56
perlu agar konseling dapat bersifat multikultural. Bahan pengajaran dapat diambil dari jurnal yang memuat hasil-hasil penelitian mutakhir,
atau dari praktikum studi kasus.
6. Kontak budaya dalam proses konseling
Konseling lintas budaya adalah konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
karena itu proses konseling sangat rawan bagi terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif,
Pedersen A. Aryadi Warsito, 2004: 6. Maka konseling lintas budaya mendasari kerja konselor bergerak diantara titik ekstrem: antara perspektif
etik dan emik; antara prinsip-prinsip yang berlaku secara universal untuk semua manusia humanly universal dengan yang unik budaya culturally
unique. Untuk membangun congruence dengan konseli yang sangat
mungkin memiliki perbedaan budaya. Konselor perlu memahami berbagai bahasa nonverbal yang merupakan salah satu ekspresi budaya dan nilai-
nilai yang dianut konseli. Karena bahasa non verbal dapat menjadi sumber permasalahan atau kesalahan komunikasi. Sebaliknya, jika dipahami
dengan baik maka bahasa nonverbal dapat memperlancar proses konseling. Dari studi lintas budaya ditemukan tujuh ekspresi yang dipandang
universal dari berbagai budaya, yaitu: ekspresi marah, gerakmuak, bahagia, takut, sedih, dan surprise, serta ekspresi jijik. Ekspresi tersebut
57
diduga lebih bersifat instingtif dibandingkan dengan karena karena dipelajari secara sosial, Jandt A. Aryadi Warsito, 2004:4.
Kesalahan interpretasi terhadap ekspresi non verbal sering terjadi dalam komunikasi antar budaya. Hal ini disebabkan antara lain karena
banyak ekspresi non verbal yang bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Keragaman ini menimbulkan kesalahan
interpretasi yang sekaligus menjadi penghalang komunikasi. Jandt A. Aryadi W, 2004:4-6. Mengelompokkan ekspresi nonverbal dalam bentuk:
a. Proxemics, yaitu jarak yang diambil oleh masing-masing pihak dalam
berkomunikasi. Jarak dalam berkomunikasi ini dibedakandalam intimate distance menyentuh sampai dengan 18 inci, personal
distance 18 inci sampai dengan 4 kaki, casual dinstance 4 sampai dengan 12 kaki, dan public distance lebih jauh dari 12 kaki. Jarak
dalam berkomunikasi akan berpengaruh pula terhadap kekerasan suara antara kedua belah pihak, dari berbisik, suara pelan, agak keras,
sampai dengan keras. Ternyata masing-masing budaya memiliki kecenderungan yang berbeda-beda dalam mengambil jarak saar
berkomunikasi. b. Kinesics, meliputi: gestur-gestur, ekspresi wajah, gerakan-gerakan
tubuh, dan kontak mata. Komunikasi sangat tergantung kepada aksi- aksi, postur, gerakan-gerakan, dan ekspresi dari tubuh kita. Beberapa
ekspresi tubuh dari berbagai budaya digunakan untuk menyatakan
58
maksud yang sama, meskipun demikan tetap terdapat banyak variasi ekspresi antar budaya.
c. Chronemics, terkait dengan pemaknaan dan penggunaan waktu.
Pemaknaan waktu satu tahun dan patokan yang menandainya, memiliki cukup banyak variasi diantara berbagai budaya.
d. Paralonguage, yaitu elemen-elemen nonverbal dari suara yang meliputi perincian vokal tertawa terbahak-bahak, sedih sedu,
tekanan dan intonasi, dan pemisahan vokal. Masing-masing budaya memiliki ekspresi yang berbeda-beda. Hal ini terkait dengan aspek
pantas, sopan tidak sopan menurut budaya masing-masing. e.
Silience, yaitu penggunaan diam dalam komunikasi. Diam dapat mengkomunikasikan
persetujuan, ketidak acuhan, bingung, merenung, ketidak setujuan, merasa malu tersipu-sipu, hormat,
menahan geram, sedih dan lain sebagainya. Beberapa budaya juga memberikan makna secra berbeda.
f. Haptics, yaitu penggunaan uspan, elusan atau sentuhan dalam
berkomunikasi. Penggunaan sentuhan dalam berkomunikasi berbeda- beda antar budaya.
g. Pakaian dan penampilan fisik, Pakaian terkait erat dengan budaya. Pakaian terkait dengan bentuk dan warna pakaian. Sedangkan warna
merupakan salah satu simbol dan digunakan sebagai symbol-simbol tertentu. Beberapa budaya memaknainya secara berbeda.
59
h. Olfatics, adalah mengkomunikasikan sesuatu melalui bau atau rasa. Sebagai contoh, beberapa perusahaan menggunakan bau-bauan untuk
mengiklankan atau menawarkan produk-produknya. Masing-masing budaya memiliki cita rasa yang berbeda-beda dalam kaitannya dengan
bau-bauan. i.
Oculesics, adalah komunikasi dengan melalui mata. Apa yang dikomunikasikan oleh mata sangat tergantung kepada budayanya. Di
Amerika dalam berkomunikasi perlu menjaga kontak mata karena jika tidak maka dapat dianggap tidak jujur. Sementara itu di kawasan Asia
orang justru menghindari kontak mata dalam berkomunikasi karena jika tidak dapat dianggap kurang sopan.
Jika konselor tidak memahami dengan baik makna dibalik ekspresi- ekspresi non verbal konseli, maka yang muncul adalah kesalahpahaman.
Jika demikian maka congruence yang merupakan salah satu syarat efektivitas proses konseling tidak akan terwujud. Untuk konseling yang
efektif, konselor harus membangun congruence dengan konseli dalam banyak aspek, baik aspek psikologis maupun sosial budaya. Semakin
banyak congruence maka akan semakin besar kemungkinan konseling berjalan efektif, demikian pula sebaliknya. Dalam konseling lintas budaya,
bahasa non verbal menjadi persoalan penting yang harus diperhatikan oleh konselor.
60
7. Struktur Kompetensi Konselor Indonesia