menghasilkan efisiensi reproduksi yang tinggi diikuti dengan produktivitas yang tinggi pula.
Penampilan reproduksi ternak dapat dilihat dengan memperhatikan Non- Return Rate [NRR], angka kebuntingan [ conception rate ], jarak antar kelahiran [
calving interval ], jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali [ service periode ], angka kawin per kebuntingan [ service per conception ] dan angka
kelahiran [ calving rate ]. Apabila standar performans reproduksi dapat dicapai maka akan menampilkan tingkat usaha sapi perah yang optimal [ Suyadi, 2002 ].
2.7.1. Evaluasi Kebuntingan
Kebuntingan merupakan suatu proses yang didahului oleh fertilisasi, yaitu suatu kejadian bertemunya spermatozoa dengan ovum menjadi zygote. Zygote
mengalami pembelahan hingga menjadi embrio, kemudian mengadakan implantasi pada endometrium uterus dan selanjutnya berkembang menjadi foetus. Indikator
untuk mengetahui keberhasilan inseminasi adalah SC, CR dan kebuntingan. Sedangkan faktor yang mempengaruhi keberhasilan inseminasi antara lain: deteksi
berahi, kondisi ternak, kualitas spermatozoa serta inseminator [Susilawati, 2005].
2.7.2. Service per Conception SC
Service per conception merupakan jumlah perkawinan atau pelayanan inseminasi yang dilakukan untuk menghasilkan kebuntingan. Penertian SC atau
angka kawin per kebuntingan adalah angka yang menunjukkan berapa kali perkawinan atau inseminasi yang dibutuhkan oleh ternak hingga menghasilkan
kebuntingan. Makin rendah angka kawin per kebuntingan menunjukkan makin tinggi kesuburan ternak, demikian juga sebaliknya. Angka kawin per kebuntingan dengan
manajemen yang baik dan terencana berkisar 1,5 sampai 1,7.Tinggi rendahnya derajad fertilitas ternak dapat mempengaruhi jumlah angka kawin per kebuntingan.
Pada sapi dara, fertilitas meningkat secara berkesinambungan sampai umur empat
33
tahun, selanjutnya akan konstan hingga umur enam tahun dan akhirnya akan menurun secara bertahap [Hafez, 2000; Suyadi, 2002 ]. Rata-rata SC pada sapi
Friesian Holstein sekitar 1,66 pada daerah tropis. Pengukuran SC kurang akurat untuk populasi ternak yang besar, tetapi pengukuran dapat akurat untuk ternak
tunggal atau seekor induk betina [Bearden dan Fuquay, l997]. Keberhasilan service per conception dipengaruhi oleh kualitas semen yang
secara langsung dipengaruhi oleh proses penanganan dan penyimpanannya. Semen sebaiknya disimpan dalam liquid nitrogen dengan temperatur -196° C dengan
container yang terbuat dari stanless steel maupun aluminium [Bearden dan Fuquay , 1997]. Proses penyimpanan semen mempunyai pengaruh yang besar terhadap daya
hidup [viabilitas] spermatozoa dalam straw. Roche [2006] melaporkan bahwa defisiensi nutrien dapat menyebabkan
estrus yang tidak teratur seperi estrus yang singkat, estrus yang panjang [nimphomania] maupun menyebabkan terjadinya tingkah laku yang terputus-putus
dalam satu atau dua hari atau aktifitas estrus selama periode estrus. Keadaan sapi perah yang seperti ini menyebabkan kegagalan kebuntingan dan nilai SC yang
tinggi sehingga calving interval sapi perah menjadi panjang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hakim [ 1989 ] pada
beberapa peternakan sapi perah di wilayah Malang, didapatkan angka kawin per kebuntingan sebesar 1,78 sampai 2,66. Selanjutnya hasil penelitian Ihsan [2000]
melaporkan penampilan reproduksi sapi perah di Kabupaten Malang berdasar nilai SC sebesar 1,98 dengan angka konsepsi 40,1. Angka kawin per kebuntingan yang
melebihi dua merupakan pertanda tatalaksana pemeliharaan yang jelek, atau ada persoalan reproduksi pada ternak yang bersangkutan.
Bila angka kawin per kebuntingan yang normal tidak tercapai maka tentu terdapat kelainan, misalnya tingkat fertilitas ternak pejantan dan betina yang
memang rendah, kesalahan dalam deteksi berahi, waktu kawin yang kurang tepat, serta kurangnya ketrampilan petugas inseminasi, jika perkawinan ternak tersebut
34
dilakukan secara buatan [Hafez, 2000]. Keberhasilan kebuntingan juga ditentukan oleh waktu inseminasi
. W
aktu inseminasi yang dilakukan antara pertengahan estrus [82,5] dan akhir masa estrus [75,0] memberikan fertilitas yang baik dibandingkan
awal estrus [44,0] dan 6 jam setelah berakhirnya estrus [62,5], selanjutnya Nebel [2002] menyatakan bahwa ovulasi terjadi 24-32 jam setelah awal estrus. Waktu
estrus induk dan waktu optimum IB dapat dilihat pada Gambar 25 dan Gambar 26.
Gambar 25. Waktu Estrus Induk [Murray,1996]
Gambar 26. Waktu Optimum Inseminasi Induk [Nebel,2002]
Pada awal estrus terjadi peningkatan hormon estrogen yang akan mengaktualisasikan perilaku estrus dan selanjutnya estrogen akan merangsang LH
untuk menggertak ovulasi. Ovum yang sudah diovulasikan mempunyai daya hidup kurang dari 12 jam untuk dapat dibuahi. Sedangkan semen beku yang memperoleh
penanganan baik akan memberikan daya hidup spermatozoa kurang dari 36 jam. Sesaat setelah dideposisikan ke dalam uterus, spermatozoa tidak dapat langsung
35
membuahi ovum tetapi harus mengalami proses maturasi atau kapasitasi terlebih dulu di oviduct. Proses perjalanan spermatozoa menuju oviduct hingga dapat
membuahi ovum diperlukan waktu 6-18 jam [Hafez, 2000].
2.7.3. Perkawinan Setelah Beranak [Post Partum Mating]