Keragaman Gen Igf2 Dan Gen Fmo3 Serta Asosiasinya Terhadap Bobot Potong Dan Sifat Fisik Daging Pada Ayam Kampung

KERAGAMAN GEN IGF2 DAN GEN FMO3 SERTA
ASOSIASINYATERHADAP BOBOT POTONG
DAN SIFAT FISIK DAGING
PADA AYAM KAMPUNG

RINDANG LARAS SUHITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

MENGENAI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaman Gen IGF2
dan Gen FMO3 serta Asosiasinya terhadap Bobot Potong dan Sifat Fisik Daging
pada Ayam Kampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016
Rindang Laras Suhita
D151150316

RINGKASAN
RINDANG LARAS SUHITA. Keragaman Gen IGF2 dan Gen FMO3 serta
Asosiasinya terhadap Bobot Potong dan Sifat Fisik Daging pada Ayam Kampung.
Dibimbing oleh ASEP GUNAWAN, CECE SUMANTRI dan NIKEN ULUPI
Ayam kampung merupakan ayam asli Indonesia yang masih memiliki
produktivitas rendah dibandingkan dengan ayam ras. Ayam kampung memiliki
keunggulan pada tingkat adaptasi, ketahanan terhadap panas, dan ketahanan
terhadap penyakit yang tinggi. Rendahnya produktivitas ayam kampung
berbanding terbalik dengan permintaan konsumsi daging ayam kampung di
masyarakat. Sehingga perlu dilakukan peningkatan produktivitas ayam kampung
melalui seleksi. Gen IGF2 (Insuline-like Growth Factor 2) dan FMO3 (Flavincontaining monooxygenases 3) sebagai gen pengontrol pertumbuhan dan kualitas

karkas dapat digunakan sebagai gen potensial dalam seleksi berbasis marka
genetik untuk meningkatkan produktivitas ayam kampung. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis keragaman gen IGF2 dan FMO3 pada populasi
ayam kampung dan memahami hubungan keragaman gen-gen tersebut dengan
bobot karkas dan sifat fisik karkas pada ayam kampung.
Penelitian terdiri atas dua tahap yaitu analisis keragaman gen IGF2 dan
FMO3 pada dua populasi ayam kampung serta beberapa ayam lokal sebagai
pembanding. Asosiasi keragaman kedua gen diidentifikasi pada bobot karkas dan
sifat fisik karkas pada ayam kampung. Sampel yang digunakan sebanyak 118
sampel ayam kampung untuk gen IGF2 yang terdiri atas kampung populasi 12
minggu, dan kampung populasi 26 minggu. Sebanyak 129 sampel darah ayam
kampung yang digunakan untuk gen FMO3 terdiri atas 6 populasi yaitu broiler,
kampung, sentul, merawang, pelung, dan nunukan. Ayam kampung yang
digunakan untuk asosiasi sebanyak 118 ekor untuk bobot karkas dan potongan
komersial serta 56 ekor untuk sifat fisik karkas. Genotyping dilakukan
menggunakan metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction
Fragment Length Polymorphism). Analisis data yang dilakukan yaitu frekuensi
genotipe, frekuensi alel, heterozigositas, keseimbangan Hardy-Weinberg dan
asosiasi data genotipe dengan fenotipe menggunakan GLM (General Linear
Model).

Hasil menunjukkan gen IGF2 pada dua populasi ayam kampung bersifat
polimorfik dan gen FMO3 pada semua populasi bersifat monomorfik. Gen IGF2
pada populasi ayam kampung 12 minggu memiliki keragaman yang rendah dan
pada populasi 26 minggu memiliki keragaman yang tinggi sedangkan pada gen
FMO3 tidak ditemukan keragaman. Ditemukan asosiasi secara suggestive ( P <
0.1) gen IGF2 dengan bobot paha bawah pada ayam kampung 26 minggu. Tidak
ditemukan asosiasi antara keragaman gen IGF2 dan FMO3 terhadap bobot potong
dan sifat fisik karkas pada ayam kampung.
Kata kunci : ayam kampung, bobot potong, gen FMO3, gen IGF2, sifat fisik
karkas

SUMMARY
RINDANG LARAS SUHITA. Polymprphism of IGF2 and FMO3 genes
Associated with Slaughtered Weight and Physical Meat Traits in Kampung
Chicken. Supervised by ASEP GUNAWAN, CECE SUMANTRI and NIKEN
ULUPI.
Kampung chicken is an Indonesian native chicken that still have low
productivity compare with commercial breed. Kampung chicken has genetic
diversity as its potential and superiority than commercial breed. In other cases,
kampung chicken was mentioned has high levels of adaptability, resistance to heat,

and resistance to disease. The low productivity of chicken is unrelevant to the
demand of chicken meat in the country. The increase in demand due to the
increasing awareness of the importance of healthy lifestyles, particularly through
the pattern of consumption of animal protein. IGF2 gene (Insuline-like growth
factor 2) and FMO3 (Flavin-containing monooxygenases 3) as the genes that
control the growth and carcass quality can be used as a potential gene-based
selection of genetic markers to improve the productivity of kampung chicken.
This study aimed to analyze the IGF2 gene diversity in populations and FMO3
chicken also understand the diversity of genes relationship with carcass weight
and physical properties of the chicken carcass.
The study consisted of two phases: analysis of IGF2 gene diversity and
FMO3 in two populations of chicken and some local chickens as a comparison.
Both genes diversity carried association with carcass weight and physical traits of
the chicken carcass. A total 118 DNA samples of chicken for IGF2 gene
consisting of the kampung chicken population of 12 weeks, and the kampung
chicken of 26 weeks. A total of 129 DNA samples of 6 chicken population were
used for gene FMO3 that consists of broiler, kampung, sentul, merawang, pelung,
and nunukan. A total of 118 heads of chicken used for the association for
slaughtered weight and commercial carcass weight as well as the 56 heads to the
physical traits of the carcass. Genotyping was performed using PCR-RFLP

(Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism). The
data analysis were frequency of genotype, allele frequencies, heterozygosity,
Hardy-Weinberg equilibrium and genotype with phenotype data association using
GLM (General Linear Model).
Results showed IGF2 gene in two chicken populations polymorphic and
FMO3 genes in all populations are monomorphic. IGF2 gene in populations of
chicken 12 weeks had lower diversity and at 26 weeks has a high diversity while
at FMO3 genes not found diversity. There was suggestive association (p < 0.1) of
IGF2 gene with down leg weight. No association was found between the IGF2
gene diversity and FMO3 to slaughter weight and physical properties of the
chicken carcass.
Key words : FMO3 gene, IGF2 gene, kampung chicken, slaughtered weight,
physical traits of carcass

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya
untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KERAGAMAN GEN IGF2 DAN GEN FMO3 SERTA
ASOSIASINYATERHADAP BOBOT POTONG
DAN SIFAT FISIK DAGING
PADA AYAM KAMPUNG

RINDANG LARAS SUHITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rukmiasih, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Marimin, MS
Dr Ir Naresworo Nugroho, MS

PRAKATA
Alhamdulillahirrobbil’alamin, puji dan syukur Penulis kehadirat Allah SWT
karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015
hingga Januari 2015 ini adalah ayam kampung dengan judul Keragaman Gen
IGF2 dan Gen FMO3 serta Asosiasinya terhadap Bobot Potong dan Sifat Fisik
Daging pada Ayam Kampung. Salawat dan salam tak lupa dilimpahkan kepada
role model terbaik, Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat selesai tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr agr Asep
Gunawan, SPt, MSc, Bapak Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc, Ibu Dr Ir Niken
Ulupi, MS sebagai dosen pembimbing atas curahan waktu, perhatian, bimbingan,

motivasi, dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis sejak penulis
menempuh pendidikan sarjana hingga menyelesaikan program magister. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Rukmiasih, MS selaku dosen
penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam perbaikan karya tulis ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ibu (Indah
Setiawati), bapak (Budi Kasmiyanto), dan kakak (Abidin Pandianta) serta seluruh
keluarga atas doa, kasih sayang, semangat, dan motivasi yang selalu diberikan
kepada penulis sejak kecil hingga saat ini. Semoga Allah memberikan kesempatan
kita untuk berkumpul kembali di jannah-Nya kelak.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan ABG-Sci
yaitu Ka Shelvi, Ka Isyana, Ka Furqon, Ka Muhsinin, Ka Himma, Ka Nurul,
Nawal dan tim kurcaci. Terima kasih juga disampaikan kepada teknisi lapang
Laboratorium Pemuliaan dan Genetika yaitu Pak Dadang, Ali, dan Robi. Terima
kasih kepada tim penelitian yaitu Ka Saleh, Mujo, dan Ka Gayuh atas semangat
juangnya. Terima kasih kepada teman-teman IPTP 48, kelas ITP 2014 dan ITP
2015 atas kebersamannya yang nampak sangat singkat namun penuh kenangan
manis. Kepada suami terkasih, Muhamad Iqbal Gozali terima kasih atas
kesabaran, dukungan, motivasi, dan kasih sayangnya serta kebersamaannya
sehingga penulis merasa tidak pernah sendiri.
Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu, terima kasih atas segalanya. Semoga Allah memberikan kelimpahan
berkah, pahala, karunia, dan balasan yang terbaik atas kebaikan, dukungan, doa,
dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.
Bogor, Juni 2016
Penulis

Rindang Laras Suhita

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian Tahap 1 : Keragaman Gen IGF2 dan Gen FMO3
Total Sampel
Ekstraksi DNA
Amplifikasi PCR
Restriction Fragment Lenght Polymorphism (RFLP)
Genotyping Gen IGF2
Genotyping Gen FMO3
Analisis Data
Penelitian Tahap 2: Asosiasi Gen IGF2 dan Gen FMO3 terhadap Bobot
Potong dan Sifat Fisik Daging
Total Sampel
Pemeliharaan
Analisis Sifat Fisik Daging
Analisis Data
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi dan Genotyping Gen IGF2 serta FMO3
Keragaman Gen IGF2 dan FMO3
Heterozigositas dan Keseimbangan Gen IGF2 serta FMO3
Bobot Potong dan Bobot Karkas Ayam Kampung

Asosiasi Keragaman Gen IGF2 dengan Bobot Potong dan Bobot Karkas
Ayam
Kualitas Karkas Daging Ayam Kampung
Asosiasi Keragaman Gen IGF2 dengan Kualitas Karkas Daging Ayam
Kampung
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

v
v
v
1
1
2
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
6
7
7
7
8
8
9
9
9
11
12
14
16
17
19
19
19
20
25
32

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Primer gen IGF2 dan FMO4
Frekuensi genotipe dan alel gen IGF2
Frekuensi genotipe dan alel gen FMO3
Heterozigositas dan chi-square gen IGF2 serta FMO3
Bobot potong, bobot karkas, dan potongan komersial karkas ayam
kampung
Asosiasi gen IGF2 dengan bobot potong dan bobot karkas ayam kampung
populasi 12 minggu
Asosiasi gen IGF2 dengan bobot potong dan bobot karkas ayam kampung
populasi 26 minggu
Analisis sifat fisik daging ayam kampung populasi 26 minggu
Asosiasi sifak fisik daging ayam kampung dengan keragaman gen IGF2

4
10
11
12
13
14
15
15
17

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Bagan kerangka pemikiran penelitian
Visualisasi penempelan primer gen IGF2
Visualisasi penempelan primer gen FMO3
Visualisasi hasil PCR RFLP gen IGF2 dan FMO3

2
5
5
9

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Pembuatan primer melalui primer designing tools
Blast primer melalui MEGA 6.06
Penentuan enzim restriksi melalui NEBcutter V2.0
Hasil perhitungan statistik bobot potong dan komersial karkas ayam jantan
populasi 12 minggu
Hasil perhitungan statistik bobot potong dan komersial karkas ayam betina
populasi 12 minggu
Hasil perhitungan statistik bobot potong dan komersial karkas ayam
populasi 26 minggu

24
25
25
26
30
35

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam kampung merupakan ayam asli Indonesia yang banyak
dibudidayakan di masyarakat, namun masih memiliki produktivitas yang rendah
(Nataamijaya 2010). Ayam kampung memiliki beberapa potensi, diantaranya
keragaman sifat fenotipe dan genotipe yang tinggi, tingkat adaptasi, ketahanan
terhadap panas, serta ketahanan terhadap penyakit. (Nataamijaya 2000;
Mardiningsih et al. 2004; Pagala et al. 2013; Tamzil et al. 2013; Ulupi et al.
2013).Muryanto et al. (2002) menyatakan pengembangan ayam kampung
memiliki kendala pada lambatnya laju reproduksi dan pertumbuhan. Rendahnya
produktivitas ayam kampung berbanding terbalik dengan permintaan konsumsi
daging ayam kampung di masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola hidup sehat, khususnya
melalui pola konsumsi protein hewani. Badan pusat statistik menyebutkan bahwa
pada tahun 2014 produksi daging ayam kampung sebesar 297 652 ton dan
meningkat pada tahun 2015, yaitu mencapai 313 993 ton, nilai tersebut berada di
bawah produksi ayam ras. Produksi daging ayam kampung hanya menyumbang
15.13% dari total produksi daging unggas dan 10.26% dari total produksi daging
ternak Indonesia. Dengan demikian, ayam kampung memiliki potensi untuk dapat
ditingkatkan sebagai pemenuhan program ketahanan pangan yang aman, sehat,
utuh, dan halal (ASUH). Semakin tingginya konsumsi ayam kampung berkaitan
dengan adanya paradigma di masyarakat bahwa ayam kampung memiliki rasa
yang enak dan aroma spesifik serta lebih aman dikonsumsi.
Rasa yang enak dan aroma khas dari ayam kampung berkaitan dengan
kandungan lemak yang ada di daging ayam kampung. Lemak memberikan cita
rasa dan aroma spesifik pada makanan yang tidak dapat digantikan oleh
komponen makanan lainnya (Sartika 2008). Winarso (2003) menyatakan lemak
merupakan komponen daging yang bervariasi, sehingga kualitas fisik daging
dapat ditentukan oleh kadar lemak dalam daging. Hal ini mendukung Setiyono
(1987) yang menyebutkan kualitas fisik daging ditentukan oleh komposisi kimia
daging yang memiliki variasi pada komponen lemak. Komponen dasar lemak
adalah asam lemak dan gliserol yang diperoleh dari hasil hidrolisis lemak, minyak
maupun senyawa lipid lainnya. Salah satu jenis asam lemak, yaitu asam lemak
esensial dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan fungsi normal semua
jaringan yang tidak dapat disintesis oleh tubuh (Mayes 2003).
Potensi ayam kampung sebagai sumber kebutuhan pangan yang aman,
sehat, utuh, dan halal dapat dilakukan melalui upaya dalam peningkatan kualitas
maupun kuantitas daging ayam kampung. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ayam kampung adalah melalui seleksi
berbasis marka genetik khususnya pada sifat pertumbuhan dan kualitas daging.
Terdapat beberapa gen yang mengontrol pertumbuhan dan kualitas daging,
diantaranya adalah IGF2 dan FMO3. Insulin-Like Growth Factor 2 (IGF 2)
merupakan bagian dari GH grup yang terbukti mempengaruhi pertumbuhan dan
diferensiasi pada embrio hewan (Zhihui et al 2004). Selain itu, IGF2 juga
berperan pada pertumbuhan otot ayam dan perlemakan serta kualitas daging
(Duclos et al. 1999; Gao et al. 2007). IGF2 memiliki keunggulan dibandingkan

2
dengan gen pada GH grup lainnya, yaitu konsentrasinya pada darah tidak
dipengaruhi oleh status nustrisi (McMurty 1998). Ditemukan dua titik mutasi pada
gen IGF 2 yang teridentifikasi pada ayam Black Penedesenca. Mutasi
menyebabkan adanya substitusi basa Guanin menjadi Adenin pada intron 2 yang
juga dapat dideteksi menggunakan enzim restriksi Hsp92 sehingga didapatkan dua
genotype yaitu AA dan AB (Amills et al. 2003). Rahmadani et al. (2015)
menyatakan adanya keragaman gen IGF2 pada ayam kampung di ekson 4 namun
tidak berasosiasi terhadap pertumbuhan sampai umur 12 minggu. Amills et al
(2003) menyatakan tidak ada asosiasi gen IGF2 pada ayam lokal Black
penedesenca jantan dan betina dengan pertumbuhan dan konsumsi pakan. Tang et
al. (2010) menyatakan terdapat asosiasi gen IGF2 terhadap pertumbuhan ayam
petelur umur 17 minggu, namun tidak ditemukan asosiasi dengan bobot karkas
dan bobot telur.
Grup FMO memiliki peran sebagai kontributor mayor metabolisme
xenobiotic (Hao et al. 2009). Selain itu, grup FMO memetabolis endogen tertentu
sebagai bagian dari substrat hasil proses fisiologis diskrit. Gunawan et al (2013)
menyebutkan adanya mutasi pada gen FMO5 berasosiasi dengan kandungan
androstenon yang berpengaruh pada odour daging babi. FMO memiliki
kekhususan substrat dan sering menghasilkan metabolit yang berbeda yang
berpotensi signifikan sebagai toksikologi (Hao et al. 2009). Neuhoff et al. (2015)
mengamati adanya mutasi gen FMO5 pada babi dengan indikasi tingkat
androstenon dan skatol serta danindol yang berpengaruh pada sifat reproduksi.
Gen FMO3 (flavin containing monooxygenase 3) memiliki peran sebagai
kandidat gen mayor yang mengontrol bau amis akibat akumulasi trimetylamine
(TMA) di beberapa komoditas ternak (Lunden et al. 2002; Honkatukia et al.
2005). Bau atau aroma amis sebagai sifat yang umumnya diatur oleh kandungan
lemak pada ternak, ternyata dapat dikendalikan melalui sistem kerja gen FMO3.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi gen IGF2 dan gen FMO3
pada ayam kampung serta melihat asosiasi kedua gen tersebut terhadap sifat
pertumbuhan dan kualitas karkas. Hasil penelitian ini kemudian dapat dijadikan
informasi pelengkap dalam proses seleksi ayam kampung dengan pertumbuhan
dan kualitas karkas yang optimal sehingga dapat diaplikasikan secara langsung
bagi pemenuhan kebutuhan protein hewani.
Perumusan Masalah
Sebelum membahas perumusan masalah dalam penelitain ini, terlebih
dahulu akan disampaikan tentang kerangka pemikiran dari penelitian ini. Bagan
kerangka penelitian disajikan pada Gambar 1.
Masalah utama yang ingin diteliti adalah hubungan antara keragaman gen
IGF2 dan gen FMO3 pada ayam kampung terhadap bobot potong dan sifat fisik
karkas ayam tersebut. Penelitian ini akan dilakukan melalui dua tahapan
pengujian, yaitu pengujian terhadap faktor genetik dan pengujian terhadap
fenotipik. Pengujian terhadap faktor genetik bertujuan untuk mengidentifikasi
keragaman genotipe gen IGF2 dan gen FMO3 pada ayam kampung. Pengujian
terhadap fenotipik dilakukan pada bobot potong dan sifat fisik karkas ayam
kampung. Kedua hasil pengujian tersebut kemudian digunakan untuk

3
mengasosiasi genotipe gen IGF2 dan gen FMO3 terhadap bobot potong dan sifat
fisik karkas pada ayam kampung.

Gambar 1 Bagan kerangka penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi keragaman genotipe gen
IGF2 dan gen FMO3 ayam kampung serta asosiasinya terhadap bobot potong,
bobot komersil karkas, dan sifat fisik karkas pada ayam kampung.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi pelengkap untuk
menseleksi bobot potong dan sifat fisik karkas ayam kampung.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Penelitian tahap pertama bertujuan
untuk mengidentifikasi keragaman genotipe gen IGF2 dan gen FMO3 yang
terdapat pada ayam kampung. Penelitian tahap kedua bertujuan untuk
menerangkan asosiasi bobot potong dan sifat fisik daging ayam kampung terhadap
genotipe pada gen IGF2 dan gen FMO3.

4

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2015.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak dan
Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Penelitian Tahap 1 : Keragaman Gen IGF2 dan Gen FMO3
Total Sampel
Sampel yang digunakan dalam tahap ini adalah sebanyak 118 sampel DNA
ayam kampung untuk gen IGF2 dan 129 sampel DNA ayam kampung serta
beberapa ayam lokal sebagai pembanding untuk gen FMO3.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dimulai dengan pengambilan sampel darah. Darah diambil
dari bagian vena axilaris, kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang
telah diisi Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) 5 mL. Selanjutnya sebanyak
50 µL sampel darah dimasukkan ke dalam tabung ependorf (1.5 mL) dan
ditambahkan dengan 1000 µL Sodium chloride (NaCl) 0.2%. Kemudian
didiamkan 5 menit. Setelah didiamkan, disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm
selama 5 menit, kemudian bagian supernatan dibuang.
Setelah bagian supernatan dibuang, larutan ditambahkan dengan 20 µL
proteinase K 5 mg mL-1, 40µL sodium dodesil fosfat (SDS) 10% dan 30 µL 1 x
sodium tris EDTA (STE). Selanjutnya campuran larutan tersebut diputar pelan di
dalam inkubator selama 2 jam pada suhu 55 oC. Setelah diputar, campuran larutan
tersebut ditambahkan dengan 400 µL fenol, 400 µL Cloroform isoamyl alcohol
(CIAA) dan 40 µL 5 M NaCl sambil digoyang pelan selama 1 jam pada suhu
ruang. Setelah itu, campuran tersebut disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm
selama 5 menit.
Sebanyak 400 µL bagian yang berwarna bening (DNA) dipindahkan
menggunakan pipet ke tabung baru (1.5 mL). Tabung yang sudah berisi DNA ini
kemudian ditambahkan dengan 800 µL etanol absolut dan 40 µL 5 M NaCl lalu
disimpan di dalam freezer selama semalam. Setelah itu, larutan disentrifugasi
selama 5 menit pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Setelah disentrifugasi,
bagian supernatan dibuang dan didiamkan dalam keadaan terbuka pada suhu
ruang sampai etanol hilang. Selanjutnya ditambahkan 100 µL TE 80%. DNA yang
diperoleh kemudian disimpan di freezer sampai siap untuk digunakan.
Amplifikasi PCR
Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen IGF2 dan gen FMO3
yang digunakan diamati pada Tabel 1. Amplifikasi DNA dilakukan pada total
volume 15 µL yang terdiri atas 0.5 µL DNA, 6.2 µL air bebas ion steril,0.3 primer,
dan 7.5 µL Master mix. Terdapat tiga tahap pada metode amplifikasi. Tahap
pertama meliputi proses denaturasi awal pada 95 oC selama 5 menit yang
dilakukan satu siklus. Tahap kedua meliputi proses denaturasi pada suhu 95 oC
selama 10 detik, proses annealing pada suhu 60 oC selama 20 detik, dan proses

5
ekstensi 72 oC selama 30 detik. Tahap kedua dilakukan 35 siklus. Tahap ketiga
meliputi proses ekstensi akhir pada suhu 72 oC selama 5 menit. Selanjutnya
dilakukan inkubasi pada suhu 4 oC hingga digunakan untuk analisis lebih lanjut.
Tabel 1 Primer gen IGF2 ekson 4 dan FMO3 ekson 6
Gen
IGF2
FMO3

Sekuen Primer

F : 5’-GCT GGG GAC CCA ATA GAA CC-3’
R : 5’-CGA TTT GTG ATC TCC TGG GGA-3’
F : 5’-CAC CGT GGC CTC GC-3’
R : 5’-GAA ACA TCA GTC TTG TTT CAA G-3’

Posisi
Ekson 4
Ekson 6

Referensi
Amills et
al. (2003)
Wang et al.
(2013)

Restriction Fragment Lenght Polymorphism (RFLP)
Penentuan genotipe gen IGF2 dan gen FMO3 menggunakan metode RFLP.
Sebanyak 5 µL produk PCR gen IGF2 dan 5 µL gen FMO3 dipotong
menggunakan 2 µL restriction endonuclease mix yang terdiri atas 1 µL dH2O, 0.7
µL buffer, dan 0.3 µL enzim pemotong, kemudian diinkubasi selama 16 jam pada
suhu 37 oC. Enzim pemotong yang digunakan untuk gen IGF2 adalah NlaIII yang
mengenali situs potong CATG|, sedangkan enzim pemotong yang digunakan
untuk gen FMO3 adalah AlwNI yang mengenali situs potong CAGNNN|.
Produk PCR yang sudah dipotong oleh enzim restriksi kemudian
dielektroforesis menggunakan gel agarose 2% dengan buffer 0.5 Tris Borat EDTA
(TBE) yang dialiri arus listrik dengan tegangan 100 V selama 40 menit.
Visualisasi hasil elektroforesis dilakukan di bawah UV trans iluminator.
Genotyping Gen IGF2
Terdapat dua alel yang diamati pada gen IGF2 ekson 4, yaitu alel C jika
terdapat titik potong pada hasil amplifikasi sehingga menghasilkan produk yang
sama dengan produk PCR yaitu sepanjang 395 bp. Alel T memiliki titik potong
pada posisi 139 bp sehingga menghasilkan produk dengan panjang masingmasing 139 bp dan 256 bp.

Gambar 2 Visualisasi penempelan primer dan situs pemotongan pada sekuen gen
IGF2 ekson 4 ( kode akses Ensembl ENSGALG00000006555)
Genotyping Gen FMO3
Terdapat 2 alel yang diamati pada gen FMO3 ekson 6, yaitu alel A jika
memiliki titik potong pada posisi 249 bp sehingga menghasilkan produk dengan
panjang masing-masing 249 bp dan 275 bp. Alel G muncul jika tidak terdapat titik

6
potong pada hasil amplifikasi sehingga menghasilkan produk yang sama dengan
produk PCR yaitu sepanjang 525 bp.

Gambar 3 Visualisasi penempelan primer dan situs pemotongan pada sekuen gen
FMO3 ekson 6 ( kode akses Ensembl ENSGALG00000003316)
Analisis Data
Setelah genotipe didapat melalui metode PCR-RFLP, nilai frekuensi alel,
frekuensi genotipe, nilai keseimbangan Hardy-Weinberg, heterozigositas
pengamatan, dan heterozigositas harapan dihitung berdasarkan rumus berikut:
Frekuensi alel (Nei dan Kumar 2000)
Frekuensi alel merupakan frekuensi relatif dari suatu alel. Frekuensi alel
merupakan parameter dasar di dalam evolusi, karena perubahan genetik dalam
suatu populasi dapat dijelaskan melalui perubahan pada frekuensi alel.
Perhitungan frekuensi alel didapatkan melalui rumus berikut :

Keterangan:
xi = frekuensi alel ke-i
nii = jumlah individu bergenotipe ii
nij = jumlah individu bergenotipe ij
N = total sampel

Frekuensi genotipe (Nei dan Kumar 2000)
Frekuensi genotipe merupakan frekuensi relatif dari suatu genotipe yang
didapatkan dari hasil perbandingan genotipe tertentu dengan jumlah sampel. Nilai
frekuensi genotipe berkisar antara 0-1. Perhitungan frekuensi genotipe didapatkan
melalui rumus berikut :

Keterangan:
xii = frekuensi genotipe ii
ni = jumlah individu bergenotipe ii
N = total sampel

7
Uji Chi Square (χ2) ( Allendorf dan Luikart 2007)
Uji chi square menunjukkan adanya kesesuaian antara hasil pengamatan dan
nilai harapan. Perhitungan chi square didapatkan melalui rumus berikut :

Keterangan:
x2 = nilai chi-square
O = jumlah genotipe teramati
E = jumlah genotipe harapan

Heterozigositas (Allendorf dan Luikart 2007)
Heterozigositas merupakan perhitungan untuk mengetahui keragaman gen
dalam populasi. Perhitungan heterozigositas didapatkan melalui rumus berikut :

Keterangan:
Ho = heterozigositas pengamatan
N1ij = jumlah individu heterozigot pada lokus ke-1
N = jumlah individu yang diamati
He = heterozigositas harapan
P1i = frekuensi alel ke-i pada lokus ke-1

Penelitian Tahap 2: Asosiasi Gen IGF2 dan Gen FMO3 terhadap Bobot
Potong dan Sifat Fisik Daging
Total Sampel
Sampel yang digunakan dalam tahap ini sebanyak 62 day old chick (DOC)
dan 56 ekor ayam kampung umur 26 minggu.
Pemeliharaan
Ternak yang diteliti dipelihara di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas
Peternakan IPB. Pemeliharaan diawali dengan persiapan kandang melalui sanitasi
kandang dengan desinfektan. Ayam diberi nomor identitas pada bagian sayap.
DOC ayam kampung dipelihara pada kandang kelompok yang dibagi ke dalam 2
koloni sampai umur 4 minggu (fase starter) dan diberi pakan dan minum
adlibitum. Ayam umur 5 minggu dipindahkan ke kandang kelompok 4 koloni
hingga umur 12 minggu. Pakan yang diberikan adalah pakan komersial untuk
ayam ras pedaging fase starter (511 diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand) dan
dedak padi (diperoleh dari penggilingan padi di wilayah Situ Gede Dramaga)
dengan perbandingan 80:20 pada minggu 1-3 dan dilanjutkan dengan
perbandingan 60:40 sampai minggu 12. Setiap 1 minggu bobot ayam ditimbang
dengan menggunakan timbangan digital. Pada umur 1, 3, dan 8 minggu dilakukan
vaksinasi ND untuk seluruh ayam. Setelah 12 minggu, ayam dipotong dan
dijadikan potongan komersial kemudian ditimbang setiap bagian.

8
Analisis Sifat Fisik Daging
Ternak yang telah dipotong kemudian diukur bobot potong dan potongan
komersialnya. Selain itu, analisis kualitas karkas fisik pada ayam kampung untuk
setiap genotipe dilakukan menggunakan sample daging dada dengan menguji
beberapa parameter :
pH Daging
Pengukuran pH daging dilakukan sesuai metode Van Laack et al. (2000)
dengan memasukan pH meter yang telah dikalibrasi sebelumnya ke bagian dalam
daging , kemudian ditunggu hingga tertera nilai pada layar pH meter.
Keempukan Daging
Tingkat keempukan daging ditunjukkan oleh besarnya kekuatan (kgcm-2)
yang diperlukan untuk memotong core daging yang ditunjukkan oleh jarum
penunjuk alat pemotong daging Warner Bratzler Device. Pengukuran ini
dilakukan berdasarkan Suryati et al. (2008).
Daya Mengikat Air (Water Holding Capacity)
Daya mengikat air adalah kemampuan protein daging mengikat air di
dalam daging. Nilai ini diukur dengan planimeter dengan cara mencari jumlah air
yang keluar (mg) sesuai metode Hamm (1972) di dalam Soeparno (2005):
(selisih lingkar luar-selisih lingkar dalam)
100
x 6.45 – 8.0
H2O =
0.0948
Untuk mengetahui persentase air bebas digunakan rumus sebagai berikut :
%H2O =

% mgH2O
300

x 100 %

Susut Masak (Cooking Loss)
Susut masak adalah sedikit banyaknya air yang hilang dan nutrien yang
yang larut dalam air akibat pengaruh pemasakan. Prosedur dilakukan sesuai
metode Bouton et al. (1971) dengan rumus sebagai berikut :
Susut masak (%) =

berat awal – berat akhir x 100 %
berat awal

Analisis Data
Pengaruh perbedaan genotipe gen terhadap potongan karkas pada ayam
kampung umur 12 dan 26 minggu serta perbedaan genotipe gen terhadap kualitas
fisik pada ayam kampung umur 26 minggu dianalisis menggunakan prosedur
GLM (General Linier Model ) (SAS Institute Inc. 2008) portable dengan model
sebagai berikut:
Yij = μ + Gi + εij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan akibat pengaruh genotipe ke-i pada ulangan ke-j
μ = rataan umum
Gi = pengaruh genotipe ke-i
εij = pengaruh galat percobaan dari genotipe ke-i pada ulangan ke-j

9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi dan Genotyping Gen IGF2 serta FMO3
Gen IGF2 pada ekson 4 dan FMO3 pada ekson 6 berhasil diamplifikasi
dengan panjang masing-masing 395 pb dan 524 pb. Hasil RFLP menggunakan
enzim pemotong NlaIII pada fragmen gen IGF2 menghasilkan tiga tipe gen
(genotipe), yaitu CC, TC, dan TT yang dibentuk dari kombinasi dua alel C dan T
(Gambar 4a). Satu SNP (Single Nucleotide Polymorphism) ditemukan pada gen
IGF2. SNP pada gen IGF2 dikenali melalui situs potong CATG| dengan
menggunakan enzim restriksi NlaIII. Mutasi terjadi pada basa ke- 138 dengan
perubahan basa timin (T) menjadi sitosin (C). Hal ini telah dibuktikan oleh
Rahmadani et al. (2015) yang melalukan sekuensing gen IGF2 pada ayam
kampung dengan sekuen dari GenBank dengan nomor akses NC_006092.3.
Perubahan basa ini dikenal sebagai subtitusi basa transisi karena perubahan basa
timim (pirimidin) menjadi sitosin (pirimidin). Subtitusi basa transisi umumnya
lebih sering terjadi dibandingkan dengan transversi (Nei dan Kumar 2000).
Mutasi ini juga dikenal sebagai synonymous atau silent substitution karena
perubahan basa hanya mengkode asam amino yang sama yaitu histidin (Amills et
al. 2003).

Gambar 4 Visualisasi hasil PCR-RFLP gen IGF2 (a) dan FMO3 (b) pada gel
agarose 2%. M: Marker 100 pb; TT, TC, CC, dan AA: genotipe
Hasil genotyping gen FMO3 disajikan pada Gambar 4b. Tidak ditemukan
titik SNP di sekuen yang diamati pada ekson 6 gen FMO3. Wang et al (2013)
sebagai acuan primer menyebutkan adanya titik missense mutation pada ekson 6
di posisi 869 dengan perubahan basa adenin (A) menjadi guanin (G) pada itik.
Mutasi ini dapat berpengaruh terhadap kerja enzim FMO3 pada itik. Honkatukia
et al. (2005) menyebutkan adanya mutasi adenin (A) menjadi timin (T) pada ayam
ras petelur di ekson 7 posisi 329 yang menyebabkan perubahan asam amino
threonin menjadi serin. Perubahan ini menyebabkan adanya bau amis pada
kuning telur.
Keragaman Gen IGF2 dan FMO3
Analisis keragaman gen IGF2 ekson 4 pada ayam kampung dilakukan
menggunakan frekuensi genotipe dan frekuensi alel yang disajikan pada Tabel 2.
Ayam lain digunakan sebagai pembanding diperoleh dari Rahmadani et. al

10
(2015). Proporsi genotipe gen IGF2 ekson 4 pada populasi broiler, sentul, dan
merawang menunjukkan frekuensi genotipe CC paling tinggi dan TT yang paling
rendah bahkan pada broiler dan sentul tidak ditemukan frekuensi genotipe TT. Hal
ini menunjukkan bahwa genotipe CC pada ketiga populasi tersebut memiliki
peluang kemunculan tertinggi dibandingkan dengan genotipe TT. Hal ini sesuai
dengan Amills et al. (2003) yang menunjukkan genotipe CC memiliki frekuensi
tertinggi pada populasi ayam Black Penedesenca. Tang et al. (2010) menunjukkan
bahwa genotipe CC pada ayam beijing you memberikan performa pertumbuhan
dan bobot karkas tertinggi pada umur 17 minggu.
Populasi kampung 26 minggu dan pelung menunjukkan frekuensi
genotipe TC paling tinggi sehingga genotipe TC memiliki peluang kemunculan
tertinggi dibandingkan genotipe lainnya pada populasi tersebut. Berbeda dengan
populasi kampung 12 minggu, frekuensi genotipe TT memiliki frekuensi tertinggi
sehingga peluang kemunculannya lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe
lainnya pada populasi tersebut.
Tabel 2 Frekuensi genotipe dan alel gen IGF2
Sampel
Broiler
Kampung 12
minggu
Kampung 26
minggu
Sentul
Merawang
Pelung

10

CC (n)
0.80 (8)

Genotipe
TC (n)
0.20 (2)

62

0.16 (10)

56
34a
18a
23a

n
a

Alel
TT (n)
- (0)

C
0.90

T
0.10

0.36 (22)

0.48 (30)

0.34

0.66

0.28 (16)

0.50 (28)

0.21 (12)

0.54

0.46

0.56 (19)
0.50 (9)
0.35 (8)

0.44 (15)
0.39 (7)
0.48 (11)

- (0)
0.11 (2)
0.17 (4)

0.78
0.69
0.59

0.22
0.31
0.41

Keterangan : aSumber : Rahmadani et al. (2015); n = jumlah individu

Hasil penelitian yang didapatkan pada ayam kampung 12 minggu
menunjukkan bahwa frekuensi alel T memiliki frekuensi lebih tinggi
dibandingkan dengan alel C. Distribusi alel gen IGF2 ekson 4 pada populasi ayam
broiler, sentul, merawang, pelung yang diamati Rahmadani et al. (2015) dan ayam
kampung 26 minggu memiliki frekuensi alel C lebih tinggi dibandingkan dengan
alel T. Hasil ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Amills et al. (2003). Tang et
al. (2010) juga menyatakan hal yang sama, bahwa alel C memiliki frekuensi yang
lebih tinggi pada populasi ayam beijing you dan kapas. Nilai ini berbeda pada
ayam kampung 26 minggu dan ayam kampung yang diamati Rahmadani et al.
(2015) pada sekuen gen yang sama. Hal ini disebabkan adanya seleksi betina pada
populasi sebelumnya yang digunakan oleh Rahmadani et al. (2015) terhadap sifat
bobot badan. Noor (2010) menyebutkan bahwa frekuensi gen dapat mengalami
perubahan jika terjadi seleksi, mutasi, percampuran populasi, silang dalam dan
silang luar, serta genetic drift. Nilai frekeunsi dari beberapa populasi ayam yang
diamati tersebut menunjukkan bahwa gen IGF2 memiliki keragaman yang tinggi.
Hartl dan Clark (1997) menyebutkan bahwa suatu alel dinyatakan memiliki
keragaman yang tinggi jika frekuensi alelnya kurang dari 0.99.
Frekuensi genotipe dan alel juga dilakukan untuk mengetahui keragaman
gen FMO3 ekson 6 pada beberapa ayam lokal dapat diamati pada Tabel 3. Hasil
yang didapatkan dari total 129 ayam dari berbagai populasi menunjukkan bahwa

11
hanya satu genotipe yang dapat diamati yaitu genotipe AA (100%), sehingga
frekuensi alel A sebesar 1.00. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada keragaman
genetik sekuen gen FMO3 ekson 6 yang digunakan dan tidak ditemukan alel G
pada seluruh populasi ayam yang diteliti. Hal ini mengakibatkan populasi yang
diamati tidak dapat diasosiasikan dengan parameter yang telah ditentukan.
Tabel 3 Frekuensi gen dan alel gen FMO3
Sampel

n

Broiler
Kampung
Sentul
Merawang
Pelung
Nunukan

7
56
20
20
20
6

AA (n)
1.00 (7)
1.00 (56)
1.00 (20)
1.00 (20)
1.00 (20)
1.00 (6)

Genotipe
AG (n)
- (0)
- (0)
- (0)
- (0)
- (0)
- (0)

GG (n)
- (0)
- (0)
- (0)
- (0)
- (0)
- (0)

A
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00

Alel
G
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00

Keterangan : n = jumlah individu

Keragaman gen FMO3 telah banyak diteliti dan terbukti berasosiasi
dengan bau amis pada beberapa hewan. Nonsense mutasi pada sekuen gen FMO3
sapi menunjukkan adanya asosiasi dengan bau amis pada susu sapi Lunden et al.
(2002). Glenn et al. (2007) membuktikan adanya asosiasi bau amis pada daging
babi dengan keragaman gen FMO3. Mutasi nonsinonimus terjadi pada penelitian
Honkatukia et al. (2005) menyebabkan perubahan asam amino yang
meningkatkan level TMA sehingga berpengaruh pada bau amis kuning telur ayam.
Teknik sekuensing dan ekspresi RNA dilakukan Wang et al. (2013) pada titik
yang sama dengan penelitian menunjukkan adanya 27 SNP, salah satunya terjadi
missense mutation di ekson 6 itik yang sangat berperan pada aktivitas enzim
FMO3 di jaringan hati.
Total panjang gen FMO3 yang terletak di kromosom 8 sebesar 7 693kb
akan muncul banyak peluang mutasi. Allendorf dan Luikart (2007) menyebutkan
ratusan mutasi dapat terjadi pada setiap individu baru. Tidak ditemukannya
keragaman di sekuen gen FMO3 pada beberapa sampel ayam lokal dapat
disebabkan karena teknik PCR-RFLP yang digunakan hanya mampu mengenali
satu titik mutasi.
Heterozigositas dan Keseimbangan Gen IGF2 serta FMO3
Hasil yang diamati menunjukkan bahwa dua populasi ayam kampung
tidak memiliki keragaman gen IGF2 maupun FMO3 yang tinggi. Keragaman
genetik suatu populasi dinyatakan tinggi jika nilai heterozigositas lebih dari 0.5
(Allendorf dan Luikart 2007). Hasil perhitungan Ho dan He dapat diamati pada
Tabel 4.Analisis heterozigositas dilakukan dengan membandingkan nilai
heterozigositas observasi (Ho) dan heterozigositas harapan (He). Heterozigositas
digunakan untuk mengetahui keragaman gen dalam satu populasi yang dapat
membantu pada program seleksi untuk generasi berikutnya (Marson et al. 2005).
Berbeda dengan nilai Ho yang diamati Rahmadani et al. (2015) dengan
jumlah individu lebih banyak menunjukkan adanya keragaman yang tinggi pada
ayam kampung. Hal ini dapat disebabkan kurangnya jumlah pengamatan dari

12
populasi yang digunakan kecil. Allendorf dan Luikart (2007) menyebutkan bahwa
perbandingan antara heterozigositas tidak akan valid jika tidak dilakukan dengan
jumlah pengamatan yang besar. Moioli et al. (2004) menyebutkan bahwa nilai Ho
selalu memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan He. Selain itu, He
merupakan indikator yang layak digunakan dalam menentukan keragaman suatu
gen pada suatu populasi, semakin tinggi maka semakin baik.
Tabel 4 Heterozigositas dan chi-square (χ2) gen IGF2
Sampel

n

Ho
0.20
0.36
0.50
0.44
0.39
0.48

Gen IGF2
He
0.18
0.45
0.79
0.34
0.43
0.48

χ2

Broiler
10a
ns
Kampung 12 minggu
62
ns
Kampung 26 minggu
56
ns
Sentul
34a
ns
a
Merawang
18
ns
Pelung
23a
ns
a
2
Keterangan : Sumber : Rahmadani et al. (2015); n = jumlah individu; χ tabel, db (n-1),
α 5% = 3.84; ns = tidak nyata (χ2 hitung < χ2 tabel)

Berdasarkan nilai He yang diamati, populasi ayam kampung umur 26
minggu memiliki nilai He yang paling tinggi. Sesuai dengan pernyataan Moioli et
al. (2004), populasi ini memiliki keragaman gen IGF2 ekson 4 yang tinggi.
Machado et al. (2003) menyatakan nilai Ho yang lebih rendah dari He dapat
mengindikasikan tingkat endogami yang merupakan hasil dari proses seleksi
intensif.
Uji chi-square (χ2) digunakan untuk mengetahui populasi berada dalam
keseimbangan Hardy-Weinberg. Nilai chi square yang tidak signifikan pada taraf
5% menunjukkan adanya kesesuaian antara hasil pengamatan dan nilai harapan.
Nilai chi square akan semakin besar jika terdapat perbedaan yang besar antara
hasil pengamatan dan nilai harapan. Populasi dikatakan berada dalam
keseimbangan jika nilai hitung χ2 lebih kecil dibandingkan dengan χ2 tabel
(Allendorf dan Luikart 2007). Hasil yang didapatkan pada dua populasi ayam
kampung menunjukkan bahwa populasi berada pada keseimbangan HardyWeinberg, walaupun pada populasi ayam kampung 12 minggu telah ada
percampuran dengan populasi lain. Hasil yang didapatkan sesuai dengan yang
dilakukan oleh Rahmadani et al. (2015). Hal ini juga dapat dilihat dari perbedaan
antara Ho dan He. Semakin besar nilai χ2 maka semakin besar pula perbedaan Ho
dan He (Allendorf dan Luikart 2007). Perbedaan nilai Ho dan He yang besar dapat
mengindikasikan adanya ketidakseimbangan dari populasi (Tambasco et al. 2000).
Keseimbangan pada populasi dapat diartikan bahwa populasi tersebut tidak terjadi
mutasi, seleksi, migrasi, dan genetic drift (Noor 2010).
Bobot Potong dan Bobot Karkas Ayam Kampung
Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa bobot potong ayam umur 12
minggu pada jantan dan betina berturut-turut sebesar 765.31±107.36 g dan
665.70±76.93 g. Nilai ini memiliki nilai lebih rendah dari penelitian Tamzil et al.
(2015) yang menyebutkan bahwa bobot potong ayam kampung umur 10 minggu
mencapai 855.654 g. Sunari et al. (2001) menyebutkan perbandingan bobot karkas
dengan bobot hidup dapat digunakan sebagai parameter produksi dalam bidang

13
peternakan. Umur pemotongan merupakan salah satu parameter yang sangat
mempengaruhi bobot potong dan bobot karkas. Bobot potong yang tinggi akan
meningkatkan bobot karkas yang didapatkan (Matitaputty et al. 2011). Bobot
potong, bobot karkas, dan potongan komersial karkas ayam kampung yang
didapatkan dari dua populasi, yaitu populasi ayam 12 minggu dan 26 minggu
dapat diamati pada Tabel 5.
Tabel 5

Bobot potong, bobot karkas, dan potongan komersial karkas ayam
kampung
12 Minggu
26 Minggu
Parameter
Jantan (29)
Betina (33)
Jantan (56)

Bobot potong (g)
765.31±107.36 665.70±76.93
Bobot karkas (g)
440.45±88.46 394.70±84.82
Bobot dada (g)
111.66±24.14 100.00±18.56
Bobot paha atas (g)
82.34±16.22
71.30±10.86
Bobot paha bawah (g)
80.07±15.07
66.24±10.25
Bobot sayap (g)
72.41±11.36
63.21±9.24
Bobot daging dada (g)
64.26±16.29
58.72±11.27
Bobot daging paha atas (g)
47.56±12.05
40.69±6.84
Bobot daging paha bawah (g)
43.62±8.53
36.81±6.29
%Bobot karkas (gbp-1)
56.13±9.41
55.76±6.33
%Bobot dada (gbk-1)
25.72±2.25
25.10±2.22
%Bobot paha atas (gbk-1)
18.91±1.58
18.27±1.90
-1
%Bobot paha bawah (gbk )
18.23±0.95
17.14±1.59
%Bobot sayap (gbk-1)
16.62±1.33
16.13±1.43
%Bobot daging dada (gbk-1)
14.44±1.92
15.25±2.30
%Bobot daging paha atas (gbk-1)
10.69±1.04
10.53±1.51
%Bobot daging paha bawah (gbk-1)
9.89±0.85
9.62±1.41
Keterangan : bp = bobot potong; bk = bobot karkas

1605.30±153.54
1012.98±119.61
258.07±31.77
198.29±28.14
185.54±24.94
130.27±12.39
180.66±28.48
145.88±25.65
123.53±21.21
63.51±3.20
25.50±1.36
19.55±1.22
18.31±0.99
12.94±1.20
17.83±1.79
14.35±1.43
12.18±1.47

Persentase karkas, dada, paha atas, paha bawah, dan sayap yang diamati
oleh Tamzil et al. (2015) memiliki nilai 63.08%, 24.04%, 18.49, 16.65, dan
15.04%, berbeda dengan hasil penelitian. Perbedaan ini disebabkan penggunakan
ayam kampung unggul balitnak (KUB) dan pakan komersil yang digunakan oleh
Tamzil et al. (2015). Iskandar (2007) menyebutkan bahwa bobot badan ayam
kampung umur 12 minggu mencapai 708 g. Nilai ini sesuai dengan kisaran hasil
yang didapatkan pada penelitian. Bobot potong umur 26 minggu didapatakan
sebesar 1605.30±153.54 g, nilai ini lebih rendah dari Iskandar (2007) yang
melaporkan bahwa bobot ayam kampung umur 20 minggu sebesar 1408 g. Tamzil
et al. (2015) menyebutkan selain umur, strain ayam dapat mempengaruhi bobot
potong pada ayam.
Karkas merupakan komponen penting yang mempengaruhi daya beli
konsumen dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Karkas juga merupakan organ
tubuh yang masak lambat, sehingga dengan bertambahnya umur, pertumbuhannya
semakin bertambah dan persentase terhadap bobot potong juga meningkat
(Matitaputty et al. 2011). Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa potongan
karkas dan komersialnya pada ayam umur 12 minggu jantan lebih tinggi
dibandingkan dengan betina. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan
metabolisme antara jantan dan betina. Setyanto et al (2012) menyebutkan bahwa

14
ayam kampung jantan memiliki kemampuan lebih baik dalam memanfaatkan
protein ransum yang dicerna dibandingkan dengan betina.
Asosiasi Keragaman Gen IGF2 dengan Bobot Potong dan Bobot Karkas
Ayam
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ketiga genotipe dari populasi
ayam 12 minggu yaitu CC, TC, dan TT tidak berasosiasi dengan bobot potong,
bobot karkas, dan bobot komersil karkas ayam kampung.
Tabel 6

Asosiasi gen IGF2 dengan bobot potong dan bobot karkas ayam
kampung populasi 12 minggu

Genotipe
CC
TC
TT
Betina
n=5
n=13
n=15
671.40±111.63
651.23±65.51
676.33±77.22
Bobot potong (g)
411.00±84.88
402.54±121.64
382.47±37.28
Bobot karkas (g)
107.20±27.47
97.38±20.76
99.87±13.29
Bobot dada (g)
76.20±19.28
69.23±9.31
71.47±8.75
Bobot paha atas (g)
71.80±15.27
64.62±10.79
65.80±7.75
Bobot paha bawah (g)
64.40±11.78b
60.08±9.50b
65.53±7.93a
Bobot sayap (g)
61.60±14.88
59.66±11.65
56.94±10.18
Bobot daging dada (g)
44.00±11.77
39.94±5.94
40.22±5.71
Bobot daging paha atas (g)
39.80±5.81
36.60±7.70
36.00±5.10
Bobot daging paha bawah (g)
60.96±2.91
53.99±13.21
53.44±12.10
%Bobot karkas (gbp-1)
25.90±1.93
27.66±9.70
29.96±14.84
%Bobot dada (gbk-1)
-1
18.46±1.45
17.82±2.90
18.53±1.34
%Bobot paha atas (gbk )
17.45±0.61
16.70±2.81
17.26±1.34
%Bobot paha bawah (gbk-1)
15.72±0.70
15.57±2.41
17.11±1.18
%Bobot sayap (gbk-1)
15.10±1.59
12.73±2.06
15.49±2.13
%Bobot daging dada (gbk-1)
10.65±1.10
10.46±2.18
10.47±1.25
%Bobot daging paha atas (gbk-1)
9.77±0.56
9.61±2.46
9.50±1.21
%Bobot daging paha bawah (gbk-1)
Jantan
n=5
n=9
n=15
805.60±82.42
745.56±120.61 763.73±109.38
Bobot potong (g)
430.40±82.26
438.00±107.13
445.27±84.23
Bobot karkas (g)
107.40±22.03
106.89±31.90
115.93±20.12
Bobot dada (g)
82.00±10.22
80.44±19.31
83.60±16.71
Bobot paha atas (g)
78.20±15.02
79.89±19.04
80.80±13.43
Bobot paha bawah (g)
69.00±7.04
70.56±15.65
74.67±9.60
Bobot sayap (g)
65.20±18.51
56.78±19.64
68.44±12.55
Bobot daging dada (g)
45.60±6.31
44.67±14.10
49.95±12.36
Bobot daging paha atas (g)
42.20±8.35
42.00±9.81
45.07±8.11
Bobot daging paha bawah (g)
50.77±5.97
58.26±6.53
58.26±6.49
%Bobot karkas (gbp-1)
24.94±2.03
24.16±1.92
26.21±2.71
%Bobot dada (gbk-1)
19.32±1.09
19.72±1.27
19.48±1.30
%Bobot paha atas (gbk-1)
-1
18.13±0.36
18.29±0.87
18.27±1.61
%Bobot paha bawah (gbk )
-1
16.65±1.09
16.21±1.19
17.00±1.70
%Bobot sayap (gbk )
15.10±1.59c
12.73±2.06d
15.49±2.13c
%Bobot daging dada (gbk-1)
10.79±0.38
10.09±1.07
11.20±1.66
%Bobot daging paha atas (gbk-1)
9.85±0.61
9.65±1.02
10.17±0.91
%Bobot daging paha bawah (gbk-1)
Keterangan : bp = bobot potong; bk = bobot karkas; a,b angka-angka pada baris yang sama berbeda
pada p=0.06; c,d angka-angka pada baris yang sama berbeda pada p