TINDAKAN TEORI HEALTH BELIEF MODEL

2.4 TINDAKAN

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan overt behaviour. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor- faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan support dari pihak lain. 21 Tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu: 21 a. Persepsi Perception Mengenal dan melilih berbagai objek b. Respon terpimpin Guided Response Dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai c. Mekanisme Mechanism Dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan d. Adopsi Adoption Suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.5 TEORI HEALTH BELIEF MODEL

Health Belief Model HBM pada awalnya dikembangkan pada tahun 1950an oleh sekelompok psikolog sosial di Pelayanan Kesehatan Masyarakat AmerikaSerikat, dalam usaha untuk menjelaskankegagalan secara luas Universitas Sumatera Utara partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit. Kemudian, model diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap gejala-gejala penyakit dan bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit yang didiagnosa, terutama berhubungan dengan pemenuhan penanganan medis. Oleh karena itu, lebih dari tiga dekade, model ini telah menjadi salah satu model yang paling berpengaruh dan secara luas menggunakan pendekatan psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku dengan kesehatan. 9 Perkembangan dari HBM tumbuh pesat dengan sukses yang terbatas pada berbagai program Pelayanan Kesehatan Masyarakat di tahun 1950-an. Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada 4 variabel kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. Di mana komponen-komponennya disebutkan di bawah ini. 9

1. Kerentanan yang dirasakan Perceived Susceptibility.

Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan pribadi terhadap adanya resusceptibilily timbul kepekaan kembali, dan susceptibilily kepekaan terhadap penyakit secara umum. Universitas Sumatera Utara

2. Keseriusan yang dirasa Perceived SeveritySeriousness

Perasaan mengenai keseriusan terhadap suatu penyakit, meliputi kegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit dan konsekuensi sosial yang mungkin terjadi seperti efek pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. Banyak ahli yang menggabungkan kedua komponen diatas sebagai ancaman yangdirasakan perceived threat.

3. Manfaat yang dirasa Perceived Benefits

Penerimaan susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya dapat menimbulkan keseriusan perceived threat adalah mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan yang mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia dalam mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-keuntungan yang dirasakan perceived benefit dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut. Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan susceptibility dan keseriusan seriousness, sering tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa manjur dan cocok.

4. Penghalang yang dirasa Perceived Barriers

Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan seperti: ketidakpastian, efek samping, atau penghalang yang dirasakan seperti: khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup, yang mungkin berperan sebagai halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku. Universitas Sumatera Utara Sejak tahun 1974, teori Health Belief Model telah menjadi perhatian para peneliti.Model teori ini merupakan formulasi konseptual untuk mengetahui persepsi individu apakah mereka menerima atau tidak tentang kesehatan mereka.Variabel yang dinilai meliputi keinginan individu untuk menghindari kesakitan, kepercayaan mereka bahwa terdapat usaha agar menghindari penyakit tersebut. Hal ini dilihat dari keempat dimensi yang telah dibahas diatas. 22 Teori Health Belief Model menghipotesiskan terdapat hubungan aksi dengan faktor berikut: 23 1. Motivasi yang cukup kuat untuk mencapai kondisi yang sehat. 2. Kepercayaan bahwa seseorang dapat menderita penyakit serius dan dapat menimbulkan sekuele. 3. Kepercayaan bahwa terdapat usaha untuk menghindari penyakit tersebut walaupun hal tersebut berhubungan dengan finansial. Health Belief Model dapat menjelaskan tentang perilaku pencegahan pada individual. Hal ini menjelaskan mengapa terdapat individu yang mau mengambil tindakan pencegahan, mengikuti skrining, dan mengontrol penyakit yang ada. 24 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1 Persepsi individual mengenai penyakit berdasarkan Health Belief Model 25 Pada tahun 2006Leyva et al melakukan penelitian pada 150 wanita di Meksiko mengenai kepercayaan mereka terhadap kanker serviks dan Pap smear. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa 85 dari responden telah menjalani Pap smear. Para responden yang tidak melakukan Pap smear disebabkan karena responden yakin bahwa kanker serviks tidak mudah terjadi pada dirinya dan adanya penghalang untuk melakukan Pap smear. 26 Penelitian Abotchie PN pada tahun 2009 tentang skrining kanker serviks menurut Health Belief Modelmasih rendahnya skrining kanker serviks disebabkan oleh tiga faktor yaitu kurangnya kepercayaan bahwa skrining dapat mendeteksi kanker serviks, dan kepercayaan bahwa Pap smear bersifat nyeri, serta dapat merusak keperawanan. 27 Universitas Sumatera Utara Ibekwe CM pada tahun 2009, melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi skrining kanker serviks terhadap 300 orang wanita di Rumah Sakit Mahalapye Botswana dengan menggunakan teori Health Belief Model.Didapatkan hasil bahwa prediktor tertinggi skrining kanker serviks adalah kerentanan yang dirasakan responden terhadap kanker serviks. Responden dengan kerentanan yang tinggi, lebih mungkin untuk melakukan skrining kanker serviks 3,2 kali lebih besar dibandingkan dengan responden dengan kerentanan yang rendah. Faktor karakteristik sosio-demografis yang mempengaruhinya adalah pekerjaan, pendapatan bulanan dan daerah tempat tinggal responden. 10 Penelitian lainnya dilakukan oleh Abdullah di Malaysia pada tahun 2011, didapatkan hasilkurangnya tindakan skrining terhadap kanker serviks, akibat adanya penghalang yang dirasakan bahkan hal ini juga dialami pada wanita beredukasi tinggi. Diperlukan adanya promosi kesehatan dan edukasi pada segala tingkat pendidikan. 28 Penelitian Reis et al di Turki pada tahun 2012 meneliti tentang pengetahuan dan sikap wanita Turki terhadap skrining kanker serviks berdasarkan teori Health Belief Model. Total sampel penelitian ini adalah 387 wanita dan dinilai dengan kuesioner kanker serviks dan Pap smear sesuai skala Health Belief Model. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan antara Health Belief Model dengan karakteristik responden terutama pendidikan responden.Pada penelitian ini juga dijumpai bahwa halangan untuk melakukan Pap smear dipengaruhi oleh karakteristik demografi. Dimana,pada wanita dengan tingkat pendidikan rendah, wanita yang Universitas Sumatera Utara bercerai, wanita yang berpenghasilan rendah, dan wanita yang melahirkan pertama mereka ketika mereka berusia 18 tahun atau lebih muda serta wanita yang tidak menerapkan metode kontrasepsi sama sekali merasa bahwa halangan untuk melakukan Pap smear lebih besar. 29 Penelitian Hajializadeh et al pada tahun 2013 tentang sikap wanita di Bandar Abbas terhadap program skrining kanker serviks sesuai dengan teori Health Belief Model yang melibatkan 727 wanita dengan menggunakan kuesioner Health Belief Model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kerentanan dan keparahan terhadap kanker serviks dan manfaat terhadap skrining kanker serviks lebih tinggi pada kelompok yang telah melakukan Pap smeardibandingkan kelompok yang tidak melakukannya. 30 Pada tahun yang sama, Julinawati S memfokuskan penelitian mengenai pandangan kerentanan terhadap skrining kanker serviks. Hasil penelitian menunjukkan pengertian dan informasi yang kurang dari tenaga kesehatan menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan skrining kanker serviks. 31 Universitas Sumatera Utara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional studi potong lintang, yang bertujuan untuk mengetahui hubungantingkat pengetahuan tentang kanker serviks dan tindakan Pap smear berdasarkan teori Health Belief Modelpada ibu di Kelurahan Belawan Sicanang,Kecamatan Medan Belawan 3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 3.2.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan, Kotamadya Medan, Sumatera Utara.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari – April 2014 Universitas Sumatera Utara