Karakterisasi Struktur Susut Bakar

Sedangkan untuk komposisi non stoikiometri seperti terlihat pada gambar 4.1 b adalah pada suhu 810 C. Dari hasil penelitian R.Nowosielski et al 2007 diketahui bahwa untuk perbandingan antara BaO : Fe 2 O 3 yaitu 1:6 dan 1:6,5 suhu terbentuknya fasa Barium Heksaferit adalah berkisar antara 800 - 1500 C. Oleh karena itu berdasarkan hasil kurva DTA dan penelitian R.Nowosielski et al maka pada penelitian ini ditetapkan suhu kalsinasi adalah 1000 C dan ditahan pada suhu tersebut selama 2 jam.

4.2. Karakterisasi Struktur

Untuk mengetahui dan mengidentifikasi sample uji, dilakukan pengujian difraksi sinar-X XRD. Dari hasil pengujian tersebut didapatkan hasil berupa grafik difraktogram seperti diperlihatkan pada gambar 4.2 berikut : Gambar 4.2. Grafik pola difraksi Barium Heksaferit Serbuk yang telah dikalsinasi pada suhu 1000 o C dan dianalisa dengan XRD menghasilkan pola difraksi seperti pada gambar 4.2. Pola difraksi tersebut dapat diidentifikasi fasa untuk serbuk dengan komposisi bahan baku yang dilakukan secara stoikiometri dan non stoikiometri. Dari hasil pola diraksi diperoleh puncak Universitas Sumatera Utara – puncak yang menunjukkan fasa Barium Heksaferit BaO.6Fe 2 O 3 dan Hematit Fe 2 O 3 dimana fasa mayor adalah Barium Heksaferit BaO.6Fe 2 O 3 dan minor adalah Hematit Fe 2 O 3 . Banyaknya fasa Barium Heksaferit BaO.6Fe 2 O 3 yang terbentuk pada perbandingan stoikiometri adalah sebesar 90,9 dan Hematit Fe 2 O 3 sebesar 9,1. Sedangkan pada komposisi bahan baku yang dilakukan dengan perbandingan secara non stoikiometri menghasilkan fasa Barium Heksaferit BaO.6Fe 2 O 3 dan Hematit Fe 2 O 3 masing-masing sebesar 80,8 dan 18,2.

4.3. Sifat Fisik

Sifat fisik yang diamati dalam penelitian pembuatan Barium Hexaferrite BaO.6Fe 2 O 3 dengan metode metalurgi serbuk untuk komponen magnet permanen meliputi pengukuran densitas, porositas dan susut bakar.

4.3.1. Densitas, Porositas dan Susut Bakar

Besaran densitas dan porositas untuk magnet permanen barium heksaferit BaO.6Fe 2 O 3 yang telah disintering pada suhu 1120 C, 1150 C, dan 1170 C yang masing-masing pada suhu tersebut ditahan selama 2 jam diukur dengan mengacu pada metode Archimedes. Besaran densitas dan porositas ini dihitung dengan menggunakan persamaan 2.4 dan 2.5. Sedangkan besaran susut bakar dihitung berdasarkan persamaan 3.1. Pada tabel 4.1 diperlihatkan hasil pengukuran densitas, porositas dan susut bakar untuk komposisi bahan baku secara stoikiometri dan non stoikiometri dengan berbagai varisasi suhu sintering. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.1 Nilai densitas, porositas dan susut bakar Komposisi BaCO 3 : Fe 2 O 3 berat H 3 BO 3 Suhu Sintering C Densitas gcm 3 Porositas Susut Bakar Stoikiometri 1 : 6 1120 3,13 10,50 11,53 0,5 3,36 1,90 27,40 1 3,40 1,20 31,99 1150 3,64 7,62 11,16 0,5 3,84 1,89 27,89 1 3,89 1,18 31,45 1170 3,97 7,25 30,39 0,5 4,06 1,55 32,82 1 4,10 1,11 41,85 Non- Stoikiometri 1 : 6,5 1120 3,01 9,42 9,48 0,5 3,44 2,93 27,84 1 3,67 1,79 31,34 1150 3,90 5,96 14,90 0,5 3,91 2,01 30,47 1 3,93 1,70 34,25 1170 4,00 4,06 21,37 0,5 4,01 1,83 33,69 1 4,11 1,37 39,10

a. Susut Bakar

Dari gambar 4.3 tampak bahwa semakin tinggi suhu sintering, penyusutan yang terjadi juga semakin besar. Hal ini karena pada proses sintering terjadi pemadatan akibat difusi partikel. Universitas Sumatera Utara Gambar 4.3. Grafik hubungan suhu sintering dengan susut bakar a stoikiometri dan b non stoikiometri Dengan penambahan Boric Acid terjadi penyusutan yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya banyak Boric Acid yang diberikan.

b. Densitas