WADAH KOMUNITAS FILM INDEPENDEN DI JAKARTA
WADAH KOMUNITAS FILM INDEPENDEN DI JAKARTA DENGAN PENERAPAN KARAKTERISTIK FILM TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai
Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh : SHABRINA D’LASTTRIE ANITA
I 0207086
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
commit to user
WADAH KOMUNITAS FILM INDEPENDEN DI JAKARTA DENGAN PENERAPAN KARAKTERISTIK FILM TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai
Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh : SHABRINA D’LASTTRIE ANITA
I 0207086
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
commit to user
BAB I
commit to user
BAB II
commit to user
BAB III
commit to user
BAB IV
commit to user
BAB V
commit to user
THANK YOU SO MUCH FOR
Allah SWT berkat segala limpahan rahmat dan telah memberikanku kehidupan yang sangat menyenangkan J
Ibu Luciana Gultom, thank you for being the greatest mother in the world J
Servo Caesar Prayoga, Astri Kurniati Martiana, Noviana Aliya Putri, Bagus
Jati Nugroho, thank you for all of your support, my siblings. Arka Jebran Nugroho, malaikat kecilku.
Bima Pratama Putra, terima kasih banyak untuk selalu ada J
Desi Dwi Christina, Wina Astarina, Diah Irhamna, Agam Djohar Affandi,
Addina Amalia, terima kasih banyak untuk segala support yang kalian berikan dimasa suka dan duka.
Harry Mulyanto, Rozan Zulfikar, Citra Talitha, Rudi Akhirudin, Arfizon Syahroni, Mas Dermawan Hadi Barnas, Wahyu Dwipo Sanjoyo, Rizky
Antofagasta terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan sepanjang masa Studio Tugas Akhir.
Bapak Imam Subchan Barnas, Keluarga Besar Arsitektur 2007, Keluarga Besar Solo Berkebun, Keluarga AIESEC Expansion UNS, Keluarga Besar
Studio Tugas Akhir 126 thank you to have introduce me into a new stories of life and especially for Pak Imam, thank you so much for all the support.
Dan untuk semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, saya ucapkan terima kasih banyak atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan semasa kuliah hingga masa Studio Tugas Akhir. “This is just an end for a new beginning..”
commit to user
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
WADAH KOMUNITAS FILM INDEPENDEN DI JAKARTA Dengan Penerapan Karakteristik Film
PENYUSUN : SHABRINA D’LASTTRIE ANITA NIM
Pembimbing I
Tugas Akhir
Ir. Ahmad Farkhan, MT. NIP. 19630802 199103 1 003
Pembimbing II Tugas Akhir
Avi Marlina, ST, MT. NIP. 19590725 199802 1 001
Mengesahkan,
Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNS
Dr. Ir. Mohamad Muqoffa, MT. NIP. 19620610 199103 1 001
Ketua Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik UNS
Kahar Sunoko, ST, MT. NIP. 19690320 199503 1 002
commit to user
WADAH KOMUNITAS FILM INDEPENDEN DI JAKARTA Dengan Penerapan Karakteristik Film ABSTRAK
Budaya indie sedang menjadi trend dikalangan anak muda sekarang ini. Mulai dari musik indie hingga film indie. Tak terkecuali di Indonesia, film independen atau yang biasa disebut film indie juga ikut meramaikan dunia perfilman baik dikalangan sineas film profesional maupun amatir, sineas senior maupun junior. Sebagai suatu wadah bagi aspirasi para komunitas film, fasilitas yang ada didalam Wadah Komunitas Film Independen mencakup fasilitas yang mendukung pengembangan film independen di Indonesia pada umumnya dan Jakarta pada khususnya. Fasilitas yang ada meliputi fasilitas pendidikan, produksi, dan eksebisi film. Sasaran dari perancangan adalah para sineas perfilman, penikmat film, serta orang awam dan sasaran utama dalam perancangan ini adalah komunitas film independen di Jakarta pada khususnya serta Indonesia pada umumnya. Wadah yang nantinya akan menjadi media distribusi film independen.
Kota Jakarta merupakan Ibukota dari Indonesia dan merupakan pusat dari segala kegiatan, menjadi objek yang cukup konsumtif terhadap budaya indie yang sedang terjadi. Festival film baik dalam skala nasional maupun internasional yang merupakan sebuah ajang apresiasi bagi film independen sering diadakan di Jakarta. Jakarta memiliki potensi yang cukup besar bagi perfilman Indonesia. Film memiliki banyak karakteristik yang bisa diterapkan dalam desain. Karakter film diwujudkan dalam perancangan arsitektural dan menjadi sebuah visualisasi desain. Wadah Komunitas Film Independen diharapkan dapat mendukung terciptanya iklim yang kondusif untuk merangsang para pengkarya film independen baik dari kalangan akademis maupun awam serta para penikmat film independen agar lebih kritis, inovatif dan komunikatif serta percaya diri dalam usahanya untuk memajukan dan mengembangkan khasanah perfilman Indonesia .
Kata Kunci : Indie, Komunitas Film, Jakarta, Karakteristik Film
commit to user
INDEPENDENT FILM COMMUNITY SPACE WITH FILM CHARACTERISTIC DESIGN IMPLEMENTATION IN JAKARTA
ABSTRACT
Indie culture has becoming a trends amongs the youth nowadays. Starts from indie musics to indie films. Including in Indonesia, an independent film or commonly known as indie film also enliven film industries for both a professional and an amateur filmmakers films, and also for a seniors and a juniors filmmakers. As a space of the aspirations of film communities, Independent Film Community Space consist of facilities which supports the independent film development in Indonesia in general and in Jakarta in common. Facilities which is including an educational , film productions and film exhibitions facilities. The design objectives is a filmmakers, a moviegoers, and also for common people as well and the main aim goes to the independent film communities in Jakarta in common and Indonesia in general. A space that will becoming a media for the distribution of independent films.
Jakarta is the capital city of Indonesia and the center of many activities, becomes the object which quite consumptive for indie cultures that is happening. Film festivals which is an appreciation events for independent films was frequently held in Jakarta, both nationally and internationally range. Jakarta has a considerable potential for the development of Indonesian films. Films has a lot of characteristics which could be implemented into a design. Film characters realized in the architectural design and became a design visualization. Independent Film Community Space are expected to supports a conducive environment in order to stimulates independent filmmakers from both academic and common people as well as for moviegoers of an independent films in order to be more critical, innovative and communicative and confident in attempts to promote and developing the repertoire of Indonesian cinema.
Keyword : Indie, Film Communities, Jakarta, Film Characteristic
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Judul WADAH KOMUNITAS FILM INDEPENDEN di JAKARTA
Dengan Penerapan Karakteristik Film
1.2 Esensi Judul
1. Sebagai sarana pewadahan kegiatan komunitas film independen.
2. Sebagai sarana pengembangan film independen.
1.3 Latar Belakang
1.3.1 Perkembangan Film Independen
Indie label dewasa ini merupakan sebuah matra yang sangat populer di kalangan anak muda Indonesia. Menjadi indie seolah sebuah cara untuk selalu mengikuti gaya hidup yang sedang “ngepop”. Nyaris tidak ada bidang kebudayaan pop yang tidak lepas dari indie, sebut saja musik indie, majalah indie dan juga tidak ketinggalan film indie. Penemuan teknologi digital telah memberi ruang baru bagi budaya pop dalam bentuk film indie. Biaya produksi yang jauh lebih murah jika dibandingkan membuat film dengan seluloid membuat gairah indie kemudian merebak di kalangan anak muda untuk membuat film. Semenjak pemunculannya yang dianggap sangat fenomenal, film indie menjadi sebuah momentum bagi kaum muda sebagai sebuah ruang ekspresi yang membebaskan serta tidak dibelit dengan persoalan birokratis didalamnya sehingga kampus adalah bagian terbesar dari perjuangan pembangunan film indie di Indonesia. Film indie dianggap menjadi medium yang mewakili jatidiri kaum
commit to user
muda; bebas serta bersemangat. Sebuah pergeseran wacana dari
penonton, menjadi pembuat. 1
Muncullah sebuah espektasi bahwa momentum tersebut dapat mengantarkan kembali kepada kebangkitan perfilman Indonesia. Lahirnya ratusan komunitas film di berbagai pelosok Indonesia menjadi salah satu parameternya. Kelompok-kelompok tersebut ramai berproduksi, gairah serta semangat yang mereka tunjukan menginspirasikan banyak kaum muda lainnya untuk kemudian turut ikut serta ambil bagian dalam fenomena ini.
1.3.2 Komunitas Film Independen di Jakarta
Jakarta memiliki potensi yang besar di bidang perfilman. Di Jakarta berkembang komunitas-komunitas film yang sering berkumpul dan bertukar pikiran. Perkembangan komunitas film di Jakarta dimulai pada tahun 1950 dengan berdirinya kine klub bernama Liga Film Mahasiswa Universitas Indonesia (LFM-UI) di Kampus UI Salem-
ba. Tahun 1960 berdiri Liga Film Mahasiswa ITB (LFM-ITB). Tahun 1969 lahir Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian dikenal sebagai Kine Klub Jakarta (KKJ). Beberapa kine klub lainnya juga bermunculan pada rentang masa itu. Lalu pada tahun 1990 berlangsung pertemuan perwakilan dari komunitas- komunitas pecinta film dari berbagai daerah di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) Jakarta, di sana muncul kesepakatan membentuk organisasi bernama Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (SENAKKI) sebagai induk organisasi kine klub di Indonesia. Festival film pun sering diadakan di Jakarta. Festival-festival tersebut diantaranya:
a. Jakarta International Film Festival/JiFFest
1 Garin Nugroho dalam www.filmindonesia.or.id 11/05
commit to user
b. Q Film Festival merupakan festival non kompetisi yang diselenggarakan oleh Q-munity sejak tahun 2002. Festival film ini bukan hanya pada lingkup lokal tetapi juga lingkup internasional. QFF merupakan festival film pertama di Indonesia yang mengangkat tema khusus gay, lesbian, dan
AIDS.
c. Hello;Fest Motion Art Festival yang diadakan oleh Hello;Motion sejak tahun 2004 mengkhususkan diri pada film pendek dan animasi.
Untuk peningkatan kualitas para pembuat film di Jakarta, diselenggarakan pula workshop-workshop yang melibatkan pembicara para sineas lokal bahkan sineas mancanegara. Komunitas film di Indonesia sejauh ini merupakan wadah bagi kelompok penggiat film dalam tataran sebagai ruang ekspresi dan berkreasi melalui media film. Bisa juga sebagai ruang workshop atau pembelajaran untuk memasuki wilayah industri perfilman yang ada. Komunitas film ada ribuan jumlahnya, tersebar sejak dari Jakarta sampai di kota-kota kecamatan. Basis bagi komunitas- komunitas film independen ada dari sekolah-sekolah SMK, SMU, kampus perguruan tinggi, gelanggang remaja, pusat kesenian, sanggar-sanggar, hingga rumah-rumah yang sering menjadi tempat nongkrong.
1.3.3 Minimnya Media Pengembangan Film Independen
Dalam sebuah artikel, Seno Gumira mengatakan bahwa film indie sebagai film alternatif disaksikan oleh penonton alternatif yang pada gilirannya penonton alternatif itulah yang akan melahirkan sineas alternatif. Dengan jumlah produksi film alternatif yang besar dalam setahun (dalam FI SCTV pertama tahun 2002, terkumpul sekitar 740 karya, dan 800an karya di FI kedua), tentunya kita bisa melihat dengan jelas bahwa kehadiran film-film alternatif ini bisa menjadi modal untuk menggodok visi serta misi
commit to user
pengembangan perfilman Indonesia. KONFIDEN (Komunitas Film Independen Indonesia) di Jakarta, pernah menyelenggarakan FFVII (Festival Film Video Independen Indonesia). Festival ini menjadi semacam tempat transit besar bagi pengkarya film indie untuk meng-eksebisikan karya-karya mereka sekali dalam setahun serta
ajang silaturahmi antar pengkarya film dari berbagai kota di Indonesia.
Keberadaan komunitas film indie sebagai sesuatu yang non- mainstream adalah sebuah usaha untuk membuka kemungkinan eksplorasi dengan kebebasan yang mereka miliki. Banyak wacana yang bergulir darinya. Film bukan lagi sekedar. Sekedar membuat, sekedar mempertontonkan, sekedar mengkoleksi. Artinya, komunitas ini memiliki banyak peran dan salah satu peran yang cukup vital adalah peran melahirkan wacana itu sendiri menjadikan film sebagai wacana intelektual yang menyangkut kebebasan berekspresi serta eksplorasi.
(a) (b)
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/filmindie
Gambar 1.1 Gambar (a) dan (b) Film Indie Lokal
commit to user
Sebuah bukti bahwa film alternatif mulai dipandang sebagai bisnis yang menguntungkan adalah pasar telah tercipta, tren telah bergulir, dan kapital berbicara. Pengambil alihan kekuasaan ruang oleh pemodal tampaknya bukan sesuatu yang menjadi persoalan bagi para pengkarya film indie ini. Menurut catatan, delapan puluh
persen dari film Indonesia yang baru lahir diperuntukan bagi kaum muda, dan pasar ini harus dipelihara dengan baik. Yang menjadi permasalahan adalah, belum adanya ruang yang khusus memfasilitasi karya film indie ini, sehingga menjadikan kita sulit untuk menilai sudah seberapa jauh perkembangannya, apalagi menilai akan menjadi seperti apa kedepannya. Persoalan ruang adalah persoalan krusial. Dalam bentuk harfiahnya, tidak ada ruang yang memang secara khusus memfasilitasi kehadiran karya- karya film indie serta kembali memunculkan wacana dari pengembangan serta perkembangannya itu sendiri.
1.4 Permasalahan
Bagaimana konsep perencanaan dan desain sebuah ruang bagi komunitas film independen yang dapat mendukung kegiatan komunitas film sehingga dapat mengembangkan potensi perfilman di Indonesia yang menampilkan karakter film dalam desain karakter ruang dan bentuk.
1.5 Tujuan dan Manfaat
I.5.1 Tujuan
1. Merancang sarana bagi kegiatan komunitas film independen di Jakarta.
2. Untuk meningkatkan perkembangan film Indonesia, melalui penyediaan fasilitas yang memadai, baik dari segi fisik bangunan maupun non fisik bangunan.
3. Mengembangkan potensi perfilman Indonesia yang dimiliki oleh komunitas-komunitas film independen Jakarta khususnya dan nasional umumnya.
commit to user
4. Melestarikan dan mengapresiasikan film independen untuk kemudian memperkenalkan karya film independen baik dalam skala nasional maupun internasional.
I.5.2 Manfaat
1. Sarana untuk menyatukan komunitas pecinta film indie Indonesia pada umumnya dan Jakarta pada khususnya.
2. Sarana untuk mewadahi kegiatan komunitas film independen di Jakarta agar dapat menciptakan karya-karya terbaik perfilman nasional.
3. Mendukung terciptanya iklim yang kondusif untuk merangsang para pengkarya film independen baik dari kalangan akademis maupun awam serta para penikmat film independen agar lebih kritis, inovatif dan komunikatif serta percaya diri dalam usahanya untuk memajukan dan mengembangkan khasanah perfilman Indonesia .
1.6 Batasan Permasalahan
Batasan permasalahan antara lain:
1. Perencanaan kawasan yang akan dilakukan lebih menekankan pada aspek rancang bangun daripada aspek non rancang bangun.
2. Fungsi primer yang dirancang adalah fasilitas khusus bagi komunitas film independen.
3. Sasaran utama dari perancangan ini adalah komunitas film independen di Jakarta.
1.7 Persoalan
Membuat konsep perancangan dan perencanaan serta desain Wadah Komunitas Film Independen di Jakarta dengan Penerapan Karakteristik Film yang dapat menampung kegiatan dan mewujudkan aspirasi komunitas-komunitas film independen di Jakarta pada khususnya.
commit to user
1.8 Metode Pengumpulan Data
Berikut ini adalah metode-metode yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi-informasi:
Studi Banding Dilakukan untuk mendapat gambaran tentang proyek. Melihat secara langsung proyek setipe dan kondisi lahan sebenarnya. Melakukan dokumentasi.
Studi Literatur Melalui buku-buku referensi, jurnal, maupun laporan tugas akhir yang setipe dengan proyek dan berkaitan dengan proyek.
Studi Internet Dengan browsing internet mencari informasi tambahan dari
website-website terkait.
Wawancara Melakukan wawancara dengan orang-orang terkait seperti penikmat film,komunitas-komunitas film independen.
1.9 Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan
Menguraikan tentang latar belakang masalah, merumuskan masalah, menerapkan tujuan dan sasaran, mengungkapkan persoalan dan batasan permasalahan, serta sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Teori
Mengemukakan tentang tinjauan film dan film indie di indonesia, mulai dari sejarah film di indonesia, komunitas film indie di Indonesia dan teori pendekatan desain.
BAB III : Wadah Komunitas Film Independen yang Direncanakan
commit to user
Meninjau tentang kondisi geografis, penataan ruang kawasan, potensi Kota Jakarta terhadap perkembangan film independen hingga rencana Wadah Komunitas Film Independen.
BAB IV : Analisa Pendekatan Perencanaan dan Perancangan
Melakukan analisa perencanaan dan perancangan Wadah Komunitas Film Independen sebagai kawasan fasilitas bagi
komunitas film independen dengan penerapan karakteristik film yang meliputi analisa lokasi, analisa site, analisa peruangan, dan analisa penampilan bangunan dan analisa tata ruang dalam dan luar bangunan, analisa struktur serta analisa sistem utilitas bangunannya.
BAB V : Konsep Perencanaan dan Perancangan
Membuat desain perancangan dan perencanaan Wadah Komunitas Film Independen di Jakarta dari analisa pembahasan sebelumnya.
commit to user
BAB II TINJAUAN TEORI
Tinjauan teori merupakan pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai media seperti literature, internet, buku, majalah, dan juga wawancara langsung pada target user yaitu komunitas film, teori yang dibahas dalam bab ini meliputi data teori mengenai perfilman, film independen dan fenomenanya yang akan menjadi acuan dalam perencanaan Wadah Komunitas Film Independen ini. Pengambilan preseden dimaksudkan sebagai acuan dalam proses perencanaan dan perancangan.
2.1 Tinjauan Film
2.1.1 Pengertian Film
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perfilman Republik Indonesia tahun 1999, Film didefinisikan sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.
Undang-undang Perfilman Republik Indonesia tahun 1999 menentukan ada 3 (tiga) jenis film yang termasuk dalam film sebagai media komunikasi massa pandang dengar (audio visual). Pertama, film tersebut dibuat dengan bahan baku pita selulloid melalui proses kimia yang lazim disebut film. Kedua, film yang dibuat dengan bahan pita video atau piringan video melalui proses elektronik, yang lazim disebut rekaman video. Ketiga, film yang dibuat dengan bahan baku atau melalui proses lainnya sebagai hasil perkembangan teknologi, yang dikelompokan sebagai media komunikasi massa pandang dengar.
commit to user
Menurut Rudi Soedjarwo, Film berasal dari kata filmen, yang berarti lapisan tipis pada permukaan susu setelah dipanasi. Film merupakan cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian, baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur, hingga musik. Singkatnya, film
diartikan sebagai suatu genre seni bercerita berbasis audio-visual, atau cerita yang dituturkan pada penonton melalui rangkaian gambar bergerak.
2.1.2 Sejarah Perfilman Indonesia
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla, Paramitha Rusady.
Sumber : http://google.com/catatansiboy/
Gambar 2.1 Poster Film “Catatan Si Boy”
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang
commit to user
dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat
Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan , Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata. Tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film non komersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana
yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu
commit to user
juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Sumber : http://google.com/AADCmovie/
Gambar 2.2 Poster Film “Ada Apa Dengan Cinta”
2.1.3 Klasifikasi Film 1
1. Berdasarkan Jenis Film
a. Film Fiksi
Film yang digolongkan sebagai film fiksi adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Film fiksi digolongkan menjadi dua kategori, yaitu:
1) Film fiksi berdurasi panjang diatas 60 menit, selama ini dikenal sebagai film layar lebar/film panjang/bioskop.
2) Film fiksi berdurasi pendek dibawah 30 menit, selama ini diistilahkan dengan film pendek.
1 Sumarno,Marselli, (1996), Dasar-dasar Apresiasi Film, PT.Grasindo, Jakarta
commit to user
b. Film Non Fiksi
Film yang menggunakan kenyataan/realita sebagai subyeknya. Film non fiksi terbagi atas dua kategori, yaitu :
1) Film faktual Menampilkan fakta atau kenyataan yang ada, dimana
kamera sekedar merekam suatu kejadian. Sekarang, film faktual dikenal sebagai film berita (news-reel), yang menekankan pada sisi pemberitaan suatu kejadian aktual.
2) Film dokumenter Selain fakta, film dokumenter juga mengandung subyektifitas pembuat yang diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa, sehingga persepsi tentang kenyataan akan sangat bergantung pada si pembuat film dokumenter tersebut.
2. Berdasarkan Cara Pembuatan Film
a. Film Eksperimental
Film eksperimental adalah film yang dibuat tanpa mengacu pada kaidah-kaidah pembuatan film yang lazim. Tujuannya adalah untuk mengadakan eksperimentasi dan mencari cara-cara pengucapan baru lewat film. Umumnya dibuat oleh sineas yang kritis terhadap perubahan, tanpa mengutamakan sisi komersialisme, namun pada sisi kebebasan berkarya.
b. Film Animasi
Film animasi adalah film yang dibuat dengan memanfaatkan gambar maupun benda-benda mati yang lain, seperti boneka, meja, dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi.
commit to user
3. Berdasarkan Tema Film 2
a. Drama
Tema ini lebih menekankan pada sisi human interest yang bertujuan mengajak penonton ikut merasakan kejadian yang dialami tokohnya, sehingga penonton merasa seakan-akan berada didalam film tersebut. Tidak jarang penonton yang merasakan sedih, senang, kecewa, bahkan ikut marah.
b. Komedi
Tema film komedi intinya adalah mengetengahkan tontonan yang membuat penonton tersenyum, atau bahkan tertawa terbahak-bahak.
c. Action
Tema action mengetengahkan adegan-adegan perkelahian, pertempuran dengan senjata, atau kebut-kebutan kendaraan antara tokoh yang baik (protagonis) dengan tokoh yang jahat (antagonis), sehingga penonton ikut merasakan ketegangan, was-was, takut.
d. Horor
Film bertemakan horor selalu menampilkan adegan-adegan yang menyeramkan sehingga membuat penontonnya merinding karena perasaan takutnya.
2.1.4 Pelaku Perfilman
A. Produser
Produser adalah orang yang bertugas memimpin dan mengontrol fasilitas produksi serta orang-orang yang terlibat di dalam sebuah film agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama, baik dalam aspek kreatif maupun manajemen produksi.
B. Sutradara
2 Baksin, Askurifai, (2003), Membuat Film Indie Itu Gampang, Katarsis, Bandung
commit to user
Orang yang bertanggung jawab penuh atas aspek kreatif, baik yang bersifat penafsiran maupun teknik, pada pembuatan sebuah film.
C. Penulis Skenario
Orang yang mengaplikasikan ide cerita ke dalam tulisan, dimana tulisan ini akan menjadi acuan bagi sutradara untuk
membuat film.
D. Penyunting/Editor
Sebutan bagi seseorang yang berprofesi sebagai ahli penataan gambar video dan audio. Editor bertugas menyusun hasil syuting hingga membentuk satu kesatuan cerita dan menciptakan waktu filmis.
E. Penata Artistik dan Fotografi
Penata artistik dapat dibedakan menjadi penata latar, gaya, dan rias.
F. Pemeran
Orang yang memerankan tokoh tertentu dalam suatu pertunjukkan di panggung, acara televisi, atau film.
G. Publicity Manager
Menjelang, selama, dan sesudah sebuah film selesai dikerjakan, para calon penonton harus dipersiapkan untuk menerima kehadiran film tersebut. Pekerjaan ini dipimpin oleh seorang yang tahu betul melakukan propaganda, dan sebutannya adalah publicity manager.
2.2 Tinjauan Film Independen
2.2.1 Pengertian Film Independen
Menurut Salman Aristo (2002), Film Independen adalah film yang diproduksi dengan biaya relatif rendah, dan pilihan temanya di luar mainstream. Tema-tema HAM, perubahan sosial, isyu globalisasi, bahkan propaganda sekaligus. film independen adalah film yang melepaskan diri dari industri yang mapan. Di Indonesia, film indie
commit to user
sendiri bisa didefinisikan sebagai film yang tidak masuk bioskop,". Karena mengusung semangat indie tadi yang biasanya punya karakteristik "idealis" dan "low budget".
2.2.2 Sejarah Film Independen
Istilah ‘film independen’ sendiri lahir di Amerika Serikat di pertengahan 1960. Ketika itu filmmaker-filmmaker muda berbakat seperti Steven Spielberg, George Lucas, John Cassavetes, Stanley Kubrick, Martin Scorsese jengah melihat keadaan industri Hollywood yang terlalu mapan dan eksklusif. Hollywood (bahkan hingga kini) menutup kemungkinan sutradara-sutradara muda untuk berkecimpung kerja dalam lingkaran mereka. Pemilihan sutradara, juga aktor, hanya berkisar pada orang-orang yang telah memiliki reputasi sebagai pembuat film handal (yang dapat mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi studio film dan pendana).
Dari keinginan untuk mendobrak kemapanan gurita industri inilah lahir sebuah gerakan film yang mereka sebut ‘film independen’. Kelima sutradara tersebut kemudian merombak cara kerja perfilman di Amerika Serikat dan melahirkan karya-karya awal yang monumental. Namun, setelah mendapatkan reputasi, karya-karya mereka pun berubah menjadi lebih mapan, bahkan akhirnya menjadi bagian industri Hollywood itu sendiri. Dari kelima nama di atas, hanya John Cassavetes yang terus berkarir di jalur independen dan melahirkan karya-karya eksperimental yang hingga kini disebut sebagai masterpiece film independen seperti Shadows, A Woman Under the Influence, dan The Killing of A Chinese Bokie . Entah faktor kebetulan atau tidak, di antara kelima sutradara tersebut di atas, hanya Cassevetes yang tidak berlatar belakang pendidikan film.
Entah karena rasa bersalah, atau sebagai penghormatan terhadap perjuangan mereka dahulu, Steven Spielberg dan George
commit to user
Lucas (dua sutradara terkaya dunia) kini mendirikan studio-studio film untuk terus mendukung berkembangnya film-film independen Amerika Serikat. Tidak heran apabila di balik industri Hollywood yang besar itu, film-film ‘bawah radar’ Amerika Serikat pun secara statistik merajai sinema independen dunia.
Hal ini tentunya dibantu dengan kuatnya jaringan distribusi film independen di negeri tersebut, juga maraknya penyelenggaraan festival film khusus independen (diprakarsai oleh salah satunya Sundance Film Festival di tahun 1978), dan kini ditambah dengan berkembangnya internet. Hampir segala seluk- beluk tentang dunia film independen kini dapat dipelajari melalui internet,
melalui situs www.workbookproject.com yang diprakarsai oleh Lance Weiller, mulai dari strategi pendanaan, pembuatan, produksi, paska- produksi, promosi dan distribusi.
Film-film independen mancanegara pun telah banyak yang dibuat khusus untuk konsumsi internet, bahkan di telepon genggam. Di satu sisi hal tersebut tentunya mereduksi makna sinema yang selama ini identik dengan bioskop sebagai tempat eksibisi utama, namun di lain sisi membuka cakrawala dunia gambar bergerak ke pasar yang lebih luas dengan akses yang mudah dan terjangkau.
2.2.3 Pelaku Film Independen
1. Departemen Produksi
Departemen produksi adalah sebuah divisi kerja dalam proses pembuatan film yang bertugas mempersiapkan kebutuhan produksi dan mengaturnya sehingga produksi yang bisa dilaksanakan bisa berjalan on time dan on budget. Deperti layaknya dalam struktur sebuah perusahaan, posisi produser sama seperti seorang manajer perusahaan yang menjalankan mekanisme perusahaan.
commit to user
2. Departemen Penyutradaraan
Salah satu departemen dalam produksi sebuah karya film yang memegang
peranan
penting
adalah departemen penyutradaraan. Sebelum melakukan pengambilan gambar pada tahap produksi, orang pertama yang mengetahui rencana hasil jadi dari sebuah karya film adalah sutradara. Setelah membayangkan hasil jadi filmnya, sutradara menuangkan dalam storyboard. Mengarahkan acting adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pembuatan film. Menggarap film berhubungan dengan cita rasa seni sentuhan dari sutradara. Hal itulah yang menarik selera penonton.
3. Departemen Kamera
Departemen kamera dikepalai seorang Director of Photography (DOP) dan beranggotakan kameraman, chief lighting atau gaffer dan asistennya. Secara teknis kerja seorang DOP adalah menentukan dan mengupayakan kualitas terbaik dari gambar yang direkam.
4. Departemen Artistik
Departemen yang bertugas memberikan ilustrasi visual ruang dan waktu adalah departemen artistik yang dipimpin oleh seorang Art Director atau Desain Produksi. Seorang desainer produksi memiliki tugas utama membantu sutradara untuk menentukan konsep film secara keseluruhan baik aspek visual, suasana dan hasil akhir sebuah karya film.
5. Departemen Editing
Seorang editor berkuasa untuk mengemas atau membungkus materi pengambilan gambar untuk kemudian disusun kembali menjadi sebuah jalinan cerita yang memiliki nilai dramatisir dan estetis. Editor adalah orang terakhir dari seluruh pekerja produksi. Pekerjaannya mengkolaborasikan berbagai unsur kreatif sehingga bisa memberikan sentuhan seni pada hasil
commit to user
akhir film. Dalam departemen editing tersebut, seorang editor dibantu oleh beberapa asisten, termasuk sound engineer atau sound director .
2.2.4 Perbedaan Film Independen dengan Film Mainstream
Perbedaan antara film mainstream dengan film indie dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.1 Perbedaan antara film mainstream dengan film indie
FILM INDIE
FILM MAINSTREAM
Ø Non Komersil Ø Mengusung tema alternatif Ø Dana produksi tidak terlalu besar Ø Pendistribusian tanpa sponsor Ø Adanya diskusi dan apresiasi film
antara penonton dengan filmmaker
Ø Komersil Ø Mengangkat tema yang populer
dimasyarakat karena bertujuan komersil
Ø Dana produksi yang cukup besar Ø Pendistribusian dengan sponsor Ø Tidak adanya diskusi dan apresiasi
film antara penonton dengan filmmaker
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2011
Perbedaan yang paling utama dari film independen dengan film mainstream terletak pada alur cerita dan masalah pendanaan. Film independen dengan tema alternatifnya dalam 4 tahun terakhir telah menyedot perhatian masyarakat Indonesia dapat dilihat dari grafik berikut:
commit to user
Sumber:http:// www.filmindonesia.or.id , 2011
Gambar 2.3 Grafik Data Penonton Indonesia
2.2.5 Tahapan Produksi Film Independen
Mekanisme produksi film indie disini diadaptasi dari penggarapan film layar berdurasi panjang:
1. Ide Cerita
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengolah ide cerita menjadi sebuah skenario dengan beberapa tahap yang biasa dilalui agar arahnya jelas, tidak melenceng jauh dari ide dasar, dan agar kerangka ceritanya terkunci.
2. Penulisan skenario draft awal
Selanjutnya adalah mengolah kembali skenario draft awal yang telah disetujui produser untuk kemudian dikembangkan ataupun disusutkan guna mendapatkan draft final skenario.
3. Menyusun kru produksi
Setelah konsep produksi dan perkiraan rencana kebutuhan disepakati, perlu kiranya merekrut kru produksi yang sesuai dengan bidang yang ada dilapangan.
4. Melengkapi formulir produksi
Setelelah didapatkan kru, diadakan rapat produksi bersama untuk melengkapi formulir dan berbagai catatan produksi
Horor Cinta Komedi Alternatif
commit to user
guna menghasilkan pedoman produksi secara lengkap sebagai petunjuk pelaksanaan di lapangan.
5. Casting pemeran
Untuk memerankan tokoh yang digambarkan dalam skenario dibutuhkan casting pemeran. Ada beberapa pertimbanganyang
harus diperhatikan dalam proses casting yakni, pembawaan naskah, acting, ataupun postur tubuh yang sesuai dengan tuntutan skenario dan sutradara.
6. Reading and rehearsal talents
Pada tahap reading, talent dituntut bisa membawakan dialog dalam skenario dengan pas, meliputi dialek, pemahaman karakter yang dimainkan, mimik wajah, dll. Sementara dalam reharsal , talent harus menguasai blocking sesuai permintaan sutradara.
7. Menentukan lokasi syuting
Pertimbangan dalam menentukan lokasi tidaklah mudah, karena lokasi harus terjangkau, tersedia sumber energi, baik listrik maupun logistik, terlebih lagi konsumsi, dan juga akomodasi yang memadai untuk setiap kru pelaksana produksi.
8. Briefing produksi
Briefing produksi merupakan langkah bagi setiap kru yang tergabung dalam pelaksana produksi untuk beradaptasi.
9. Proses shooting
70 % dari proses produksi dihabiskan untuk tahap praproduksi. Pelaksanaan shooting hanya tinggal melakukan apa yang telah direncanakan secara matang pada tahap praproduksi.
10. Evaluasi kerja produksi
Evaluasi kerja produksi dilakukan agar kesalahan dan kendala produksi pada hari tersebut tidak terulang kembali pada hari berikutnya.
commit to user
11. Editing
Tahap terakhir adalah tahap editing. Hal yang dilakukan bukanlah sekedar memilih gambar dan menggabungkan saja, tetapi pemberian sentuhan seni juga perlu dilakukan, seperti memberi visual effect atau sound effect yang mendukung jalannya cerita.
2.3 Tinjauan Komunitas Film Independen
2.3.1 Pengertian Komunitas
Istilah komunitas berasal dari bahasa latin communis yang artinya sama, kemudian menjadi kata benda communitas yang artinya kesamaan. Komunitas lazim dipergunakan untuk menyebut sebuah kelompok di mana anggotanya memiliki ketertarikan terhadap sesuatu yang sama atau berada dalam habitat yang sama. Menurut Vanina Delobelle, definisi suatu komunitas adalah group beberapa orang yang berbagi minat yang sama, yang terbentuk oleh
4 faktor, yaitu: · Komunikasi dan keinginan berbagi (sharing): Para anggota
saling menolong satu sama lain. · Tempat yang disepakati bersama untuk bertemu
· Ritual dan kebiasaan: Orang-orang datang secara teratur dan
periodik · Influencer: Influencer merintis sesuatu hal dan para anggota
selanjutnya ikut terlibat
2.3.2 Komunitas Film Independen
Komunitas film bisa diartikan sebagai kelompok orang atau organisasi yang memiliki kesamaan dalam hal kegiatan dan ke- pentingan di bidang film. Pemahaman yang sedang berlaku di masyarakat belakangan ini, komunitas film lebih diarahkan untuk kelompok-kelompok penggiat film, khususnya kelompok penggiat film di luar jalur industri, sedangkan yang berada di jalur industri
commit to user
lebih dikenal berada dalam wadah yang disebut organisasi, asosiasi, atau perusahaan.
Sejarah komunitas film dimulai 1920-an dimulai Paris, Prancis, di mana Louis Delluc membentuk apa yang disebut Film Society merujuk pada pengertian Kumpulan Pecinta Film. Istilah film di beberapa negara Eropa menggunakan istilah Cine atau Kino (dari cinema), maka komunitas film kemudian disebut sebagai cine club yang di Indonesia menjadi Kine Klub. Inti gerakan ini adalah membangun masyarakat pecinta film yang kritis dan demokratis dengan memandang film sebagai karya seni. Dalam rentang waktu
5 tahun sejak dibentuk, cine club tumbuh selain di Prancis juga di Australia, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Skotlandia, dan Amerika Serikat.
Di Indonesia kelahiran komunitas film dimulai tahun 1950 dengan berdirinya kine klub bernama Liga Film Mahasiswa Universitas Indonesia (LFM-UI) di Kampus UI Salemba. Tahun 1960 berdiri Liga Film Mahasiswa ITB (LFM-ITB). Tahun 1969 lahir Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian dikenal sebagai Kine Klub Jakarta (KKJ). Beberapa kine klub lainnya juga bermunculan pada rentang masa itu. Lalu pada tahun 1990 berlangsung pertemuan perwakilan dari komunitas-komunitas pecinta film dari berbagai daerah di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) Jakarta, di sana muncul kesepakatan membentuk organisasi bernama Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (SENAKKI) sebagai induk organisasi kine klub di Indonesia.
Sedangkan gerakan film independen, bisa dilacak pada era 1950-an di Eropa, khususnya di Jerman dan Prancis, melalui adanya film pendek (short film) dengan basisnya di Oberhausen (Jerman) dan oleh kelompok Jean Mitry (Prancis). Film pendek ini lebih sebagai film eksperimen, film workshop, atau film alternatif.
commit to user
Pada 1960 nama John Cassavettes mencuat sebagai pelopor film independen melalui karyanya berjudul Shadows (1962). Oleh pengamat perfilman, model berproduksi Cassavettes dinilai sebagai ekspresi pembrontakannya pada sistem industri perfilman yang ada. Karya yang dilahirkan pun mencerminkan
pemberontakan itu, sehingga dianggap menumbuhkan semangat independen. Tetapi bukan berarti film independen adalah film non- industri. Karena film Easy Rider pada akhirnya dipasarkan secara industrial, dibintangi artis terkenal Jane Fonda. Atau film Sex, Lies and Videotape (1989) karya Steven Soderbergh, yang setelah meraih penghargaan di Festival Cannes juga beredar dalam sistem industrial. (1969) karya Dennis Hopper, yang juga dianggap sebagai pelopor film independen.
2.4 Tinjauan Ruang Perfilman
2.4.1 Ruang Pertunjukan Film
Yang dimaksud ruang apresiasi film adalah ruang yang dapat menampung kegiatan apresiasi film, yaitu kegiatan menikmati dan menghargai karya film yang diputar atau ditampilkan disuatu ruangan tertentu dimana akan menghasilkan suatu kegiatan evaluasi pribadi atau kelompok yang dalam hal ini komunitas film independen dan pecinta film. Fasilitas kegiatan apresiasi film yang terdapat pada Taman Komunitas Film independen secara pokok fisiknya berupa ruang display atau teater film, sebagai sarana presentasi film. Pada kajian teori akan dituliskan pustaka mengenai ruang display atau ruang teater film untuk memperoleh standar minimum kenyamanan dalm kegiatan apresiasi film.
Menurut Neufert, 1990: 130 tentang gedung bioskop menyebutkan beberapa hal tentang teknik dan pengaturannya, dimana terdapat beberapa kemiripan dengan standar yang dimiliki
commit to user
oleh gedung pertunjukan. Beberapa hal dasar yang perlu diperhatikan;
1. Klasifikasi Bioskop
Pada umumnya berdasarkan pada: Kapasitas daya tampung Ø Kapasitas kecil
: < 200 tempat duduk
Ø Kapasitas sedang
: 200 – 400 tempat duduk
Ø Kapasitas besar
: > 400 tempat duduk
2. Persyaratan Kualitas Pandang Visual
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kualitas pandang visual yang nyaman diantaranya adalah:
1. Layar Proyeksi Layar proyeksi besar diatur dengan radius ke urutan kursi terakhir. Sisi layar proyeksi besar terletak pada minimal
60 cm di atas lantai.
2. Jarak Minimum Penonton Dengan Layar Jarak minimum penonton dengan layar maksimal 300 cm dari urutan kursi pertama ke tengah layar.
Sumber : Data Arsitek Jilid 2
Gambar 2.4 Persyaratan Visual Gedung Pertunjukan
3. Kemiringan Lantai Kemiringan lantai dengan kecondongan min 10% atau melalui sebuah tangga maksimum dengan tinggi tangga maksimum 16 cm.
4. Lay out kursi penonton
commit to user
Penataan layout kursi lebih ditujukan pada efisiensi ruang dan keamanan. Akan dibahas pada bagian persyaratan keamanan sinepleks.
Sumber : Data Arsitek Jilid 2
Gambar 2.5 Jarak Kursi Antar Penonton
3. Persyaratan Akustik dan Sound System
a. Ruang Bioskop
Film adalah media audio-visual, maka suara atau audio haruslah mendapat porsi 50% dari film tersebut. Sejak ditetapkannya standar sound untuk film pada tahun 1930 oleh The Academy of Motion Picture Arts and Sciences, film seperti mendapat nafas baru. Para pembuat filmpun mulai memikirkan bagaimana instalasi suara pada bioskop. Mereka tidak hanya berkutat pada bagimana merekam suara pada filmnya, tetapi juga bagaimana suara pada film itu akan terdengar oleh penonton di dalam bioskop. Baik tidaknya akustik ruangan bioskop sangat mempengaruhi terdengarnya suara dari film. George Angspurger, seorang ahli akustik mengatakan bahwa dalam akustik terdapat unsur 3R yang harus diperhatikan:
1. Room Resonance (resonansi suara)
2. Early Reflections (refleksi)
commit to user
3. Reverberation Time (waktu dengung) Absorpsi merupakan hal terpenting dalam perancangan sebuah bioskop berbeda dengan gedung konser dimana suara harus dipantulkan sebanyak mungkin, di bioskop suara harus diserap sebanyak mungkin sedangkan pantulan
suara harus diminimalisasi. Prinsip-prinsip perancangan kenyamanan akustik ruang bioskop antara lain:
a) Perletakan speaker. Prinsip dasar perletakan speaker untuk menghasilkan aliran suara yang konsisten di semua tempat dalam bioskop kurang lebih seperti gambar dibawah ini.
Sumber : Leslie L. Doelle, Akustik Lingkungan
Gambar 2.6 Tampak Atas, (b) Tampak Samping Perletakan Speaker Speaker yang berada di belakang layar diletakkan
mengarah kebagian ruangan yang terletak ⅔ kedalam ruangan. Sedangkan tinggi speaker berada di ⅓ tinggi ruangan. Speaker surround terdekat minimal berjarak ⅓ dari kedalaman ruang. Posisi speaker harus diarahkan ke arah yang berlawanan dari tempat speaker berasal sehingga speaker dapat menghasilkan minimum perbedaan kekuatan antara dinding dan kursi penonton sebesar -3 dB.
(a)
(b)
commit to user
Sumber : Leslie L. Doelle, Akustik Lingkungan
Gambar 2.7 Posisi Speaker
b) Pemasangan kain tirai pada dinding. Penyerapan suara disiasati dengan pemasangan kain tirai pada dinding samping kiri dan kanan, serta dinding bagian belakang.
c) Langit-langit studio. Plafon atau langit-langit bioskop dibuat bertrap, menurut Doelle plafon bertrap mendistribusikan pantulan suara yang lebih merata ke seluruh ruangan serta meningkatkan intensitas bunyi.
Sumber : Doelle, 51
Gambar 2.8 Plafond bertrap
d) Furniture pendukung dalam ruang. Bahan jok dan sandaran kursi harus dipilih yang tidak menyerap suara, tetapi tetap membuat penonton nyaman. Prinsipnya, dalam keadaan kosong atau diduduki, diusahakan agar tingkat penyerapan suara sama. Rata-rata bioskop di Indonesia menggunakan bahan spons sebagai material, dan dilapisi kain beludru.
commit to user
4. Persyaratan Keamanan
a. Pola Distribusi Penonton Keluar Penonton dapat langsung keluar bangunan dengan cepat (dalam waktu 5 menit seluruh penonton bisa terdistribusi keluar).
Ø Distribusi langsung, penonton terdistribusi keluar melewati salah satu sisi atau kedua sisi bangunan. Ø Distribusi tidak langsung, memerlukan beberapa persyaratan tambahan diantaranya: lebar minimal
koridor 2 meter, tidak boleh terdapat tangga (step), tetapi harus berbentuk ramp dengan kemiringan 1:20 sampai 1:10.
b. Pintu Darurat (emergency) Merupakan titik penting untuk distribusi penonton keluar sehingga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Ø Tiap sisi keluar harus mempunyai minimum 2 pintu
darurat. Ø Pintu harus terbuka ke arah luar, tidak boleh diunci
selama pertunjukan. Ø Lebar minimal pintu yaitu 1 meter.
Ø Terbuat dari bahan yang tahan api (fire proof). Ø Sistem penguncian dibuat sedemikian rupa agar dapat
terbuka bila diberi tekanan kuat dari dalam. Ø Dapat menutup secara otomatis.
c. Pola Lay Out Kursi Pola layout akan mempengaruhi kecepatan distribusi penonton untuk keluar pada waktu keadaan bahaya. Ada 3 macam pola layout kursi dengan persyaratan berbeda:
Ø Stall, distribusi utama melalui satu jalan utama antar kelompok kursi dengan persyaratan maksimal 7 buah
kursi (4,20 m).
commit to user
Ø Gallery, distribusi utama melalui gang way yang terletak di bagian samping dari kelompok kursi, dengan
persyaratan maksimal 14 buah kursi (8,40 m). Ø Gabungan Stall dan Gallery.
Gambar 2.9 Pola Layout Kursi
Ø Tempat duduk dibuat untuk perorangan, ada sandaran belakang, tangan + kaki, tidak berhimpitan. Jarak
dengan tempat duduk depannya 40 cm (berfungsi sebagai jalan pengunjung). Baris terdepan min 6 m dari layar, dengan sudut pandang < 35º, Tinggi tempat duduk dan lantai sebaiknya 30-48 cm . Tempat duduk dibuat empuk, mudah dibersihkan.
d. Pemadam Kebakaran (Fire Protection) Penggunaan fire protection pada sebuah sinepleks, yaitu:
Ø Automatic springkler, dapat bekerja secara otomatis dan cepat tanpa mengganggu distribusi keluar penonton. Ø Alarm system, karena pertunjukan di sinepleks bersifat insidentil maka pada waktu tidak ada pertunjukan dapat terkontrol dengan baik.
Ø Smoke vestibule, biasa diletakkan dekat pintu darurat untuk mencegah masuknya asap pada koridor. Ø Fire hydrant dan portable extinguisher, sebagai pelengkap dari semua sarana sebelumnya.
2.4.2 Kegiatan Produksi Perfilman
Kegiatan produksi perfilman secara garis besar meliputi kegiatan :
Sumber : Theater design
commit to user