Pembentukan ASEAN-CINA Free Trade Area (ACFTA) dan hubungan ekonomi ASEAN-CINA (2003-2009)

(1)

PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE AREA

(ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA

(2003-2009)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Jurusan Hubungan Internasional

Oleh

Ali Fikri Wibowo NIM : 106083003757

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 27 juli 2011


(3)

LEMBAR PERSETUJUAN

PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE

AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI

ASEAN-CINA (2003-2009)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hubungan Internasional

Oleh: Ali Fikri Wibowo NIM: 106083003757

Dosen Pembimbing Dosen Penasehat Akademik

Dina Afrianty, Ph.D. Ali Munhanif, Ph.D. NIP: 197304141999032002 NIP: 196512121992031004

Jurusan Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

2011


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PEMBENTUKAN ASEAN–CINA FREE TRADE AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA (2003-2009) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Hubungan Internasional.

Jakarta, 5 Agustus 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan

Dina Afrianty, Ph.D. Agus Nilmada Azmi, M.Si. NIP: 197304141999032002 NIP: 197808042009121002

Pembimbing

Dina Afrianty, Ph.D. NIP: 197304141999032002

Penguji I Penguji II

Friane Aurora, M.Si. Arisman, M.Si. 198606172011012009


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini melihat hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina hingga kedua belah pihak menyepakati pembentukan ASEAN-Cina Free Trade Area. Oleh karena itu, penulis mencoba menjabarkan kepentingan ASEAN dan Cina di balik pembentukan perjanjian ini. Kepentingan tersebut dipengaruhi dinamika internal dan eksternal yang terjadi baik dalam lingkup ASEAN maupun Cina, sehingga hubungan ekonomi ini sangat mencerminkan adanya interdependensi. Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan dalam skripsi ini maka ACFTA bagi ASEAN dan Cina harus diwujudkan.

Oleh karena itu, secara umum penulis melihat kerjasama ini dari perspektif neoliberal. Kemudian mencoba mengkhususkannya lagi melalui dua varian lain dalam perspektif tersebut, yaitu interdependensi yang dapat menjelaskan bahwa masing-masing pihak sangat membutuhkan perjanjian ini, dan neoliberal institusionalis yang mencoba menggambarkan peran dari sebuah rezim yang dalam hal ini adalah ACFTA.

Metode Penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yang didasarkan pada pengumpulan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber. Data-data ini kemudian penulis olah dengan bantuan kerangka pemikiran untuk mempermudah penulis dalam menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis memaparkan ataupun mendeskripsikan fakta-fakta terkait dengan pembahasan skripsi ini, lalu kemudian mencoba menganalisa fakta ataupun data tersebut pada bagian selanjutnya dalam penulisan.

Penelitian ini memiliki hasil temuan bahwa melalui mekanisme free trade area, perdagangan dan investasi yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakatinya menjadi meningkat. Namun, meningkatnya perdagangan dan investasi tersebut tentunya tidak sama jumlahnya dari segi nilai ekonomi. Dalam hal ini ada pihak yang lebih diuntungkan. Namun hal tersebut tidak menghalangi hubungan ekonomi yang terus berkembang di antara keduanya, karena melalui perspektif neoliberal, yang menjadi persoalan bukan dari jumlah nominal yang diperoleh, namun selama masing-masing pihak mendapatkan keuntungan, tidak hanya dengan jumlahnya maka kerjasama tersebut dapat diwujudkan. Selain itu kerjasama ini memiliki orientasi jangka panjang sehingga optimisme tersebut dapat mengalahkan hambatan yang menyertai kerjasama ini. Hal inilah yang menyebabkan ACFTA dapat terbentuk dan menjadi sangat penting bagi hubungan ekonomi ASEAN dan Cina.


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional.

Penulis bersyukur atas segala rintangan dan kemudahan yang menyertai penulisan skripsi ini, hingga dapat diselesaikan. Hal ini tentunya terjadi bukan hanya dari usaha penulis seorang diri, melainkan juga karena karuniaNya dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya: Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan. Terutama Mama yang telah memberikan dukungan finansial dan tekanan moral, sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Selain itu juga, terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dina Afrianty Ph.D. selaku dosen pembimbing dan Ketua Jurusan Hubungan Internasional yang sudah sangat membantu proses penulisan skripsi ini. Terima kasih karena selama ini sudah rela meluangkan waktu dan membagi ilmunya, sehingga sangat-sangat membantu penulis. Ibu telah memberikan arahan, motivasi dan benar-benar membimbing, suatu kehormatan bagi penulis bisa berada di bawah bimbingan Ibu. Terimaka kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ali Munhanif Ph.D. selaku Penasehat Akademik, Bapak Agus Nilmada Azmi M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional, serta seluruh staf Dosen pada jurusan Hubungan Internasional yang sudah mendedikasikan ilmunya selama ini kepada penulis.

Terima kasih juga untuk seluruh keluarga, Uni Yeni, Uni Dila dan keponakanku satu-satunya Nazla Kamilah yang sudah memberikan keceriaan, di tengah kepenatan selama ini. Terima kasih kepada Bang Marbawi yang sudah meminjamkan beberapa bukunya sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Tidak lupa juga terima kasih kepada seluruh rekan-rekan seperjuangan pada jurusan Hubungan Internasional yang sudah berkontribusi, baik dalam usaha


(7)

eksplorasi bersama pencarian bahan-bahan skripsi, ataupun dengan sukarela meminjamkan bukunya; Christa, Acyd, Kis, Dian, Nia, Qori, Ayu. Selain itu juga teman-teman lainnya di HI 2006, sebagai rekan diskusi selama ini; Nanda, Beben, Firman, Insan, Wer, Irfan, Adnan, Bojay, Zubir, Ibnu.

Terima kasih juga kepada teman-teman di UKM FORSA khususnya divisi Basket, yang sudah menumbuhkan jiwa sportifitas dan semangat pantang menyerah dalam diri penulis. Selain itu terima kasih juga kepada teman-teman di kosan Graha Cendekia yang sudah menemani penulis selama beberapa tahun dalam menempuh pendidikan di Universitas ini. Dan semua pihak yang sudah membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih.

Akhirnya, penulis berharap agar semua kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan dariNya. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang lain yang membacanya, terlepas dari banyaknya kekurangan yang termuat di dalamnya. Terima Kasih.


(8)

DAFTAR ISI

Abstrak………iv

Kata Pengantar……….v

Daftar Isi………....vii

Daftar Singkatan………....………...ix

Daftar Tabel………xi

Daftar Lampiran……….xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...1

B. Pertanyaan Penelitian………...6

C. Kerangka Pemikiran………...6

D. Metode Penelitian………...15

E. Sistematika Penulisan………...15

BAB II HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN A. Latar Belakang Kerjasama Ekonomi ASEAN………...17

B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN B.1 Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN………...……...20

B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN….………...32

C. Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN C.1 Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN………..35

C.2 ASEAN+3 (Cina, Jepang, Korea Selatan)….………...37

C.3 Hubungan Awal Kerjasama ASEAN-Cina…………...41

C.4 ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)…………...43

BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN ACFTA A. Kondisi Ekonomi Politik Cina A.1 Masa Mao Zedong………...50

A.2 Masa Deng Xiaoping………...55

B. Kondisi Internal Ekonomi Cina B.1 Keterbatasan Bahan Mentah dan Sumber Daya Alam di Cina...61


(9)

B.2 Perluasan Akses Pasar……….64 C. Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA

C.1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin…………67 C.2 Masuknya Cina menjadi anggota WTO……….…...69 C.3 Membendung Pengaruh Jepang di Kawasan Asia

Tenggara……….…..…...73 BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA

A. Permasalahan Penerapan ACFTA………..…………...80 B. Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina

B.1 Aspek Perdagangan Luar Negeri………...83 B.2 Aspek Investasi………...86 C. Dampak Terbentuknya ACFTA Terhadap Hubungan

Ekonomi ASEAN-Cina………..…..………...90 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………...94 DAFTAR PUSTAKA………...97 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR SINGKATAN

AC : ASEAN Community

ACFTA : ASEAN-China Free Trade Area AEC : ASEAN Economic Community

AFAS : ASEAN Framework Agreement on Services AFTA : ASEAN Free Trade Area

AIA : ASEAN Investment Area AMM : ASEAN Ministerial Meeting

APEC : Asia-Pasific Economic Cooperation APSC : ASEAN Political-Security Community APT : ASEAN Plus Three

ARF : ASEAN Regional Forum AS : Amerika Serikat

ASA : ASEAN Swap Arrangement

ASCC : ASEAN Socio-Cultural Community ASEAN : Association of Southeast Asian Nations

BIMP-EAGA : Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN Growth Area

CEP : Comprehensive Economic Partnership CEPT : Common Effective Preferential Tariff CIA : Central Intelligence Agency

CITIC : China International Trust and Investment Company CMI : Chiang Mai Initiative

CMLV : Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam CNOOC : China National Offshore Oil Corporation EAC : East Asian Community

EHP : Early Harvest Program EU : European Union

FDI : Foreign Direct Investment FTA : Free Trade Area


(11)

GDP : Gross Domestic Product GEL : General Exception List GNI : Gross National Income HAM : Hak Asasi Manusia HSL : Highly Sensitive List IL : Inclusion List

IMS-GT : Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle IMT-GT : Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle KTT : Konferensi Tingkat Tinggi

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Mercosur : Southern Common Market, Mercado Común del Sur MFN : Most Favoured Nation

MoP : Margin of Preference

NAFTA : North American Free Trade Area NICs : New Industrialized Countries NT : Normal Track

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PKC : Partai Komunis Cina

PRC : People’s Republic of China

PTA : Preferential Trading Arrangements RoO : Rules of Origin

RRC : Republik Rakyat Cina

RTA : Regional Trading Agreements SEATO : Southeast Asia Treaty Organization Sijori : Singapura-Johor-Riau

SL : Sensitive List ST : Sensitive Track

TAC : Treaty of Amity and Cooperation TEL : Temporary Exclusion List

US : United States WEC : West-East Corridor


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 ...26 Tabel II.2 Investasi Asing Langsung Menuju ASEAN: 2003-2009…………..…30 Tabel II.3 Skema Penurunan tarif ACFTA ………...……46 Tabel IV.1 ASEAN Ekspor dan Impor ke Cina: 2003-2009………...……..84


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Transkrip Wawancara

Lampiran 2: Framework Agreement on Comprehensive Economic


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skripsi ini membahas tentang faktor-faktor, baik internal maupun eksternal yang membuat Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dan Cina meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi, serta dampaknya terhadap hubungan ekonomi tersebut. Namun, pembahasan tidak akan melihat hubungan masing-masing negara anggota ASEAN dengan Cina secara terpisah, melainkan hubungan ASEAN secara keseluruhan sebagai suatu institusi formal di kawasan Asia Tenggara dengan Cina. Selain itu, penulis juga membatasi periode jangka waktu penelitian, yaitu antara tahun 2003 sampai dengan 2009. Dikarenakan pada tahun 2003 skema perjanjian kerjasama ini secara bertahap mulai diberlakukan dan pada 2009 mengingat keterbatasan data primer sehingga pembatasan jangka waktu harus dilakukan.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II timbul satu gagasan untuk mengintegrasikan perekonomian negara-negara di dunia. Salah satunya melalui kerjasama bilateral ataupun dalam ruang lingkup regional. Dengan bersatunya ekonomi negara-negara di dunia, diharapkan akan tercipta situasi saling ketergantungan (interdependensi) dan akan memperkecil resiko timbulnya perselisihan yang bisa mengakibatkan kembali timbulnya perang. Selain itu, setelah Perang Dunia II berakhir negara-negara di dunia ingin kembali memulihkan kondisi ekonomi dalam negerinya, dan hal itu tentunya tidak dapat


(15)

diwujudkan tanpa adanya bantuan ataupun kerjasama dari negara lainnya. Maka pada tahap selanjutnya timbullah bentuk-bentuk kerjasama regional di dunia ini.

Salah satu bentuk kerjasama regional yang lahir setelah berakhirnya PD II adalah Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) pada 1954 yang merupakan organisasi bentukan Amerika Serikat yang lebih bertujuan untuk membendung berkembangnya komunisme di Asia Tenggara dengan mengutamakan kerjasama di bidang pertahanan (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h. 187). Pada perkembangannya, SEATO inilah yang melatarbelakangi pembentukan dari ASEAN pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Awal pembentukan ASEAN juga bertujuan untuk membendung penyebaran komunisme di Asia Tenggara yang dipelopori oleh Cina (Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 59).

Selain karena alasan politik dan pertahanan tersebut, tujuan dari pembentukan ASEAN, salah satunya seperti yang tertuang dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967, adalah untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan kebudayaan di kawasan ASEAN (ASEAN Secretariat 1967; Prabowo & Wardoyo2004, h. 1). Meskipun sampai saat ini kemapanan dari segi ekonomi yang dicita-citakan oleh ASEAN masih belum terwujud, akibat keberagaman tingkat ekonomi dari negara-negara anggotanya. ASEAN sendiri dihadapkan atas berbagai pilihan, yaitu antara mengembangkan kerjasama dengan negara ASEAN (intra ASEAN) atau kerjasama ekonomi dengan negara di luar anggota ASEAN. Salah satu negara di luar ASEAN yang dianggap mampu untuk memacu ataupun mengembangkan potensi ekonomi dari negara-negara anggota ASEAN adalah Cina, mengingat


(16)

perkembangan ekonomi Cina pada dua dekade terakhir yang mengalami peningkatan cukup pesat.

Secara historis, hubungan antara Cina dengan ASEAN memang sudah berlangsung sejak lama, namun secara resmi baru dimulai pertengahan tahun 1990-an (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 167). Hubungan kerjasama Cina dengan ASEAN ditandai dengan adanya perubahan-perubahan pada tingkat global. Pasca perang dingin, Cina memutuskan untuk lebih mempererat hubungannya pada bidang ekonomi dengan ASEAN sekaligus melepaskan ketergantungan hubungannya dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS).

Bagi Cina, memang tidak ada pilihan lain kecuali menerima kenyataan akan adanya interdependensi dan globalisasi secara antusias dan terbuka sebagai kebutuhan dari pembangunan perekonomiannya (Inayati ed. 2006, h. 21). Cina sebenarnya sudah lama berusaha untuk meningkatkan perekonomiannya, tetapi perekonomian berdikari yang dicanangkan oleh pendiri negara ini yaitu Mao Zedong1 gagal membawa pertumbuhan bagi perekonomian Cina. Keinginan untuk menjadikan Cina sebagai kekuatan besar dalam sistem hubungan antar

1

Mao Zedong adalah tokoh pendiri Republik Rakyat Cina (RRC) yang juga pemimpin Partai Komunis Cina (PKC), ia memimpin Cina pada periode 1949 hingga 1976. Mao Zedong dianggap pemimpin yang revolusioner dan juga kejam karena sering sekali menyingkirkan lawa-lawan politiknya. Jasa terbesarnya adalah keberhasilannya memimpin PKC dalam perang saudara melawan Kuomintang yang beraliran nasionalis (1927-1949), serta keberhasilannya dalam memimpin perang gerilya melawan Jepang (1937-1945). Namun, kegagalan terbesarnya saat memimpin Cina adalah berupa kebijakannya yaitu “Lompatan Jauh Ke Depan” yang justru mengakibatkan kesengsaraan rakyat banyak, dan “Revolusi Kebudayaan” yang dipandang hanya memecah belah kesatuan Cina. Semasa kepemimpinannya, Cina mengalami keterpurukan di bidang ekonomi. Prinsip politik Mao Zedong yang beraliran komunis ini masih tetap digunakan di Cina hingga saat ini. Pengikut aliran Mao Zedong disebut sebagai Maois (lihat Taniputera 2009).


(17)

negara di dunia ini tidak hanya menjadi obsesi Mao Zedong, tetapi juga menjadi cita-cita pemimpin Cina pasca Mao Zedong yaitu Deng Xiaoping2.

Menurut Inayati (ed. 2006, h. 23), Deng Xiaoping dalam usaha menjadikan Cina sebagai negara yang kuat lewat peningkatan kekuatan ekonomi mencanangkan program reformasi yang dinamakan “Empat Modernisasi” (singe xiandaehua). Gagasan program empat modernisasi ini dikemukakan oleh Deng Xiaoping dalam pidato utama di pleno ketiga sidang komite sentral kesebelas Partai Komunis Cina (PKC) pada tanggal 13 Desember 1978, empat program modernisasi tersebut meliputi bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertahan keamanan. Untuk mendorong program empat modernisasi tersebut, Deng Xiaoping memprakarsai kebijakan pintu terbuka (open door policy). Pada dasarnya kebijakan pintu terbuka adalah kebijakan yang disusun untuk mempromosikan ekspansi hubungan ekonomi dengan negara lain, termasuk di dalamnya beberapa kebijakan dalam hal perdagangan luar negeri, investasi asing, serta pinjaman luar negeri. Hal inilah yang menyebabkan Cina membuka diri terhadap hubungan ekonomi dengan negara lainnya, kebijakan inilah yang terus mendasari hubungan ekonomi Cina dengan negara lainnya.

Salah satu kerjasama ekonomi yang dinilai penting adalah kerjasama dengan ASEAN. Menjalin kerjasama dan hubungan ekonomi yang baik dengan

2

Deng Xiaoping dianggap sebagai pemimpin Cina pasca Mao Zedong, ia memimpin Cina pada periode 1978 hingga 1992. Pada masa revolusi kebudayaan di Cina, ia juga termasuk lawan politik yang diasingkan oleh Mao. Pada masa kepemimpinannya, Cina justru mengalami kemajuan yang pesat di bidang ekonomi, karena keterbukaannya dengan pihak asing. Kebijakan ekonomi yang diterapkan Deng sering dianggap bertentangan dengan prinsip pokok Marxisme, namun Deng tetap membangun Cina dengan “sosialisme baru”, ungkapan yang cukup terkenal dari pernyataan Deng adalah “Tidak peduli apakah kucing itu berwarna putih atau hitam, yang penting adalah kucing itu dapat menangkap tikus, maka itu adalah kucing yang terbaik”. Meskipun dalam menjalankan kebijakan ekonomi Deng dianggap cukup liberal, namun dalam sistem pemerintahan Deng tetap mempertahankan prinsip politik Cina yang sentralistik dan beraliran komunis. Deng


(18)

ASEAN berarti menimbulkan penciptaan lingkungan regional yang damai, yang merupakan salah satu inti sari dari empat program modernisasi Cina (Inayati ed. 2006, h. 38). Meskipun Cina bukan negara utama dari penyebaran komoditi ekspor negara ASEAN, karena jumlah nilai ekspor yang dihasilkan masih kalah jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang, namun peningkatan nilai tersebut secara terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun, bahkan sebenarnya telah melampaui persentase kenaikan nilai ekspor ASEAN ke AS dan Jepang (Danyang dalam Hock, Jun & Wah eds. 2005, h. 209).

Pada 4 November 2002 saat ASEAN-Cina Summit ke-6 di Kamboja, para pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menandatangani

Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation. Kerangka ini merupakan landasan bagi kerjasama perdagangan dalam sebuah kawasan perdagangan bebas ASEAN-Cina yang ditargetkan bisa dicapai pada tahun 2010 untuk ASEAN-6 (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand) dan pada tahun 2015 untuk ASEAN-CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam)3 (Yu dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 45).

Masing-masing pihak baik ASEAN maupun Cina sebenarnya saling membutuhkan kawasan perdagangan bebas ini untuk meningkatkan perekonomiannya. Bagi negara-negara ASEAN sendiri, Cina dianggap mampu menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap Amerika Serikat dan Jepang

3

ASEAN-6 beranggotakan lima Negara pendiri ASEAN pada 8 Agustus 1967, yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Sedangkan Negara ke-enam adalah Brunei Darussalam yang menjadi anggota ASEAN pada Januari 1984. Sedangkan ASEAN-CMLV beranggotakan empat negara selanjutnya yang masuk menjadi anggota ASEAN. Secara berurutan, Vietnam pada Juli 1995, Laos dan Myanmar pada Juli 1997, serta Kamboja pada Desember 1998. Selain atas perbedaan jangka waktu menjadi anggota ASEAN, pengelompokan ini juga biasanya berdasarkan tingkat kemajuan ekonomi negara anggota ASEAN yang dibagi menjadi dua kelompok ini (lihat Dirjen Kerjasama ASEAN 2010).


(19)

yang perekonomiannya sering menghadapi goncangan. Dengan kedekatan ASEAN dan Cina tersebut maka akan meningkatkan stabilitas ekonomi dan keamanan regional sendiri, karena banyaknya alternatif kerjasama yang dimiliki ASEAN dan masing-masing pihak juga membutuhkan lingkungan regional yang aman untuk mengoptimalkan nilai investasi yang ada. Atas latar belakang inilah, peningkatan kerjasama di bidang ekonomi antara ASEAN dan Cina dapat disepakati, sehingga membentuk ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA), yang selanjutnya menjadi pokok pembahasan utama dalam penulisan skripsi ini.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang akan dibahas adalah:

1. Faktor internal maupun eksternal apa saja yang membuat ASEAN dan Cina meningkatkan hubungan kerjasama di bidang ekonomi melalui ACFTA?

2. Bagaimana pembentukan ACFTA ini berimplikasi pada hubungan ekonomi ASEAN dan Cina?

C. Kerangka Pemikiran

Globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia telah memberikan peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya, serta mampu mengubah struktur dan pembangunan sosial masyarakatnya. Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 266) globalisasi berarti meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi, sosial dan budaya yang melewati batas-batas internasional. Globalisasi yang dicirikan dengan adanya saling ketergantungan (interdependensi), menyebabkan semakin sulit bagi suatu negara


(20)

untuk mempertahankan kebijakannya yang independen dan otonom (Perwita & Yani 2005, h. 77). Kebijakan yang diambil oleh suatu negara baik yang bersifat domestik terlebih lagi luar negeri, harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang cepat terjadi pada lingkungan internasional. Oleh karena itu, globalisasi telah membuka peluang yang tidak terbatas bagi negara-negara untuk melakukan kerjasama dan integrasi ekonomi yang saling menguntungkan dalam bidang perdagangan barang, jasa, maupun investasi. Penulis akan berkonsentrasi pada aspek ekonomi dari globalisasi, karena aspek ekonomi ini berkaitan dengan saling ketergantungan (interdependensi) yang terjadi di antara negara-negara di dunia ini. Selain dari konsep interdependensi, penulisan skripsi ini juga akan dilihat dari perspektif neoliberal institusionalis, agar dapat menggambarkan peran institusi ataupun rezim (serangkaian peraturan) yang terjadi dalam pembentukan ASEAN-Cina Free Trade Area ini.

Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 147) interdependensi berarti ketergantungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lainnya. Jadi suatu negara dipengaruhi oleh apa yang terjadi di manapun, oleh tindakan rekannya di negara lain. Dengan adanya interdependensi, maka yang terjadi bukan hanya keterkaitan dari segi ekonomi, namun interdependensi antar negara dapat mengurangi konflik kekerasan antar negara. Keohane dan Nye (dalam Jackson & Sorensen 2005, h. 151) menambahkan bahwa, dalam interdependensi (complex interdependence) kekuatan militer merupakan instrumen kebijakan yang kurang bermanfaat. Oleh karena itu, sumber daya kekuatan selain dari militer semakin penting, seperti keahlian bernegosiasi. Akhirnya negara-negara menjadi lebih tertarik dengan isu kesejahteraan, ekonomi (low politics) dan kurang


(21)

menghiraukan dengan isu keamanan (high politics). Dalam interdependensi ini, hubungan yang terjadi menjadi lebih bersahabat dan kooperatif.

Lebih jauh, Jackson dan Sorensen menyatakan (2005, h. 65) bahwa, ketika terdapat derajat interdependensi yang tinggi, negara-negara akan sering membentuk institusi-institusi internasional untuk menghadapi masalah-masalah bersama. Institusi-institusi itu dapat berupa organisasi internasional formal (Uni Eropa,WTO,ASEAN), atau dapat berupa serangkaian persetujuan (sering disebut rezim) yang menghadapi aktivitas-aktivitas atau isu-isu bersama, seperti perjanjian tentang perdagangan, komunikasi, penerbangan, atau lingkungan. Peran institusi dalam bentuk ini akan dilihat dari perspektif neoliberal institusionalis.

Ada banyak varian dalam liberalisme, neoliberal institusionalis adalah salah satunya. Namun, yang membedakan neoliberal institusionalis dengan jenis liberalisme lainnya, menurut Keohane (dalam Hobson 2003, h. 95-98; lihat juga Grieco dalam Baldwin ed. 1993, h. 123) adalah tanggapannya yang menerima sejumlah asumsi dari pemikiran realis (struktural realis) mengenai anarkinya hubungan internasional. Menurut Keohane, negara secara rasional adalah egois dengan berusaha memaksimalkan keuntungan masing-masing, namun kehadiran sebuah rezim sangatlah penting dan efektif, meskipun dalam kondisi yang secara rasional memaksimalkan keuntungan masing-masing tersebut. Neoliberal institusionalis menurutnya juga bertentangan dengan pemikiran normatif dari liberal institusionalis sebelumnya. Keohane menolak pendapat dari liberalisme klasik, yang menyatakan bahwa kerjasama terjadi secara alami. Menurut Keohane, kerjasama tidak akan terjadi secara alami, kerjasama harus dirancang melalui pembentukan dari rezim internasional.


(22)

Menurut Keohane, sistem politik dunia tidak didominasi oleh harmoni dan kerjasama, tetapi dari perselisihan yang sering terjadi, seperti pendekatan neorealis. Secara fakta, perselisihan sangatlah penting, karena dapat menciptakan kebutuhan akan suatu rezim. Tanpa adanya konflik maka kerjasama tidak akan dibutuhkan. Negara dapat bernegosiasi atau merancang sebuah institusi, karena nilai dari keuntungan jangka panjang dari sebuah rezim. Rezim dapat mengusahakan negara untuk menyelesaikan permasalahan bersama dari situasi yang anarki. Kerjasama tidak terjadi karena alasan moral atau motivasi idealisme, tetapi karena menjanjikan kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, dalam perspektif neoliberal institusionalis masih terdapat optimisme dalam melakukan kerjasama, dan institusi memiliki peran dalam mewujudkan kerjasama tersebut.

Jackson dan Sorensen (2005, h. 158) menambahkan bahwa institusi internasional membantu memajukan kerjasama antara negara-negara, selain itu juga membantu mengurangi ketidakpercayaan dan rasa takut di antara negara satu dengan yang lainnya yang dianggap menjadi masalah tradisional yang dikaitkan dengan anarki internasional. Steans dan Pettiford (2009, h. 132) menjelaskan bahwa negara-negara tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan warga negara mereka yang beranekaragam tanpa bekerja sama dengan negara-negara lain. Institusi-institusi dan rezim-rezim internasional diperlukan untuk mengatur kekuatan interdependensi yang ada. Meskipun konflik itu selalu ada, namun institusi-institusi atau rezim-rezim menyediakan acuan bagi negara-negara untuk menyelesaikan berbagai perbedaan.

Menurut Steans dan Pettiford (2009, h. 135), keberhasilan neoliberal institusionalis dalam mengedepankan kerjasama tidak sepenuhnya tergantung


(23)

pada keberadaan suatu negara yang berhegemoni (dominan). Namun, ada kepentingan-kepentingan bersama yang bisa dicapai melalui kerjasama. Pada pandangan ini, negara-negara masih menjadi aktor dominan meskipun bukan satu-satunya, tetapi aturan-aturan institusi berpengaruh penting terhadap hasil-hasil dalam berbagai permasalahan. Mingst (2003, h. 65) menambahkan, bagi neoliberal institusionalis, kerjasama muncul karena setiap aktor mempunyai interaksi terus-menerus (kontinuitas) dengan yang lainnya. Institusi menyediakan jaminan kerjasama, di mana ada harapan untuk interaksi di masa selanjutnya.

Mengenai keuntungan yang akan diperoleh dengan melakukan kerjasama, Steans dan Pettiford (2009, h. 135; Keohane dalam Hobson 2003, h. 98) mengungkapkan bahwa bagi neoliberal institusionalis, umumnya negara-negara merupakan aktor yang berusaha memaksimalkan keuntungan yang absolut,4 bukan memaksimalkan keuantungan relatif. Keuntungan Absolut berarti perolehan mutlak yang didapatkan negara, tanpa membandingkan dengan seberapa besar yang didapatkan oleh negara lain. Oleh karena itu, kerjasama menjadi hal yang lebih masuk akal (rasional), dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi keuntungan absolut. Dalam hal inilah tersimpan penjelasan tentang kemunculan dan daya tahan berbagai organisasi, institusi dan rezim internasional. Jackson dan Sorensen (2005, h. 169) menambahkan, jika negara-negara memiliki kepentingan yang sama maka mereka tidak akan mencemaskan tentang keuntungan relatif. Dalam situasi tersebut institusi dapat membantu meningkatkan kerjasama.

4

Keuntungan Absolut, berarti sepanjang kita mengerjakannya dengan baik, tidak masalah jika yang lain mengerjakan lebih baik. Contoh: perekonomian negara A tumbuh mendekati 25% dalam satu dekade, perekonomian negara B tumbuh 75%. Sedangkan Keuntungan Relatif, berarti kita akan melakukan yang terbaik, tetapi prioritas nomor satu adalah yang lain tidak boleh mendahuluinya (asumsi realis). Contoh: perekonomian negara A tumbuh 10% dalam satu dekade, perekonomian negara B tidak boleh tumbuh lebih besar daripada itu. (lihat Jackson & Sorensen


(24)

Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, pandangan neoliberal institusionalis dapat dikaitkan dengan peran ASEAN sebagai organisasi formal di kawasan Asia Tenggara yang sedang berusaha untuk lebih memajukan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggotanya, melalui berbagai hubungan kerjasama ekonomi yang dilakukan baik intra ASEAN maupun dengan lingkungan eksternalnya. Dalam perspektif ini juga dapat dilihat peran institusi dalam menerapkan berbagai aturan ataupun program yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi negara anggotanya. Institusi dianggap mampu memberikan pedoman kerjasama bagi negara-negara yang memiliki banyak perbedaan baik dari segi ekonomi, politik dan lainnya.

Selain peran ASEAN sebagai suatu institusi, melalui perspektif neoliberal institusionalis juga dapat dilihat mengenai perjanjian pembentukan ACFTA. Keberadaan rezim atau perjanjian kerjasama ini bisa dikaitkan dengan anggapan anarkinya hubungan internasional, dalam hal ini misalnya, perkembangan ekonomi Cina yang dianggap menjadi pesaing dari perekonomian ASEAN baik dalam segi perdagangan maupun investasi, selain itu makin terkelompok-kelompoknya berbagai negara dalam suatu bentuk regionalisme (Uni Eropa, NAFTA, Mercosur) menjadikan hal yang lebih sulit bagi suatu negara di luar kawasan tersebut untuk melakukan kerjasama, dengan kata lain masing-masing negara berusaha memaksimalkan keuntungannya. Oleh karena itu, ASEAN dan Cina menanggapinya dengan lebih mendekatkan diri dengan membentuk ACFTA. Terlebih lagi Cina, karena dalam wilayah Asia Timur sendiri hampir tidak adanya kemungkinan bagi Cina untuk membentuk suatu institusi formal terkait persaingannya dengan Jepang.


(25)

Oleh karena itu, optimisme Cina dan ASEAN dalam melakukan kerjasama di bidang ekonomi tertuang dalam pembentukan ACFTA. Kedua belah pihak menganggap keberadaan perjanjian ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi keduanya. Meskipun dalam pembentukannya juga banyak menuai protes, terkait dengan komoditi ekspor Cina yang luar biasa melimpah, namun sesuai dengan pandangan neoliberal institusionalis tentang keuntungan absolut yang akan diperoleh, maka perjanjian ini dapat diwujudkan, dengan harapan manfaat jangka panjang dari hubungan yang akan terjadi bagi keduanya termasuk dari segi investasi.

Fenomena globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia tidaklah mungkin untuk dihindari, yang menjadi persoalan adalah sejauh mana negara-negara di dunia ini mampu mengambil keuntungan dari proses globalisasi ini. Salah satu bentuk nyata dari interdependensi yang juga disebabkan oleh proses globalisasi, adalah terbentuknya ACFTA. Saling ketergantungan yang terjadi di antara kedua belah pihak baik ASEAN maupun Cina menyebabkan terbentuknya perjanjian ini. Perjanjian kawasan perdagangan bebas ini tentunya dapat terwujud jika setiap negara anggotanya mau menerima semua aturan ataupun perjanjian yang telah disepakati bersama. Hubungan interdependensi yang terjadi antara ASEAN dan Cina sehingga menyebabkan terbentuknya ACFTA akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya pada skripsi ini.

Kerjasama ekonomi yang terjadi dalam ACFTA haruslah dapat menguntungkan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya. Eksploitasi dalam bentuk ekspansi ekonomi sangatlah dihindari dalam kerangka kerjasama ini. Salah satu contoh dari pencegahan tindakan eksploitasi itu adalah dengan menunda


(26)

pemberlakuan skema ACFTA bagi anggota ASEAN-CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos, Vietnam) hingga pada 2015 (Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h. 42). Hal ini dimaksudkan agar ke-empat anggota baru ASEAN ini tidak menjadi sasaran empuk dalam penyebaran komoditi ekspor negara lainnya, khususnya oleh Cina. Dengan melakukan penundaan ini, maka diharapkan dapat memperpanjang waktu persiapan bagi negara-negara tersebut untuk lebih menguatkan lagi kondisi perekonomian domestiknya. Sehingga nantinya lebih mampu bersaing di dalam skema kawasan perdagangan bebas ini.

Integrasi ekonomi yang terjadi di dalam skema ACFTA ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi seluruh negara anggotanya, meskipun keuntungan dari segi ekonomi yang diperoleh antara satu negara dengan negara lainnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini terjadi akibat dari tingkat kemampuan ataupun kesiapan yang berbeda-beda dari setiap negara yang bekerjasama dalam sistem ini. Pada dasarnya, setiap negara yang terlibat dalam perjanjian ini memiliki posisi yang setara, karena masing-masing pihak memang membutuhkan kerjasama ekonomi ini. Sehingga diharapkan tidak ada negara yang merasa dirugikan. Saat ini tidak ada satu negarapun di dunia ini yang betul-betul dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil produksi negaranya sendiri. Langsung atau tidak langsung negara-negara tersebut membutuhkan hubungan ekonomi sehingga masing-masing negara sudah berada pada situasi yang saling ketergantungan. Untuk mewujudkan hal itu maka instrumen kerjasama ekonomi menjadi sesuatu yang harus dilakukan.

Pada pelaksanaannya hubungan kerjasama ekonomi antara Cina dengan ASEAN didasari oleh situasi saling ketergantungan (interdependensi). Dalam


(27)

Faktor internal: Hambatan ekonomi

intra ASEAN

Faktor eksternal: alternatif hubungan ekonomi Hubungan ekonomi

intra ASEAN:

Faktor eksternal: motivasi ekonomi

dan politik

ASEAN-Cina

Free Trade Area

Perubahan kebijakan ekonomi

perspektif Cina pertumbuhan ekonomi yang pesat hasil dari program empat modernisasi yang sukses dan interaksi Cina dengan ekonomi global, telah membuka mata negara itu akan pentingnya interdependensi dan keterbukaan dengan pihak asing. Interdependensi Cina telah mentransformasikan peran negara itu dan sikap seluruh dunia dalam berhubungan dengan Cina ke arah yang lebih baik. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah membuka mata dunia, dan berpaling ke negeri itu. ASEAN sendiri juga sangat menyadari hal ini, sehingga membuat negara-negara di kawasan Asia Tenggara menyambut baik tawaran dari Cina dalam pembentukan ACFTA. Keinginan ASEAN di satu sisi dan kebijakan Cina di sisi lain yang sangat membuka diri untuk melakukan hubungan ekonomi, mengakibatkan upaya-upaya membentuk ACFTA dapat diwujudkan.

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran pada bagian sebelumnya, maka penulis mencoba menggambarkan penelitian ini di dalam sebuah model, yang dapat dilihat seperti di bawah ini:

ASEAN

CINA Faktor internal:

meningkatnya perekonomian


(28)

D. Metode Penelitian

Pembuatan skripsi ini menggunakan metode kualitatif. Meskipun di dalamnya tetap menampilkan data yang berbentuk angka, tetapi data tersebut tidak didapat melalui penghitungan secara langsung oleh penulis, oleh karena itu masih tergolong dalam penelitian kualitatif. Selain itu jenis penelitian skripsi ini bersifat deskriptif. Penulis akan memaparkan atau mendeskripsikan sejumlah fakta-fakta terkait dengan pembahasan skripsi ini.

Dalam memudahkan penulisan skripsi ini, penulis memperoleh data-data primer dan sekunder, diantaranya yang berupa buku-buku, jurnal hubungan internasional, wawancara dengan salah seorang peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI , internet, dokumen resmi ASEAN Secretariat dan bahan-bahan tertulis lainnya. Data yang didapat, digunakan untuk memudahkan penulis dalam memahami permasalahan mengenai peningkatan hubungan kerjasama ekonomi antara ASEAN dengan Cina.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini nantinya akan di bagi dalam beberapa bab dan setiap bab mempunyai sub-bab tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan tentang latar belakang permasalahan yang menjadi alasan pemilihan topik untuk penulisan skripsi ini. Kemudian dilanjutkan pertanyaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN. Bab ini membahas tentang ASEAN dan perkembangan kerjasama ekonomi yang terjadi


(29)

dalam intra ASEAN maupun dengan lingkungan eksternalnya. Dimulai dari PTA, AFTA, ASEAN+3,ASEAN Economics Community, sampai pembentukan ASEAN-Cina FTA. Bab ini juga membahas faktor yang menyebabkan terbentuknya ACFTA, yang dilihat dari perspektif ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara.

BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN ACFTA. Bab ini berisikan tentang gambaran umum kebijakan ekonomi luar negeri Cina, mulai dari era pendirinya yaitu Mao Zedong dan dilanjutkan pada era Deng Xiaoping, hingga pembentukan ASEAN-Cina FTA. Dalam bab ini juga akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan Cina melakukan peningkatan hubungan ekonomi dengan ASEAN dan berupaya melihat kepentingan-kepentingan Cina dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas tersebut. Termasuk diantaranya, kebangkitan ekonomi Cina, faktor politik domestik, ekonomi, dan sistem ekonomi internasional yang menyebabkan Cina melakukan peningkatan kerjasama dengan ASEAN.

BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA. Bab ini menganalisa peningkatan hubungan kerjasama ASEAN-Cina dalam bidang ekonomi. Selain itu, juga akan menggambarkan tentang peluang-peluang dan hambatan yang akan dihadirkan dari terbentuknya ACFTA ini bagi kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya. Bab ini juga memaparkan bagaimana ACFTA berimplikasi terhadap hubungan ekonomi ASEAN dan Cina.

BAB V PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan mengenai pembahasan yang terjadi pada bab-bab sebelumnya.


(30)

BAB II

HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN

Bab ini akan memaparkan perkembangan hubungan ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Khususnya kerjasama yang terjadi di dalam ruang lingkup ASEAN, baik kerjasama ekonomi intra ASEAN maupun antara ASEAN dengan lingkungan eksternalnya. Kerjasama ekonomi yang dilakukan ASEAN merupakan bentuk kerjasama ekonomi yang pertama kali disepakati di kawasan Asia, hal ini menandakan keinginan ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Mengingat begitu pentingnya posisi ASEAN, maka pada bagian ini penulis juga akan memaparkan kebutuhan ASEAN untuk meningkatkan perekonomiannya sehingga mendorong ASEAN untuk melakukan kerjasama dengan lingkungan eksternalnya. Salah satu Negara yang dianggap memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ASEAN adalah Cina.

A. Latar Belakang Kerjasama Ekonomi ASEAN

Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967 merupakan awal bersejarah bagi pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Deklarasi tersebut mendasari terbentuknya ASEAN. Pada awal pembentukannya, ASEAN hanya memiliki lima anggota, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 2). Salah satu tujuan pembentukan ASEAN tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan bersama antara negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk meningkatkan perekonomian dan


(31)

kesejahteraan bangsanya. Bahkan sejak pembentukannya hingga saat ini, ASEAN senantiasa mengedepankan agenda-agenda ekonomi dalam setiap interaksinya.

Salah satu tujuan dari pembentukan ASEAN seperti yang tertuang dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967 adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ASEAN. Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 1; ASEAN Secretariat 1967). Deklarasi ini mempersatukan negara anggota ASEAN dalam usaha bersama untuk mengembangkan kerjasama ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Deklarasi ini merupakan dasar yang menjadi rujukan bagi setiap aktifitas ASEAN dalam mewujudkan segala tujuannya.

Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, negara-negara anggota ASEAN sebenarnya telah mengalami kemajuan ekonomi, namun krisis ekonomi yang terjadi telah mengakhiri masa perkembangan ekonomi tersebut. Krisis ekonomi yang berawal di Thailand, memberi efek domino bagi negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Laos dan Filipina. Kejadian ini membuktikan adanya saling keterkaitan ekonomi antara negara-negara di kawasan tersebut. Menurut Sungkar (ed. 2005, h. 36), krisis ekonomi 1997 adalah krisis yang telah memukul sistem ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara dan Korea Selatan. Krisis ini diawali dengan tingginya pinjaman jangka pendek dari Negara-negara seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan terhadap Dollar AS. Hal ini


(32)

menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang (depresiasi)5 seperti; Rupiah di Indonesia atau Bath di Thailand terhadap Dollar AS, sehingga mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor dan kreditor asing sehingga terjadi pelarian modal dalam jumlah yang sangat besar. Dengan demikian banyak negara Asia yang kekurangan aset mata uang asing (Dollar AS) dan mengalami kesulitan dalam membayar hutang yang menumpuk.

Ketika jangka waktu peminjaman hutang tersebut telah jatuh tempo, perusahaan-perusahaan di negara-negara tersebut tidak mampu untuk membayar karena jumlah hutang yang meningkat, akibat naiknya nilai tukar Dollar AS. Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Bankrutnya perusahaan-perusahaan tersebut juga menyebabkan pinjaman yang dikucurkan oleh perbankan menjadi macet. Belum cukup sampai disitu, permasalahan perbankan ini juga memicu dampak lainnya dari krisis ekonomi ini, seperti bergejolaknya sistem politik di beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara, misalnya Indonesia.

Menurut Purwanto (dalam Yaumidin ed. 2008, h. 82) krisis ekonomi tersebut juga menunjukkan kelemahan fundamental perekonomian kawasan ASEAN. Ini dapat dilihat dari ketergantungan negara-negara ASEAN pada modal dari luar negeri seperti yang berasal dari Amerika Serikat dan Jepang. Purwanto (dalam Yaumidin ed. 2008, h. 83) juga menambahkan bahwa sejak krisis ekonomi tersebut, anggota ASEAN berusaha keras untuk dapat segera keluar dari bayang-bayang krisis dengan melakukan perbaikan-perbaikan kinerja perekonomian dan

5

Depresiasi berarti, menurunnya nilai mata uang dalam negeri terhadap valuta asing karena mekanisme pasar. Sedangkan Devaluasi adalah suatu kebijakan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang sendiri terhadap mata uang asing dengan cara sengaja. Tujuannya agar ekspor


(33)

juga meningkatkan kerjasama intra regional bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih maju. Akan tetapi dengan adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN menyebabkan perlunya upaya untuk memperluas kerjasama ekonomi kawasan dengan negara lain, termasuk dengan mitra dialognya seperti dengan Cina, Jepang, India, Korea Selatan, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.

Selain itu, pada KTT ASEAN kedua di Kuala lumpur pada 1977 dikemukakan mengenai perlu ditingkatkannya kerjasama ekonomi dengan pihak lain baik negara, kelompok negara, dan organisasi internasional di luar ASEAN untuk menjalin hubungan yang saling bersahabat serta saling menguntungkan bagi semua pihak (ASEAN Secretariat 1977). Hal ini menunjukkan bagaimana ASEAN sangat menginginkan kerjasama dalam bidang ekonomi baik dengan lingkungan internalnya maupun dengan negara lain di luar kawasan Asia Tenggara. Pada bagian berikutnya, penulis akan memaparkan perkembangan kerjasama ekonomi Intra ASEAN.

B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN

B.1. Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN

Preferential Trading Arrangements (PTA) merupakan bentuk kerjasama ekonomi yang pertama kali terjalin antar negara ASEAN, selain juga merupakan yang pertama kali terjadi di kawasan Asia. PTA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 sebagai bentuk komitmen awal negara-negara ASEAN untuk melaksanakan perdagangan bebas (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188; ASEAN Secretariat 1977). Dalam skema PTA berlaku pengurangan tarif


(34)

bagi barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari negara-negara anggota ASEAN.

Dalam PTA ini diterapkan preferensi tarif yang dikenal dengan istilah MoP (Margin of Preference) (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 9). Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo menjelaskan, aturan yang termuat dalam MoP bahwa semua barang komoditi yang berasal dari ASEAN akan dikenakan tarif preferensi yang besarnya lebih rendah dari tarif Most Favoured Nation (MFN)6 dari negara-negara anggota ASEAN. Jadi pada intinya pengenaan tarif dalam sistem MoP ini harus lebih rendah dari segala bentuk pemotongan tarif yang telah berlaku di negara anggota ASEAN.

MoP sendiri dihitung berdasarkan persentasi tertentu dari tingkat tarif yang berlaku di negara-negara anggota ASEAN (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 9). Selain itu dalam skema PTA juga berlaku keharusan kandungan muatan lokal (rules of origin) sebesar 50 persen. Oleh karena itu, setiap komoditi yang diperdagangkan dalam skema PTA harus memiliki kandungan yang benar-benar berasal dari negara anggota ASEAN yaitu sebesar 50 persen. Menurut Pangestu (dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188) setiap negara dalam skema PTA ini juga mempunyai daftar pengecualian (exclusion list), yaitu daftar barang yang tidak diperdagangkan atau dikecualikan yang diajukan oleh setiap negara.

6

Most Favoured Nation (MFN), prinsip ini menyatakan bahwa setiap fasilitas atau keringanan yang diberikan oleh suatu negara terhadap impor barang dari suatu negara tertentu harus diberikan pula kepada barang yang sama yang berasal dari negara anggota GATT (General Agreement on Tariff and Trade sekarang WTO) yang lain. Dengan demikian, maka tidak ada satu negarapun yang diperlakukan lebih buruk daripada negara yang lain. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah azas non-diskriminasi, yang berarti tidak adanya perbedaan antara negara satu dengan negara yang lain. Namun, pada perkembangannya prinsip ini mendapatkan tentangan dari negara-negara berkembang, karena dengan cara ini berarti negara industri maju akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, negara-negara berkembang menuntut diubahnya prinsip ini dengan memperhatikan perbedaan yang ada antara negara industri maju di satu sisi dan negara


(35)

Pada perkembangannya implementasi dari PTA ini berjalan kurang efektif, di antaranya akibat terlalu banyak barang-barang yang dimasukkan dalam “exclusion list” atau daftar pengecualian, sehingga tidak memperoleh penurunan tarif. Selain itu, terdapat kesulitan dalam membuktikan kandungan muatan lokal barang dan kurangnya penyebaran informasi tentang PTA terhadap para pengusaha di negara-negara anggota ASEAN. Hal inilah yang menjadi penyebab tidak berjalannya program ini secara efektif. Akibat sistem PTA yang tidak begitu efektif, maka pada ASEAN Summit ke-4 di Singapura pada Januari 1992 disepakatilah pembentukan program baru, khususnya di bidang perdagangan yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (Singh 1997, h. 47).

Pembentukan AFTA ini juga mencerminkan perkembangan situasi ekonomi dan politik yang terjadi bukan hanya di lingkungan ASEAN tetapi juga dinamika yang terjadi pada lingkungan internasional. Faktor eksternal itu di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 18), yaitu keprihatinan terhadap lambatnya pencapaian kesepakatan Putaran Uruguay7 tentang negosiasi perdagangan multilateral, kemajuan yang cepat dari pembentukan Pasar Tunggal Eropa (European Common Market), serta karena lahirnya NAFTA (North American Free Trade Area)8 (lihat juga Weatherbee et

7

Merupakan babak kedelapan dari perundingan yang berlangsung dalam kerangka kerja GATT yang dimulai pada tahun 1986 sampai 1994. Dalam perundingan ini juga disepakati perubahan dari GATT menjadi WTO. Selain itu juga disepakati pengurangan subsidi pertanian bagi negara-negara maju, investasi asing, tekstil, dan perdagangan di bidang jasa seperti bank dan asuransi. Uruguay Round dalam perundingannya juga berusaha menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan non-tarif, seperti; kuota, pajak, subsidi ekspor, pembatasan-pembatasan sukarela, serta standar dan peraturan birokratis di dalam negeri. Uruguay Round juga dianggap sebagai salah satu perundingan terbesar di bidang perdagangan sebelum adanya Doha Round yang di mulai tahun 2001 hingga saat ini (lihat Isaak 1995, h. 114).


(36)

al. 2005, h. 190). Dinamika ini dianggap menjadi tantangan yang serius bagi ASEAN dalam menarik investasi asing ke dalam lingkungan ASEAN. Oleh karena itu, pembentukan AFTA ini dinilai sangatlah penting untuk meningkatkan daya tarik ASEAN dalam dunia perdagangan dan investasi internasional.

Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 20) menyatakan bahwa ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan Negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Dengan adanya AFTA diharapkan perekonomian menjadi lebih efisien, bersaing, dan menarik bagi penanaman modal ke kawasan ini. Menurut Sungkar (ed. 2003, h. 1), AFTA merupakan kawasan perdagangan bebas ASEAN di mana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan nontarif9 bagi Negara-negara anggota ASEAN, melalui Common Effective Preferential Tariff Scheme (CEPT)-AFTA. CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh anggota ASEAN.

Awalnya AFTA ditargetkan akan dicapai dalam waktu 15 tahun yaitu pada 2008, namun dipercepat menjadi 2003, dan dipercepat lagi menjadi 2002 bagi ASEAN-6. Sedangkan untuk Vietnam pada 2006, bagi Laos dan Myanmar 2008,

8

NAFTA (North American Free Trade Area) Organisasi perdagangan bebas Amerika Utara yang beranggotakan tiga Negara yaitu, Amerika Serikat, Kanada dan Mexico.Didirikan pada 1994 bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan.

9

Hambatan non-tarif adalah hambatan non-moneter terhadap produk-produk ataupun jasa yang disediakan oleh pihak asing. Salah satu contohnya adalah standarisasi produk-produk yang dihasilkan oleh negara lain. Standarisasi di sini terkait dengan mutu produk, pengemasan produk, sertifikasi halal, jaminan kesehatan,dll. Hambatan non-tarif bisa saja berupa peraturan-peraturan yang memberatkan produk asing masuk ke suatu negara (lihat Pambudi & Chandra 2006, h. 54).


(37)

serta Kamboja pada 2010 (Wuryandari ed. 2000, h. 120; lihat juga ASEAN Secretariat). Seperti yang dikemukakan oleh Pangestu (dalam Weatherbee et al. 2005, h. 191), pengurangan tarif dalam AFTA ini hanya dapat diaplikasikan pada produk-produk yang memenuhi persyaratan kandungan muatan lokal (rules of origin) sebesar 40 persen dari negara-negara anggota.

CEPT dirancang untuk mewujudkan AFTA. Sehingga, isinya merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam melaksanakan AFTA. Menurut Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 28), produk yang diatur dalam CEPT adalah seluruh produk manufaktur dan produk pertanian. Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 29-32; ASEAN Secretariat 1999) menjelaskan bahwa klasifikasi produk dalam CEPT dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:

1.Inclusion List (IL)

Produk yang terdapat dalam IL adalah produk-produk yang harus mengalami liberalisasi dengan dikenai pengurangan tarif secepatnya secara terjadwal di bawah program CEPT, hingga harus turun maksimal 0-5 persen pada 2002 untuk ASEAN-6. Sedangkan bagi negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam) diberikan kelonggaran waktu yang berbeda untuk menerapkannya yaitu 2006 untuk Vietnam, 2008 untuk Laos dan Myanmar, serta 2010 untuk Kamboja. Kelompok barang dalam IL ini dibagi lagi menjadi dua kelompok, seperti: normal track dan fast track.

2.Temporary Exclusion List (TEL)

TEL adalah daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT karena ketidaksiapannya. Namun semua


(38)

produk dalam TEL pada akhirnya harus ditransfer ke dalam Inclusion List paling lambat 1 Januari 2002.

3.Sensitive List (SL)

Produk yang masuk dalam kategori ini terdiri dari produk-produk pertanian yang belum diproses atau produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products). Produk dalam SL ini harus dimasukkan ke dalam IL dengan jangka waktu 2003 untuk ASEAN-6, Vietnam pada 2013, Laos dan Myanmar 2015, sedangkan Kamboja pada 2017. Contoh produk dalam SL adalah: beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh.

4.General Exception List (GEL)

GEL adalah daftar produk yang dikecualikan secara permanen dari program CEPT oleh suatu Negara karena dianggap penting dengan alasan perlindungan terhadap keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, serta barang-barang yang mengandung nilai sejarah, seni, dan arkeologis. Ketentuan yang termasuk dalam GEL ini sesuai dengan pasal 10 dari GATT, seperti senjata api, amunisi, narkotika dan sebagainya.

Pada perkembangannya, AFTA berhasil meningkatkan intensitas jumlah perdagangan intra ASEAN, akibat penurunan hambatan tarif maupun non-tarif di antara anggotanya. Namun, peningkatan perdagangan tersebut masih dianggap kurang berarti atau dengan kata lain perkembangan perdagangan intra ASEAN sangatlah lambat. Volume perdagangan dalam AFTA ini masih dianggap kurang mampu menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara (lihat Tabel II.1). Dari tabel ini dapat dikatakan


(39)

perdagangan intra ASEAN mengalami peningkatan, namun peningkatan itu belum mampu menggeser ketergantungan ekspor ASEAN ke luar kawasan Asia Tenggara.

Tabel II.1

Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 (dalam juta US$)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total

Intra 206.731 260.697 304.893 352.771 401.920 470.112 376.207 2.373.331

Extra 617.807 811.150 919.996 1.052.034 1.208.867 1.427.015 1.160.635 7.197.504

Total 824.538 1.071.847 1.224.889 1.404.805 1.610.787 1.897.127 1.536.842 9.570.835

Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010

Menurut Luhulima ( et al. 2008, h. 122) rendahnya perdagangan intra ASEAN ini antara lain dikarenakan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan standar produk dan belum harmonisnya prosedur bea cukai. Persoalan lain yang sama pentingnya adalah kurang populernya skema CEPT-AFTA di kalangan swasta, kurang jelasnya aturan kandungan lokal dan belum kuatnya mekanisme penyelesaian masalah perdagangan. Oleh karena itu, ASEAN memperbolehkan negara anggota yang belum siap berintegrasi untuk menyusul di kemudian hari agar tidak memperlambat anggota yang lebih siap. Hal inilah yang menyebabkan penerapan program ini berjalan tidak bersamaan antara satu negara dengan negara lainnya.

Selain itu Ariff (dalam Yue dan Pacini eds. 1997, h. 68) menambahkan bahwa minimnya perdagangan intra ASEAN ini mungkin disebabkan karena beberapa alasan. Pertama, negara-negara ASEAN memiliki sumber daya alam yang relatif sama sehingga tidak adanya saling melengkapi di antara anggota, namun justru terjadi persaingan. Sebagai contoh; Indonesia, Malaysia dan


(40)

Malaysia, Singapura dan Filipina sama-sama pengekspor produk-produk elektronik. Jadi perekonomian ASEAN lebih cenderung untuk berkompetisi antara satu negara dengan negara lain dalam memperebutkan pasar. Kedua, negara-negara ASEAN lebih banyak melakukan hubungan dagang dengan negara-negara-negara-negara di luar ASEAN daripada antar anggota ASEAN. Perdagangan negara-negara ASEAN lebih banyak dilakukan dengan negara-negara di luar kawasan, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan juga Jepang. Hal ini disebabkan karena negara-negara tersebut adalah daerah utama pemasaran komoditi ekspor dari negara-negara ASEAN, selain juga merupakan sumber investasi bagi negara ASEAN.

Kemudian, sebagai bentuk lanjutan dari integrasi ekonomi ASEAN, seiring dengan pemberlakuan AFTA maka disepakatilah gagasan yang lebih besar lagi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-8 di Phnom Penh, November 2002. Pada saat itu, menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 1), para pemimpin ASEAN menyetujui prakarsa Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong mengenai pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) sebagai bentuk lanjutan dari proses integrasi ekonomi ASEAN. Kemudian pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk Komunitas Ekonomi ASEAN yang ditargetkan dicapai pada 2020. Pada KTT inilah dihasilkan ketetapan Bali Concord II yang menjadi cikal bakal pembentukan AEC. Lebih jauh Elisabeth (ed. 2009, h. 2) menyatakan bahwa, pembentukan AEC ini sesuai dengan tujuan pembentukan komunitas ASEAN yang ditetapkan dalam ASEAN Vision 2020 pada 1997, yaitu pembentukan tiga pilar utama ASEAN; ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN


(41)

Menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 2), pada tahap selanjutnya dalam KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina Januari 2007, para peserta pertemuan menyepakati untuk mempercepat jadwal pembentukan Komunitas ASEAN yang semula ditetapkan pada 2020 menjadi 2015. Namun, target pembentukan ketiga pilar utama tersebut tidak bersamaan. Target pencapaian disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan politik masing-masing negara anggota ASEAN. Misalnya, Singapura dan Brunei menargetkan ASEAN Community (AC) pada 2010, sedangkan Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand pada 2015, sedangkan CMLV tetap pada 2020.

Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 117) menambahkan bahwa, percepatan pembentukan AC ini terjadi dikarenakan adanya kekhawatiran ASEAN terhadap perkembangan ekonomi dunia. Dalam situasi persaingan ekonomi yang semakin tajam, ada kekhawatiran bahwa Asia Tenggara akan tertinggal jauh dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kawasan atau negara lain seperti pertumbuhan ekonomi Cina dan India. Gagasan membentuk ASEAN

Economic Community (AEC) diharapkan bisa mengalirkan semangat baru untuk berintegrasi ke dalam, dan meningkatkan daya saing kawasan agar dapat merebut investasi asing.

Elisabeth (ed. 2009, h. 3) menambahkan, dalam rangka perwujutan AEC ini, pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura November 2007 disahkan langkah kerja untuk mempercepat integrasi ekonomi dan realisasi pembentukannya, yaitu dengan menjadikan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan yang memiliki pembangunan


(42)

ekonomi yang relatif setara (equitable), serta kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global (lihat juga ASEAN Secretariat 2008).

Intinya, komunitas ekonomi ASEAN ingin membentuk suatu pasar dan basis produksi tunggal di mana di dalamnya terdapat pembebasan terhadap barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan liberalisasi modal. AEC juga dimaksudkan untuk membantu mengurangi kemiskinan dan juga mempersempit jurang ekonomi dan pembangunan bagi negara ASEAN-6 dan CMLV pada tahun 2020 mendatang (ASEAN Secretariat 2008).

Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 129) walaupun tidak mudah untuk mencapai tingkat integrasi ekonomi yang lebih tinggi, sebenarnya saat ini kerjasama ekonomi ASEAN bukan pada tahap paling awal dari integrasi ekonomi. ASEAN sudah meletakkan landasan dan menjalani proses integrasi ekonomi seperti, ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), yang ditetapkan dalam ASEAN Summit ke-5 di Bangkok pada Desember 1995. Untuk memperkuat kerjasama sektor jasa antar anggota ASEAN dengan penghapusan hambatan perdagangan jasa intra-regional.

Selain itu, juga disepakati pembentukan ASEAN Investment Area (AIA) pada tahun 1998 (ASEAN Secretariat). Selain kemudahan dalam perdagangan di bidang barang dan jasa, sektor investasi ini merupakan bagian penting dalam peningkatan investasi intra-ASEAN yang masih cukup rendah (lihat Tabel II.2). Penanaman modal asing (Foreign Direct Investment) bagi negara-negara ASEAN sebagian besar masih berasal dari negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara. Jadi, dalam perjalanan menuju Komunitas Ekonomi ASEAN, ASEAN dapat dikatakan telah berada di tengah jalan dan perlu menciptakan mekanisme dan


(43)

langkah-langkah baru untuk memperkuat implementasi kerjasama ekonomi yang sedang berlangsung.

Tabel II.2

Investasi Asing Langsung (FDI) Menuju ASEAN: 2003-2009 (dalam juta US$)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total

Intra 2.702 2.958 4.060 7.755 9.682 10.461 4.428 42.046

Extra 21.364 32.242 35.980 47.002 63.746 38.729 35.052 274.115

Total 24.066 35.200 40.040 54.757 73.428 49.190 39.480 316.161

Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010

Oleh karena itu, menurut Arbi (dalam Sungkar ed. 2005, h. 21) ASEAN telah mengesahkan sebelas sektor prioritas proyek percontohan percepatan integrasi pasar tunggal ASEAN yang direncanakan akan tercapai menjelang 2020. Tujuan ini akan dicapai melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan intra-ASEAN. Kesebelas sektor yang dipilih di antaranya: elektronika, e-ASEAN, perawatan kesehatan, produk-produk berbasis kayu, otomotif, produk-produk berbasis karet alam, tekstil dan pakaian jadi, produk-produk agro-industri, perikanan, penerbangan dan pariwisata. Sektor-sektor ini dipilih berdasarkan tingkat keunggulan kompetitif masing-masing negara dalam hal ketersediaan sumber daya alam, keterampilan pekerja, daya saing dalam hal biaya produksi dan kontribusi nilai tambah bagi perekonomian ASEAN.

Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 134), dalam usaha menuju integrasi ekonomi yang lebih tinggi, selain melalui program-program yang disepakati sepuluh negara anggota, sebenarnya ada juga usaha-usaha yang dijalani sebagian negara anggota yang dikenal dengan kerjasama sub-regional. Kerjasama ini memanfaatkan kedekatan geografis dari masing-masing anggota. Sebagai


(44)

contoh; Segitiga pertumbuhan “Sijori” (Singapura-Johor-Riau) adalah bentuk kerjasama sub-regional yang sudah berlangsung secara resmi sejak 1992. Dengan semakin bertambahnya wilayah di Malaysia dan Indonesia yang ikut dalam kerjasama segitiga pertumbuhan tersebut, maka “sijori” diubah menjadi Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT).

Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 135) lebih jauh menjelaskan bahwa, pendekatan sub-regional ini telah diikuti oleh tiga bentuk kerjasama sub-regional lainnya. Pertama, Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) pada 1993 yang meliputi wilayah utara Sumatera dan Riau di Indonesia, negara bagian Johor dan Penang di Malaysia, dan wilayah selatan Thailand. Kedua, Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) pada 1994 yang meliputi Brunei, Kalimantan dan Sulawesi Utara di Indonesia, Malaysia timur dan wilayah Filipina bagian selatan. Ketiga, wilayah sepanjang

West-East Corridor (WEC) di Mekong Basin, yang meliputi Vietnam, Laos, Cambodia dan timur laut Thailand yang dibentuk sejak 1996. Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa AEC lebih merupakan proses pendalaman dari integrasi ekonomi ASEAN (AFTA, AFAS, AIA), ataupun pengembangan sektor prioritas dan kerjasama sub-regional.

Dalam penerapan AEC, sebenarnya ASEAN mencontoh integrasi ekonomi yang dilakukan Uni Eropa (Elisabeth ed. 2009, h. 21). Namun, perlu dilihat kembali apakah gagasan ini dapat terlaksana seperti harapan para pemimpin ASEAN, mengingat banyaknya perbedaan yang dimiliki negara-negara anggota ASEAN, baik dari segi ekonomi, politik, dan lainnya. Sebagai gambaran, Uni Eropa (EU) sampai ke tahap seperti saat ini (Economic and Political Union)


(45)

membutuhkan waktu 35 tahun (Perjanjian Roma 1957-Perjanjian Maastricht 1992). Integrasi ekonomi ASEAN memang berbeda dengan EU, namun dengan pencanangan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar utama (politik dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya), ASEAN mencontoh model Traktat Maastricht untuk membangun masyarakat ASEAN sebagaimana hasil KTT ASEAN di Bali Pada tahun 2003 (Bali Concord II). Oleh karena itu, perlu dilihat kembali alternatif dalam meningkatkan perekonomian negara-negara ASEAN, seperti negara lain yang dianggap mampu memacu pertumbuhan integrasi ekonomi tersebut, di antaranya bekerjasama dengan Cina membentuk (ASEAN-China Free Trade Area). Setelah membahas tentang kerjasama ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup intra ASEAN, pada bagian selanjutnya, penulis akan mencoba memaparkan hambatan yang menyertai integrasi ekonomi ASEAN.

B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN

Proses integrasi di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara tergolong sangat lambat. Ketika terjadi regionalisasi di kawasan Eropa dan Amerika Utara, kawasan Asia Tenggara belum memiliki kesadaran untuk melakukan kerjasama atau integrasi ekonomi regional. Regional Trading Agreements (RTA) tidak muncul di Asia Tenggara, hingga tahun 1977 ketika ASEAN mencapai kesepakatan dalam hal Preferential Trading Arrangements (PTA) (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 2). Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 51; Sinaga dalam Elisabeth ed. 2009, h. 118), setidaknya ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan keterlambatan hadirnya integrasi regional di kawasan Asia Tenggara:


(46)

Alasan pertama, secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki latar belakang budaya, sistem politik, agama, bahasa, dan tingkat perekonomian yang berbeda. Adanya perbedaan tingkat kemajuan ekonomi ini juga menyebabkan sulitnya menetapkan suatu penerapan kebijakan yang seragam antara satu negara dengan negara lainnya, sebagai contoh dalam penerapan AFTA dan ACFTA; terdapat perbedaan dalam penerapan skema ini, hal ini disebabkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang jauh berbeda, sehingga ada negara yang dianggap telah siap menghadapi perdagangan bebas (Singapura dan Brunei) dan ada juga negara yang memerlukan waktu persiapan yang lebih panjang (Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam).

Selain itu, perbedaan sistem politik dan pemerintahan juga dianggap sebagai penghalang, banyak negara yang menjalankan pemerintahan dengan demokratis dan terbuka, namun ada juga beberapa negara seperti Laos dan Vietnam yang merupakan negara dengan sistem komunis sehingga lebih tertutup terhadap perkembangan dan pengaruh asing. Selain itu, Myanmar yang pemerintahannya dikuasai oleh junta militer juga menyebabkan perkembangan demokrasi cukup terhambat sehingga berpengaruh pada perkembangan ekonomi. Alasan kedua, negara-negara ASEAN ini cenderung untuk melakukan kerjasama perdagangannya dengan negara-negara di luar kawasan Asia, yaitu dengan AS dan Eropa. Kedua kawasan tersebut berperan sebagai pasar ekspor terbesar negara-negara Asia Tenggara dan juga sebagai sumber investasi asing bagi mayoritas negara ASEAN. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Uni Eropa, di mana mayoritas perdagangan dan investasi yang terjadi di kawasan Eropa justru terjadi dengan sesama negara di dalam satu kawasan.


(1)

a. Normal Track: Products listed in the Normal Track by a Party on its own accord shall:

i. have their respective applied MFN tariff rates gradually reduced or eliminated in accordance with specified schedules and rates (to be mutually agreed by the Parties) over a period from 1 January 2005 to 2010 for ASEAN 6 and China, and in the case of the newer ASEAN Member States, the period shall be from 1 January 2005 to 2015 with higher starting tariff rates and different staging; and

ii. in respect of those tariffs which have been reduced but have not been eliminated under paragraph 4(a)(i) above, they shall be progressively eliminated within timeframes to be mutually agreed between the Parties. b. Sensitive Track: Products listed in the Sensitive Track by a Party on its own accord shall:

i. have their respective applied MFN tariff rates reduced in accordance with the mutually agreed end rates and end dates; and

ii. where applicable, have their respective applied MFN tariff rates progressively eliminated within timeframes to be mutually agreed between the parties

5. The number of products listed in the Sensitive Track shall be subject to a maximum ceiling to be mutually agreed among the Parties.

6. The commitments undertaken by the Parties under this Article and Article 6 of this Agreement shall fulfil the WTO requirements to eliminate tariffs on substantially all the trade between the Parties.

7. The specified tariff rates to be mutually agreed between the Parties pursuant to this Article shall set out only the limits of the applicable tariff rates or range for the specified year of implementation by the Parties and shall not prevent any Party from accelerating its tariff reduction or elimination if it so wishes to.

8. The negotiations between the Parties to establish the ASEAN-China FTA covering trade in goods shall also include, but not be limited to the following:

a. other detailed rules governing the tariff reduction or elimination programme for the Normal Track and the Sensitive Track as well as any other related matters, including principles governing reciprocal commitments, not provided for in the preceding paragraphs of this Article;

b. Rules of Origin;

c. treatment of out-of-quota rates;

d. modification of a Party’s commitments under the agreement on trade in goods based on Article XXVIII of the GATT;

e. non-tariff measures imposed on any products covered under this Article or Article 6 of this Agreement, including, but not limited to quantitative restrictions or prohibition on the importation of any product or on the export or sale for export of any product, as well as scientifically unjustifiable sanitary and phytosanitary measures and technical barriers to trade;

f. safeguards based on the GATT principles, including, but not limited to the following elements: transparency, coverage, objective criteria for action, including the concept of serious injury or threat thereof, and temporary nature;

g. disciplines on subsidies and countervailing measures and anti-dumping measures based on the existing GATT disciplines; and

h. facilitation and promotion of effective and adequate protection of trade-related aspects of intellectual property rights based on existing WTO, World Intellectual Property Organization (WIPO) and other relevant

disciplines.


(2)

ARTICLE 4 Trade In Services

With a view to expediting the expansion of trade in services, the Parties agree to enter into negotiations to progressively liberalise trade in services with substantial sectoral coverage. Such negotiations shall be directed to:

a. progressive elimination of substantially all discrimination between or among the Parties and/or prohibition of new or more discriminatory measures with respect to trade in services between the Parties, except for measures permitted under Article V(1)(b) of the WTO General Agreement on Trade in Services (GATS); b. expansion in the depth and scope of liberalisation of trade in services beyond those undertaken by ASEAN

Member States and China under the GATS; and

c. enhanced co-operation in services between the Parties in order to improve efficiency and competitiveness, as well as to diversify the supply and distribution of services of the respective service suppliers of the Parties.

ARTICLE 5 Investment

To promote investments and to create a liberal, facilitative, transparent and competitive investment regime, the Parties agree to:

a. enter into negotiations in order to progressively liberalise the investment regime;

b. strengthen co-operation in investment, facilitate investment and improve transparency of investment rules and regulations; and

c. provide for the protection of investments.

ARTICLE 6 Early Harvest

1. With a view to accelerating the implementation of this Agreement, the Parties agree to implement an Early Harvest Programme (which is an integral part of the ASEAN-China FTA) for products covered under paragraph 3(a) below and which will commence and end in accordance with the timeframes set out in this Article.

2. For the purposes of this Article, the following definitions shall apply unless the context otherwise requires: a. “ASEAN 6” refers to Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore and Thailand;

b. “applied MFN tariff rates” shall include in-quota rates, and shall:

i. in the case of ASEAN Member States (which are WTO members as of 1 July 2003) and China, refer to their respective applied rates as of 1 July 2003; and

ii. in the case of ASEAN Member States (which are non-WTO members as of 1 July 2003), refer to the tariff rates as applied to China as of 1 July 2003.

3. The product coverage, tariff reduction and elimination, implementation timeframes, rules of origin, trade remedies and emergency measures applicable to the Early Harvest Programme shall be as follows: a. Product Coverage

i. All products in the following chapters at the 8/9 digit level (HS Code) shall be covered by the Early Harvest Programme, unless otherwise excluded by a Party in its Exclusion List as set out in Annex 1 of this Agreement, in which case these products shall be exempted for that Party:

Chapter Description 01 Live Animals

02 Meat and Edible Meat Offal


(3)

04 Dairy Produce

05 Other Animals Products 06 Live Trees

07 Edible Vegetables 08 Edible Fruits and Nuts

ii. A Party which has placed products in the Exclusion List may, at any time, amend the Exclusion List to place one or more of these products under the Early Harvest Programme.

iii. The specific products set out in Annex 2 of this Agreement shall be covered by the Early Harvest Programme and the tariff concessions shall apply only to the parties indicated in Annex 2. These parties must have extended the tariff concessions on these products to each other.

iv. For those parties which are unable to complete the appropriate product lists in Annex 1 or Annex 2, the lists may still be drawn up no later than 1 March 2003 by mutual agreement.

b. Tariff Reduction and Elimination

i. All products covered under the Early Harvest Programme shall be divided into 3 product categories for tariff reduction and elimination as defined and to be implemented in accordance with the timeframes set out in Annex 3 to this Agreement. This paragraph shall not prevent any Party from accelerating its tariff reduction or elimination if it so wishes.

ii. All products where the applied MFN tariff rates are at 0%, shall remain at 0%. iii. Where the implemented tariff rates are reduced to 0%, they shall remain at 0%.

iv. A Party shall enjoy the tariff concessions of all the other parties for a product covered under paragraph 3(a)(i) above so long as the same product of that Party remains in the Early Harvest Programme under paragraph 3(a)(i) above.

c. Interim Rules of Origin

The Interim Rules of Origin applicable to the products covered under the Early Harvest Programme shall be negotiated and completed by July 2003. The Interim Rules of Origin shall be superseded and replaced by the Rules of Origin to be negotiated and implemented by the Parties under Article 3(8)(b) of this Agreement. d. Application of WTO provisions

The WTO provisions governing modification of commitments, safeguard actions, emergency measures and other trade remedies, including anti-dumping and subsidies and countervailing measures, shall, in the interim, be applicable to the products covered under the Early Harvest Programme and shall be superseded and replaced by the relevant disciplines negotiated and agreed to by the Parties under Article 3(8) of this Agreement once these disciplines are implemented.

4. In addition to the Early Harvest Programme for trade in goods as provided for in the preceding paragraphs of this Article, the Parties will explore the feasibility of an early harvest programme for trade in services in early 2003.

5. With a view to promoting economic co-operation between the Parties, the activities set out in Annex 4 of this Agreement shall be undertaken or implemented on an accelerated basis, as the case may be.

PART 2 ARTICLE 7

Other Areas Of Economic Co-operation 1. The Parties agree to strengthen their co-operation in 5 priority sectors as follows: a. agriculture;


(4)

c. human resources development; d. investment; and

e. Mekong River basin development.

2. Co-operation shall be extended to other areas, including, but not limited to, banking, finance, tourism, industrial co-operation, transport, telecommunications, intellectual property rights, small and medium enterprises (SMEs), environment, bio-technology, fishery, forestry and forestry products, mining, energy and sub-regional development.

3. Measures to strengthen co-operation shall include, but shall not be limited to: a. promotion and facilitation of trade in goods and services, and investment, such as:

ii. standards and conformity assessment;

iii. technical barriers to trade/non-tariff measures; and iv. customs co-operation;

b. increasing the competitiveness of SMEs; c. promotion of electronic commerce; d. capacity building; and

e. technology transfer.

4. The Parties agree to implement capacity building programmes and technical assistance, particularly for the newer ASEAN Member States, in order to adjust their economic structure and expand their trade and investment with China.

PART 3 ARTICLE 8 Timeframes

1. For trade in goods, the negotiations on the agreement for tariff reduction or elimination and other matters as set out in Article 3 of this Agreement shall commence in early 2003 and be concluded by 30 June 2004 in order to establish the ASEAN-China FTA covering trade in goods by 2010 for Brunei, China, Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore and Thailand, and by 2015 for the newer ASEAN Member States. 2. The negotiations on the Rules of Origin for trade in goods under Article 3 of this Agreement shall be

completed no later than December 2003.

3. For trade in services and investments, the negotiations on the respective agreements shall commence in 2003 and be concluded as expeditiously as possible for implementation in accordance with the timeframes to be mutually agreed: (a) taking into account the sensitive sectors of the Parties; and (b) with special and differential treatment and flexibility for the newer ASEAN Member States.

4. For other areas of economic co-operation under Part 2 of this Agreement, the Parties shall continue to build upon existing or agreed programmes set out in Article 7 of this Agreement, develop new economic co-operation programmes and conclude agreements on the various areas of economic co-co-operation. The Parties shall do so expeditiously for early implementation in a manner and at a pace acceptable to all the parties concerned. The agreements shall include timeframes for the implementation of the commitments therein.

ARTICLE 9


(5)

China shall accord Most-Favoured Nation (MFN) Treatment consistent with WTO rules and disciplines to all the non-WTO ASEAN Member States upon the date of signature of this Agreement.

ARTICLE 10 General Exceptions

Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between or among the Parties where the same conditions prevail, or a disguised restriction on trade within the ASEAN-China FTA, nothing in this Agreement shall prevent any Party from taking and adopting measures for the protection of its national security or the protection of articles of artistic, historic and archaeological value, or such other measures which it deems necessary for the protection of public morals, or for the protection of human, animal or plant life and health.

ARTICLE 11 Dispute Settlement Mechanism

1. The Parties shall, within 1 year after the date of entry into force of this Agreement, establish appropriate formal dispute settlement procedures and mechanism for the purposes of this Agreement.

2. Pending the establishment of the formal dispute settlement procedures and mechanism under paragraph 1 above, any disputes concerning the interpretation, implementation or application of this Agreement shall be settled amicably by consultations and/or mediation.

ARTICLE 12

Institutional Arrangements For The Negotiations

1. The ASEAN-China Trade Negotiation Committee (ASEAN-China TNC) that has been established shall continue to carry out the programme of negotiations set out in this Agreement.

2. The Parties may establish other bodies as may be necessary to ordinate and implement any economic co-operation activities undertaken pursuant to this Agreement.

3. The ASEAN-China TNC and any aforesaid bodies shall report regularly to the ASEAN Economic Ministers (AEM) and the Minister of the Ministry of Foreign Trade and Economic Co-operation (MOFTEC) of China, through the meetings of the ASEAN Senior Economic Officials (SEOM) and MOFTEC, on the progress and outcome of its negotiations.

4. The ASEAN Secretariat and MOFTEC shall jointly provide the necessary secretariat support to the ASEAN-China TNC whenever and wherever negotiations are held.

ARTICLE 13 Miscellaneous Provisions

1. This Agreement shall include the Annexes and the contents therein, and all future legal instruments agreed pursuant to this Agreement.

2. Except as otherwise provided in this Agreement, this Agreement or any action taken under it shall not affect or nullify the rights and obligations of a Party under existing agreements to which it is a party.

3. The Parties shall endeavour to refrain from increasing restrictions or limitations that would affect the application of this Agreement.

ARTICLE 14 Amendments

The provisions of this Agreement may be modified through amendments mutually agreed upon in writing by the Parties.

ARTICLE 15 Depositary

For the ASEAN Member States, this Agreement shall be deposited with the Secretary-General of ASEAN, who shall promptly furnish a certified copy thereof, to each ASEAN Member State.


(6)

ARTICLE 16 Entry Into Force 1. This Agreement shall enter into force on 1 July 2003.

2. The Parties undertake to complete their internal procedures for the entry into force of this Agreement prior to 1 July 2003.

3. Where a Party is unable to complete its internal procedures for the entry into force of this Agreement by 1 July 2003, the rights and obligations of that Party under this Agreement shall commence on the date of the completion of such internal procedures.

4. A Party shall upon the completion of its internal procedures for the entry into force of this Agreement notify all the other parties in writing.

IN WITNESS WHEREOF, WE have signed this Framework Agreement on Comprehensive Economic

Co-operation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China.