80
BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA
A. Permasalahan Penerapan ACFTA
Penerapan suatu kebijakan biasanya diikuti tanggapan pro dan kontra, tidak terkecuali dalam pembentukan ACFTA. Beberapa penelitian menyatakan
adanya dampak positif dari terbentuknya ACFTA terhadap hubungan ekonomi kedua pihak, termasuk hasil yang diutarakan oleh ASEAN-Cina Expert Group,
yang dijadikan rujukan terhadap terbentuknya ACFTA ini. Namun ada juga tanggapan yang negatif dengan mengkritisi argumen-argumen normatif dari
penelitian sebelumnya. Pada bagian ini penulis akan mencoba memaparkan tanggapan-tanggapan yang berbeda dari kedua pihak tersebut.
Salah satu masalah fundamental dari terbentuknya ACFTA adalah kurang terwakilinya kelompok-kelompok masyarakat, misalnya kelompok pengusaha
swasta, dalam proses pembuatan kebijakan perdagangan bebas ini. Kurang transparan dan terbukanya proses pengambilan kebijakan, mengakibatkan
penerapan skema ini tidak cukup dikenal bagi kalangan masyarakat ASEAN. Sehingga begitu penerapan skema ini dijalankan secara penuh pada 2010 bagi
ASEAN-6, maka banyak menuai protes dari kalangan pengusaha, seperti di Indonesia dan Thailand Pambudi Chandra 2006, h. 44. Sebenarnya ASEAN
telah membagi penerapan skema ACFTA ini dalam beberapa tahap, termasuk Early Harvest Program
yang sudah berlangsung sejak Januari 2004. Namun karena sosialisasi yang kurang, maka banyak kalangan yang menduga skema ini
langsung diterapkan begitu saja menjelang 2010 tanpa adanya persiapan yang
81 cukup. Oleh karena itu, menurut Sungkar dalam Inayati 2007, h. 141 ASEAN
yang selama ini hanya melibatkan aktor negara dalam penerapan berbagai programnya, harus mampu menggeser orientasinya sehingga aktor non-negara
juga terlibat dalam proses pembuatan keputusan, khususnya hal-hal yang menyangkut kebijakan ekonomi. Karena akan sulit bagi ASEAN, jika pelaku
ekonomi yang justru berjuang secara langsung dalam penerapan skema ini tidak mengenal program-program ekonomi ASEAN.
Selain itu, masalah yang ditimbulkan dari penerapan ACFTA ini tidak hanya sekedar dari proses penerapan kebijakan yang kurang transparan, tetapi
juga dampak dari segi ekonomi jangka pendek yang langsung dirasakan bagi pelaku usaha di kawasan Asia Tenggara. Sejauh ini ASEAN dan Cina lebih sering
menekankan dampak jangka panjang dari penerapan ACFTA, namun perlu juga diperhitungkan dampak ekonomi jangka pendek dari penerapan skema ini.
Salah satu dampak jangka pendek, menurut Wang dalam Leong Ku eds. 2005, h. 35 bahwa Cina menjadi pesaing bagi ASEAN dan berpotensi
membuat produk-produk industri tekstil, mainan anak-anak, kendaraan bermotor, dan barang-barang elektronik di Asia Tenggara mengalami hambatan. Cina
sebenarnya telah berusaha meredam tanggapan negatif ini, melalui mekanisme Early Harvest Program
. Dalam skema ini berlaku penurunan tarif secara sepihak dari pemerintah Cina terhadap komoditi ekspor dari ASEAN yang termasuk ke
dalam skema ini, jadi komoditi ekspor dari negara-negara ASEAN mendapatkan pengurangan tarif terlebih dahulu selama beberapa tahun 2004-2006, namun
tidak berlaku sebaliknya bagi komoditi ekspor Cina yang masuk ke ASEAN Yu
82 dalam Leong Ku eds. 2005, h. 46; Wibowo 2007, h. 41; Pambudi Chandra
2006, h. 43. Melalui EHP tampak keseriusan Cina untuk meredam tanggapan negatif
tersebut. Namun dengan pemotongan tarif yang dilakukan Cina ini, juga dapat dikritisi akan kebaikan yang tidak wajar ini. Karena terbukti, meskipun Cina
sudah cukup baik dengan melakukan pemotongan tarif, tetapi sebenarnya komoditi ekspor Cina terutama di sektor manufaktur sudah melimpah di negara-
negara ASEAN, tanpa perlu mendapatkan pengurangan tarif terlebih dahulu. Sebenarnya ASEAN sendiri sudah menyadari akan konsekuensi jangka
pendek ini, karena setelah Cina resmi menjadi anggota WTO pada November 2001, maka hal ini menjadi pintu masuk bagi Cina untuk membanjiri pasar dunia
dengan komoditi ekspornya. Melimpahnya komoditi ekspor Cina ini bukan hanya terjadi di Asia Tenggara namun juga di seluruh dunia. Menurut data dari Bank
Dunia misalnya, pada tahun 1990 nilai ekspor Cina hanya sebesar 1,6 persen dari keseluruhan ekspor dunia, namun terus meningkat hingga 3,5 persen pada 2000,
6,4 persen pada 2005 dan 7,7 persen pada 2007 Yusuf Nabeshima 2010, h. 16. Data ini mengindikasikan meningkatnya kemampuan Cina untuk mengekspor
komoditi manufakturnya ke seluruh dunia. Oleh karena itu, penerapan ACFTA ini menuai banyak kritikan di awal
penerapannya. Namun seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dalam penulisan skripsi ini, bahwa yang menyebabkan terwujudnya ACFTA bukan
hanya dari segi ekonomi, tetapi juga ada motivasi politik dalam mewujudkannya. Selain itu, sesuai pandangan neoliberal tentang perdagangan bebas keuntungan
absolut, yang sudah dijelaskan pada bagian kerangka pemikiran penulisan skripsi
83 ini, maka manfaat jangka panjang dari mekanisme ini diharapkan dapat terwujud
yaitu makin terciptanya interdependensi baik ekonomi maupun politik di antara keduanya. Dampak jangka pendek dari penerapan skema ini yaitu melemahnya
sektor manufaktur negara-negara ASEAN seperti pada komoditi tekstil. Sebagai timbal baliknya, ASEAN dapat mengambil keuntungan melalui ekspor komoditi
bahan mentah, sebagai penunjang dari kelangsungan proses industri yang terjadi di Cina. Jadi sebagai produsen bahan baku dan energi, negara ASEAN akan
diuntungkan, tetapi sebagai produsen barang-barang manufaktur, Cina akan lebih diuntungkan. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai indikator atau
tolak ukur dari perdagangan luar negeri yang terjadi antara ASEAN dan Cina, selain juga aspek investasi yang menjadikan ACFTA memiliki orientasi jangka
panjang.
B. Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina B.1 Aspek Perdagangan Luar Negeri