1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan umum Adapun tujuan umum dari penulisan penelitian ini adalah sebagai
berikut. 1.
Untuk mengetahui hubungan hukum yang terjalin antara perusahaan Go-Jek, pengemudi Go-Jek, dan pengguna jasa Go-Jek.
2. Untuk mengetahui secara umum perlindungan hukum terhadap
pengguna jasa Go-Jek dalam hal terjadi penyalahgunaan terhadap data pribadinya.
1.5.2 Tujuan Khusus Terkait dengan tujuan umum di atas maka penelitian ini memiliki
tujuan khusus yang hendak dicapai, yakni sebagai berikut. 1.
Untuk mengetahui masing-masing hak dan kewajiban dari pihak perusahaan Go-Jek, pengemudi Go-Jek, dan pengguna jasa Go-Jek.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum dan tanggung jawab
dalam hal terjadinya penyalahgunaan terhadap data pribadi pengguna jasa Go-Jek.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis, yakni diuraikan sebagai berikut.
1.6.1 Manfaat teoritis. 1.
Sebagai sumbangan dalam rangka pengembangan disiplin ilmu pemikiran terutama ilmu hukum khususnya mengenai
perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik. 2.
Penulisan skripsi ini juga diharapkan terdapat informasi mengenai perlindungan hukum data pribadi, khususnya
perlindungan hukum data pribadi dalam sistem elektronik. 1.6.2 Manfaat praktis
1. Untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau
masukan bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan mengenai perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik.
2. Untuk dapat digunakan sebagai bahan atau penambah ilmu
bagi pembaca serta sebagai referensi di bidang perlindungan hukum data pribadi dalam sistem elektronik.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengindetifikasi teori hukum, konsep hukum, asas hukum, aturan hukum, norma hukum, dan lain-lain yang akan
dipakai sebagai landasan untuk menganalisis dan membahas permasalahan dalam penelitian. Landasan teori yang digunakan yakni diuraikan sebagai berikut.
1. Teori Perlindungan Hukum.
Timbulnya suatu perlindungan hukum pada dasarnya karena adanya suatu hubungan hukum. Manusia sebagai makhluk sosial tentu hidup dalam kehidupan
bermasyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai interaksi. Berdasarkan hal tersebut secara sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan hukum
rechtshandeling dan hubungan hukum rechtsbetrekkingen.
7
secara umum perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan
terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Perlindungan hukum diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis. Berdasarkan hal tersebut maka perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan
mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.
8
Secara teoritis, perlindungan hukum dibagi menjadi 2 dua bentuk, yakni sebagai berikut.
a Perlindungan hukum preventif, yakni bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa dan sangat berarti bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak.
7
Soeroso, R., 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 49.
8
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h.2.
b Perlindungan hukum represif, yakni bertujuan untuk menyelesaikan
suatu permasalahan atau sengketa. Berkaitan dengan pengguna jasa atau konsumen, perlindungan hukum terhadap
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum kepada konsumen penyedia dan pengguna yang berkaitan dengan barang dan jasa.
9
2. Perlindungan Data Pribadi di Media Elektronik.
Mengenai data pribadi, Indonesia belum memiliki kebijakan atau regulasi mengenai perlindungan data pribadi dalam satu peraturan khusus. Pengaturan
mengenai hal tersebut masih termuat terpisah di beberapa peraturan perundang- undangan dan hanya mencerminkan aspek perlindungan data pribadi secara
umum. Data pribadi yang dimaksud dalam penelitian ini ialah data pribadi yang berkaitan langsung dengan data elektronik. Sehingga peraturan perundang-
undangan yang dijadikan referensi ialah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik UU ITE. Pasal 1 angka 1 UU ITE
mengatur bahwa: Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange EDJ, surat elektronik
electronic mail, telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti, atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU ITE dinyatakan bahwa: Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
9
Nasution, A.Z, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, h.22.
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, danatau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Kedua pengertian tersebut tidak secara eksplisit memberi pengertian terhadap data pribadi, begitu juga dengan ketentuan-ketentuan lainnya dalam UU
ITE. Tetapi, secara implisit UU ITE ini mengatur pemahaman baru mengenai perlindungan terhadap keberadaan suatu data atau informasi elektronik baik yang
bersifat umum maupun pribadi. Perlindungan data pribadi dalam sebuah sistem elektronik dalam UU ITE meliputi perlindungan dari penggunaan tanpa izin,
perlindungan oleh penyelenggara sistem elektronik, dan perlindungan dari akses dan interferensi ilegal. Terkait perlindungan data pribadi dari penggunaan tanpa
izin, Pasal 26 UU ITE mensyaratkan bahwa penggunaan setiap data pribadi dalam sebuah media elektronik harus mendapat persetujuan pemilik data bersangkutan.
Setiap orang yang melanggar ketentuan ini dapat digugat atas kerugian yang ditimbulkan. Bunyi Pasal 26 UU ITE yakni sebagai berikut.
1 Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan,
penggunaan, setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan
Orang yang bersangkutan.
2 Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
Dalam penjelasannya, Pasal 26 UU ITE menentukan sebagai berikut. Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi
merupakan salah satu bagian dari hak pribadi privacy rights. Hak pribadi yang dimaksud mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan
bebas dari segala macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Sehingga dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa dalam UU ITE dilindungi hak pribadi seseorang untuk bebas dari segala macam gangguan terhadap
kehidupan pribadinya, yang disebabkan oleh penyalahgunaan data pribadi teknologi informasi, baik data yang bersifat umum maupun pribadi.
Berkaitan dengan UU ITE, dalam peraturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 angka 27 bahwa
, “data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaanny
a.” Dalam pengertian tersebut tidak dijelaskan rincian data pribadi yang dimaksud, namun data pribadi tersebut
haruslah dijaga dan dilindungi. Selanjutnya Pasal 15 ayat 1 PP Nomor 82 Tahun 2012 menentukan sebagai berikut.
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib: a. menjaga rahasia, keutuhan, dan ketersediaan Data Pribadi yang
dikelolanya; b. menjamin bahwa perolehan, penggunaan, dan pemanfaatan Data Pribadi
berdasarkan persetujuan pemilik Data Pribadi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan; dan
c. menjamin penggunaan atau pengungkapan data dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemilik Data Pribadi tersebut dan sesuai dengan tujuan
yang disampaikan kepada pemilik Data Pribadi pada saat perolehan data.
Berdasarkan ketentuan tersebut, data pribadi dalam sistem elektronik tentu mendapat perlindungan hukumnya untuk menjamin kerahasiaan, keutuhan, serta
penggunaan dan pemanfaatannya yang harus dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemilik data pribadi tersebut.
3. Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Hukum.
Terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi tentu berdampak terhadap kerugian, sehingga ada prinsip tanggung jawab yang berlaku.
Secara umum prinsip tanggung jawab dalam hukum dibedakan sebagai berikut. a
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan liability based on fault.
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.
10
Prinsip ini tergambar dalam beberapa ketentuan di Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUHPerdata, yakni Pasal 1365 dan
1367. Pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa, “Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut. ” Pasal 1365 KUHPerdata mengharuskan
terpenuhinya empat
unsur pokok
untuk dapat
dimintai pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum, yaitu
adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Ketentuan
10
Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, selanjutnya disingkat Edmon Makarim II h. 187.
tersebut mengatur mengenai perbuatan melawan hukum yang pada dasarnya ialah perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang
lain. b
Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab presumption of liability. Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
presumption of liability sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah, dengan kata lain beban pembuktian ada pada tergugat.
11
Dalam prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang
bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. c
Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab presumption of nonliability.
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab presumption of nonliability hanya
dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
12
Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabinbagasi tangan, yang
biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang konsumen adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut pelaku
usaha tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Sekalipun
11
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, h. 61.
12
Ibid.
demikian, dalam Pasal 44 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara ada penegasan,
„prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab‟ ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab
dengan pembatasan uang ganti rugi setinggi-tingginya 1 satu juta rupiah. Artinya, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabinbagasi
tangan tetap dapat dimintakan pertanggung jawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut pelaku usaha dapat ditunjukan. Pihak yang
dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang. d
Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability. Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolut absolute liability. Kendati demikian, ada pula para sarjana yang membedakan kedua terminologi tersebut. Ada
pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.
Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeure. Sebaliknya
absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Pada dasarnya strict liability adalah bentuk khusus
dari tort perbuatan melawan hukum, yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan
sebagaimana tort pada umumnya, tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena
perbuatan melawan hukum itu.
13
Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita
oleh konsumen karena mengkonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha. Karena itu, pelaku usaha harus
lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen. Di Indonesia, prinsip tanggung jawab mutlak
secara implisit dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1367 dan 1368 KUH Perdata. Pasal 1367 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab
seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. Sedangkan Pasal 1368 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab pemilik atau siapapun yang memakai seekor binatang atas
kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.
Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan adanya perbuatan melepaskan atau
menyesatkan binatangnya. e
Prinsip pembatasan tanggung jawab limitation of liability. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku
usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Namun secara umum prinsip tanggung jawab ini
13
Ibid, h. 63
sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.
f Tanggung jawab produk product liability.
Menurut Agnes M. Toar, product liability adalah tanggung jawab produsen untuk produk yang telah dibawanya kedalam peredaran yang
telah menimbulkanmenyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Dalam hal ini, product liability adalah suatu
tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses
untuk menghasilkan suatu produk dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
14
Product liability disebabkan oleh keadaan tertentu cacat atau membahayakan orang lain. Tanggung jawab
ini sifatnya mutlak strict liability atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan diri sendiri dan orang
lain merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab
mutlak itu, pelaku usaha telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan tanggung jawab
tanpa kesalahan “liability without fault”, kecuali apabila ia dapat
14
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 65.
membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya.
g Penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheden.
Menurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan terjadi karena ada 2 dua unsur, yakni kerugian bagi salah satu pihak dan penyalahgunaan
kesempatan oleh pihak lain. Dari unsur kedua, timbul sifat perbuatan, yaitu adanya keunggulan pada salah satu pihak yang bersifat ekonomis danatau
psikologis. Keunggulan ekonomis terjadi bilamana posisi kemampuan ekonomi kedua belah pihak tidak seimbang sehingga salah satu
bergantung pada yang lain. Pada keunggulan psikologis, boleh jadi ketergantungan ekonomis tidak ada, tetapi salah satu pihak mendominasi
secara kejiwaan. Kondisi penyalahgunaan keadaan ini dapat tercipta karena adanya “ketergantungan relatif misalnya antara orang tua dan
anak; suami dan istri; dsb dan salah satu pihak menyalahgunakan keadaan pihak lain untuk kepentingannya. Keadaan yang dimaksud disebabkan,
misalnya, yang bersangkutan belum berpengalaman, gegabah, kurang cerdas danatau kurang informasi. Melengkapi pandangan Dunne, J. Satrio
menambahkan 6 enam faktor lagi yang dapat dianggap sebagai ciri dari penyalahgunaan keadaan, diantaranya: a. Pada waktu menutup perjanjian,
salah satu pihak ada dalam keadaan terjepit; b. Karena keadaan ekonomis, kesulitan keuangan yang mendesak; c. Karena hubungan atasan-bawahan,
keunggulan ekonomis pada salah satu pihak; hubungan majikan-buruh; orang tuawali-anak belum dewasa; d. Karena keadaan, seperti pasien
membutuhkan pertolongan dokter ahli; e. Perjanjian itu mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal balik antara para pihak
prestasi yang tidak seimbang; pembebasan majikan dari resiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh; dan f. Kerugian yang sangat
besar dari salah satu pihak. Penyalahgunaan keadaan ini tentulah sangat relevan untuk disinggung dalam kaitan dengan persengketaan transaksi
konsumen. Keadaan yang lebih unggul dari pelaku usaha baik dari segi ekonomis maupun psikologis menjadi senjata yang ampuh untuk
mempengaruhi konsumen, sehingga tampaklah bahwa konsumen sangat rasional dalam memutuskan kehendaknya padahal sejatinya justru
sebaliknya. Terkait dengan uraian di atas, dalam penerapannya, setiap pertanggung jawaban
harus memiliki dasar yang jelas. Dasar pertanggung jawaban dapat digolongkan menjadi 2 dua jenis, diantaranya: a. Pertanggung jawaban atas dasar kesalahan,
yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melanggar hukum, atau tindakan yang kurang hati-hati; dan b. Pertanggungjawaban atas
dasar resiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pelaku usaha atas kegiatan usahanya.
1.8 Metode Penelitian