Penilaian tingkat resiko tsunami Tsunami Risk Assesment

2.2 Penilaian tingkat resiko tsunami Tsunami Risk Assesment

Hakekat dari mitigasi bencana tsunami adalah menekan hingga seminimal mungkin resiko bencana tsunami. Pada dasarnya, resiko sebuah bencana memiliki tiga variabel, yaitu : 1 aspek jenis ancaman, 2 aspek kerentanan, dan 3 aspek kemampuan menanggulangi Diposaptono dan Budiman, 2006. Dewasa ini banyak terminologi yang digunakan untuk menjelaskan pengertian rawan, rentan dan resiko bencana. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana. Istilah ini sering disebut juga sebagai kerawanan. Kerentanan vulnerability adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana, 2007. Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat UU RI No.24 Tahun 2007 Hubungan antara kerawanan hazard, kerentanan vulnerability, kapasitas penanggulangan capacity dan resiko risk dirumuskan pada Persamaan 1 di bawah ini Diposaptono dan Budiman, 2006 : tan Re C ngan Penanggula Kapasitas V an Keren x H Kerawanan R siko  ........................ 1 dimana : R = Resiko; H = kerawanan; V = Kerentanan; dan C = Kapasitas penanggulangan. Parameter kapasitas penanggulangan tidak dikaji dalam penelitian ini karena terkait dengan kemampuan pemerintah dan sumber daya masyarakat dalam penanggulangan bencana tsunami. Resiko berbanding lurus dengan ancaman atau bahaya kerawanan dan tingkat kerentanan terhadap tsunami, serta berbanding terbalik dengan kemampuan kapasitas dalam menghadapi tsunami. Semakin besar kerawanan dan kerentanan terhadap tsunami, serta semakin rendah kemampuan penanggulangan dalam menghadapi tsunami, maka akan semakin besar resiko tsunami yang timbul. Bilamana jenis kerawanan tsunaminya sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, namun jika tingkat kerentanan dan kapasitas penanggulangan yang berbeda-beda, akan mengakibatkan dampak tsunami yang berbeda, antara satu daerah dengan daerah lainnya Siahaan, 2008. Salah satu contoh analisis resiko tsunami selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kajian Resiko Tsunami Latief, 2005 Risk = Hazard x Vulnerability Catatan sejarah tsunami Lingkungan bangunan Surat kabar berita Infrastruktur Tide gauge Peta topografi Tinggi gelombang Peta hidrografi Level run up Potensi kerusakan Stastistik Kerusakan ikutan collateral damage Sosial ekonomi Tsunami katalog Perencanaan bencana Disaster management Sumber pembangkit tsunami Emergency management Peta waktu tiba tsunami Local response TSUNAMI RISK ASSESMENT - TSUNAMI ZONATION MAP MITIGATION POLICY FOR TSUNAMI WARNING Tsunami termasuk salah satu jenis ancaman yang bersifat alami natural hazard dan mempunyai kemungkinan untuk terjadi lagi pada suatu periode tertentu dan pada suatu area geografis tertentu Damen, 2005 in Melianawati, 2006. Oleh karena itu, untuk melakukan penilaian tingkat resiko tsunami di suatu wilayah tertentu harus dilakukan analisis potensi bahaya tsunami kerawanan dan kerentanan terhadap tsunami.

2.2.1 Analisis daerah rawan tsunami

Menurut Diposaptono dan Budiman 2006, identifikasi daerah yang berpotensi mengalami bencana tsunami dilakukan dengan beberapa cara yaitu identifikasi jalur pertemuan lempeng tectonic setting plate yang berpotensi menyebabkan gempa dan tsunami baik near field maupun far field tsunami, analisis aspek historis kejadian gempa yang berpotensi tsunami, analisis historis kejadian tsunami dan pemodelan tsunami terutama pemodelan run up tsunami. Run up tsunami adalah elevasi air laut vertikal yang dapat dicapai oleh tsunami ke arah darat diukur dari muka air laut rata-rata mean sea level atau dari garis pantai pada saat tsunami Diposaptono dan Budiman, 2006. Data run up merupakan data yang penting sebagai parameter kerawanan dalam kajian resiko tsunami. Pembuatan peta resiko tsunami dapat dibuat melalui tiga pendekatan Diposaptono dan Budiman, 2006, yaitu : 1. Menggunakan data historis genangan dan run up tsunami yang pernah terjadi sebelumnya. Metode ini digunakan jika ada data historis yang lengkap. Sebagai alternatif, digunakan data citra detail sebelum dan sesudah tsunami untuk membandingkan topografi dan landuse sebelum dan sesudah tsunami. 2. Menggunakan simulasi pemodelan matematik untuk pembangkitan, penjalaran, run up dan inundasi tsunami di wilayah pesisir. Pendekatan matematik ini masih mengalami kendala utama yaitu menyangkut ketelitian data batimetri dan topografi yang kurang detail. 3. Menggunakan asumsi gelombang tsunami yang mencapai pantai mempunyai ketinggian yang sama diukur dari permukaan laut metode kesamaan ketinggian. Cara terakhir inilah yang paling mudah ditempuh. Berdasarkan analisis kontur wilayah, maka distribusi luas dan tinggi genangan secara spasial dapat diperoleh dengan mudah. Hasilnya kita bisa menentukan daerah potensi rawan tsunami yang kemudian dioverlay dengan peta infrastruktur, ekosistem pesisir, tataguna lahan dan kondisi sosial ekonomi, sehingga bisa diperoleh peta resiko tsunami seperti yang pernah diterapkan untuk daerah Padang.

2.2.2 Analisis kerentanan terhadap tsunami

Kerentanan tsunami dapat dikaji dari berbagai faktor antara lain kerentanan fisik misalnya jenis bahan dan kekuatan struktur bangunan, kerentanan lingkungan ketinggian dan morfologi, kerentanan infrastruktur sarana dan prasarana penting, kerentanan sosial kependudukan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, struktur penduduk lanjut usia dan balita, kerentanan sosial ekonomi jumlahproporsi penduduk miskin dan pengangguran, dan kerentanan kelembagaan Diposaptono dan Budiman, 2006. Pada penelitian ini, analisis kerentanan yang dikaji adalah lingkungan dan sosial kependudukan. Parameter yang dikaji tingkat kerentanannya terhadap tsunami secara rinci dijelaskan sebagai berikut.

2.2.2.1 Batimetri wilayah pantai

Kondisi batimetri sangat mempengaruhi pembelokan atau penerusan gelombang tsunami yang menjalar ke pantai. Pada saat memasuki perairan dangkal, gelombang mengalami gesekan dengan dasar laut. Hal ini menyebabkan kecepatan dan energi gelombang menurun drastis dengan berkurangnya kedalaman tetapi tinggi gelombang semakin meningkat Gambar 4; Diposaptono dan Budiman, 2006. Tsunami yang menjalar ke pantai yang sempit dan dangkal akan mengalami proses yang kompleks, yaitu shoaling, refraksi, difraksi dan refleksi. Shoaling adalah proses pembesaran tinggi gelombang karena pendangkalan dasar laut. Tsunami yang terjadi di laut dalam selama penjalarannya ke pantai atau laut yang lebih dangkal akan teramplifikasi karena adanya efek shoaling Diposaptono dan Budiman, 2006. Refraksi merupakan transformasi perubahan gelombang akibat adanya perubahan geometri dasar laut yaitu perubahan kedalaman laut. Sedangkan difraksi adalah transformasi gelombang yang diakibatkan oleh adanya bangunan atau struktur yang menghalangi rambatan tsunami. Rintangan tersebut dapat berupa bangunan pantai atau adanya pulau-pulau kecil Diposaptono dan Budiman, 2006. Gambar 4. Tinggi gelombang tsunami saat memasuki teluk Diposaptono dan Budiman, 2006 Tinggi gelombang tsunami berubah sesuai dengan perubahan kedalaman. Jika tinggi gelombang lebih kecil daripada panjang gelombangnya maka perubahan tinggi gelombang akan sesuai dengan Hukum Green yaitu perbandingan tinggi tsunami pada posisi di pantai yang lebih dangkal H 1 dengan tinggi tsunami di pantai yang lebih dalam H sama dengan pangkat ¼ dari perbandingan perubahan kedalaman air laut h h 1 dikalikan dengan akar dari perbandingan lebar teluk di titik yang lebih dalam b dan lebar teluk di titik yang lebih dangkal b 1 . Secara matematis ditulis sebagai berikut Diposaptono dan Budiman, 2006 : ............................2 Keterangan H 1 : Tinggi gelombang tsunami pada laut dangkal H : Tinggi gelombang tsunami pada laut dalam h o h 1 : Perbandingan perubahan kedalaman air laut b : Lebar teluk di titik yang lebih dalam b 1 : Lebar teluk di titik yang lebih dangkal

2.2.2.2 Morfometri pantai

Morfometri pantai menunjukkan bentuk dan topografi garis pantai. Morfometri merupakan parameter yang sangat penting untuk dikaji karena menentukkan daerah pemusatan atau penyebaran energi gelombang tsunami Diposaptono dan Budiman, 2006. Gelombang tsunami yang yang bergerak ke pantai akan mengalami perubahan tinggi gelombang yang semakin besar. Perubahan gelombang tersebut sangat dipengaruhi oleh morfometri pantai sebagai berikut Hendratno, 2005.  Geometri pantai arah horizontal Secara umum wilayah pesisir Indonesia memiliki teluk yang berbentuk V V-shape bays yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang 2 1 1 4 1 1 1              b b h h H H sangat banyak dan berderet satu dengan yang lainnya, sehingga menyerupai gigi gergaji sawtooth Gambar 5. Morfologi pantai yang berbentuk teluk akan mempengaruhi refraksi gelombang dan menyebabkan peningkatan kecepatan dan energi gelombang tsunami Latief, 2005. Gambar 5. Contoh kawasan pesisir yang menyerupai gigi gergaji Diposaptono dan Budiman, 2006 Gelombang tsunami yang menjalar ke teluk, tidak dapat keluar lagi karena sebagian atau seluruh gelombang tersebut akan dipantulkan oleh dinding teluk. Akibatnya gelombang tsunami akan meninggi dan interaksi gelombang tersebut berlangsung dalam waktu yang lama.  Kelandaian pantai arah vertikal Kelandaian pantai sangat mempengaruhi run-up maksimum ke daratan. Pada pantai yang terjal, tsunami tidak terlalu jauh mencapai daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai. Sementara pada pantai relatif landai, gelombang tsunami yang tiba akan semakin membesar dan bertambah cepat Hendratno, 2005.  Kekasaran pantai Kekasaran pantai dapat berfungsi sebagai peredam energi gelombang tsunami. Pantai yang kasar berbukit-bukit, berbatu cadas, berkarang, dan atau ditutupi oleh vegetasi dapat meredam energi gelombang tsunami, sedangkan pantai yang halus berupa endapan aluvial dan pasir berukuran sedang sampai halus kurang efektif dalam meredam energi gelombang tsunami Hendratno, 2005.

2.2.2.3 Keberadaan pulau-pulau penghalang

Pulau-pulau penghalang berperan penting dalam meredam energi gelombang tsunami. Energi gelombang tsunami akan tereduksi dengan adanya pendangkalan kedalaman perairan pada pulau penghalang. Sehingga, energi gelombang yang akan dirasakan oleh pulau-pulau di belakangnya akan menjadi lebih kecil dari energi awal Hajar, 2006.

2.2.2.4 Ekosistem pesisir

Ekosistem pesisir terutama mangrove dan hutan pantai memegang peranan sebagai greenbelt pelindung pantai dalam mereduksi energi gelombang tsunami. Hutan pantai sangat efektif dalam meredam energi gelombang tsunami seperti dilaporkan Harada dan Imamura 2003 Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa semakin lebat hutan maka tingkat peredaman energi gelombang tsunami semakin besar. Contohnya gelombang tsunami setinggi 3 m yang menerjang hutan pantai dengan lebar 50 m, maka jangkauan run-up yang masuk ke daratan tinggal 81, tinggi genangan tinggal 82, arus setelah melewati pantai tinggal 54 dan gaya hidrolis tsunami tinggal 39, sehingga daerah pantai yang mempunyai vegetasi pesisir yang rapat dan tebal, mempunyai resiko kerusakan lebih kecil dibandingkan daerah pantai yang mempunyai kerapatan dan ketebalan yang lebih rendah Harada dan Imamura, 2003. Keberadaan terumbu karang di wilayah pesisir juga sangat penting. Selain memiliki fungsi ekologis, terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut Diposaptono dan Budiman, 2006. Tabel 2. Efektivitas peredaman tsunami oleh hutan pantai Harada dan Imamura, 2003 Tinggi tsunami m 1 2 3 Hutan pantai Shuto, 1985 Mitigasi kerusakan, menghentikan benda yang hanyut dan meredam tsunami Jarak run up Lebar hutan 50 m 0,98 0,86 0,81 100 m 0,83 0,80 0,71 200 m 0,79 0,71 0,64 400 m 0,78 0,65 0,57 Tinggi genangan Lebar hutan 50 m 0,86 0,86 0,82 100 m 0,76 0,74 0,66 200 m 0,46 0,55 0,50 400 m - 0,11 0,18 Arus Lebar hutan 50 m 0,71 0,58 0,54 100 m 0,57 0,47 0,44 200 m 0,56 0,39 0,34 400 m - 0,31 0,24 Gaya hidrolis Lebar hutan 50 m 0,53 0,48 0,39 100 m 0,33 0,32 0,17 200 m 0,01 0,13 0,08 400 m - 0,02 0,01

2.2.2.5 Penggunaan lahan

Kawasan pesisir termasuk dalam kerentanan yang tinggi terhadap bencana tsunami. Konsep penggunaan lahan harus melihat jarak dari garis pantai agar dapat melindungi daratan dari hantaman gelombang tsunami. Penggunaan lahan pada kawasan pesisir harus memperhitungkan antara tata guna lahan dan tingkat hunian penduduk dengan besar kecilnya resiko bahaya tsunami. Penggunaan lahan yang berkaitan dengan berbagai aktivitas manusia seharusnya tidak dibangun pada daerah yang sangat rawan tsunami Irfani, 2005.

2.2.2.6 Kepadatan pemukiman

Sebaran dan kepadatan pemukiman menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi resiko bencana tsunami yang akan terjadi. Pemukiman penduduk menggambarkan tingkat kepadatan penduduk dan sebaran tempat hunian yang akan mempengaruhi tingkat kerugian akibat tsunami baik dari segi kerugian jiwa maupun harta benda. Penempatan area pemukiman pada zona paling aman dari bahaya tsunami adalah prioritas utama sehingga diletakkan jauh dari laut Irfani, 2005. Pratikno 2007 menyatakan bahwa pembangunan area pemukiman kurang padat yang efektif adalah minimal dalam radius 500 m dari garis pantai.

2.2.3 Pengurangan resiko bencana tsunami

Bencana tsunami tidak dapat dicegah dan mempunyai kemungkinan kejadian berulang, sedangkan kerentanan merupakan aspek yang relatif dapat dilakukan perubahan. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko bencana, hanya dapat dilakukan dengan cara memperkecil kerentanan Gambar 6. Resiko 1 Resiko 2 Gambar 6. Pengurangan Resiko Bencana Bakornas Penanggulangan Bencana, 2007 Pembuatan dan analisis tingkat resiko tsunami di suatu daerah merupakan masukan penting dalam rancangan tata ruang wilayah pesisir. Di Indonesia, pedoman resmi untuk pembuatan peta resiko tsunami belum ada. Akan tetapi, pada tanggal 14 April 2008 yang lalu, telah diadakan “Rapat Pedoman Pembuatan Peta Resiko Tsunami” yang dihadiri oleh wakil-wakil dari LIPI, BPPT, PKSPL-IPB, LAPAN, KLH, BMG, ITB, DEPKOMINFO, DEPDAGRI, Artwork dan RISTEK. Salah satu hasil penting dalam rapat tersebut adalah segera menyelesaikan “Pedoman Pembuatan Peta Resiko Tsunami” agar dapat segera didistribusikan kepada pemerintah daerah melalui Departemen Dalam Negeri Pusat Riset Informasi Bencana Alam, 2008. 2.3 Pemetaan resiko tsunami dengan metode Cell Based Modelling 2.3.1 Penginderaan jauh sebagai penunjang riset tsunami Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan teknologi untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji Lillesand dan Kiefer, 1990. Untuk riset tsunami, citra satelit baik secara global, visual, digital dan multi temporal dapat memberikan informasi mengenai dinamika yang terjadi di daerah pesisir, baik sebelum, sewaktu maupun sesudah tsunami Diposaptono dan Budiman, 2006. Oleh karena itu, penginderaan jauh remote sensing merupakan salah satu alat mutakhir yang sangat menunjang kegiatan riset tsunami, terutama jika diintegrasikan dengan SIG. Data penginderaan jauh seperti citra satelit merupakan input yang terpenting bagi SIG karena ketersediaannya secara berkala dan mencakup area yang relatif luas. Kita bisa memperoleh berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian karena saat ini terdapat bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing GIS Konsorsium, 2007. Satelit Landsat 7 ETM+ merupakan satelit milik National Atmospheric and Space Administration NASA Amerika yang sistem informasinya dilakukan oleh pihak swasta yaitu EOSAT Earth Observation Satellite. Landsat 7 ETM+ Gambar 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Konfigurasi dasar satelit berbentuk kupu-kupu dengan tinggi ± tiga m, bergaris tengah 1.5 m dan panel matahari yang melintang kurang dari empat m NASA, 2005. Gambar 7. Konfigurasi Satelit Landsat 7 ETM+ NASA, 2005 Satelit Landsat 7 ETM+ merupakan satelit dengan orbit polar sun synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan pada waktu lokal pukul 10.00 pagi dengan lebar sapuan 185 km dan resolusi spasial 30 x 30 m. Khusus untuk band 6 resolusinya 60 x 60 m dan band 8 adalah 15x15 m. Satelit ini berada pada ketinggian 705 km dengan periode edar 99 menit dan resolusi temporalnya 16 hari NASA, 2005. Sistem pada Landsat 7 ETM+ yang dirancang khusus untuk mengumpulkan energi pantulan elektromagnetik dilakukan oleh saluran 1-5, saluran 7 dan saluran 8, sedangkan untuk memancarkan energi dilakukan oleh saluran 6 Purwadhi, 2001. Sensor Landsat 7 ETM+ mengkonversi energi pantulan matahari yang diterimanya menjadi suatu radians. Radians adalah fluks energi per satuan sudut ruang yang meninggalkan satu satuan area permukaan pada arah tertentu. Nilai radians akan dikuantifikasi menjadi nilai kecerahan brightness values citra yang tersimpan dalam format digital. Citra satelit Landsat ETM 7+ merupakan citra multispektral sehingga untuk mendapat ketepatan interpretasi citra perlu dipilih saluran yang paling sesuai dengan bidang kajian keadaan ekosistem pesisir BIOTROP Training and Information Center, 2005. Karakteristik dari Landsat 7 ETM+ selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik citra Landsat 7 ETM+ NASA, 2005 Kanal Spektrum Resolusi spektral µm Resolusi spasial pada nadir m 1 Sinar tampak violet-biru 0,45 – 0,52 30x30 2 Sinar tampak hijau 0,52 – 0,60 30x30 3 Sinar tampak merah 0,63 – 0,69 30x30 4 Infra merah dekat 0,79 - 0,90 30x30 5 Infra merah menengah 1.55-1.75 30x30 6 Infra merah termal 10.40-12.50 60x60 7 Infra merah jauh 2.08-2.35 30x30 8 Pankromatik 0.52-0.90 15x15 Teknologi sensor Scanning mirror spectrometer Altitude 705 km Swath widht lebar sapuan 185 km Resolusi temporal 16 hari Resolusi radiometrik Best 8 of 9 bits Perekaman data 250 image per hari pada 31.450 km 2 Orbit dan inklinasi Sun synchronus; 98,2 Peluncuranoperasi 15-April-1999 6 tahun Pada penelitian ini digunakan juga data Digital Elevation Model Shuttle Radar Topographic Mission DEM SRTM. Shuttle Radar Topographic Mission yang diluncurkan tanggal 11 Februari 2000 merupakan proyek internasional yang dipelopori oleh National Geospatial-Intelegence Agency NGA dan National Atmospheric and Space Administration NASA. SRTM digunakan untuk menghasilkan data topografi digital dan elevasi dari 80 permukaan daratan bumi melalui sensor radar Hajar, 2007. Permukaan bumi yang direkam oleh sensor radar tersebut berada pada 60 LU sampai 56 LS. Keunggulan sistem radar SRTM adalah dapat beroperasi siang dan malam karena menggunakan sensor aktif yang tidak tergantung oleh cahaya matahari dan tidak terpengaruh oleh cuaca dan awan. Data hasil rekaman sensor ini adalah data Digital Elevation Model atau DEM USGS, 2007. Data DEM merupakan data digital berformat raster yang memiliki informasi koordinat posisi x,y dan elevasi z pada setiap pixel atau sel. Data DEM dapat menggambarkan kondisi topografi wilayah penelitian. Hasil pengolahan data DEM harus didukung dengan survei lapang sehingga kenampakan topografi wilayah yang direkam akurat. Akurasi data DEM sangat tergantung pada sumber titik tinggi dan resolusi spasial. Resolusi spasial DEM pada penelitian ini adalah 90 x 90 m. Semakin tinggi resolusi spasial maka semakin tinggi pula akurasi data yang diperoleh. Data DEM merupakan salah satu data penting dalam analisis daerah rawan bencana tsunami Hajar, 2007. 2.3.2 Aplikasi Cell Based Modelling untuk kajian resiko tsunami 2.3.2.1 Sistem informasi geografis SIG Sistem informasi geografis SIG adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografi dan personal yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan semua bentuk informasi yang berefensi geografis Prahasta, 2002. Sebagian besar data yang ditangani dalam SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi spasial dan informasi deskriptif atribute GIS Konsorsium, 2007. Data spasial ini dapat dibagi menjadi dua format yaitu data raster dan data vektor. Data vektor merupakan objek geografis yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis, area daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama, titik dan nodes merupakan titik perpotongan antara dua buah garis. Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel picture element. Perbandingan visualisasi antara data raster dan vektordisajikan pada Gambar 8 GIS Konsorsium, 2007. Data Vektor Data Raster Gambar 8. Perbandingan antara data raster dan data vektor Keuntungan data vektor adalah ketepatan dalam merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus, akan tetapi, tidak mampu dalam mengakomodasi perubahan gradual. Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batas- batas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah dan vegetasi. Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya ukuran file; semakin tinggi resolusi gridnya semakin besar pula ukuran filenya dan sangat tergantung pada kapasistas perangkat keras yang tersedia GIS Konsorsium, 2007.

2.3.2.2 Pemodelan spasial dengan Cell Based Modelling

Salah satu analisis spasial dalam SIG yang saat ini banyak digunakan untuk memodelkan keadaan di alam adalah Cell Based Modelling ESRI, 2001. Secara umum suatu model mempresentasikan kekompleksitasan dan interaksi di alam dengan suatu penyederhanaan. Permodelan tersebut akan menolong kita untuk mengerti, menggambarkan, dan memprediksi banyak hal di alam. Ada dua model yang dikenal dalam analisis spasial, yaitu model yang merepresentasikan objek atau kenampakan di alam representation models dan model yang mensimulasikan proses di alam process models. Keseluruhan model tersebut akan lebih efisien bila dilakukan pada data raster ESRI, 2001. Analisis spasial pada data raster ini disebut metode Cell Based Modelling karena bekerja berdasarkan sel atau piksel. Operasi piksel pada Cell Based Modeling dibagi menjadi lima kelompok ESRI, 2001 : 1. Local Function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel. Nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input. 2. Focal Function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat. 3. Zonal Function adalah operasi piksel yang melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama. 4. Global Function yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut. 5. Application Function adalah gabungan dari keempat operasi di atas yang meliputi Local Function, Focal Function, Zonal Function dan Global Function. Ilustrasi dari keempat operasi Cell Based Modeling dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Ilustrasi operasi piksel Sumber : ESRI, 2002 Metode Cell Based Modelling memiliki beberapa keunggulan. Menurut Meaden dan Chi 1996, analisis overlay, pembuatan jarak dan pengkelasan parameter lebih mudah dilakukan secara cepat dan teratur pada data raster. Keunggulan lain yaitu struktur data raster lebih sederhana sehingga memudahkan dalam pemodelan dan analisis, kompatibel dengan data satelit serta memiliki variabilitas spasial yang tinggi dalam merepresentasikan suatu kondisi di alam. Metode ini juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu diantaranya membutuhkan space komputer yang besar dan secara spasial memiliki tampilan yang kurang estetik karena berupa data raster yang berbentuk sel ESRI, 2001.

2.4. Keadaan umum lokasi penelitian