Pengaturan Eutanasia Di Indonesia

A. Pengaturan Eutanasia Di Indonesia

Masalah eutanasia seringkali dikaitkan dengan bunuh diri. Dalam hukum pidana mengenai bunuh diri yang harus dibahas adalah orang yang mencoba melakukan bunuh diri dan orang lain yang membantu melakukan bunuh diri. Di Amerika Serikat seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat dipidana, begitu juga di Israel. Bahkan di Belanda pernah ada aturan yang mengatur percobaan bunuh diri, sebelum kemudian dicabut. Namun dalam penelitian ini bukan mengkaji eutanasia dari sudut pandang sebagai perbuatan bunuh diri, melainkan menganalisis aturan mengenai eutanasia.

Dalam KUHP Indonesia, Pasal-pasal yang dapat dikaitkan dengan eutanasia meliputi, Pasal 338, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359. Keempat Pasal tersebut mengandung larangan untuk membunuh. Masing-masing pasal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pasal 338 KUHP “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,

karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” (Moeljatno, 2003:122).

2. Pasal 340 KUHP “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas

nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”

(Moeljatno, 2003:123).

3. Pasal 344 KUHP “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang

itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,

commit to user

diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” (Moeljatno, 2003:124).

4. Pasal 359 KUHP “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang

lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun” (Moeljatno, 2003:127).

Pasal 338 KUHP sebagai aturan pokok mengenai kejahatan terhadap nyawa. Adapun unsur-unsurnya sebgai berikut :

Unsur subyektif: Dengan sengaja. Unsur obyektif:

1. Perbuatan: Menghilangkan nyawa,

2. Obyek: Nyawa orang lain. Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Adanya wujud perbuatan,

2. Adanya suatu kematian (orang lain),

3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).

Unsur yang mendasar dalam pasal ini adalah dengan sengaja.Dimana kesengajaan pelaku untuk menghilangkan nyawa korban harus dapat dibuktikan dan dinyatakan dengan jelas.Karena pasal ini memandang bahwa menghilangkan nyawa adalah suatu kesengajaan dikarenakan sebab tertentu.

Pasal 340 KUHP sebagai aturan khusus dengan dimasukkannya unsur dengan rencana terlebih dahulu, maka bisa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana.

Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 340 KUHP terdiri dari unsur sebagai berikut :

Unsur subyektif:

commit to user

2. Dengan rencana terlebih dahulu. Unsur obyektif :

1. Perbuatan : menghilangkan nyawa orang,

2. Obyek : nyawa orang lain. Moord pada dasarnya mengandung tiga syarat :

1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang,

2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak,

3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP mengandung semua unsur pembunuhan pokok Pasal 338 KUHP dan ditambah satu unsur lagi, yakni dengan rencana terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa pembunuhan yang dimaksud dalam pasal 338 KUHP adalah tanpa rencana sedangkan dalam pasal 340 KUHP adalah dengan rencana terlebih dahulu.

Namun di Indonesia belum ada Undang-undang khusus yang mengatur mengenai eutanasia. Jadi, apabila eutanasia dipandang sebagai suatu tindak pidana maka aturan hukum yang dapat digunakan untuk menjerat perbuatan eutanasia adalah menggunakan pasal-pasal pembunuhan dalam Kitab Undang-undang hukum Pidana. Maka beralihlah rumusan perbuatan pidana dari eutanasia ke pembunuhan, karena di Indonesia tidak mengenal tindak pidana eutanasia.

Dari isi pasal 344 KUHP dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seseorang itu tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan atas permintaan si korban sendiri, apalagi orang tersebut justru orang yang perlu ditolong, orang yang tengah menderita sakit parah yang tidak tersembuhkan, meski hal itu atas permintaannya sendiri.

Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 344 KUHP, terdiri dari unsur sebagai berikut:

commit to user

2. Obyek : nyawa orang lain.

3. Atas permintaan orang itu sendiri.

4. Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh. Sehingga dalam Pasal 344 KUHP terdapat unsur:

1. Atas permintaan korban sendiri,

2. Yang jelas dinyatakan dengan sunguh-sungguh,

3. Tidak dicantumkannya unsur kesengajaan. Dari unsur atas permintaan korban sendiri menunjukkan bahwa inisiatif untuk melakukan pembunuhan adalah keinginan korban sendiri. Meskipun tidak mengenal hak untuk mati namun dari unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa hak untuk menentukan atas nyawa pemilik sendiri masih dihargai. Dari pidana juga berbeda antara permintaan dengan permintaan sendiri dengan pembunuhan biasa dalam Pasal 338 KUHP.

Dalam Pasal 338 KUHP pidana bagi pembunuhan biasa adalah maksimal lima belas tahun penjara. Karena unsur-unsur pasal tersebut menunjukkan pembunuhan dilakukan atas inisiatif pelaku sendiri tidak ada campur tangan dari korban. Sedangkan pidana bagi pembunuhan atas permintaan sendiri adalah maksimal dua belas tahun penjara.

Permintaan adalah berupa pernyataan kehendak yang ditujukan pada orang lain, agar orang lain itu melakukan perbuatan tertentu bagi kepentingan orang yang diminta, terdapat kebebasan untuk memutuskan kehendaknya, apakah permintaan korban yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh itu akan dipenuhi atau tidak.

Dari unsur yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh mengandung arti bahwa pernyataan untuk dilakukan pembunuhan itu harus dengan sungguh- sungguh dan kesungguhan itu harus dinyatakan dengan jelas. Maka ada dua hal yang harus dibuktikan, yaitu:

1. Dibuktikan tentang adanya pernyataan,

commit to user

agar nyawanya dicabut. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, karena dua hal tersebut yang menentukan seseorang yang melakukan euthanasia dapat dipidana dengan Pasal 344 KUHP atau tidak.Unsur permintaan korban sendiri yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh harus bisa dibuktikan dengan saksi-saksi atau alat-alat bukti yang ada.Karena dalam KUHP Indonesia tidak mengenal perbuatan euthanasia, maka setiap perbuatan yang merupakan perbuatan euthanasia baik aktif maupun pasif apabila hendak dijerat dengan Pasal 344 KUHP harus jelas dinyatakan unsur tersebut telah dilakukan.

Dalam Pasal 359 KUHP dirumuskan unsur-unsur mengenai kejahatan sebagai berikut :

1. Adanya wujud kelalaian (culpa),

2. Adanya wujud perbuatan tertentu,

3. Adanya akibat kematian orang lain,

4. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.

Terdapat dua syarat untuk terpenuhinya culpa :

1. “Dilakukan karena kurang hati-hati atau waspada,

2. Pelakuseharusnya dapat membayangkan timbulnya akibat denganakal sehatnya ”

(http://www.scribd.com/doc/34418197/Tugas-Tindak- Pidana-Tertentu-Analisis-Pasal). Unsur yang mendasar dalam pasal ini adalah kelalaian.Apabila dikaitkan dengan euthanasia bahwa dalam melakukan setiap tindakan medis adalah dengan kesadaran dokter bahkan dengan kesepakatan dari keluarga pasien maupun pasien sendiri yang menghendaki euthanasia.Namun tidak menutup kemungkinan pasal ini dapat diterapkan dalam euthanasia apabila dokter dalam euthanasia pasif menyatakan salah mendiagnosa penyakit dan memberikan pengobatan yang keliru sehingga menyebabkan hilangnya nyawa pasien, Keadaan seperti itu dapat dinyatakan sebagai kelalaian.

commit to user

kesengajaan, maka bertolak belakang dengan Pasal 359 KUHP yang menyatakan kelalaian sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang.

Eutanasia yang terdiri dari dua macam bentuk yaitu eutanasia aktif dan eutanasia pasif, tidak begitu saja dapat dijerat dengan pasal-pasal pembunuhan tersebut. “Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan sebagainya.Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati” (Diah Nurul, 2010:2).Karena eutanasia sering dikaitkan dengan hak untuk mati, sedangkan di Indonesia melalui Pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati termasuk dengan bantuan orang lain. Dalam pasal tersebut jelas menyatakan orang yang membantu orang lain untuk menghilangkan nyawa dapat dipidana.

Berbagai macam tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien, semata-mata bertujuan untuk kesembuhan pasien. Beratnya beban penderitaan pasien dengan penyakit yang dideritanya menimbulkan suatu perasaan putus asa terhadap kesembuhan penyakitnya. Perasaan putus asa tersebut dapat menjadi motif timbulnya eutanasia aktif ataupun eutanasia pasif.

Indonesia tidak mengakui adanya euthanasia namun tidak menutup kemungkinan adanya praktik euthanasia yang terjadi karena tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien.Berikut beberapa tindakan medis yang dapat digolongkan sebagai perbuatan euthanasia :

1. Penghentian pengobatan melelui oral atau nasal (tablet, kapsul, elixir, sirup, dan obat melalui pernapasan), atas permintaan pasien atau keluarga pasien dan atau yang dilakukan secara tidak langsung ataupun secara sengaja oleh dokter yan bertugas dan kemudian pasien meninggal.

2. Tindakan penghentian pengobatan melalui perenteral (injeksi, infus dan sejenisnya), atas permintaan pasien atau keluarga pasien dan atau yang dilakukan secara tidak langsung ataupun secara sengaja oleh dokter yang bertugas dan kemudian pasien meninggal.

3. Tindakan memindahkan pasien yang dalam keadaan kritis dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain yang sangat kurang mampu menangani pasien, atau memindahkan pasien ke rumah sakit, dengan atau tanpa fasilitas medis, atas permintaan pasien atau keluarga pasien

commit to user

oleh dokter yang bertugas dan kemudian pasien meninggal.

4. Tindakan menolak dioperasi atas permintaan pasien atau keluarga pasien (Bunga Lily, 2002:45).

Berbagai tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang berhubungan dengan mendukung kehidupan pasien dipengaruhi oleh keinginan pasien sendiri atau keluarga pasien. Di Indonesia telah menjadi suatu kebiasaan dimana pasien yang telah lama dirawat di rumah sakit namun tidak kunjung sembuh kemudian keluarga memutuskan untuk membawa pulang pasien dengan harapan apabila tidak dapat disembuhkan lagi kemudian meninggal pasien telah berada dirumah dan untuk mengurangi biaya pengobatan. Jadi alasan ekonomi juga mempengaruhi tindakan medis yang dilakukan dokter selain permintaan dari pasien atau keluarga pasien.

Dari penjabaran beberapa Pasal dalam KUHP yang menyangkut kejahatan terhadap nyawa, maka Pasal yang paling relevan diterapkan untuk tindak pidana euthanasia adalah Pasal 344 KUHP, karena di dalamnya terdapat unsur

“permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh”. Maksud dari orang itu dalam Pasal 344 KUHP dapat dinyatakan sebagai pasien

atau keluaga pasien yang meminta pengakhiran hidup kepada dokter dan permintaan tersebut dinyatakan dengan sungguh-sungguh. Biasanya dokter membuat suatu surat pernyataan yang berisi permintaan pasien dan ditandatangani pasien dan dokter itu sendiri. Surat pernyataan tersebut menjadi suatu bukti tertulis unsur pemintaan yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh.

Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.Mungkin saja dokter terlepas dari tuntutan Pasal 344 ini namun tidak dapat terlepas dari Pasal 388, sehingga terhadap dokter dapat dikenakan dua asal dan tidak menutup Pasal lain dapat ikut disertakan. Tidak hanya Pasal 344 dan Pasal 338 namun dapat juga antara Pasal 344 dengan Pasal 340, hal ini disebut dengan concursus idealis.

commit to user

karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 Pasal 10 menyebutkan : Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi hidup makhluk insani.

Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :

a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)

b. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak akan mungkin sembuh lagi.