BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Krisis ekonomi yang terjadi sejak bulan Agustus 1997 telah memporakporandakan seluruh aspek perekonomian di Indonesia, terutama
ekonomi rakyat kecil. Krisis yang berkepanjangan hingga saat ini juga telah mengakibatkan krisis multidimensional, yang mengakibatkan jumlah penduduk
miskin semakin meningkat, krisis perbankan, masalah kemiskinan menjadi topik menarik karena jumlah penduduk yang jatuh dibawah garis kemiskinan meningkat
sekali, pernah dihitung secara keliru oleh BPS menjadi 79,5 juta orang. Perhitungan keliru dilakukan karena diasumsikan pendapatan rumah tangga tetap
tidak naik, ketika tahun 1998 terjadi inflasi 78 dalam menyatakan pendapatan semua orang termasuk penduduk miskin seperti buruh tani juga naik, kadang-
kadang bisa lebih dari 100 sehingga kemiskinan tahun 1998 disepakati hanya 49,5 juta atau 24,2 Mubyarto, 2004:400.
Masalah angka kemiskinan ini menjadi lebih banyak diperdebatkan oleh ekonom dan non-ekonom ketika BKKBN mengumumkan angka kemiskinan dari
data-data keluarga sejahtera yang dikumpulkannya. Menurut BKKBN yang diklasifikasikan keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera I harus dianggap
keluarga miskin dalam kaitan peluncuran program JPS. Angka penduduk miskin versi BKKBN diperoleh dengan mengalihkan angka keluarga miskin dengan
angka rata-rata jumlah keluarga 4,5. karena dinggap terlalu tinggi, angka kemiskinan versi BKKBN ini selanjutnya diturunkan dengan membagi
Universitas Sumatera Utara
kemiskinan menjadi miskin alasan ekonomi dan miskin bukan alasan ekonomi Mubyarto: 399-400.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-
hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi
masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan juga merupakan masalah global, sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut
ilmiah yang telah mapan. Istilah negara berkembang biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang miskin
http: id.wikipedia.org wiki kemiskinan diakses tanggal 14 03 2009 pukul 11.00
Wib. Kemiskinan berarti kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan
perubahan yang memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada atau sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer.
Pengertian diatas dapat diiterprestasikan bahwa ketidakmampuan mereka dalam menggunakan sarana sebagai suatu pertanda kondisi ekonominya yang
sangta lemah. Dapat dipahami, bahwa dalam upaya menggunakan fasilitas- fasilitas tersebut terutama yang berkaitan dengan kebutuhan primernya tidak
memiliki modal dasar sebagai penunjangnya Sismudjito, 2004:136. Kemiskinan dapat dilihat sebagai fenomena yang kompleks dan dapat
ditelusuri dari adanya kesenjangan antara kelas sosial dan ekonomi,
ketidaklengkapan inadequancy, hubungan desa dan kota, dan perbedaan antara
Universitas Sumatera Utara
suku, agama dan daerah. Kondisi miskin oleh Bangsa Indonesia telah berdampak semakin meningkatnya jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial di
masyarakat, yang tentunya juga membutuhkan penanganan yang serius dan terpadu. Pemerintah Indonesia juga telah berusaha untuk mengurangi kemiskinan
dan meratakan pendapatan ini melalui delapan jalur pemerataan, yaitu: 1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat banyak khususnya pangan,
sandang, dan perumahan. 2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan .
3. Pemerataan pembagian pendapatan. 4. Pemerataan kesempatan kerja.
5. Pemerataan kesempatan berusaha. 6. Pemerataan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda
dan wanita. 7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
8. Pemerataan memperoleh keadilan Sumardi, 1982: 7. Semua itu adalah upaya pemerintah dalam mencoba melaksanakan
pemerataan pendapatan, yang dengan demikian mencoba memerangi kemiskinan. Hal ini berarti pula pemerintah telah berusaha memikirkan perubahan strategi
pembangunannya dengan menggunakan model kebutuhan pokok. Selain itu data mengenai fakir miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008
sebesar 34,96 juta orang 15,42 dibandingkan dengan penduduk miskin 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang 16,58 berarti jumlah penduduk miskin turun
sebesar 2,21 juta orang. Sementara jumlah fakir miskin di Sumatera menunjukan angka 1.979.702. jiwa dari total penduduk 12.326.678. Hal ini menunjukan bahwa
Universitas Sumatera Utara
ada 1.979.702 orang yang mempunyai potensi yang sangat besar menjadi gelandangan dan pengemis. Potensi sumber daya yang dimiliki oleh fakir miskin
mempunyai kecenderungan makin lama makin menipis habis. Belum lagi kita melihat data mengenai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS
sebanyak: 3.456.702 tersebar di 5.616 desa, 361 kecamatan, 25 kabupatenkota. Hal tersebut sangatlah merisaukan dan juga dapat berpotensi menimbulkan
masalah yang sama
www.bps.go.id releases files kemiskinan-01juli08,pdf
diakses tanggal 140309 pukul 11.25.
Salah satu jenis dari penyandang masalah kesejahteraan sosial PMKS adalah gelandangan dan pengemis. Gelandangan dan pengemis tampaknya
menjadi rona tersendiri dan tak pernah pupus mencoreng wajah perkotaan tak terkecuali di kota Medan. Terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial dan
satu ini timbul sejumlah pertanyaan siapa yang salah dan siapa yang bertanggung jawab mengentaskan mereka dari lembah kemiskinan. Sampai saat ini para
gelandangan dan pengemis belum banyak tersentuh program-program yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat tetapi jika mengacu pada Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Demikian juga
disebutkan dalam pasal 34 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Maka jelas negara harus memelihara fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar. Negara dalam hal ini bukan hanya unsur pemerintahan tetapi seluruh unsur masyarakat, termasuk LSM, organisasi keagamaan, organisasi sosial
masyarakat lainnya, tidak terkecuali perseorangan yang peduli terhadap fakir miskin, gelandangan dan pengemis.
Universitas Sumatera Utara
Masalah gelandangan dan pengemis adalah perilaku yang tidak sesuai dengan norma kehidupan Bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 karena gelandangan dan pengemis dapat meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Gelandangan dan
pengemis adalah fenomena sosial yang tidak dapat dihindarkan keberadaannya dari kehidupan masyarakat, terutama yang berada di perkotaan yang terkait
dengan berbagai faktor antara lain, keterbatasan lapangan kerja, rendahnya tingkat pendidikan, kondisi kehidupan ekonomi dan faktor mental. Hal ini adalah
merupakan tanggung jawab kita semua untuk mencari solusi, yang konkrit untuk mengentaskan para gelandangan dan pengemis menjadi manusia yang hidup layak
httpwww.pemkomedan.go.idnews-detailphp218-2468 diakses tanggal 140309 pukul 11.15 Wib.
Selain itu gelandangan dan pengemis merupakan gejala sosial dan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks, secara umum paling berpengaruh
adalah faktor ekonomi khususnya efek langsung dari pada masalah tenaga kerja, perkembangan teknologi dan mekanisme. Menganalisa gejala gelandangan dan
pengemis yang sangat erat hubunganya dengan faktor-faktor karakternya seperti, malas bekerja, suka berfoya-foya, pasrah pada nasib, acuh tak acuh dan lain-lain
yang secara langsung merupakan faktor yang mendorong hidup mereka kepada kehidupan dan gelandangan dan pengemis.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya masalah gelandangan dan pengemis adalah urbanisasi dan pembangunan wilayah yang timpang. Kota besar
mempunyai daya tarik yang luar biasa bagi seluruh lapisan masyrakat. Hal ini disebabkan kota sebagai pusat perkembangan perekonomian, pusat peredaraan
Universitas Sumatera Utara
uang dan pusat kemajuaan teknologi. Kota besar menjadi magnet yang sangat kuat untuk menarik penduduk berpindah dari desa ke kota. Banyak alasan yang muncul
melatarbelakangi perpindahan penduduk dari desa ke kota Urbanisasi tersebut misalnya mengadu nasib, mencari pekerjaan, mengembangan usaha, melanjutkan
pendidikan dan lain sebagainya. Urbanisasi yang terjadi mengakibatkan kota menjadi tumpuan harapan
banyak orang sehingga persaingan untuk memperebutkan sumber daya yang ada semakin kompetitif. Bagi individu yang mempunyai kapasitas SDM yang baik dan
mempunyai kesempatan, tentunya akan mempunyai kesempatan berhasil yang lebih tinggi. Hanya saja tidak semua SDM yang bermigrasi ke kota mempunyai
kualitas yang baik, sehingga banyak yang kalah bersaing dalam kehidupan kota. Kota tidak dapat menampung seluruh angkatan kerja yang mengalir terus-
menerus dari daerah maupun desa sumber kota yang terbatas yang harus direbutkan oleh ratusan ribu orang. Pada akhirnya orang-orang yang tersisih ini
biasanya akan menimbulkan masalah sosial dan kriminal. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan dan keberanian melakukan tindakan kriminal biasanya akan
memilih pekerjaan apa saja yang dapat menghasilkan seperti: pemulung, kuli bangunan, asongan, sampai gelandangan dan pengemis. Pilihan ini tentunya
bukan merupakan pilihan yang benar-benar diinginkan oleh mereka. Alasan untuk bertahan hidup merupakan alasan utama yang paling sering terlontarkan dalam
membahas masalah gelandangan pengemis ini.
Universitas Sumatera Utara
Urbanisasi merupakan proses sosial yang memiliki dampak ganda, yakni dampak positif dan negatif, mempunyai dampak positif karena ternyata proses
sosial semacam ini mampu memberikan angin kehidupan yang lebih baik bagi kaum migran, mengembangkan perekonomian kota dan mampu menyediakan
tenaga kerja. Disamping itu proses urbanisasi sesungguhnya selaras dengan adanya kondisi kehidupan ekonomi yang relatif minimal didaerah pedesaan.
Sehingga banyak penduduk desa yang pergi ke kota untuk memperbaiki kondisi ekonominya dengan jalan mencari pekerjaan lain diluar sektor pertanian guna
mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Gejala demikian menimbulkan fenomena yaitu banyaknya migran yang mengirim penghasilannya ke daerah
pedasaan atau ke daerah asal. Disamping dampak positif diatas, urbanisasi juga punya dampak negatif antara lain meningkatnya penduduk pedesaan yang datang
ke kota sehingga terjadi urbanisasi berlebihan. Konsekuensi logis dari gejala ini adalah munculnya berbagai problem
sosial di daerah perkotaan yang disebabkan kehadiran kaum pendatang dengan karakteristik sosial ekonomi rendah. Ketidakberdayaan kondisi ekonomi kaum ini
pada gilirannya melahirkan sebuah fenomena sosial yang banyak mendapat perhatian, baik dari kalangan pemerintah maupun akademisi. Fenomena sosial
yang tampak adalah munculnya komunitas tertentu yakni pemukiman kumuh, perkampungan melarat dan kaum gelandangan. Fenomena semacam ini terdapat
dikota-kota besar yaitu Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya dan Yogyakarta Salamah, 2004: 40-41.
Munculnya fenomena gelandangan di daerah perkotaan selanjutnya dinilai oleh banyak pihak telah memberikan kesan negatif yakni: kesan yang kumuh,
Universitas Sumatera Utara
kotor, serta merusak pemandangan kota. Disamping itu, kehadiran kaum ini dianggapnya sebagai pusat pengangguran, rawan terhadap kriminalitas yaitu
pencurian, penjambretan, perjudian, mabuk-mabukan dan pelacuran. Bahkan, sentral-sentral gelandangan selalu dalam pengawasan pihak keamanan khususnya
pihak kepolisian, karena disinyalir daerah ini sarat akan perilaku kejahatan, sesungguhnya pihak pemerintah kota telah melakukan berbagai upaya
penampungan pemberian keterampilan tetapi tetap saja para gelandangan masih menghiasi sudut-sudut kota bahkan malah semakin bertambah. Berkaitan dengan
permasalahan tersebut maka untuk memperoleh gambaran penjelasan secara empiris perlu dilakukan suatu penelitian tentang keuntungan-keuntungan sosial
ekonomi apa yang diperoleh selama berada di kota bagi para gelandangan dan faktor-faktor apa yang berperan Salamah, 2004: 40-41.
Jumlah gelandangan dan pengemis gepeng di Sumatera Utara menurut data Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara 2006 menyebutkan, populasi gepeng
mencapai 7.813 orang, terdiri dari 4.373 orang gelandangan dan 3.440 orang pengemis. Sesuai data tahun 2007 yang diperoleh dari Dinas Sosial Sumut
menunjukkan jumlah gelandangan pengemis dan anak jalanan Gepeng Anjal mencapai 95.791 orang. Rinciannya, 3.300 pengemis, 4.823 gelandangan dan
18.741 anak jalanan. Sementara itu, terdapat 68.927 anak terlantar, 62.428 anak balita terlantar, 161.755 keluarga fakir miskin dan paling besar jumlah keluarga
yang tinggal di rumah tak layak huni RTLH mencapai 140.169 keluarga
http: yayasan-kksp.blogspot.com 2008 04 gepeng-anjal-95791-orang-di-sumut diakses tanggal 27 03 09 pukul 16.38
Wib. Jumlah gepeng yang berseliweran di seantero Sumut mencapai 12.680 orang dan Provinsi Sumatera Utara menempati peringkat ketiga nasional
Universitas Sumatera Utara
dalam urusan gepeng dan anjal. Sumut hanya kalah dari DKI Jakarta dan Jawa Timur
http: yayasan-kksp.blogspot.com 2008 07 sumut-perang-melawan-gepeng.html diakses tanggal 27 03 09 pukul 16.40
Wib .
Selanjutnya menurut data yang dikeluarkan Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Depsos RI itu, Sumut terbesar kedua dari 33 provinsi
memiliki masyarakatnya tinggal di rumah tak layak huni setelah Jawa Timur 404.864 RTLH. Kasubdit Bina Program P.Daulat Sembiring Dinas Sosial Sumut
mengakui data itu dan masih dipakai untuk tahun 2008. Pejabat Dinsos itu menepis tidak ada penanganannya. Katanya, kemarin jumlah penyandang masalah
kesejahteraan sosial itu terus mengalami peningkatan setiap tahun sejak terjadi krisis moneter terutama kelompok gepeng dan anak terlantar. Menurut Sembiring,
program penanganannya telah dilakukan dengan membina dan menempatkan mereka di panti-panti seperti Panti Pungai Binjai dan sebuah panti di Sibolga.
httpwww.waspada.co.idindex2. Diakses jumat 17042009 pukul 11.00 wib. Dewasa ini penyandang masalah kesejahteraan sosial sangat
memprihatinkan sebagai akibat dari krisis ekonomi dan krisis global yang melanda dunia. Bahkan, krisis global telah menambah jumlah gepeng. Perda
gepeng bertujuan untuk meningkatkan kehidupan dan penghidupan, kemampuan serta meningkatkan harkat dan martabat para gepeng. Berbagai upaya telah
dilakukan instansi teknis bersama-sama dengan masyarakat melalui kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam menangani masalah gepeng, baik dengan
sistem penampungan di panti maupun luar panti. Namun, belum menunjukkan hasil yang maksimal. Hal ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya besarnya
permasalahan gepeng, yang jumlahnya tidak seimbang dengan jangkauan
Universitas Sumatera Utara
pelayanan, keterbatasan SDM, dana, sarana dan prasarana. Di sisi lain, masyarakat masih simpati dengan memberikan sebagian rezekinya kepada saudara-saudara
kita yang meminta-minta dipersimpangan jalan dan di bawah lampu merah. Dengan ditetapkannya perda gepeng ini diharapkan pemkabpemko sudah
memiliki dasar hukum dalam melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan dan pengemis. Sehingga, tingkat urbanisasi masyarakat desa ke kota
dapat diminimalisir
http: www.medanbisnisonline.com
. Diakses Jumat 170409pukul 11.00 wib.
Di Sumatera Utara ada 147 UPTD yang berada dibawah naungan Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara. Beberapa diantaranya seperti, Panti Sosial Bina
Remaja Nusa Putra Tanjung Morawa yang menangani masalah remaja yang putus sekolah dan membekali mereka dengan keterampilan, Panti Sosial Karya Bhakti
Sei Buluh menampung dan memberdayakan orang-orang buta. Panti Sosial Parawarsa Berastagi yang menangani PSK yang terjaring oleh Satpol PP untuk
dibina dan diberi keterampilan. Panti Sosial Anak Pengekepen Kabanjahe yang merupakan panti asuhan anak yang menampung anak-anak yang terlantar dan
diterlantarkan oleh orang tua mereka. Panti Sosial Werdha Abdi Binjai yang menampung orang-orang jompo dan lansia yang terlantar. Panti Sosial Cacat
Netra Baladewa Tebing Tinggi yang menampung orang-orang buta dan dibekali keterampilan seperti memijat. PSTPA Dharma Asih Medan yang menangani
penitipan anak untuk orang tua yang sibuk agar anak mereka tidak diterlantarkan pada saat orang tua bekerja. Panti Sosial Harapan Bahkapul P.Siantar yang
menampung orang jompo dan lanjut usia terlantar. UPTD Balai Pungai Sejahtera Binjai yang menangani masalah gelandangan pengemis yang terjaring razia oleh
Universitas Sumatera Utara
Satpol PP untuk dibina dan dibekali keterampilan agar dapat berfungsi sosial sebagaimana mestinya dalam masyarakat Daftar Panti Sosial Provinsi Sumatera
Utara 2008. Salah satu dari UPTD yang diuraikan diatas yang menarik untuk diteliti
adalah masalah gelandangan pengemis yang ditangani oleh UPTD Balai Pungai Sejahtera Binjai. Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa gelandangan dan pengemis
merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pelayanan sosial yang diberikan kepada mereka sehingga peneliti merasa
tertarik untuk meneliti peranan yang dilakukan oleh UPTD Balai Pungai Sejahtera Binjai dalam rangka meningkatan fungsi sosial keluarga warga binaan.
UPTD Balai Pungai Sejahtera Binjai ini mempunyai peranan seperti: bimbingan keagamaan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesadaran
dalam beribadah sesuai dengan agama yang dianut oleh warga binaan sosial, bimbingan sosial berupa arahan dari kepala UPTDKepala Seksi secara
bergantian, melaksanakan kerja bakti, memberikan kepercayaan kepada warga binaan untuk melakukan roda malam, bimbingan keterampilan berupa pelatihan di
bidang pertanian, pelayanan konsultasi pribadi melalui bimbingan oleh Bapak Ibu Asuh, pelayanan kesehatan di Poliklinik yang disediakan panti, kerjasama
dengan instansi terkait yang bertujuan untuk membantu panti dalam upaya pembinaan warga binaan serta pelayanan kebutuhan dasar seperti sandang pangan
dan papan.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah