PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT ADAT LAMPUNG ABUNG SIWO MEGO DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bergulirnya era reformasi di Indonesia berdampak pada sistem ketatanegaraan, yaitu terjadi pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (local democracy) yang bertumpu pada pemerintahan daerah. Otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah.

Salah satu perubahan pada sistem ketatanegaraan yang terjadi pada era otonomi daerah adalah penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat. Pemilihan Kepala Daerah Langsung merupakan proses perekrutan pejabat politik daerah sebagai pemimpin daerah yang bersangkutan dan dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis tanpa melalui lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


(2)

Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pemilihan Kepala Daerah sebagai wujud Pemilu menjadi sarana yang tersedia bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Pemilu juga merupakan kesempatan bagi warga negara untuk memilih pejabat-pejabat pemerintahan dan memutuskan apa yang mereka inginkan untuk dikerjakan pemerintah dan dalam membuat keputusan itu para warga negara menentukan apakah yang sebenarnya mereka inginkan untuk dimiliki.

Masyarakat pada dasarnya berharap bahwa pelaksanaan kepala daerah akan terlaksana secara demokratis sebab mereka akan melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini merupakan implementasi sistem pemerintahan negara demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai titik sentral tata pemerintahan dan kenegaraan, sebab hakikatnya demokrasi adalah pemerintahan yang dilaksanakan dari, oleh dan untuk rakyat.

Pemilihan kepala daerah merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pejabat pemerintahan daerah. Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan kepala daerah merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan dalam bentuk perilaku memilih, yakni memberikan suara dalam pemilihan umum.


(3)

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat beranekaragam, mulai dari segi suku, agama, sosial, dan budaya. Kondisi ini membutuhkan pemimpin yang pandai dan pintar serta memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi untuk mengaturnya. Salah satu kelompok masyarakat yang juga berperan dalam proses demokratisasi lokal dengan turut berpartisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah masyarakat adat. Masyarakat adat adalah suatu kesatuan hidup manusia yang terikat dalam suatu kebudayaan yang dianggap sama dan berinteraksi menurut adat istiadat yang sama yang ditunjukkan oleh adanya suatu identitas bersama.

Masyarakat adat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung. Secara garis besar masyarakat Lampung terdiri dari dua kelompok masyarakat adat, yaitu masyarakat adat Pepadun dan masyarakat adat Pesisir.

Masyarakat beradat Pepadun kebanyakan bermukim di daerah pedalaman, sedangkan yang beradat Pesisir bermukim di daerah pesisir atau di daerah yang tidak termasuk daerah lingkungan pepadun. Termasuk dalam lingkungan beradat pepadun adalah orang-orang Abung, Tulangbawang (Menggala), Waykanan Sungkai, Pubiyan. Sedangkan dalam lingkungan beradat Pesisir adalah orang-orang Pesisir Teluk, Pesisir Semangka, Pesisir Krui, dan dataran tinggi Belalau di daerah Provinsi Lampung.

Terkait dengan konteks Pemilihan Kepala Daerah, perilaku memilih masyarakat tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, di antaranya adalah pendekatan sosiologis yaitu kecenderungan menempatkan kegiatan memilih dengan konteks sosial yang


(4)

dipengaruhi oleh beberapa hal seperti tempat tinggal, keluarga, teman sepermainan, pekerjaan, dan keyakinan yang dianut. Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang.

Pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-perempuan) agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk pengelompokkan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-organisasi profesi, dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok kecil lainnya. Kelompok ini merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku memilih seseorang, karena kelompok inilah yang mempunyai peranan yang besar dalam menentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang terhadap politik.

Perilaku memilih masyarakat juga dapat ditentukan oleh pendekatan rasionalitas yang mereka miliki, seperti menentukan pilihan karena berorientasi pada kandidat atau mereka memilih karena telah mengetahui calon dan program dari kandidat yang akan mereka pilih baik itu melalui sosialisasi langsung dari calon atau partai peserta pemilu ataupun melalui media massa. Pendekatan ini digunakan dengan harapan bahwa dengan pendekatan ini dapat memberikan pandangan mengenai ketertarikan seseorang untuk memilih yang didasari atas kemampuan untuk menilai figur kandidat, isu-isu/program politik yang diusung oleh kandidat dan partai politik kandidat,


(5)

tetapi tetap tidak melupakan untuk menjatuhkan pilihan pada kandidat yang bisa mendatangkan keuntungan dan menekan kerugian yang sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, disinilah posisi media cukup berperan untuk menyampaikan isu-isu/program politik yang diusung oleh kandidat serta memperkenalkan calon-calon kandidat tersebut kepada khalayak ramai.

Selanjutnya adalah pendekatan identifikasi partai, menurut pendekatan ini pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya, seperti kandidat yang dirasakan cukup dekat dengannya pasti dia akan memilih kandidat tersebut atau seorang tokoh yang sangat disegani pasti akan menjadi pedoman baginya untuk memilih. Tokoh dalam hal ini yaitu pemimpin-pemimpin partai atau tokoh-tokoh nasional yang relatif dikenal luas secara nasional. Konsep ini relatif independen untuk menarik massa agar memilih partai, di mana seorang calon tersebut merupakan tokoh di partai tertentu. Masyarakat memilih partai tidak hanya karena daya tarik partai itu sendiri, tetapi lebih karena ada tokoh pimpinan partai politik.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pendekatan sosiologis terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur 2010.

Alasan pemilihan Desa Labuhan Ratu sebagai lokasi penelitian ini didasarkan pada hasil prariset yang penulis lakukan pada tanggal 25 Mei 2010. Data prariset menunjukkan bahwa jumlah seluruh pemilih yang tercatat dalam


(6)

Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah 8.738 pemilih. Pada Pemilu Legislatif tercatat 8223 (94,11%) pemilih yang memberikan hak suaranya dan pada Presiden tercatat 8327 (95,30%) pemilih yang memberikan hak suaranya. Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi, karena pemilih yang memberikan hak suara mereka mencapai persentase di atas 90% pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.

Pemilihan masyarakat etnis Lampung Abung didasarkan pada pertimbangan bahwa di antara masyarakat adat yang kelompok Lampung Pepadun, etnis Lampung Abung memiliki marga yang lebih banyak dibandingkan dengan marga masyarakat adat Lampung lainnya. Menurut Hilman Hadikusuma (1999: 14), bahwa masyarakat adat Lampung Abung memiliki sembilan marga (Abung Siwo Megou), sementara itu etnis lainnya seperti masyarakat adat Tulangbawang/Menggala hanya memiliki empat marga (Meggou Pak Tulang bawang), Masyarakat adat Lampung Waykanan/Sungkai memiliki lima marga (Buay Lima) dan masyarakat adat Pubian hanya memiliki tiga marga (Pubian Telu Suku). Dengan beragamnya marga yang dimiliki masyarakat Lampung Abung maka perilaku memilih masyarakat juga cenderung lebih beragam dan komplek dibandingkan dengan masyarakat Adat Lampung lainnya.

Sembilan marga dalam masyarakat adat Abung Siwo Megou terdiri dari Buay Unyi, Buay Unyai, Buay Uban, Buay Subing, Buay Beliuk, Buay Kunang, Buay Selagai, Buay Anak Tuha dan Nyerupa. (Fachruddin, dkk, 1992: 24). Berdasarkan data prariset yang penulis lakukan di Desa Labuhan Ratu


(7)

Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur, mayoritas masyarakat Abung Siwo Megou adalah yang berasal dari Buay Subing.

Adapun teori yang melandasi penelitian ini dikemukakan oleh J. Kristiadi (1994), bahwa variabel sosial budaya (socio cultural) secara kuantitatif memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecenderungan perilaku memilih masyarakat di pedesaan. Dengan kata lain, pengaruh panutan bersifat kuat terhadap kecenderungan perilaku memilih masyarakat, sehingga orientasi perilaku memilih masyarakat masih paternalistis.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Seberapa besarkah pengaruh etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010


(8)

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang ilmu politik serta mengembangkannya dalam penelitian ilmiah, dengan kajian mengenai pengaruh etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan terhadap perilaku memilih masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga-lembaga politik dan masyarakat dalam mengidentifikasi dn mengetahui perilaku memilih masyarakat adat dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Lampung Timur Tahun 2010.


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku memilih

1. Pengertian Perilaku memilih

Menurut Abdul Munir Mulkan dalam Mahendra (2005: 71), perilaku memilih adalah fungsi dari kondisi sosial dan ekonomi serta kepentingan, maka perilaku memilih sebagian di antaranya adalah produk dari perilaku sosial ekonomi dan kepentingan suatu masyarakat atau golongan dalam masyarakat tersebut.

Menurut Sudiono Sastroatmodjo (1995) dalam Mahendra (2005: 72), perilaku memilih berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan bermasyarakat kearah pencapaian tujuan.

Menurut Ramlan Surbakti (1992), perilaku memilih dapat dibagi menjadi dibagi dua, yaitu perilaku memilih lembaga-lembaga atau para pejabat pemerintah dan perilaku memilih warga negara biasa (baik individu maupun kelompok). Perilaku memilih pada lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah yang ada di dalamnya bertanggungjawab membuat, melaksanakan, dan menegakkan keputusan politik. Sebaliknya pihak yang kedua tidak


(10)

berwenang seperti yang pertama, tetapi berhak mempengaruhi pihak pertama dalam melaksanakan fungsinya, karena yang dilakukan pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan politik pihak kedua ini disebut partisipasi politik.

Menurut Mahendra (2005: 75), perilaku memilih adalah tindakan seseorang ikut serta dalam memilih orang, partai politik, atau isu publik tertentu. Perilaku memilih merupakan tindakan seseorang dalam memberikan pilihan pada calon elit politik, partai politik atau isu politik tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka perilaku memilih adalah buah dari pikiran dan tindakan seseorang maupun masyarakat yang berkenaan dengan kepentingan atau tujuan dalam mempengaruhi proses pembuatan dan melaksanakan keputusan politik.

2. Pendekatan Perilaku memilih

Menurut Surbakti (1992: 145), terdapat beberapa pendekatan untuk mengetahui perilaku memilih masyarakat, yaitu sebagai berikut:

a. Pendekatan struktural

Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, dan bahasa dan nasionalisme.


(11)

b. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti etnis, jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama.

c. Pendekatan Ekologis

Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Jika di Amerika Serikat terdapat distrik, precinct, dan ward. Kelompok masyarakat, seperti tipe penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, subkultur tertentu, dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal diunit teritorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum. d. Pendekatan Psikologi Sosial

Pendekatan psikologi sosial sama dengan penjelasan yang diberikan dalam pendekatan perilaku memilih. Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Kongkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain.


(12)

e. Pendekatan Pilihan Rasional

Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk

kalkulasi untung dan rugi, yang dipertimbangkan tidak hanya ”ongkos”

memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak.

Sedangkan menurut Heywood (1997: 224), perilaku memilih dapat diidentifikasi dengan beberapa pendekatan yaitu:

a. Pendekatan Identifikasi Partai

Teori paling awal dari perilaku memilih adalah pendekatan indentifikasi partai yang merupakan bagian dalam faktor psikologis, ini didasarkan pada pengaruh psikologis dari orang-orang yang menjadi anggota partai. Pemilih melihat orang yang dipilih dengan mengidentifikasi dari partai yang diikuti, hal ini termasuk dukungan dalam jangka panjang untuk menghormati partai mereka sendiri. Pemungutan suara merupakan suatu penjelmaan sikap berat sebelah, bukan produk kalkulasi yang dipengaruhi faktor kebijakan, kepribadian, kampanye dan pemberitaan media.

b. Pendekatan Sosiologis

Hubungan antara pendekatan sosiologis dengan perilaku memilih terhadap minat pada suatu grup didukung oleh tujuan pemilih untuk mengadopsi pola memilih yang merefleksikan posisi ekonomi dan sosial pada grup di


(13)

mana mereka tergabung. Lebih dari itu pengembangan faktor psikologis yang mempengaruhi partai yang berasal dari pengaruh keluarga. Sorotan utama dari pendekatan ini adalah kepentingan dari perjanjian sosial, mencerminkan tekanan didalam kemasyarakatan. Hal yang paling penting untuk bagian ini adalah kelas, gender, etnisitas, agama, dan wilayah.

c. Pendekatan Pilihan Rasional

Pendekatan pilihan rasional lebih memperhatikan pendapat individu dan jauh dari sosialisasi dan perilaku kelompok sosial. Di sini pemungutan suara dilihat sebagai sikap yang rasional, pemilih individu percaya untuk memilih partai dan mereka lebih memilih kepada seseorang yang diminati. Telah menjadi suatu kebiasaan ada suatu manifestasi pengaruh dan kesetiaan dalam pemungutan suara yang dianggap sebagai alat penting. Pemilihan dalam hal ini merupakan pola pikir masa lalu dalam kekuasaan partai dan bagaimana penampilannya mempengaruhi pilihan masyarakat.

d. Pendekatan Ideologi Dominan

Radikal teori dalam pemilihan suara menuju kepada fokus utama dari tingkat pilihan individu yang dibentuk oleh proses dari manipulasi ideologi dan kontrol. Di beberapa anggapan seperti beberapa perubahan teori dalam pendekatan sosiologi, pemungutan suara disebut sebagai kedudukan seseorang dalam hierarki sosial di mana teori ini berbeda dengan pendekatan sosiologi, meskipun begitu bagaimana individu menginpretasikan posisi mereka bergantung pada bagaimana mereka dilihat dari segi pendidikan oleh pemerintah dan oleh media massa.


(14)

Sementara itu menurut Afan Gaffar (1992: 27), beberapa pendekatan perilaku memilih adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan sosiologis

Pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial seperti umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-perempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun pengelompokan-pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku memilih, karena kelompok ini mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. b. Pendekatan psikologis

Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi, untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan ini pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi. Melalui proses sosialisasi, berkembang ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik. Sosialisasi politik menunjuk pada proses pembentukan sikap-sikap


(15)

dan pola tingkah laku politik serta merupakan sarana bagi generasi untuk mewariskan patokan dan keyakinan politik pada generasi sesudahnya. c. Pendekatan politis rasional

Pada pendekatan ini isu-isu politik menjadi pertimbangan penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya para pemilih dapat menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.

Berdasarkan uraian di atas maka kajian dalam penelitian ini dibatasi pada pendekatan sosiologis sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku memilih. Sesuai dengan teori yang dikemukakan Afan Gaffar (1992: 27), bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial tersebut terdiri dari kelompok umur, jenis kelamin , etnisitas maupun agama.Pengelompokan sosial dapat bersifat formal seperti organisasi dan perkumpulan, maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya.

3. Studi Tentang Perilaku Pemilih di Indonesia

Kajian mengenai perilaku pemilih telah banyak dijelaskan oleh para ahli seperti Afan Gaffar dan Kristiadi, dan hingga sekarang konsep tersebut masih dikumandangkan oleh para-para ahli penerusnya. Hingga saat ini, paling tidak terdapat enam studi penting mengenai perilaku pemilih di Indonesia. Semua studi ini melihat pemilih pada titik sentral dan menjelaskan faktor dan alasan pemilih memilih partai politik tertentu. Namun, diluar enam studi mengenai


(16)

perilaku pemilih, kemungkinan banyak studi lain dalam penelitian di kampus (skripsi, thesis ataupun disertasi). Meski demikian, enam studi inilah yang hingga saat ini kerap disebut dan banyak dikutip untuk menjelaskan perilaku pemilih di Indonesia, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Studi Perilaku Pemilih Yang Pernah Dilakukan.

STUDI OBJEK PEMILU METODE

Gaffar (1992) 1987 Survei

Mallarangeng (1997) 1977, 1982, 1987, 1992 Data agregat Ananta (et.al, 2004) 1999 Data agregat

King (2003) 1999 Data agregat

Liddle dan Mujani (2000) 1999 Survei Liddle dan Mujani (2007) 2004 Survei Sumber: www.lsi.co.id/media/. Diakses Tanggal 13 Juni 2010.

Penelitian Gaffar (1992) tentang Javanese Voters yang menelaah pendekatan struktural Geertz dan traditional authority dari Jackson. Gaffar berupaya menjelaskan mengenai perilaku memilih di kalangan masyarakat Jawa. Mengapa masyarakat memilih partai politik tertentu dalam Pemilu Orde Baru. Faktor apa yang menyebabkan seseorang memilih Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam studinya, Afan Gaffar menjelaskan empat variabel yang digunakan yaitu the socio-religious beliefs (abangan dan santri), party identification, the pattern of leadership, and class or social status.

Studi J. Kristiadi (1994), dengan variabel socio cultural menemukan bahwa secara kuantitatif, pengaruh panutan masih kuat bagi kecenderungan perilaku politik memilih masyarakat sehingga orientasi perilaku memilih masyarakat masih paternalistis. Secara umum, penelitian pada akhir era orde baru (1992 dan 1997) menunjukkan di beberapa tempat di Jawa sebagian masyarakat


(17)

menunjukkan partisipasi yang semakin baik. Sebenarnya studi Gaffar dan Kristiadi berbeda, studi Gaffar mengambil sampel kelompok masyarakat yang relatif homogen (masyarakat desa), sementara itu studi Kristiadi mengambil sampel masyarakat desa dan kota untuk lebih memperoleh kejelasan tentang pola perilaku pemilih dari dua jenis masyarakat yang berbeda karakternya. (Sumber: http://www.scribd.com/, diakses pada tanggal 13 Juni 2010).

Studi selanjutnya dilakukan oleh Mallarangeng (1997) yang menjelaskan faktor yang mempengaruhi pilihan seseorang pada partai politik di masa Orde Baru Pemilu 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pasca tumbangnya Orde Baru studi mengenai perilaku pemilih mulai marak dilakukan. Pemilu 1999 adalah pemilu pertama setelah pemilu 1955 yang dilakukan secara demokratis, pemilih mempunyai otonomi untuk menentukan partai apa yang didukung. Studi mengenai perilaku pemilih menjadi relevan untuk dilakukan

(Sumber: www.lsi.co.id/media/. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).

Studi King (2003), Ananta (et.al, 2004) dan Liddle dan Mujani (2000) adalah salah satu contoh dari penelitian mengenai perilaku pemilih yang menggunakan objek Pemilu tahun 1999. King (2003) berusaha melihat apakah ada persamaan pilihan antara pemilih tahun 1955 dengan pemilih pada Pemilu 2004. Fakta-fakta empiris yang diajukan oleh King ini menunjukkan adanya suatu kontinuitas, korelasi signifikan antara daerah-daerah pendukung partai-partai tertentu pada tahun 1955 dan daerah-daerah pendukung partai-partai-partai-partai tertentu pada 1999. King berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan pemilih pada suatu partai politik, Analisis King


(18)

ini didasarkan pada hasil Pemilu 1999. King mengembangkan suatu model yang disebut sebagai konteks sosioekonomik. Dengan kata lain, King ingin menguji apakah konteks sosial ekonomi punya pengaruh terhadap pilihan seseorang terhadap partai politik. Ananta (et.al, 2004) mengembangkan lebih lanjut studi dan temuan King (2003).

(Sumber: www.lsi.co.id/media/. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).

Ananta menggunakan data-data yang lebih baru, sedangkan studi ekstensif mengenai perilaku pemilih dilakukan oleh Liddle dan Mujani (2000, 2007). Studi ini menggunakan konsep mutakhir mengenai perilaku pemilih yang biasa dilakukan di Amerika. Studi ini juga menggunakan metode survei dengan populasi nasional, sehingga hasilnya representatif dan bisa mewakili pendapat dari seluruh masyarakat Indonesia

(Sumber: www.lsi.co.id/media/. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).

Menurut Nursal (2004), perkembangan politik yang semakin maju kini membawa perubahan untuk mengkaji perilaku pemilih lebih jauh lagi, ini didukung dengan munculnya pendekatan baru dalam mengkaji perilaku memilih yaitu pendekatan Political Marketing. Sebagai kajian keilmuan baru yang masih dalam tataran embrionik, marketing politik yang pertama kali dimulai di Amerika Serikat terus mengalami perkembangan definisi yang beragam dan berubah. Political marketing merupakan serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada pemilih. Sehingga political


(19)

marketing bertujuan membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi dan perilaku pemilih.

Bambang Ary Wibowo (2005) menyamakan rasionalitas dengan politik marketing, dimana dalam merebut peluang sebagai seorang kandidat sebenarnya sama halnya dengan bagaimana memahami politik marketing, dimana setiap produsen mempunyai kesempatan yang sama dalam memasarkan produk (kandidat) sesuai dengan keinginannya. Kandidat yang mampu bersaing dan memenangkan peperangan adalah kandidat yang mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan, memenuhi keinginan pasar serta memenuhi harapan dari pasar. Artinya, dalam pendekatan ini kandidat diibaratkan sebagai sebuah produk yang akan dipasarkan kepada rakyat, untuk itu agar kandidat dapat diterima oleh pasar serta mendapat dukungan dari pasar (rakyat) maka kandidat haruslah seseorang yang berkualitas yang dapat menarik simpati rakyat untuk turut serta mendukung kandidat tersebut.

(Sumber: www.fisip.uns.ac.id. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).

Selanjutnya Bambang Ary Wibowo (2005), menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan marketing terutama bagi partai politik untuk mengajukan seorang kandidat :

a. Isu dan kebijakan politik, merupakan presensi dari kebijakan atau program yang akan dilaksanakan oleh para kandidat nanti. Dengan demikian pemilih akan tahu apa yang akan dikerjakan kandidat tersebut, misalnya seberapa besar keberanian kandidat mengikuti debat publik untuk menyampaikan visi dan misinya.


(20)

b. Citra sosial, menunjukkan citra kandidat dalam menarik pemilih dengan menciptakan asosiasi tertentu sehingga akan terjadi segmentasi pemilih di mana kandidat dapat diterima. Misalnya calon yang berasal dari kalangan intrepreneur, tentu akan lebih mudah diterima kelompok usahawan. Partai yang berbasis agama tidak akan mudah menerima calon dari non agama. c. Perasaan emosional, merupakan platform yang ditawarkan oleh kandidat

kepada pemilih. Misalnya kandidat calon Walikota Surakarta yang akan membenahi pedagang kaki lima, tentu akan memunculkan perasaan emosional dari setiap pemilih. Ada yang simpati dan ada yang antipati. d. Citra kandidat, merupakan konsistensi citra diri seorang kandidat.

Ketegasan, emosional yang stabil, energik, jujur dan sebagainya akan menjadi acuan bagi pemilih nanti. Misalnya bagi kandidat yang berasal dari bekas pejabat yang pada saat berkuasa terlibat korupsi, akan menjadi catatan bagi para pemilihnya.

e. Rasionalitas pemilih. Adanya perubahan perilaku pemilih yang menjadi lebih rasional menjadi pertimbangan penting bagi para kandidat dalam mempersiapkan dirinya dan tim suksesnya.

(Sumber: www.fisip.uns.ac.id. Diakses Tanggal 13 Juni 2010).

Berdasarkan beberapa pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang perilaku pemilih sebenarnya sudah lama dilakukan oleh para ahli-ahli sebelumnya. Meskipun ada perbedaan pendapat dari para ahli-ahli tersebut justru melahirkan berbagai macam bentuk pendekatan atau konsep baru yang dapat digunakan untuk menelaah perilaku pemilih dan terutama perilaku pemilih di Indonesia.


(21)

B. Masyarakat Adat Lampung

1. Pengertian Masyarakat

Menurut Koentjaraningrat (1999: 147), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

Menurut Seorjono Soekanto (2002: 148), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang melakukan ineraksi berdasarkan hubungan-hubungan tersebut serta pola-polanya sesuai dengan kepentingan manusia dan kelompoknya yang terlihat dari adanya suatu identitas bersama.

Menurut Weber dalam Soekanto (2002: 24):

Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Masyarakat adalah sistem dari kebiasaan atau tata cara dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan manusia, keseluruhan yang selalu berubah ini dinamakan masyarakat, masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup bersama. Masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk karena hubungan dari anggotanya. Dengan kata lain bahwa masyarakat adalah sistem yang terwujud dari kehidupan bersama, yang lazim disebut kemasyarakatan.

Selanjutnya Ralp Linton dalam Soekanto (2002: 27), berpendapat bahwa masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan


(22)

menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dan menempati suatu wilayah tertentu dan menjalankan hubungan diantaranya dengan menjalankan suatu fungsi-fungsi tertentu yang saling menentukan satu sama lain.

2. Ciri-Ciri Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang secara nyata ada maupun fiktif bertempat di wilayah tertentu, di mana anggota-anggotanya memiliki kepentingan tertentu, mempunyai suatu kesamaan perasaan bahwa hanya dengan hidup demikianlah maka kebutuhan-kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidupnya dapat terpenuhi. Masyarakat juga dapat dimaknai sebagai hubungan antar manusia bersifat pribadi, kenal mengenal dengan akrab, sepahit-semanis, seduka-sesuka, disertai saling percaya mempercayai yang berakar pada kesatuan keturunan dan kesatuan keluarga, mempunyai kesatuan adat dan kepercayaan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan.

Menurut Seokanto (2002: 150-151), ada beberapa unsur yang dapat dijadikan ciri suatu kelompok masyarakat, yaitu:

a. Seperasaan

Unsur perasaan akibat seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut,

sehingga kesemuanya dapat menyebutkan dirinya sebagai “kelompok kami”, “perasaan kami” dan sebagainya.


(23)

b. Sepenanggungan

Setiap individu sadar akan perannya dengan kelompok dan masyarakat sendiri memungkinkan perannya, dalam kelompok dijalankan, sehingga dia mempunyai kedudukan yang pasti dalam darah dagingnya sendiri. c. Saling memerlukan

Individu yang tergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada komunitasnya yang meliputi kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologis.

Sementara itu menurut Koentjaraningrat (1998: 192), masyarakat merupakan sekelompok manusia yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu sebagai satu kesatuan hukum, terorganisir, memiliki lembaga baik formal maupun non formal, dan berkaitan dengan hukum dan pemerintahan, memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Ada empat ciri penting dalam suatu kelompok yang bisa membentuk suatu masyarakat, yaitu sebagai berikut:

a. Interaksi

Interaksi dalam suatu kelompok merupakan faktor yang penting, karena melalui interaksi, individu dapat melihat perbedaan antara kelompok atau dengan istilah coact. Coact adalah orang yang secara serentak terikat dalam aktivitas yang sama namun tanpa komunikasi dengan lainnya. b. Waktu


(24)

Sekumpulan orang yang berinteraksi dalam jangka waktu yang singkat dan tidak dapat digolongkan sebagai kelompok mempersyaratkan adanya interaksi dalam jangka waktu yang panjang, karena dengan ini ia akan memiliki karakteristik atau cirri ang tidak dimiliki oleh kumpulan sementara.

c. Ukuran atau jumlah partisipan dalam kelompok

Dalam hal ini tidak ada ukuran yang pasti mengenai jumlah anggota dalam suatu kelompok.

d. Tujuan

Mengandung pengertian bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok akan membantu individu menjadi anggota kelompok tersebut dapat mewujudkan satu atau lebih tujuannnya.

3. Pengertian Adat

Menurut Hilman Hadikusuma (1999: 139), adat merupakan kebiasaan-kebiasaan perilaku manusia didalam masyarakat yang merupakan bagian kebudayaan. Menurut Zubaidi dan Zainal Abidin (1991: 1), adat adalah suatu pengungkapan tata nilai sosial budaya serta pedoman dalam berperilaku bagi masyarakat pemangkunya.

Berdasarkan kedua pengertian di atas, maka adat adalah kebiasaan yang terjadi berulang-ulang dalam suatu masyarakat, di mana kebiasaan-kebiasaan tersebut merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat itu sendiri, yang memiliki norma-norma yang berlaku dimasyarakat dalam melakukan interaksi antar individu.


(25)

Berdasarkan definisi masyarakat tersebut, yang dimaksud masyarakat Lampung dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan hidup manusia yang terikat dalam budaya Lampung dan berinteraksi menurut adat istiadat dan budaya Lampung.

4. Kondisi Sosiologis Masyarakat Lampung

Menurut Hilman Hadikusuma (1999: 10), asal-usul penduduk Lampung, erat hubungannya dengan asal-usul istilah Lampung itu sendiri yakni kata To-Lang-Po-Hwang yang dapat dieja atas kata to yang berarti orang dalam bahasa Toraja, sedang kata Lang-po-hwang adalah kepanjangan dari kata Lampung. Jadi To-Lang-po-hwang berarti orang Lampung, sehingga erat hubungannya antara dua kata tersebut terhadap asal-usul orang Lampung.

Selanjutnya dalam Kitab Koentjara Rajaniti (Pegangan Raja dalam Pemerintahan) dalam Hilman Hadikusuma (1999: 12) dikemukakan bahwa ada nama-nama poyang yang banyaknya ada lima yang kesemuanya itu berasal dari Pagaruyung dan kemudian menjadi poyangnya Suku Lampung yang ada sekarang ini yaitu:

a. Indragadjah gelar Umpu Bejalan berkedudukan di Puncak dan menurunkan Suku Lampung Abung

b. Paklang gelar Umpu Pernong berkedudukan di Hanibung dan menurunkan Suku Lampung Pubian


(26)

c. Sikin gelar Umpu Nyerupa berkedudukan di Sukau dan menurunkan Suku Lampung Jelma Daya

d. Belunguh gelar Umpu Belunguh berkedudukan di Kenali dan menurunkan Suku Lampung Peminggir

e. Indarwati gelar Putri Bulan berkedudukan di Canggiling menurunkan Suku Lampung Tulangbawang

Masyarakat Lampung terdiri dari dua kelompok besar masyarakat adat yaitu: 1) Masyarakat yang beradat Pepadun, yang terdiri dari:

a. Masyarakat adat Abung (Abung Siwo Megou) yang terdiri dari 9 marga geneologis

b. Masyarakat adat Tulangbawang/Menggala (Meggou Pak Tulangbawang) terdiri dari 4 marga geneologis

c. Masyarakat adat Buay Lima (Waykanan/Sungkai) terdiri dari 5 marga geneologis

d. Masyarakat adat Pubian (Pubian Telu Suku) terdiri dari 3 marga geneologis

2) Masyarakat adat Saibatin atau Peminggir/Pesisir terdiri dari:

a. Masyarakat adat Peminggir Melinting Rajabasa lokasinya meliputi Labuhan Maringgai, Rajabasa, dan Kalianda

b. Masyarakat Peminggir Teluk lokasinya sekitar Telukbetung

c. Masyarakat adat Peminggir Semangka lokasi daerahnya di Kecamatan Cukuh Balak, Talang Padang, Kota Agung, dan Wonosobo

d. Masyarakat adat Peminggir Sekalaberak lokasi daerahnya meliputi Liwa, Kenali, Pesisir Tengah, dan Pesisir Selatan


(27)

e. Masyarakat Komering lokasi daerahnya meliputi Komering Ulu dan Komering Ilir

5. Unsur-Unsur Kebudayaan Masyarakat Adat Lampung

Menurut Hilman Hadikusuma (1999: 101-112), bahwa masalah kebudayaan Lampung dalam kaitannya dengan kebudayaan nasional dan pembangunan dalam batas ruang lingkup uraian tentang budaya nilai, budaya adat, budaya bahasa, dan budaya seni dan peralatannya.

a. Budaya Nilai

Para ahli kebudayaan menempatkan budaya nilai ini dari adat istiadat yang menagtur kehidupan masyarakat. Hidup manusia itu mengejar nilai dan nilai yang dikejar tersebut dipengaruhi oleh pandangan hidup atau cita hidup. Pandangan hidup itu adalah sistem pedoman tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik dalam cita-cita hidup orang atau masyarakat tertentu. Pandangan hidup orang Lampung selain di jiwai oleh nilai-nilai

ajaran Islam, juga dipengaruhi rasa harga diri yang disebut dengan Pi’il

Pesenggiri, yang terdiri dari:

2) Sakai Sembayan meliputi pengertian yang luas termasuk di dalamnya gotong royong, tolong menolong, bahu-membahu dan saling memberi segala sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain, bukan hanya bersifat materi saja tetapi juga dalam arti moril dan pemikiran

3) Nemui Nyimah yang berarti bermurah hati, ramah-tamah terhadap semua pihak baik orang dalam sekeluarga atau orang lain


(28)

4) Nengah Nyappur berarti keharusan ikut bergaul di tengah masyarakat dengan ikut serta berpartisipasi dalam segala hal yang baik

5) Bejuluk Beadek didasarkan pada Kitey Gemetey yang diwarisi turun-temurun menghendaki agar seseorang di samping mempunyai nama, juga diberi gelar sebagai panggilan untuknya. Ini berarti perjuangan dalam meningkatkan derajat kehidupan dalam masyarakat

b. Budaya Adat

Tidak semua cara berfikir dan berbuat yang mewujudkan adat istiadat, yang berasal dari struktur masyarakat feodal desa itu buruk. Yang jelas, tanpa adanya kebiasaan perilaku dan adat istiadat berarti tiada hukum. Tidak sedikit wujud budaya adat tradisional dan unsur-unsurnya yang berasal dari zaman feodalisme yang baik dan merupakan kepribadian nasional. Misalnya saja, sebagaimana telah dikemukakan di atas tentang

Pi’il Pesenggiri, rasa harga diri dengan kepribadian ingin bernilai baik dalam kehidupan masyarakat, suka nemui nyimah, nengah nyappur dan sakai sambayan, hal demikian itu perlu dipertahankan karena merupakan kebudayaan Timur dan kepribadian nasional. Hanya saja untuk mendukung kegiatan pembangunan perlu pembinaan dan pengarahan yang sesuai dengan konsep pandangan hidup Pancasila dan tujuan pembangunan nasional. Dengan demikian maka apa yang menjadi masalah bagi kita dewasa ini adalah bagaiman menghadapi budaya adat yang lapuk dan bagaimana membinan budaya adat yang ideal.


(29)

Bahasa Lampung adalah bahasa daerah yang hanya dipakai oleh sekitar satu juta orang yang mendiami daerah Propinsi Lampung dan sebagian daerah Propinsi Sumatera Selatan di sepanjang Sungai Komering dan Danau Ranau sampai Kayuagung. Bahasa Lampung terdiri dari bahasa lisan dan bahasa tulisan yang disebut dengan aksara Lampung. Pada akhir-akhir ini sudah banyak orang tua-tua atau cendikiawan yang mengaku orang Lampung tidak lagi bisa menggunakan aksara Lampung dan sudah banyak juga angkatan muda Lampung yang kaku dan tidak lancar lagi menggunakan Bahasa Lampung. Walaupun bahasa Lampung terdiri dari terdiri dari dua dialek bahasa yang agak berbeda, yang satu berdialek A (Pemanggilan) sedangkan yang satu berdialek O (Abung), namun di antara kedua dialek itu bukan banyak perbedaan arti, melainkan berbeda dalam pengucapan. Sesungguhnya antara kedua dialek tersebut dapat dipakai secara bersama-sama sebagai bahasa sehari-hari oleh orang-orang Lampung, sebagaimana dalam musyawarah adat yang dilakukan oleh pemuka-pemuka adat.

d. Budaya Seni dan Peralatannya

Berbagai macam kesenian yang hidup di kalangan orang Lampung, adalah seni suara, seni sastra, seni musik dan seni tari, sedangkan seni lukis tidak banyak, apalagi seni patung tidak ada sama sekali. Seni suara orang

Lampung kebanyakan dalam bentuk pantun yang disebut “pattun”, “syaer”, “pisk’an”, “ringget”, “bandung”, “adi-adi”, “segata”, “wayak” di berbagai daerah dilagukan perseorangan atau beramai-ramai dengan atau tanpa alat musik oleh para bujang gadis.


(30)

Dahulu pantun itu diperdengarkan pada waktu pesta adat, tetapi sekarang sudah banyak muda-mudi yang tidak lagi pandai melagukannya, karena kebanyakan lebih tertarik pada lagu-lagu modern. Sedangkan seni tari Lampung dapat dibedakan antara seni adat dan seni tari gembira. Kedua macam seni tari itu sebenarnya bersifat hiburan, hanya saja seni tari adat dilakukan pada upacara adat menurut tata tertib adat dan oleh pelaku-pelaku pria wanita menurut adat dan oleh pelaku-pelaku-pelaku-pelaku pria dan wanita menurut adat, begitu pula para pelakunya bebas dari ketentuan adat. Sedangkan Seni tari gembira adalah tarian yang digelar dipesta keramaian yang bukan upacara adat, Bentuk seni tari gembira banyak dipengaruhi unsur-unsur tarian dari daerah lain, seperti tari kipas, bedana, tari serai serumpun, dan tari penerimaan tamu dengan tepak sirih.

C. Masyarakat Adat Lampung Siwo Mego

Menurut Hilman Hadikusuma (1999: 158), masyarakat adat Lampung Siwo Mego merupakan bagian dari masyarakat Lampung yang beradat Pepadun. Secara bahasa Siwo berarti Sembilan dan Mego berarti marga, dengan demikian Siwo Mego berarti masyarakat Lampung Abung yang memiliki sembilan marga geneologis, yaitu sebagai berikut:

1. Buay Unyi 2. Buay Unyai 3. Buay Uban 4. Buay Subing 5. Buay Beliuk


(31)

6. Buay Kunang 7. Buay Selagai 8. Buay Anak Tuha 9. Buay Nyerupa

Masyarakat adat Lampung Siwo Mego menempati wilayah tanah yang ada di sekitar Way Rarem, Way Terusan, Wai Pengubuwan dan Way Seputih.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Lampung berdialek “o” atau nyow.

Masyarakat Lampung Abung Siwo Migo berasal dari keturunan Ratu Dipuncak. Ratu Dipuncak pada mulanya bermukim di daerah Sekala Beghak ini keturunan Ratu Dipuncak menyebar ke masing-masing daerah, ada yang ke Utara dan ada yang ke Selatan diantaranya ke daerah Komering dan Kayu Agung Sumatera Selatan dan lain sebagainya. Sedangkan yang lain lagi untuk pertama kali ke daerah Way Abung Lampung Utara. Di Way Abung ini keturunan Ratu Dipuncak mengadakan kata sepakat tentang adat mereka yaitu adat Lampung Abung Siwo Migo.

Pembentukan kesatuan Abung Siwo Migo (Abung Sembilan Marga), diawali pertemuan di suatu tempat di pinggir Way Abung, di sinilah pertemuan dan perundingan pada Siwo Migo yang pertama dengan keputusan delapan orang saudara Nunyai mendapat hak adat ngejukngakuk, tetapi belum mendapat adat kebumian. Besarnya pengakuk untuk Nunyai tetap 600 (enam ratus) sedangkan bagi yang lain baru 400 (empat ratus). Mereka yang menjadi saksi atau peninjau hanya boleh mendengarkan dan mengetahui saja dan belum


(32)

mendapatkan hak keadatan, dan dari sinilah lahir istilah Abung Siwo Migo

atau Pak Sumbai. (Soebing, 1998: 19)

Masa Abung Siwo Migo (Abung Sembilan Marga) sekitar abad ke-18. Suatu sistem keterbukaan adat telah diberlakukan sejak zaman Minak Trio Diso, yakni adanya sistem Mewari (adopsi) untuk menjadi anggota adat Abung bagi orang-orang dari luar, di mana orang-orang yang diadopsi ini menjadi sama hak dan kewajibannya di dalam kemasyarakatan dan adat, dan mereka pun menjadi pimpinan (penyimbang) pula pada buwai masing –masing. Disamping itu ada pula di antara penyimbang-penyimbang tersebut yang melakukan

“Seba” ke Banten. Penyimbang-penyimbang yang telah seba dan para

penyimbang yang atas persepakatan yang disahkan oleh perwatin, lalu membentuk persekutuan bersama, yakni sebanyak sembilan migo termasuk keturunan dari Minak Trio Diso sebagai penyimbang inti. (Chaidar, 1992: 51)

D. Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Menurut Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 58 menyebutkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:


(33)

b. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau

sederajat;

d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;

f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;

g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau

secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.

k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;


(34)

n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri; o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah

selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan p. Tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.

Menurut Amirudin (2003: 184-186), kelebihan sistem Pemilihan Kepala Daerah langsung adalah sebagai berikut:

a. Konkritisasi Demokrasi, dengan memberikan perspektif baru bahwa proses Pemilihan Kepala Daerah akan memenuhi kaidah proses demokrasi di dua level struktural dan kultural. Di level struktural, proes Pemilihan Kepala Daerah diduga akan lebih beradab karena melibatkan unsur Partisipasi publik yang makin meluas dari bawah sesuai aspirasi masyarakat lokal. Di level kultural, Proses Pilkada memberi keleluasaan bagi merembesnya nilai-nilai transparansi, independensi dan kejujuran. b. Adanya kemungkinan kekerasan terhadap proses dan kekerasan terhadap

data, sedikit terkurangi.

c. Berkurangnya praktek premanisme politik uang. Jika Pilkada dilakukan secara langsung, kemungkinan politik uang dapat diminimalisasi

E. Kerangka Pikir

Pemilihan Kepala Daerah sebagai wujud Pemilu menjadi sarana yang tersedia bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Pemilihan Kepala Daerah merupakan kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk memilih pejabat-pejabat


(35)

pemerintahan yang akan menjadi pemimpin seluruh masyarakat, termasuk masyarakat adat.

Masyarakat adat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung. Secara garis besar nasyarakat Lampung terdiri dari dua kelompok masyarakat adat, yaitu masyarakat adat Pepadun dan masyarakat adat Pesisir. Masyarakat beradat Pepadun kebanyakan bermukim di daerah pedalaman, sedangkan yang beradat Pesisir bermukim di daerah pesisir atau di daerah yang tidak termasuk daerah lingkungan pepadun. Termasuk dalam lingkungan beradat pepadun adalah orang-orang Abung, Tulangbawang (Menggala), Waykanan Sungkai, Pubiyan.

Perilaku memilih masyarakat dalam penelitian ini dibatasi pada pendekatan sosisologis, dengan pertimbangan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial secara teoritis mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial tersebut terdiri dari etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka pikir sebagai berikut:


(36)

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian F. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho : Tidak Ada pengaruh etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010

Ha : Ada pengaruh etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010

Pendekatan Sosiologis (Variabel X) X1 = Etnisitas

X2 = Agama

X3 = Organisasi masyarakat adat X4 = Keluarga

X5 = Pertemanan

Perilaku Memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Megow Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan

Labuhan Ratu Lampung Timur (Variabel Y)

Pertimbangan masyarakat dalam memilih pada Pemilihan Kepala Daerah


(37)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Menurut Arikunto (2000: 126), penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (masyarakat adat, lembaga,masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Pendekatan kuantitatif adalah penyajian analisis fenomena yang disusun dengan data kuantitatif serta membuat ketetapan pengukurannya menggunakan teknik analisis statistik.

B. Definisi Konsep

Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (2001: 121), definisi konsep adalah pemaknaan dari konsep yang digunakan, sehingga memudahkan peneliti untuk mengoperasikan konsep tersebut di lapangan. Berdasarkan definisi tersebut maka definisi konsep penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku memilih seseorang atau masyarakat dengan didasarkan pada


(38)

karakteristik sosial atau pengelompokan sosial yang meliputi etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan.

2. Perilaku Memilih Masyarakat Adat

Perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010 adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dalam memberikan atau menjatuhkan pilihannya pada calon Kepala Daerah yang didasarkan pada pemahaman terhadap Pilkada, kecenderungan untuk memilih, pertimbangan dalam memilih, kesadaran untuk memilih dan memberikan pilihan pada Pilkada

C. Definisi Operasional

Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (2001: 123), definisi operasional adalah petunjuk bagaimana variabel diukur, dengan membaca definisi operasional maka diketahui baik buruknya variabel tersebut. Berdasarkan definisi di atas, definisi operasional sebagai fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Sosiologis

Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut:

a. Etnisitas, diukur dari adanya pertimbangan etnisitas oleh masyarakat dalam memberikan pilihan pada Pilkada.

b. Agama, diukur dari adanya pertimbangan agama oleh masyarakat dalam memberikan pilihan pada Pilkada.


(39)

c. Organisasi masyarakat adat, diukur dari adanya pertimbangan organisasi masyarakat adat dalam memberikan pilihan pada Pilkada. d. Keluarga, diukur dari adanya pertimbangan keluarga oleh masyarakat

dalam memberikan pilihan pada Pilkada.

e. Pertemanan, diukur dari adanya pertimbangan pertemanan oleh masyarakat dalam memberikan pilihan pada Pilkada.

2. Perilaku Memilih Masyarakat Adat

Indikator-indikatornya adalah sebagai berikut:

a. Pemahaman terhadap Pilkada, diukur dari adanya pemahaman masyarakat adat terhadap tujuan pelaksanaan Pilkada.

b. Kecenderungan untuk memilih, diukur dari adanya kecenderungan masyarakat adat untuk memilih salah satu calon dalam Pilkada.

c. Pertimbangan dalam memilih, diukur dari adanya pertimbangan sosiologis oleh masyarakat adat untuk memilih salah satu calon dalam Pilkada.

d. Kesadaran untuk memilih, diukur dari adanya kesadaran masyarakat adat untuk memilih salah satu calon dalam Pilkada.

e. Memberikan pilihan pada Pilkada, diukur dari adanya perilaku memilih masyarakat terhadap salah satu calon dalam Pilkada.

D. Populasi

Menurut Singarimbun dan Effendi (2001: 108), populasi adalah jumlah keseluruhan unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Berdasarkan definisi tersebut, maka populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat adat


(40)

Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur yang telah memiliki hak pilih dan terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) dengan jumlah yaitu 1.070 orang. (Sumber: Monografi Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu

Kabupaten Lampung Timur Tahun 2010)

E. Sampel

Menurut Singarimbun dan Effendy (2001: 82), sampel adalah sebagai dari populasi yang memiliki sifat-sifat utama dari populasi dan dijadikan sebagai perwakilan atau represtasi dalam penelitian. Penentuan besarnya sampel penelitian dihitung dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:

1 ) ( 2  

d N

N n

Keterangan :

n = Banyaknya unit sampel N = Banyaknya unit Populasi d = taraf nyata 0,1

1 = bilangan konstan (Sugiono, 2005)

Berdasarkan rumus di atas maka besarnya sampel adalah :

1 + (0,1) 1070

1070 =

n 2 = 90,45 dibulatkan menjadi 91.

Dengan demikian maka sampel penelitian berjumlah 91 orang.

F. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan:

1. Kuisioner, yaitu dengan memberikan daftar pertanyaan atau angket tertulis dengan menyertakan alternatif jawaban pilihan ganda.


(41)

2. Dokumentasi, mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber atau referensi yang terkait dengan penelitian, seperti buku, majalah, atau literatur lainnya.

G. Teknik Pengolahan Data

Setelah data yang diperoleh dari lapangan terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah dengan mengolah data yang ada tersebut. Adapun teknik yang digunakan dalam pengolahan data pada penelitian ini adalah:

1. Editing. Data yang telah diperoleh dilapangan, diedit atau diperiksa untuk angka kebenarannya. Pemeriksaan tersebut didasarkan pada ukuran-ukuran yang ditetapkan sebelumnya.

2. Koding. Dilakukan untuk mempermudah pengolahan data yang telah masuk dan memberi kode-kode tertentu pada jawaban responden.

3. Tabulasi, yaitu mengelompokan jawaban-jawaban yang serupa dan teratur secara sistematis, kemudian memasukan data-data kedalam tabel agar dapat dibaca dan diinterpretasikan secara deskriptif analitik.

H. Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh pendekatan sosiologis terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010, digunakan analisis statistik rumus Koefisien Penentu. Nilai korelasi yang didapat kemudian diinterpretasikan dalam kriteria koefesien korelasi yaitu:


(42)

Nilai r Interpretasi nilai r 0,800 sampai dengan 1,000 Korelasi sangat kuat 0,600 sampai dengan 0,799 Korelasi kuat

0,400 sampai dengan 0,599 Korelasi cukup kuat 0,200 sampai dengan 0,399 Korelasi rendah

0,001 sampai dengan 0,199 Korelasi sangat tidak rendah Rumus Koefisien Penentu adalah sebagai berikut:

KP = r2 x 100% Keterangan:

KP = Koefisien Penentu r = Nilai Korelasi (Arikunto, 2000: 127).

Pengujian hipotesis dilakukan dengan Uji t , dengan terlebih dahulu dicari nilai t hitung (Student Test), dengan rumus sebagai berikut:

2 1

2

r n r t

  

Selanjutnya dilakukan perbandingan nilai t hitung dengan nilai t tabel pada taraf

signifikan 95%, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Jika t hitung > t tabel pada taraf signifikan 95% maka Ho ditolak, Ha diterima.

Berarti ada pengaruh pendekatan sosiologis terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010

b. Jika t hitung < t tabel pada taraf signifikan 95% maka Ho diterima, Ha ditolak.

Berarti tidak ada pengaruh pendekatan sosiologis terhadap perilaku memilih Masyarakat Adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing dalam Pemilihan Kepala Daerah Lampung Timur Tahun 2010


(43)

I. Uji Validitas dan Reliabilitas

Pengujian validitas instrumen penelitian dilakukan dengan menggunakan rumus Korelasi Product Moment, sebagai berikut:

2 2



2 2

) ( ) ( ) )( ( Y N Y N Y X N Y X XY N r            Keterangan :

r = Nilai validitas

XY = Hasil perkalian antara variabel X dan Y X = Hasil skor angket variabel X

Y = Hasil skor angket variabel Y

X2 = Hasil perkalian kuadrat dari hasil angket variabel X Y2 = Hasil perkalian kuadrat dari hasil angket variabel Y N = Besarnya sampel

(Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, 2001: 137).

Ketentuannya adalah jika nilai r hitung > r tabel maka pertanyaan valid dan jika r hitung < r tabel maka pertanyaan tersebut tidak valid

Untuk mencari reliabilitas keseluruhan item adalah dengan mengoreksi angka korelasi yang diperoleh menggunakan rumus Koefisien Alfa (CronBach):

              2 2 1 1 1 t k k    Keterangan : 

 Nilai reliabilitas

k = Jumlah item pertanyaan 2

i

 = Nilai varians masing-masing item 2

t

 = Varians total

Ketentuannya adalah jika nilai nilai alfa > r tabel maka pertanyaan reliabel dan jika nilai alfa < r tabel maka pertanyaan tersebut tidak reliabel.


(44)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identitas Responden

Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur yang telah memiliki hak pilih dan terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) dengan jumlah 91 orang. Berikut akan dideskripsikan identitas responden menurut kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan.

1. Identitas Responden Menurut Jenis Kelamin

Menurut jenis kelamin maka responden penelitian ini terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Untuk mengetahui Identitas Responden menurut jenis kelamin, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Identitas Responden Menurut Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

1 Laki-laki 67 73,63

2 Perempuan 24 26,37

Jumlah 91 100


(45)

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 67 (73,63%) responden berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 24 (26,37%) responden berjenis kelamin perempuan. Dengan demikian maka sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki.

2. Identitas Responden Menurut Kelompok Umur

Untuk mengetahui Identitas Responden menurut kelompok umur, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7. Identitas Responden Menurut Kelompok Umur

No Kelompok Umur Frekuensi Persentase

1 47 Tahun ke atas 8 8,79

2 37 – 46 Tahun 24 26,37

3 27 – 36 Tahun 37 40,66

4 17 – 26 Tahun 22 24,18

Jumlah 91 100

Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 8 (8,79%) responden berusia 47 tahun ke atas, sebanyak 24 (26,37%) responden berusia 37-46 tahun, sebanyak 37 (40,66%) responden berusia 27-36 tahun dan sebanyak 22 (24,18%) responden berusia 17-26 tahun. Dengan demikian maka sebagian besar responden berusia 27–36 tahun.

3. Identitas Responden Menurut Pendidikan Terakhir

Untuk mengetahui identitas responden menurut pendidikan terakhir, dapat dilihat pada tabel berikut:


(46)

Tabel 8. Identitas Responden Menurut Pendidikan Terakhir

No Pendidikan Terakhir Frekuensi Persentase

1 Perguruan Tinggi 7 7,69

2 SMA/Sederajat 42 46,15

3 SMP/Sederajat 29 31,87

4 SD/Sederajat 13 14,29

Jumlah 91 100

Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 7 (7,69%) responden adalah lulusan perguruan tinggi, sebanyak 42 (46,15%) responden adalah lulusan SMA/Sederajat, sebanyak 29 (31,87%) responden adalah lulusan SMP/Sederajat dan sebanyak 13 (14,29%) responden adalah lulusan SD/Sederajat. Dengan demikian maka sebagian besar responden adalah lulusan SMA/Sederajat atau telah menyelesaikan jenjang pendidikan tingkat menengah.

4. Identitas Responden Menurut Pekerjaan

Untuk mengetahui identitas responden menurut pendidikan terakhir, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9. Identitas Responden Menurut Pekerjaan

No Pendidikan Terakhir Frekuensi Persentase

1 Petani 47 51,65

2 Wiraswasta 15 16,48

3 PNS 3 3,30

4 Pedagang 12 13,19

5 Ibu Rumah Tangga 14 15,38

Jumlah 91 100


(47)

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 47 (51,65%) responden bekerja sebagai petani, sebanyak 15 (16,48%) responden bekerja sebagai wiraswasta, sebanyak 3 (3,30%) responden bekerja sebagai PNS, sebanyak 12 (13,19%) responden bekerja sebagai pedagang dan sebanyak 14 (15,38%) responden bekerja sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian maka sebagian besar responden penelitian bekerja sebagai petani sesuai dengan karakteristik masyarakat di daerah pedesaan yang bekerja mengolah lahan pertanian atau menjadi petani.

B. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku memilih seseorang atau masyarakat dengan didasarkan pada karakteristik sosial atau pengelompokan sosial yang meliputi etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan.

1. Etnis atas Suku Sebagai Pertimbangan dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati

Untuk mengetahui bahwa etnis atas suku sebagai pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 10. Pertimbangan Etnisitas dalam Pemilihan Calon Bupati

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Menjadi Pertimbangan 70 76,92

2 Cukup Menjadi Pertimbangan 16 17,58

3 Tidak Menjadi Pertimbangan 5 5,49

Jumlah 91 100


(48)

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 70 (76,92%) responden menyatakan bahwa etnis atau suku menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap pasangan calon bupati dan wakil bupati, sebanyak 16 (17,58%) responden menyatakan bahwa etnis atau suku cukup menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap pasangan calon bupati dan wakil bupati dan sebanyak 5 (5,49%) responden menyatakan menyatakan bahwa etnis atau suku menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap pasangan calon bupati dan wakil bupati.

Sebaran data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa etnis atau suku cukup menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap pasangan calon bupati dan wakil bupati Lampung Timur tahun 2010. Maknanya adalah dalam memberikan pilihan masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu mempertimbangkan latar belakang etnis calon bupati yang akan dipilih. Hal ini sesuai dengan pendapat Surbakti (1992: 145), bahwa pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam Pilkada dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti etnis, jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama.

2. Tanggapan Terhadap Sikap Calon Bupati Terhadap Masalah Etnisitas Untuk mengetahui tanggapan responden terhadap sikap calon bupati yang tidak membangga-banggakan etnis atau suku, dapat dilihat pada tabel berikut:


(49)

Tabel 11. Tanggapan Terhadap Sikap Calon Bupati Terhadap Etnisitas No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Baik 79 86,81

2 Cukup Baik 12 13,19

3 Tidak Baik 0 0,00

Jumlah 91 100

Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 79 (86,81%) responden menyatakan bahwa calon bupati yang tidak membangga-banggakan etnis atau sukunya adalah baik dan sebanyak 12 (13,19%) responden menyatakan bahwa calon bupati yang tidak membangga-banggakan etnis atau sukunya adalah cukup baik.

Sebaran data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa perbedaan etnis adalah hal yang dapat diterima dalam kehidupan berdemokrasi. Maknanya adalah masalah etnis merupakan bagian yang penting bagi masyarakat adat dalam berperikaku politik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan J. Kristiadi (1994), bahwa dengan variabel

socio cultural diperoleh adabta pengaruh panutan masih kuat bagi kecenderungan perilaku politik memilih masyarakat sehingga orientasi perilaku memilih masyarakat masih paternalistis.

3. Agama Sebagai Pertimbangan dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati

Untuk mengetahui bahwa agama sebagai pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati, dapat dilihat pada tabel berikut:


(50)

Tabel 12. Agama Sebagai Pertimbangan dalam Memilih Calon Bupati No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Menjadi Pertimbangan 67 73,63

2 Cukup Menjadi Pertimbangan 24 26,37

3 Tidak Menjadi Pertimbangan 0 0,00

Jumlah 91 100

Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 67 (73,63%) responden menyatakan bahwa agama menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati dan sebanyak 24 (26,37%) responden menyatakan menyatakan bahwa agama cukup menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati.

Distribusi data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa menyatakan bahwa agama menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati. Artinya masyarakat akan memilih calon bupati yang memiliki kesamaan agama dengan yang mereka anut atau dengan kata lain terdapat kekenatalan nuansa religius masyarakat adat dalam memilih calon bupati. Hal ini dapat dipahami sebab masyarakat menginginkan adanya calon bupati yang memiliki dasar-dasar nilai agama yang kuat dalam menjalankan kepemimpinannya.

4. Agama Sebagai Faktor Penting dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati

Untuk mengetahui bahwa agama sebagai faktor penting dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati, dapat dilihat pada tabel berikut:


(51)

Tabel 13. Agama Sebagai Faktor Penting dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Penting 76 83,52

2 Cukup Penting 15 16,48

3 Tidak Penting 0 0,00

Jumlah 91 100

Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 76 (83,52%) responden menyatakan agama merupakan faktor penting dalam memberikan pilihan kepada calon bupati dan sebanyak 15 (16,48%) responden menyatakan agama merupakan faktor yang cukup penting dalam memberikan pilihan kepada calon bupati.

Distribusi data di atas menunjukkan bahwa agama merupakan faktor penting dalam memberikan pilihan kepada calon bupati. Masyarakat adat Lampung pada dasarnya merupakan kelompok masyarakat yang memiliki nilai-nilai religius yang tinggi, sehingga dapat dipahami apabila mereka mempertimbangkan faktor agama dalam memberikan pilihan.

5. Organisasi Masyarakat Adat Sebagai Pertimbangan dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati

Untuk mengetahui bahwa organisasi masyarakat adat sebagai pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati, dapat dilihat pada tabel berikut:


(52)

Tabel 12. Organisasi Masyarakat Adat Sebagai Pertimbangan dalam Memilih Calon Bupati

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Menjadi Pertimbangan 81 89,01

2 Cukup Menjadi Pertimbangan 10 10,99

3 Tidak Menjadi Pertimbangan 0 0,00

Jumlah 91 100

Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 81 (89,01%) responden menyatakan bahwa organisasi masyarakat adat menjadi pertimbangan dalam memilih calon bupati dan sebanyak 10 (10,99%) responden bahwa organisasi masyarakat adat cukup menjadi pertimbangan dalam memilih calon bupati.

Sebaran data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa organisasi masyarakat adat sebagai pertimbangan dalam memilih calon bupati. Hal ini menunjukkan adanya karakteristik sosial atau pengelompokan sosial masyarakat adat yang dipengaruhi secara signifikan dalam menentukan memilih. Pengelompokan sosial tersebut terdiri dari etnisitas, agama, organisasi masyarakat adat, keluarga dan pertemanan.

6. Organisasi Masyarakat Adat Sebagai Faktor Penting dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati

Untuk mengetahui bahwa organisasi masyarakat adat sebagai faktor penting dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati, dapat dilihat pada tabel berikut:


(53)

Tabel 14. Organisasi Masyarakat Adat Sebagai Faktor Penting dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Penting 78 85,71

2 Cukup Penting 13 14,29

3 Tidak Penting 0 0,00

Jumlah 91 100

Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 78 (85,71%) responden menyatakan bahwa organisasi masyarakat adat sebagai faktor penting dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati dan 13 (14,29%) responden menyatakan organisasi masyarakat adat sebagai faktor penting dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati.

Data di atas menunjukkan bahwa organisasi masyarakat adat sebagai faktor penting dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati. Hal ini sesuai dengan pendapat Afan Gaffar (1992: 27), bahwa pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun pengelompokan-pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya merupakan sesuatu yang sangat vital dalam memahami perilaku memilih, karena kelompok ini mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.


(54)

7. Tingkat Keseringan Membicarakan Masalah Pemilihan Kepala Daerah dengan Keluarga

Untuk mengetahui tingkat keseringan membicarakan masalah Pemilihan Kepala Daerah dengan keluarga, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 15. Tingkat Keseringan Membicarakan Masalah Pemilihan Kepala Daerah dengan Keluarga

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Sering 53 58,24

2 Cukup Sering 23 25,27

3 Jarang 15 16,48

Jumlah 91 100

Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 53 (58,24%) responden menyatakan sering membicarakan masalah pemilihan bupati di dalam keluarga, sebanyak 23 (25,27%) responden menyatakan cukup sering membicarakan masalah pemilihan bupati di dalam keluarga dan sebanyak 15 (16,48%) responden menyatatakan jarang membicarakan masalah pemilihan bupati di dalam keluarga.

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden sering membicarakan masalah pemilihan bupati di dalam keluarga. Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang baik antara masyarakat adat dengan keluarganya. Hal ini sesuai dengan pendapat Seorjono Soekanto (2002: 148), bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang melakukan ineraksi berdasarkan hubungan-hubungan tersebut serta pola-polanya sesuai dengan kepentingan manusia dan kelompoknya yang terlihat dari adanya suatu identitas bersama.


(55)

8. Keluarga Menjadi Pertimbangan Dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati

Untuk mengetahui bahwa keluarga menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan terhadap calon bupati, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 16. Keluarga Menjadi Pertimbangan dalam Memberikan Pilihan Terhadap Calon Bupati

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Menjadi Pertimbangan 87 95,60

2 Cukup Menjadi Pertimbangan 4 4,40

3 Tidak Menjadi Pertimbangan 0 0,00

Jumlah 91 100

Sumber: Pengolahan Data Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan data pada tabel di atas diketahui bahwa dari 91 responden, sebanyak 87 (95,60%) responden menyatakan bahwa keluarga menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan kepada calon bupati dan sbanyak 4 (4,40%) responden menyatakan bahwa keluarga cukup menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan kepada calon bupati.

Distribusi data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa keluarga menjadi pertimbangan dalam memberikan pilihan kepada calon bupati. Artinya pilihan seorang anggota masyarakat juga ditentukan oleh pilihan anggota keluarganya, sehingga terdapat kemungkinan suatu keluarga yang sama akan memilih calon bupati yang sama pula.


(1)

(2)

(3)

Lampiran 5

PENGUJIAN VALIDITAS DAN RELIABILITAS KUESIONER PENELITIAN

***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ****** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A)

Item-total Statistics

Scale Scale Corrected

Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted

ITEM1 98.9231 275.5992 .8368 .7394

ITEM2 98.9231 274.4939 .7382 .7387

ITEM3 98.8974 276.7260 .7831 .7407

ITEM4 98.8974 275.9892 .8215 .7398

ITEM5 98.8718 276.9568 .6381 .7415

ITEM6 98.8974 277.4103 .6950 .7416

ITEM7 98.8718 277.6937 .6861 .7419

ITEM8 98.8974 272.5682 .7477 .7369

ITEM9 98.8718 279.1147 .6649 .7433

ITEM10 98.9231 275.4939 .8423 .7393

ITEM11 98.8462 276.6073 .7457 .7407

ITEM12 98.8974 273.8313 .7702 .7380

ITEM13 98.8974 275.9366 .7665 .7400

ITEM14 98.8462 273.3441 .7243 .7378

ITEM15 98.8718 273.0621 .7314 .7375

ITEM16 99.0256 277.1309 .6226 .7417

ITEM17 98.8974 276.7260 .7831 .7407

ITEM18 98.8718 280.1673 .6104 .7445

ITEM19 98.8718 276.9568 .6381 .7415

ITEM20 98.8974 276.7260 .7831 .7407

Reliability Coefficients

N of Cases = 30.0 N of Items = 20


(4)

a. Pengujian Validitas Kuesioner

Pengujian validitas kuesioner penelitian dilakukan dengan membandingkan nilai korelasi (r hitung) setiap item pertanyaan dengan nilai kritik r (r tabel) pada taraf

kepercayaan 95% (taraf kesalahan sebesar 5%) dan df = 30, yaitu 0,3494

Hasil pengujian validitas adalah sebagai berikut:

Item

No

r

hitung

r

tabel Hasil

1 0,8368 0,3494 Valid

2 0,7382 0,3494 Valid

3 0,7381 0,3494 Valid

4 0,8215 0,3494 Valid

5 0,6381 0,3494 Valid

6 0,6950 0,3494 Valid

7 0,6861 0,3494 Valid

8 0,7477 0,3494 Valid

9 0,6649 0,3494 Valid

10 0,8423 0,3494 Valid

11 0,7457 0,3494 Valid

12 0,7702 0,3494 Valid

13 0,7665 0,3494 Valid

14 0,7243 0,3494 Valid

15 0,7314 0,3494 Valid

16 0,6226 0,3494 Valid

17 0,7831 0,3494 Valid

18 0,6104 0,3494 Valid

19 0,6381 0,3494 Valid

20 0,7831 0,3494 Valid

Kesimpulan : 20 item pertanyaan kuesioner adalah Valid.

b. Pengujian Reliabilitas Kuesioner

Pengujian reliabilitas dilakukan dengan membandingkan Nilai Alfa dengan dengan nilai kritik r (r tabel) pada pada taraf kepercayaan 95% (taraf kesalahan sebesar 5%)

dan df = 30, yaitu 0,3494. Perbandingannya adalah 0.7544 > 0.3494.


(5)

Lampiran 6.

TABEL NILAI T (T

tabel

) PADA TINGKAT KEPERCAYAAN 95%

DF

t.100

t.050

t.025

t.010

t.005

1

3.078

6.314

12.706

31.821

63.657

2

1.886

2.920

4.303

6.965

9.925

3

1.638

2.353

3.182

4.541

5.841

4

1.533

2.132

2.776

3.747

4.604

5

1.476

2.015

2.571

3.365

4.032

6

1.44

1.943

2.447

3.143

3.707

7

1.415

1.895

2.365

2.998

3.499

8

1.397

1.860

2.306

2.896

3.355

9

1.383

1.833

2.262

2.821

2.250

10

1.372

1.812

2.228

2.764

3.169

11

1.363

1.796

2.201

2.718

3.106

12

1.356

1.782

2.179

2.681

3.055

13

1.35

1.771

2.160

2.65

3.012

14

1.345

1.761

2.145

2.624

2.977

15

1.341

1.753

2.131

2.602

2.947

16

1.337

1.746

2.12

2.583

2.921

17

1.333

1.74

2.11

2.567

2.898

18

1.33

1.734

2.101

2.552

2.878

19

1.328

1.729

2.093

2.539

2.861

20

1.325

1.725

2.086

2.528

2.845

21

1.323

1.721

2.08

2.518

2.831

22

1.321

1.717

2.074

2.508

2.819

23

1.319

1.714

2.069

2.500

2.807

24

1.318

1.711

2.064

2.492

2.797

25

1.316

1.708

2.06

2.485

2.787

26

1.315

1.706

2.056

2.479

2.779

27

1.314

1.703

2.052

2.473

2.771

28

1.313

1.701

2.048

2.467

2.763

29

1.311

1.699

2.045

2.462

2.756

30

1.310

1.697

2.042

2.457

2.75

35

1.306

1.69

2.030

2.438

2.724

40

1.303

1.684

2.021

2.423

2.705

45

1.301

1.679

2.014

2.412

2.690

50

1.299

1.676

2.009

2.403

2.678

60

1.296

1.671

2.000

2.390

2.66

70

1.294

1.667

1.994

2.381

2.648

80

1.292

1.664

1.990

2.374

2.639

90

1.291

1.662

1.987

2.369

2.632

100

1.290

1.660

1.984

2.364

2.626

120

1.289

1.658

1.980

2.358

2.617

140

1.288

1.656

1.977

2.353

2.611

160

1.287

1.654

1.975

2.350

2.607

180

1.286

1.653

1.973

2.347

2.603

200

1.286

1.653

1972

2.345

2.601


(6)