ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA

DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh Eka Candra Budi Utama NIM. E0007120 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

commit to user

commit to user

Nama

: Eka Candra Budi Utama

NIM

: E0007120

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDAadalah betul-betul karya sendiri.

Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftaar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skipsi) ini.

Surakarta, 5 Januari 2012 Yang membuat pernyataan

Eka Candra Budi Utama NIM.E0007120

commit to user

MOTTO

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS. an-Nahl; 90). Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri(Ibu Kartini ). Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat justitia pereat mundus (Aristoteles). Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak (Aldus Huxley).

PERSEMBAHAN

Tulisan ini kupersembahkan kepada :

1. Allah Subhanahu wa-ta'ala

2. Ayah dan Ibuku tersayang

3. Adikku Endang Dwi Shinta Bayu Wardani

4. Della Arginia Octaviadon

5. Sahabat - sahabatku

6. Angkatan 2007 Fakultas Hukum yang saya banggakan

7. Almamaterku tercinta.

commit to user

Eka Candra Budi Utama. E0007120. ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA . Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan tindak pidana euthanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda serta perbandingan pengaturan kedua Negara tersebut sehingga dapat diketahui kelebihan maupun kelemahan masing-masing pengaturan tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber bahan sekunder. Sumber bahan sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunderdan bahan hukum tersier. Bahan hukum sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu melalui buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum. Teknik pengumpulan bahan yang digunakan penulis adalah studi kepustakaan atau melalui bahan pustaka karena dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan perbandingan(comparative approach).Teknik analisis bahan yang digunakan adalah analisis isi karena penulis menggunakan metode interpretasi sistematis dan metode silogisme.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, d i Indonesia tidak ada aturan khusus mengenai tindak pidana eutanasia dan Indonesia merupakan negara yang tidak mengakui tindakan eutanasia.Pasal-pasal dalam KUHP Indonesia yang relevan diterapkan untuk tindak pidana euthanasia seperti Pasal 340, Pasal 344 dan Pasal 359, bukan merupakan Pasal yang baku atau yang benar- benar dibuat untuk mengatur tindak pidana euthanasia.Di Belanda telah ada aturan khusus mengenai tindakan eutanasia yaitu Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 12 April 2001 tentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted).Dalam UU tersebut jelas terdapat pasal-pasal yang mengatur tindakan euthanasia yang dilakukan dokter, terutama euthanasia aktif dan dokter diperkenankan melakukan euthanasia dan bunuh diri dibantu.

Kata kunci : Tindak Pidana, Eutanasia, Komparasi.

commit to user

Eka Candra Budi Utama. E0007120. ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA .The Faculty Of Law Sebelas Maret University.

The writing of this law aims to find out about setting up a criminal acts of euthanasia in Indonesia and in the Netherlands as well as a comparison of the two settings of the country so as to know the advantages and disadvantages of each of these settings.

This research is the normative legal research using secondary source material. Source of secondary materials consist of primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary.Secondary legal material obtained from studies i.e. libraries through text books, legal dictionaries, legal journals. The technique of collecting materials used writer's study library or through references because in this case the author used the approach of comparison (comparative approach).Analysis techniques of materials used is the analysis of the content because the author uses systematic methods and interpretation method of syllogisms.

Based on the results of research could be taken, at the conclusion there is no special rule of Indonesia concerning the crime of euthanasia and Indonesia is a country that does not recognize the Act of euthanasia.The articles in the PENAL CODE relevant to Indonesia applied euthanasia as a criminal offence, article 344 Article 340 and Article 359, not an Article that is raw or who really created to regulate euthanasia criminal acts.In the Netherlands there have been special about euthanasia action rules that a law was passed on 12 April 2001 on the review of euthanasia and assisted suicide and the amendment of the CRIMINAL CODE and the Act of burial and Cremation (law Termination of life on Request and Assisted Suicide).In the ACT clearly contained clauses that govern actions performed euthanasia doctor, particularly active euthanasia and physicians are allowed to perform euthanasia and assisted suicide.

Keywords: criminal acts, Euthanasia, Comparisons.

commit to user

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul :

ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI

INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA .Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan, bimbingan, dorongan, saran dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh Karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta seluruh Pembantu Rektor.

2. Prof. Dr Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Rehnalemken Ginting, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana.

4. Bapak Winarno Budyatmo,S.H.,M.S.,selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini.

5. Bapak Sabar Slamet,S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah mengarahkan dan membuka pikiran penulis bagi tersusunnya penulisan hukum ini.

6. Tim penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan masukan untuk menyempurnakan penulisan hukum ini.

7. Ibu Siti Warsini, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik.

8. Ayah dan Ibu tersayang yang senantiasa mendoakan penulis dalam setiap langkah hidup serta melimpahkan kasih sayang dan dukungan yang tiada henti.

9. Adikku Endang Dwi Shinta Bayu Wardani yang selalu memberikan dukungan dan semangat .

commit to user

memberikan bantuannya bagi penulis dalam penulisan hukum ini.

Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memmberikan manfaat bagi kita sebagai kalangan akademisi, terutama untuk penulisan, praktisi, maupun masyarakat umum.

Surakarta, 5 Januari 2012

Penulis

Eka Candra Budi Utama

commit to user

Negeri Belanda ……………………………………… 50 BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 53

A. Simpulan .................................................................................. 53

B. Saran ........................................................................................ 54

Daftar Pustaka .............................................................................................. 56

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia yang gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi.Apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi terhadap hukum juga bisa berubah.

Akibat gerakan kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem demokrasi liberal dimana hak individu sangat dijunjung tinggi dan nilai- nilai moral telah terlepas dari poros agama (gereja), ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme.Siapapun (termasuk pemerintah) tidak boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.

Namun hak-hak yang dimiliki setiap individu tersebut harus disusun dalam suatu aturan hukum yang mengikat agar dalam setiap upaya-upaya pemenuhan hak individu tidak menyimpang dari kaidah dan norma yang berlaku. Kaidah dan norma yang disusun dalam aturan hukum memiliki karakteristik masing-masing yang tidak identik antara satu negara dengan negara lain. Guna mengetahui perbedaan maupun persamaan antara aturan hukum dari negara yang berbeda, maka perlu melakukan suatu perbandingan hukum.

“Secara sederhana perbandingan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi terhadap persamaan dan/atau

perbedaan antara dua gejala tertentu, atau lebih ” (Soerjono Soekanto, 1989:10).

Perbandingan hukum adalah kegiatan mengadakan identifikasi terhadap gejala hukum tertentu untuk menentukan persamaan dan/atau perbedaan antara dua gejala hukum atau lebih. “Bahan-bahan yang

commit to user

langsung didapat dari masyarakat (=data primer), maupun bahan kepustakaan (=data sekunder) ” (Soerjono Soekanto, 1989:54).

Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para praktisi hukum di negara-negara barat. Pro dan kontra terhadap euthanasia itu masih berlangsung ketika dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak siapa dan dari sudut mana ia harus melihat.

Beberapa memandang eutanasia sebagai titik akhir bagi penderitaan yang tak tertahan atau suatu situasi tanpa harapan. Orang lain melihat eutanasia sebagai suatu cara untuk memperlancar peralihan yang bagaimanapun sedang berlangsung. Orang lain lagi menganggap eutanasia

sebagai mengantisipasi saja yang tak terhindarkan. “Eutanasia dipandang juga sebagai suatu hak atau sebagai pengungkapan terakhir harkat

manusiawi seseorang. Cara lain untuk mengerti eutanasia adalah melihatnya sebagai pembunuhan ” (K. Bertens, 1995:67).

Dengan memandang eutanasia sebagai pembunuhan, maka eutanasia dianggap sebagai penyalahgunaan kuasa terhadap dirinya sendiri atau melangkahi batas-batas tanggung jawab atas tubuhnya sendiri. Dengan demikian berbagai upaya yang dilakukan terhadap diri dan tubuhnya merupakan serangkaian perwujudan eutanasia.

“Eutanasia secara literal berarti kematian yang baik atau bahagia. Hal ini sering disamakan dengan pembunuhan karena kasihan ” (Larry May;dkk, 2001:324). Ada dua tipe euthanasiayaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Eutanasia aktif mengacu pada praktek membawa kematian secara langsung, baik orang tersebut menghendaki atau tidak. Eutanasia pasif adalah tindakan tidak melakukan apapun untuk mencegah kematian terjadi.

Perbedaan antara eutanasia aktif dan eutanasia pasif dianggap krusial bagi etika medis. “Setidaknya dalam beberapa kasus bisa diizinkan

untuk menolak memberikan perawatan dan membiarkan seorang pasien

commit to user

langsung yang dirancang untuk membunuh pasien ” (Larry May;dkk. 2001:326). Doktrin ini kelihatannya diterima oleh kebanyakan dokter dan disahkan dalam sebuah pernyataan yang dipakai oleh Dewan Delegasi dari Asosiasi Medis Amerika pada tanggal 4 Desember 1973.

Namun sekarang banyak orang berpendapat bahwa larangan eutanasia dalam hukum itu harus diubah. Alasannya juga pertimbangan etika. Mereka menekankan hak pasien terminal untuk mengakhiri hidupnya, jika penderitaannya tidak tertahankan lagi. Dalam situasi seperti itu manusia mempunyai the right to die atau dirumuskan dengan lebih tepat the right to die with dignity. “Karena diketahui bahwa dalam masalah euthanasia ini si pasien dalam keadaan mati tidak, hidup pun tidak (in persistent vegetative state )” (Suwarto, 2009:172).

Berbicara tentang hak, maka kita berbicara tentang hukum, dan hukum selalu berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban yang timbal balik dan tentang boleh dan tidak boleh. Jadi kalau hak untuk mati dari seseorang, maka ada kewajiban dari pihak lain untuk menghargai hak seseorang itu dan sebaliknya. Kalau tidak ada hak untuk mati, apabila seseorang melakukan bunuh diri atau melaksanakan eutanasia, maka terjadi perbuatan melanggar hukum dan perbuatan itu dapat dikenakan sanksi hukum.

Indonesia, melalui Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menentukan tentang dapat dipidananya seseorang yang menghilangkan nyawa orang atas permintaan orang itu sendiri, meskipun dinyatakan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh.

Unsur terpenting disini adalah “atas permintaan sendiri yang nyata dan sungguh- sungguh”, jika demikian, pembuat dikenakan pasal-pasal

pembunuhan biasa (Winarno Budyatmojo, 2009:122). Tetapi dulu di Negeri Belanda (asal dari KUHP Indonesia – het Wetboek van Straafrecht), diatur tentang dapat dipidananya seseorang

commit to user

mengatur tentang itu telah dicabut dari het Wetboek van Straafrecht). Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan hukum tentang pengaturan mengenai perbuatan eutanasia, maka penulis termotivasi untuk menulis penulisan hukum dengan judul,

“ANALISISSTUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA”.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk membatasi masalah yang akan dikaji dalam pembahasan agar tidak memberikan penafsiran yang bermacam-macam serta sebagai upaya pemecahan masalah yang ingin dicapai dari uraian latar belakang diatas.Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda?

2. Apakah perbedaan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan negeri Belanda?

C. Tujuan Penelitian

Dalam setiap penelitian pada dasarnya mempunyai suatu tujuan yang hendak dicapai agar dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun orang lain. Oleh karena itu, dalam penelitian ini adapun tujuan yang hendak dicapai adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui tentang pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda.

b. Untuk mengetahui tentang perbedaan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetauan dan wawasan penulis di bidang Hukum Pidana khususnya mengenai pengaturan

commit to user

dan

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Pemilihan masalah dalam penelitian ini bertujuan agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat, karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat di ambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran dan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai literatur, referensi, dan bahan-bahan acuan ilmiah serta pengetahuan bidang hukum, khususnya tentang pengaturan tindak pidana eutanasia.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti penulis.

b. Dapat meningkatkan pola pemikiran yang dinamis dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pengetahuan bagi para pihak yang trkait dengan masalah yang diteliti.

E. Metode Penelitian

“Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 35).

commit to user

yang timbul. Oleh karena itu, “penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum”. Hasil yang

dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41).

Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah “peneliti harus terlebih dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi

penelitian disiplin ilmunya” (Johnny Ibrahim, 2006: 26). Dalam penelitian hukum, “konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam

suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya” (Johnny Ibrahim, 2006: 28).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) aitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Sehingga penelitian hukum

menurut Johnny Ibrahim ialah “suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran bedasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya” (Johnny Ibrahim, 2006: 57). Pendapat ini kemudian dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum normatif adalah pada obyeknya, obyek tersebut adalah hukum yang terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum yang bercampur aduk merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dan

commit to user

ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu “chaos atau mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu Istructured whole of system” (Johnny Ibrahim, 2006: 57).

Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain itu, menurut penelitian penulis bahwa sesuai dengan pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang dilakukan penulis mengenai perbandingan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda, sehingga dibutuhkan “penalaran dari aspek hukum normatif, yang merukan ciri khas hukum normatif” (Johnny Ibrahim, 2006: 127). Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek kajian atau isu hukum yang diangkat.

2. Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu

sendiri. “Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma- norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22).

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif mengenai perbandingan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda.

3. Pendekatan Penelitian “Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, dengan mengadakan analisa dan konstruksi (Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003:20)”. Penelitian

hukum senantiasa harus diserasikan dengan disiplin hukum yang

commit to user

kenyataan. Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (satute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach) (Johnny Ibrahim, 2006: 30).

Dari ketujuh pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan perbandingan. Yaitu perbandingan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda.

4. Jenis Dan Sumber Data Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan “bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yan meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer yakni perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen- dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum.

commit to user

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud mengatakan, bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang digunakan adalah bahan hukum, dalam hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

“Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif, artinya mempunyai otoritas”(Peter Mahmud

Marzuki, 2009: 141). Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

b. Bahan Hukum Sekunder

“Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen- dokumen resmi” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141). Bahan hukum sebagai pendukung dari data yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya, yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

6. Teknik Analisis Bahan Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian normatif dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Interpretasi atau penafsiran merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang terkait teks undang- undang agar lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.

Dalam penelitian ini, penulis juga akan menggunakan metode silogisme dengan teknik analisis deduksi. Metode deduksi adalah

commit to user

diajukan premis minor dari kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan atau conclusion. Artinya bahwa melakukan pengolahan analisis bahan dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang diteliti.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penliian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyusun sistematika penelitian hukum sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab satu akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum untuk memberikan pemahaman mendalam terhadap isi penelitian secara garis besar. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab dua penulis akan menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan kerangka teori dan kerangka pemikiran dari penelitian ini. Dalam kerangka teori, akan diuraikan

mengenai

tinjauan

umum tentang perbandingan, yang meliputi istilah perbandingan; perbandingan sebagai metode dan ilmu, perbandingan hukum dan cabang-cabangnya.Tinjauan umum tentang tindak pidana yang meliputi pengertian tindak pidana,dan pemaparan unsur-unsur tindak pidana. Tinjauan umum

commit to user

eutanasia, bentuk-bentuk semu eutanasia, tujuan eutanasia. Keseluruhan uraian dapat memudahkan pembaca untuk membaca dan memahami mengenai analisis studi komparasi tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab tiga, penulis akan menyajikan pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, yaitu berupa analisis studi komparasi tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda. BAB IV : PENUTUP Bab empat merupakan bab terakhir dari keseluruhan penulisan hukum. Pada bab ini, berisikan simpulan dari pembahasan rumusan masalah hasil penelitian dalam penulisan hukum dan disertai saran yang didasari dari simpulan hasil penelitian tersebut. DAFTAR PUSTAKA

commit to user

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan

a. Istilah Perbandingan

Istilah “komparasi” dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perbandingan (http://kamusbahasaindonesia.org/ komparasi). Istilah perbandingan memiliki arti :

1) “perbedaan (selisih) kesamaan;

2) persamaan; ibarat;

3) pedoman pertimbangan ” (http://kamusbahasaindonesia.org/perbandingan).

Sedangkan istilah analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya

dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan” (

H. Alwi, 2002:43).

Jadi analisis perbandingan adalah penyelidikan mengenai persamaan dan atau perbedaan mengenai suatu hal atau peristiwa dengan penelaahan bagian-bagian sendiri serta hubungan antarbagian untuk mengetahui pengertian dan keadaan yang sebenarnya.

Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum, yakni antara lain: “Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law (istilah Inggris); Droit Compare (istilah Perancis); Rechtsvergelijking (istilah Belanda) dan Rechtsvergleichung atau vergleichende Rechlehre (istilah J erman)” (Barda Nawawi Arief, 2002:3). Di dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan: Comparative Jurisprudence is the study of

commit to user

law (suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum). Ada pendapat yang membedakan antara Comparative law dengan Foreign Law , yaitu:

1) Comparative Law

Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya;

2) Foreign Law

Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (Barda Nawawi Arief, 2002:3).

Istilah yang akan dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah perbandingan hukum yang mengarah dan berfokus pada hukum pidana. Apabila diamati istilah asingnya, comparative law dapat diartikan bahwa titik beratnya adalah pada perbandingannya atau comparative dimana kalimat comparative memberikan sifat kepada hukum (yang dibandingkan). Istilah perbandingan hukum dengan demikian menitikberatkan kepada segi perbandingannya, bukan kepada segi hukumnya. Jadi intinya perbandingan hukum adalah membandingkan sistem-sistem hukum.

Berikut ini beberapa definisi mengenai perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, diantaranya sebagai berikut:

1) Rudolf B. Schlesinger

Perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum adalah bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum (Rudolf B. Schlesinger dalam Romli Atmasasmita, 2000:7).

commit to user

“Perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu perbandingan sitem hukum dan perbandingan tersebut

menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan” (Winterton dalam Romli Atmasasmita, 2000:7).

3) Gutteridge

Perbandingan hukum adalah suatu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Ia membedakanantara comparative law dengan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah hukum yang kedua adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (Gutteridge dalam The AmJ. Of Comp. L., 197:72, dalam buku Romli Atmasasmita, 2000:7).

4) Lemaire

Perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar- dasar kemasyarakatannya (Lemaire dalam Romli Atmasasmita, 2000:9).

5) Ole Lando

“Perbandingan hukum mencakup analysis and comparison of the laws. Pendapat tersebut sudah menunjukkan

kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai cabang ilmu hukum” (Ole Lando dalam Romli

Atmasasmita, 2000:9).

6) Hessel Yutema

Comaparative law is simply another name for legal science, or like other branches of science it has a universal humanistic outlook; it contemplates hat while the technique may vary, the problems of justice are basicaly the same in time and space throughout the world (Hessel Yutema dalam Romli Atmasasmita, 2000:9).

commit to user

hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilu lainnya. Perbandingan hukum memiliki wawasan yang universal, sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia.

7) Orucu

Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities and differences and finding out relatioship between various legal systems, their assence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and typing to determine solutions to certain problems in these systems with a definite goal in mind, such as law reform, unification etc (Orucu dalam Romli Atmasasmita, 2000:9).

Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan hubungan-hubungan yang erat antara berbagai sistem hukum, melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum, konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelsaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem- sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum, dll.

8) Zweigert dan Kotz

“Comparative law is the comparison of the spirit and style different legal system or of comparable legal institutions of the solutions of comparable legal problems in different

system” (Zweigert dan Kotz dalam Romli Atmasasmita, 2000:9). Perbandingan hukum ialah perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda atau lembaga- lembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian

commit to user

hukum yang berbeda-beda.

b. Perbandingan Sebagai Metode dan Ilmu

Perbandingan hukum menunjukkan pembedaan antara perbandingan hukum sebagai metode dan sebagai ilmu. Ketidakjelasan tersebut biasanya dijumpai pada perumusan yang bersifat luas, seperti yang dapat ditemui pada Black’s Law Dic tionary yang menyatakan bahwa “comparative jurisprudence” adalah “The study of the principles of legal science by the comparison of various system of law ” (Henry Campbell Black dalam Soerjono Soekanto 1989:24). Akan tetapi perumusan tersebut sebenarnya cenderung untuk mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai metode, karena yang dimaksud dengan comparative adalah Proceeding by the method of comparison; founded on comparison; estimated by comparison . “Ilmu-ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan hubungan

antara gejala-gejala hukum dengan gejala sosial lainnya. Untuk mencapai tujuannya, maka dipergunakan metode sosiologis, sejarah dan perbandingan hukum” (L. J. Van Apeldoorn dalam

Romli Atmasasmita, 2000:15). Penggunaan metode-metode tersebut dimaksudkan untuk :

1) Metode sosiologis : untuk meneliti hubungan antara hukum dan

gejala-gejala sosial lainnya;

2) Metode sejarah : untuk meneliti tentang perkembangan hukum;

3) Metode perbandingan hukum : untuk membandingkan berbagai tertib hukum dari macam-macam masyarakat (Romli Atmasasmita, 2000:15).

“Metode perbandingan tidak akan membatasi diri pada perbandingan yang bersifat dekriptif, juga diperlukan data tentang

berfungsinya atau efektivitas hukum, sehingga diperlukan metode sosiologis” (L. J. Van Apeldoorn dalam Soerjono Soekanto

1989:26). Juga diperlukan metode sejarah, untuk mengetahui

commit to user

demikian maka ketiga metode tersebut saling mengisi dalam mengembangkan penelitian hukum.

c. Perbandingan Hukum dan Cabang-cabangnya

Pentingnya perbandingan hukum dan berkembangnya pengkhususan ini, antara lain terbukti dari kenyataan bahwa kemudian muncul subspesialisasi, yaitu :

1) “Descriptive comparative law;

2) Comparative history of law;

3) Comparative legislation atau comparative jurisprudence (proper)” (Eduard Lambert dalam Soerjono Soekanto,

1989:52).

Descriptive comparative law merupakan suatu studi yang bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang sistem hukum berbagai masyarakat atau sebagian masyarakat.

Comparative history of law berkaitan erat dengan sejarah, sosiologi hukum, antropologi hukum dan filsafat hukum.

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

“Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan

subyek tindak pidana” (Wirjono Projodikoro, 1999:45). Istilah tindak pidana muncul dari pihak kementerian kehakiman dalam membuat perundang-undangan maupun peraturan lain. Ada bermacam-macam penyebutan yang berbeda mengenai istilah tindak pidana. Untuk mengalihkan bahasa dari istilah asalnya dalam bahasa Belanda yaitu strafbaar feit.

Dalam perundang-undangan dan kepustakaan Belanda tidak dijumpai bermacam-macam istilah, karena hanya ada satu istilah yaitu Strafbaar feit yang merupakan istilah resmi dalam straf wet

commit to user

dalam bahasa asing yaitu delict.

“Strafbaar feit adalah kelakuan (Handleling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang

bertanggungjawab” (Simons dalam Moeljatno, 2008:61). Sedangkan Van Hamel merumuskan “strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gerdraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan ” (Moeljatno, 2008:61).

Profesor Van Hattum berpendapat bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Menurut beliau, perkataan strafbaar itu berarti voor straf in aanmerking komend atau straf verdienend yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan strafbaar feit seperti yang telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalamm Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu secara eliptis haruslah diartikan sebagai suatu tindakan, yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum atau sesuatu feit terzake van hetwelk een nersoon strafbaar is (P. A. F. Lamintang, 1997:184).

b. Unsur Tindak Pidana

Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan een doeri atau een niet doen atau dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu, yang terakhir ini di dalam doktrin juga sering disebut sebagai een nalaten yang juga berarti hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang- undang). Akan tetapi “strafbaar feit itu oleh Hoge Raad juga pernah diartikan bukan sebagai suatu tindakan melainkan sebagai suatu peristiwa atau sebagai suatu

keadaan” (P. A. F. Lamintang, 1997:192-193).

Unsur-unsur strafbaar feit menurut Simons adalah :

1) Perbuatan manusia (positief atau negatief; berbuat atau

tidak berbuat atau membiarkan),

commit to user

3) Melawan hokum (onrechtmatig),

4) Dilakukan dengan kesalahan met schuld in verband stand),

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person) (Sudarto, 1990:41).

Walaupun demikian dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tindak pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dan sesuatu tindak pidana itu adalah :

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP(P. A. F. Lamintang, 1997:193-194).

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan- keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris

commit to user

Pasal 398 KUHP;

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat(P. A. F. Lamintang, 1997:194).

Bahwa unsur-unsur delik yang sudah tetap ialah sifat melawan hukum dan kesalahan, itu belum lengkap, harus ada unsur lain, ialah sub-sosial, ialah semacam kerusakan dalam ketertiban hukum. Ada 4 lingkungan yang terkena oleh suatu delik, ialah :

1) Sipembuat sendiri ada kerusakan (ontwrichting)

padanya;

2) Sikorban : ada perasaan tidak puas;

3) Lingkungan terdekat : ada kehendak untuk meniru

berbuat jahat.

4) Masyarakat umum : perasaan cemas (Vrij dalam

Sudarto, 1990:48). Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP

itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak pidana, yaitu:

1) Unsur tingkah laku;

2) Unsur melawan hukum;

3) Unsur kesalahan;

4) Unsur akibat konstitutif;

5) Unsur keadaan yang menyertai;

6) Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana;

7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana. Perumusan aturan hukum pidana yang tertulis terdapat

dalam KUHP dan dari peraturan undang-undang lainnya.Syarat untuk memungkinkan terjadinya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang- undang.Adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian hukum (Sudarto, 1990: 51)

Sudarto mengartikan perbuatan konkrit adalah perbuatan dari si pembuat harus mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang, perbuatan tersebut harus masuk dalam perumusan delik tersebut.Dalam rumusan undang-undang melukiskan perbuatan yang

commit to user

KUHP menggambarkan secara skematis syarat-syarat apa yang harus ada pada suatu perbuatan agar tidak dipidana berdasarkan pasal tersebut (Sudarto,1990: 52).

Syarat-syarat itu juga disebut unsur-unsur delik.Pengertian unsur disini dipakai dalam arti sempit, ialah unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Rumusan dalam undang-undang ini tidak terikat akan tempat dan waktu. Tidak demkian halnya dengan perbuatan yang dimaksud. Ini adalah perbuatan konkrit, yang berlangsung disuatu tempat dan pada suatu waktu dan yang dapat di tangkap secara panca indra (Sudarto,1990: 52).

3. Tinjauan Umum Tentang Eutanasia

a. Pengertian Eutanasia Eutanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik, tanpa penderitaan; sedang tanathos = mati. Dengan demikian eutanasia dapat diartikan: mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menterjemahkan : mati cepat tanpa derita. Tetapi dalam kalangan me dis, istilah itu berarti “membantu seseorang untuk meninggal dunia lebih cepat demi untuk membebaskannya dari penderitaan

akibat penyakitnya” (Kartono Muhammad, 1992:19). Belanda, salah satu negara Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum

kesehatan mendefinisikan eutanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda) : Eutanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk

memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:105).

Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, kata eutanasia dipergunakan dalam tiga arti :

1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir. 2). Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit

dengan memberinya obat penenang.

commit to user

atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya(Kode Etik Kedokteran Indonesia, 1969: 21).

Menurut hasil-hasil seminar, eutanasia diartikan : 1). Pada umumnya dengan sengaja melakukan sesuatu untuk

mengakhiri hidup seseorang pasien. 2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk

memperpanjan hidup pasien. 3.) Semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri. Atas permintaan atau tanpa permintaan pasien(Petrus Yoyo Karyadi, 2001: 27).

Pengertian menurut Petrus Yoyo Karyadi : Eutanasia adalah dengan sengaja dokter atau bawahannya yang

bertanggungjawab kepadanya atau tenaga medis tertentu untuk mengakhiri hidup pasien atau mempercepat proses kematian pasien atau tidak melakukan suatu tindakan medis untuk memperpanjang hidup pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran sulit untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya sendiri, demi kepentingan pasien dan atau keluarganya (Petrus Yoyo Karyadi, 2001: 28).

Dari beberapa pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur eutanasia adalah sebagai berikut :

1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak

memperpanjang hidup pasien. 3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan

kembali. 4). Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya. 5). Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya(Petrus Yoyo

Karyadi, 2001: 29). Sejak abad ke-19, terminologi eutanasia dipakai untuk menyatakan

penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Pemakaian terminologi eutanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu):

commit to user

Secara sempit eutanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian. Dalam hal ini eutanasia berarti perawatan dokter ynag bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum, etika atau adat yang berlaku.

2) Pemakaian secara lebih luas

“Secara lebih luas, terminologi eutanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan

dengan risiko efek hidup diperpendek ”.

3) Pemakaian paling luas

Dalam pemakaian paling luas ini, “eutanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien ” (Petrus Yoyo Karyadi, 2001:26).

b. Jenis Eutanasia

Dilihat dari cara dilaksanakan, eutanasia dapat dibedakan atas :

1) “Eutanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia” (M. Jusuf Hanafiah, Amri

Amir, 1999:107). “Eutanasia pasif yang dilakukan atas permintaan pasien sendiri disebut juga sebagai auto eutanasia” (Kartono

Muhammad, 1992:31). Dalam hal ini pasien secara sadar menolak pertolongan medis yang dapat memperpanjang hidupnya dan ia mengetahui bahwa sikapnya itu akan mengakhiri hidupnya.

2) “Eutanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia” (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:107). Jika “eutanasia ini dimulai oleh dokter atau tenaga medis, ini disebut homicide” (F. Hartono, 2009:133).

Eutanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas :

commit to user

tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis eutanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing .

b) Eutanasia aktif tidak langsung (indirect) adalah di mana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:107).

“Eutanasia murni adalah usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa memperpendek hidupnya”(Franz Magnis Suseno

S.J. dalam Petrus Yoyo Karyadi, 2001:29). Di situ termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.

Ditinjau dari permintaan, eutanasia dibedakan atas :