terinfeksi  HIV  maka  orang  yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Dalam hal ini
TB  paru  masih  merupakan  penyakit  yang  paling  sering  ditemukan  pada  orang yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tergantung tingkat kekebalan tubuh dan
gambaran  klinis,  hasil  mikroskopis  TB  dan  gambaran  foto  toraks  pada  pasien seringkali  berbeda  antara  stadium  awal  dan  lanjutan  infeksi  HIV  KEMENKES,
2013.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Imunopatogenesis Infeksi HIV
Human Immunodeficiency Virus HIV tepatnya HIV-1 adalah virus RNA yang  termasuk  famili  retroviridae  dan  genus  lentivirus  yang  menyebabkan
penurunan  imunitas  tubuh  pejamu.  Untuk  mengadakan  replikasi  perbanyakan HIV  perlu  mengubah  Ribonucleic  Acid  RNA  menjadi  Deoxyribonucleid  Acid
DNA di dalam sel pejamu. Sebenarnya, disamping HIV-1, dikenal pula HIV-2, yang memiliki patogenitas  yang lebih rendah, hingga hanya menimbulkan gejala
defisiensi imun yang lebih ringan. Oleh karena itu, pada pembicaraan selanjutnya yang dimaksud dengan HIV adalah HIV-1 Suwendra dan Purniti, 2010.
Patogenesis  Penyakit  HIV  dimulai  dengan  infeksi  akut  yang  hanya sebagian  saja  dapat  diatasi  oleh  respons  imun  adaptif,  dan  berlanjut  menjadi
infeksi  kronik  progresif  dari jaringan limfoid perifer. Virus masuk melalui  epitel mukosa Kresno, 2010. Selanjutnya perjalanan infeksi HIV secara berturut-turut
dapat dikelompokkan dalam beberapa fase yaitu : 1.  Proses perlekatan virus pada sel sasaran
HIV  hanya  dapat  melekat  melalui  glikoprotein  selubung  terutama  gp 120  pada  sel  sasaran  yang  memiliki  molekul  CD4  cluster  of
differentiation  antigen-4  sebagai  reseptor.  Di  antara  sel  tubuh,  yang banyak  memiliki  molekul  CD4  adalah  sel  limfosit  T,  kemudian
menyusul monosit-makrofag Suwendra dan Purniti, 2010. 2.  Proses Internalisasi atau infeksi
HIV  menginfeksi  sel-sel  CD4  memori  yang  mengekspresikan  CCR5 C-C  Chemokine  Receptor  type  five    dalam  jaringan  limfoid  mukosa
dan  mengakibatkan  kematian  dari  banyak  sel  terinfeksi.  Karena jaringan mukosa merupakan cadangan terbesar dari sel T dalam tubuh
dan  merupakan  tempat  utama  dari  sel  T  memori,  kehilangan  lokal  ini direfleksikan  dengan  penurunan  jumlah  sel  T  CD4.  Dalam  waktu  2
minggu sebagian besar sel CD4 hancur Kresno, 2010. 3.  Proses Replikasi
Setelah  infeksi,  terjadi  pelepasan  selubung  inti  dan  pembentukan seutas  benang  DNA  dengan  bantuan  enzim  reverse  transcriptase.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian terbentuk seutas lagi hingga terjadilah dua utas DNA. DNA ini  kemudian  mengalami  translokasi  ke  dalam  inti  sel  sasaran  dan
menyisip  ke  dalam  kromosom  sel  sasaran  dengan  bantuan  enzim integrase.  Setelah  integrasi  gen  virus  ke  dalam  inti  sel  sasaran,  RNA
virus dibentuk dan selanjutnya terjadi  sintesis dan pengolahan protein virus,  termasuk  bahan-bahan  selubung  virus.  Proses  pembentukan
berbagai bahan virus ini terjadi pada selaput inti sel sasaran. Berbagai bahan tang terbentuk kemudian direkayasa menjadi bagian core virus
baru di dalam sitoplasma sel sasaran, dan bagian selubung di sebelah bawaan maupun didapat. Segera setelah infeksi primer, sebanyak 1 di
luar dinding sel sasaran Suwendra dan Purniti, 2010.
Infeksi  HIV  pada  akhirnya  mengakibatkan  kegagalan  fungsi  sistem  imun antara 100 sel T CD4 mengandung virus. Respon imun semula dapat menurunkan
jumlah virus, tetapi tidak lama virus dapat mengatasi perlawanan sistem imun dan berkembang dengan cepat dan menginfeksi banyak sel T Kresno, 2010.
2.8. Riwayat Alamiah Infeksi HIV