- HUKUM SEPUTAR PUASA

BAB VII - HUKUM SEPUTAR PUASA

Definisi Puasa

Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, serta al-Hâfidz Ibn Hajar al-Asqalâni dalam Fath al-Bârî, puasa secara bahasa mengandung pengertian al-imsak (menahan diri). Sedangkan menurut pengertian syari’at, puasa adalah menahan makan dan minum serta yang membatalkannya, pada waktu, dan dengan syarat-syarat yang bersifat khusus. 90 Dengan kata lain, puasa secara syar’i

adalah, “Menahan diri dari makan, minum, jima’ dan lain-lain yang kita diperintahkan untuk mendahan diri daripadanya sepanjang hari menurut cara yang telah disyari’atkan; disertai dengan menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan yang merangsang, perkataan yang diharamkan

dimakruhkan menurut syarat-syarat dan waktu yang telah ditetapkan. 91 ”

Ibadah puasa disyari’atkan sejak bulan Ramadhan tahun ke 2 hijrah. 92

Rukun Puasa

a. Niat Niat merupakan rukun puasa, sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlashkan ibadah kepadaNya .” (Qs. al-Bayyinah [98]: 5).

Rasulullah Saw bersabda:

“Amal itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. 93 ”

Orang yang berpuasa wajib berniat puasa di malam harinya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

“Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” 94

90 Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 245. 91 Subulus Salam, jld. 2, hal. 26. 92 Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 245. 93 HR. Bukhâri dan Muslim, dari Umar bin Khattab ra. 94 HR. Abû Dâwud 2454; Ibn Mâjah 1933; al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibn Wahb dari Ibn Lahi’ah dari Yahya bin Ayub

dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibn Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar, jld. 1, hal. 54, “Niat di malam hari” dari jalan dirinya sendiri. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban men-shahih-kannya dan me-marfu’-kan hadits ini. Lihat Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 255, karya Imam asy-Syaukani. Dan dikeluarkan an-Nasâ’i 4/196, at-Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih.

Ibn Umar, Jabir bin Yazid dari golongan shahabat, al-Nashir, al-Muayyid Billah, Imam Malik, al- Laits, dan Ibn Abi Dzaib, mewajibkan niat pada malam hari tanpa membedakan puasa wajib (Ramadhan dan tathawwu’ [Sunnah]). Sedangkan Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, al-Hadi, dan al-Qasim, mengharuskan niat pada malam hari khusus untuk puasa fardhu (Ramadhan), tidak

untuk puasa sunnah. Mereka menyatakan bahwa puasa tidak sah bila tidak ada niat pada malam hari. 95

Bila seseorang lupa tidak berniat puasa di malam harinya, maka ia harus segera menetapkan niatnya tatkala ia ingat. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:

“Dan tidak ada dosa atas kamu mengenai pekerjaan-pekerjaan yang kamu kerjakan karena silap, hanya disalahkan kamu terhadap perkara-perkara yang kamu kerjakan dengan sengaja. ” (Qs. al- Ahzab [33]: 5 ).

Juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

“Telah diangkat dari ummatku dosa karena mengerjakan sesuatu lantaran lupa, karena kelupaan dan karena dipaksa 96 .” [HR. Ibn Mâjah, ath-Thabarani, dan al-Hâkim].

Niat harus dilakukan pada setiap malam bulan Ramadhan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibn Mundzir. Sedangkan Imam Malik, Ishaq, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa niat puasa sah untuk puasa selama satu bulan. Menurut Imam asy-Syaukani, pendapat Syafi’i lebih kuat. Sebab, puasa

merupakan ibadah khusus yang waktunya dibatasi. 97

Apakah sah puasa diniatkan pada siang hari untuk puasa besok harinya. Imam Abu Hanifah menyatakan, “Sah puasa Ramadhan dan puasa yang ditetapkan dengan berniat pada siang

harinya 98 .”

b. Menahan Diri Dari Hal-Hal yang Membatalkan Puasa Diwajibkan menahan dari semua hal yang dapat membatalkan ibadah puasa; semisal makan, minum,

muntah dengan sengaja, dan bersetubuh, atau mengeluarkan air mani dengan sengaja. Allah SWT berfirman:

“Dan makan serta minumlah kamu hingga nyata kepadamu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari, dan janganlah kamu menyetubuhi mereka (isteri-isterimu) sedang kamu lagi beri’tikaf dalam mesjid .” (Qs. al-Baqarah [2]: 188).

Muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

“Barangsiapa terpaksa muntah sedang dia berpuasa, maka tak ada qadha’ atasnya, tetapi barangsiapa muntah dengan sengaja munta maka wajiblah atasnya qadha’. 99 ”

95 Idem, hal. 255-256. 96 Lihat al-Muhalla, jld. 6, hal. 105. 97 Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 257. 98 Syarh Kabîr, jld. 3, hal. 23.

Syarat Wajib Puasa

Puasa diwajibkan bagi; (1) Islam, (2) Baligh, (3) Berakal, (4) Suci dari haid dan nifas (bagi wanita), (5) Muqim, dan tidak sedang safar, (6) Sanggup berpuasa.

a. Islam Orang kafir tidak diwajibkan berpuasa, sebab, puasa merupakan ibadah yang disyaratkan di dalamnya

keIslaman. Apabila seorang kafir masuk Islam pada bulan Ramadhan, maka ia wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Jika ia masuk Islam pada siang hari (semisal jam 13.00 wib), maka mulai saat itu ia imsak (menahan diri untuk tidak mengerjakan perbuatan yang dapat membatalkan puasa), hingga datang saat Maghrib. Ini juga berlaku bagi seseorang yang murtad dari Islam, kemudian ia kembali masuk Islam pada saat bulan Ramadhan. Dan ia (orang yang murtad tadi) mengqadha’ puasa saat ia murtad. Berdasarkan firman Allah SWT:

“Katakanlah kepada orang-orang kafir, ‘Jika mereka berhenti, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu, dan jika mereka kembali lagi maka sungguh berlakulah atas diri mereka sunnah orang- orang yang telah lalu’. ” (Qs. al-Anfâl [8]: 39).

b. Baligh Anak kecil (belum baligh) tidak diwajibkan berpuasa. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

“Diangkat kalam dari tiga orang (1) dari anak kecil hingga ia baligh, (2) dari orang gila sampai ia sembuh,(3) dari orang tidur hingga ia bangun .” [HR. Ashhabus Sunan, dan al-Hâkim].

Meskipun demikian, lebih baik anak kecil diajari untuk melakukan ibadah puasa, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim:

“Rasulullah Saw menyuruh orang-orang pada pagi hari ‘Asyura pergi ke kampung-kampung Anshar untuk menyampakan perintah Nabi, yaitu, ‘Barangsiapa masuk ke pagi hari dalam keadaan berpuasa

(belum makan dan minum), maka hendaklah ia sempurnakannya. Dan barangsiapa masuk ke pagi hari dalam keadaan berbuka, maka hendaklah dia berpuasa pada sisa harinya.’ Maka kami para shahabat berpuasa sesudah mendengar perintah itu, dan menyuruh anak-anak kecil berpuasa. Kami pergi ke mesjid dan kami buat untuk anak-anak mainan dari bulu domba. Bila seorang anas menangis untuk meminta makanan, kami berikan mainan itu kepadanya, sehingga sampai waktu berbuka .”

99 HR. Abû Dâwud 2/310; at-Tirmidzi 3/79; Ibn Mâjah 1/536; Ahmad 2/498 dari jalan Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah ra, sanadnya shahih sebagaimana yang diucapkan Syaikh al-Islam Ibn

Taimiyah dalam Haqiqtus Shiyam hal. 14.

c. Berakal Orang gila tidak wajib berpuasa. Dia tidak wajib mengqadha’ puasanya tatkala ia masih gila.

Sedangkan bila ia sembuh di bulan Ramadhan maka ia wajib melaksanakan puasa, dan imsak di sisa harinya.

d. Suci dari haid dan nifas (bagi wanita) Wanita yang sedang haid atau nifas tidak wajib mengerjakan ibadah puasa. Namun, bila ia telah suci

dari haid atau nifasnya, maka ia wajib mengqadha’ puasa yang ia tinggalkan selama haid dan nifas. Ini didasarkan pada riwayat yang dinyatakan oleh al-Jama’ah dari Mu’adz bahwa ‘Aisyah r.a. berkata:

“Adalah kami berhaid di masa Rasulullah Saw, maka kami diperintahkan supaya mengqadha’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha’ sholat 100 .”

Imam Bukhâri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Apakah seseorang kamu (kaum wanita) apabila berhaidl, tiada sholat dan tiada berpuasa? Itulah kekurangan agamanya. 101 ”

e. Muqim, dan tidak sedang safar Orang yang sedang safar (bepergian) tidak diwajibkan berpuasa. Mereka diperbolehkan berpuasa

dalam safarnya atau tidak. Bila ia tidak berpuasa dalam safarnya, maka ia wajib mengganti puasa sejumlah hari yang ia tinggalkan. Allah SWT berfirman:

“Barangsiapa sakit di antara kami, atau di dalam perjalanan, maka hendaklah ia menjalankan puasa yang ia tinggalkan di dalam sakit atau safar di hari-hari yang lain. ” (Qs. al-Baqarah [2]: 184).

Rasulullah Saw pernah ditanya oleh salah seorang shahabat —bernama Hamzah Ibn ‘Amr al-Aslami:

“Apakah saya berpuasa dalam safar?” Rasulullah Saw menjawab, “Jika engkau mau berpuasalah, jika tidak boleh juga .” [HR. Jama’ah].

f. Sanggup berpuasa Puasa tidak diwajibkan bagi orang yang sakit. Akan tetapi bila ia telah sembuh dari sakitnya maka ia

wajib mengganti sebanyak hari yang ia tinggalkan. Allah SWT berfirman:

“Barangsiapa sakit di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah ia mengerjakan puasanya yang ia tinggalkan dalam sakit atau dalam safar itu, di hari-hari yang lain. ” (Qs. al- Baqarah [2]: 184 ).

100 Syarh Kabîr, jld. 3, hal. 15. 101 Lihat Nailul Authar, karya Imam asy-Syaukani.

Kata “maridh” di sini berfaedah kepada makna umum, dan tidak disyaratkan sakit keras atau lemah. Demikianlah pendapat Atha’ dan Ahlu al-Dzahir, Bukhâri dan Ibn Sirin. 102

Orang-orang yang digolongkan sebagai orang yang tidak mampu berpuasa adalah, (1) orang hamil, (2) orang yang sedang menyusui, (3) orang yang sudah sangat tua. Mereka diberi keringanan (rukhshah) untuk tidak melaksanakan ibadah puasa dengan kompensasi membayar fidyah. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:

“Atas mereka yang tak sanggup berpuasa, kecuali dengan mengalami kesukaran yang sangat, memberi fidyah sehari seorang miskin. ” (Qs. al-Baqarah [2]: 184).

Ibn ‘Abbas berkata, “Ayat ini walaupun dimansukhkan, namun hukumnya tetap untuk orang yang sangat tua, lelaki atau perempuan, yang tidak mampu berpuasa , maka ia harus memberi makan seorang miskin setiap harinya. ” [HR. Bukhâri].

Diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa Ibn ‘Abbas berkata, “Ayat tersebut diberlakukan bagi wanita hamil dan yang sedang menyusui. 103 ” [HR. Abû Dâwud].

Hukum ini juga berlaku bagi para pekerja keras, orang terkena penyakit akut (maag) , yang bila ia berpuasa akan menyebabkan dlarar bagi dirinya, atau orang yang menolong orang dari peristiwa yuang mengerikan (kebakaran, tenggelam, dan lain-lain), maka ia boleh berbuka puasa, dan mengqadha’ puasanya di hari yang lain.

Syarat Sah Puasa

Syarat sah puasa ada empat macam, (1) Islam sepanjang hari, (2) Suci dari haid, nifas, dan wiladah., (3) Tamyiz, yakni dapat membedakan antara yang baik dan yang tidak baik, (4) Berpuasa pada waktunya. Keempat hal inilah yang dapat menjamin shihahnya puasa.

Puasa Ramadhan Bagi Wanita Hamil dan Menyusui 104

Para ulama telah sepakat, bahwa ketika wanita hamil dan menyusui itu khawatir terhadap dirinya atau terhadap dirinya dan anaknya, maka mereka boleh berbuka. Sedangkan standar dharar (bahaya) yang menjadikannya boleh berbuka dapat diketahui dengan ghalabatudz zhan (prasangka yang kuat), yaitu berdasarkan pada pengalaman sebelumnya, atau berdasarkan penjelasan dari seorang dokter. Berdasarkan keduanya bisa ditetapkan sebab kekhawatirannya, yaitu yang bisa berakibat kurangnya akal, rusak, atau sakit. Namun, yang dikehendaki dengan kekhawatiran di sini bukan hanya sekadar hasil ilusi dan imajinasi saja, akan tetapi benar-benar berdasarkan pengalaman dan keterangan

dokter. 105

102 Lihat al-Mughni, karya Ibn Qudamah. 103 Lihat Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 297-8. 104 Lihat Ahkam al-Mar’ah al-Hamil fi Syari’at al-Islamiyyah, karya Syaikh Yahya Abdurrahman al-Khathib, MA. 105 Muhammad Aqlah, as-Shiyâm Muhdatsâtuhu wa Hawâditsuhu, hal. 210.

Tapi dalam masalah konsekwensinya (berbuka), maka terdapat ikhtilaf antara para ulama. Dalam masalah ini ulama berselisih menjadi enam pendapat:

Pertama, jika wanita hamil dan menyusui berbuka karena khawatir terhadap anaknya saja, maka wajib baginya qadha’ dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat rajih dan mu’tamad madzhab

Syafi’i, 107 pendapat madzhab Hanbali, dan ini juga pendapat Mujahid. Mujahid meriwayatkan pendapat ini dari Ibn Umar, Ibn ‘Abbas dan Atha’. 108

Ibn Umar pernah ditanya mengenai wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Boleh berbuka dan memberi makan sebagai fidyah, untuk setiap harinya satu mudd hinthah

(gandum) yang diberikan kepada satu orang miskin 109 .”

Kedua, wanita hamil yang berbuka hanya wajib mengqadha’ dan tidak wajib membayar fidyah. Sedangkan wanita yang menyusui wajib mengqadha’ dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat

madzhab Maliki, al-Laits, 111 dan juga merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam kitab al-Buwaithi.

Ketiga, wanita hamil dan menyusui yang berbuka hanya berkewajiban membayar fidyah, tidak wajib mengqadha’. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, Ibn Umar dan Sa’id bin Jubair, juga al-

Qasim bin Muhammad dan sekelompok ulama; riwayat ini juga disitir dari Ishaq bin Rahawih. 112 Dan telah meriwayatkan Sa’id bin Jubair, Atha’ dan Ikrimah dari Ibn ‘Abbas dengan sejumlah sanad

hasan, bahwa wanita hamil dan menyusui boleh berbuka lalu memberi makan dan ia tidak wajib mengqadha’. 113

Keempat, Wanita hamil dan menyusui yang berbuka tidak wajib mengqadha’ dan tidak pula membayar fidyah. Ini adalah madzhab Ibn Hazm al-Zahiri. 114

Kelima, memberi pilihan. Jika wanita hamil dan menyusui itu memilih memberi makan, maka baginya cukup dengan memberi makan dan tidak wajib mengqadha’. Sebaliknya, jika mereka memilih

106 Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtâj, jld. 2, hal. 174; al-Mawardi, al-Hâwi, jld. 3, hal. 436; an-Nawawi, al-Majmû’, jld. 6, hal. 267.

Al-Bahuti, Kasysyûful Qinû’, jld. 2, hal. 313; Ibn Qudamah, al-Mughni, jld. 3, hal. 139; al-Maqdisi, al-Uddah

Syarh Umdah, hal. 150.

108 Ibn Abdil Barr, al-Istidzkûr al-Jûmi’ li Madzâhib Fuqahâ’il Amshâr. Rekomendasi dan takhrij Abdul Mu’thi Amîn

al-Qal’aji , jld. 20, hal. 223. Al-Mawardi berkata: Shahih dari Ibn Umar memberi makan, tidak mengqadha’. 109 Abdur Razzaq, Mushannaf Abdur Razzaq, jld. 4, hal. 217.

110 Idem, jld. 10, hal. 223; Ulaisy, Taqrîrât Muhammad Ulaisy ma’a Syarhil Kabîr, jld. 1, hal. 535; al-Mawaq, al-Tâj wal Iklil Li Mukhtashâr Khalîl, jld. 2, hal. 447.

111 Al-Mawardi, al-Hâwi, jld. 3, hal. 437.

112 Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, jld. 10, hal. 221-222; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jld. 2, hal. 288; ad-

Daruquthni meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa ia memiliki budak menyusui, maka Ibn ‘Abbas memerintahkan kepadanya agar berbuka, yakni dengan memberi makan dan tidak mengqadha’. Ad-Daruquthni berkata: “Ini hadits shahih ”. Dari Ibn ‘Abbas atau Ibn Umar berkata: “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka. Dia wajib memberi makan dan tidak wajib mengqadha. ” Ad-Daruquthni berkata: “Hadits ini shahih”, Sunan ad-Daruquthni.

113 Idem, jld 10, hal. 222. 114 Ibn Hazm, al-Muhallâ, jld. 4, hal. 410.

mengqadha’, maka baginya cukup dengan mengqadha’ dan tidak wajib memberi makan. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawih. 115

Keenam, wanita hamil dan menyusui yang berbuka hanya wajib mengqadha’ dan tidak wajib membayar fidyah. Ini adalah madzhab Hanafi, 116 pendapat Imam Syafi’i, dan Muzani dari madzhab

Syafi’i, 117 Hasan al-Bashiri, Ibrahim Nakha’i, Auza’i, Atha’, Zuhri, Sa’id bin Jubair, Dhohhah, Rabi’ah, Tsauri, Abu Ubaid, Abu ats-Tsaur, Ashhaburra’yi, Ibn Mundzir, al-Laits dan ath-Thabari. 118

Al-Auza’i berkata, “Menurut kami, hamil dan menyusui adalah salah satu penyakit, maka wanita hamil dan menyusui hanya wajib mengqadha’ dan tidak wajib memberi makan (fidyah). 119 ”

Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib. Beliau berkata mengenai wanita hamil dan menyusui, “Mereka hanya wajib mengqadha’ dan tidak wajib membayar fidyah.” 120

Pendapat yang Rajih Tampak jelas bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mewajibkan qadla tanpa harus

membayar fidyah bagi wanita hamil dan menyusui. Ini dalam kondisi ketika wanita hamil dan menyusui mampu mengqadha’. Namun, jika mereka tidak mampu mengqadha’, maka wajib bagi mereka untuk membayar fidyah; yakni setiap harinya memberi makan seorang miskin. Dengan catatan bahwa tidak boleh bagi wanita hamil dan menyusui berbuka kecuali ketika mereka sudah tidak kuat lagi berpuasa karena masyaqoh yang membahayakan dirinya. Sedangkan setiap orang yang mampu berpuasa dengan tanpa masyaqoh yang membahayakan dirinya, maka berpuasa tetap wajib

baginya. 121

Mendiskusikan Dalil-Dalilnya Hadits Anas bin Malik al-Ka’bi menuturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menggugurkan puasa dan separoh sholat dari musafir, dan menggugurkan puasa saja dari wanita hamil dan menyusui 122 .”

Mengenai hadits ini Imam at-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits hasan. Sedang menurut para pakar hadits, bahwa hadits inilah yang diamalkan. Dengan demikian ketika wanita hamil dan

115 Al-Baghwai, Syarh as-Sunnah, tahqiqi Su’aib Arnauth, jld. 6, hal. 316. 116 Ibn Himmam, Fath al-Qadîr Ma’a al-Hidâyah, jld. 2, hal. 355; Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtâr, jld. 2, hal.

449. 117 Al-Mawardi, al-Hâwi, jld. 3, hal. 437; an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin, jld. 2, hal. 249.

Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, jld. 10, hal. 222; al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, jld. 6, hal. 316; an-Nawawi, al-

Majmu’, jld. 6, hal. 229. 119 Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, jld. 10, hal. 222.

120 Al-Kasani, Badâi’u ash-Shanâi’, jld. 2, hal. 97. 121 Ibn Abdil Barr, al-Istidzkâr, jld. 10, hal. 217. 122 HR. Imam Ahmad, 4/374; at-Tirmidzi di dalam sunanya kitab Shaum bab Mâ Jâ fîl Rukhshah fîl Iftâr lil Hubla wal Murdhi’ , 3/94; an-Nasâ’i di dalam sunanya di dalam kitab Shiyâm bab Wadh’is Shiyâm anil Hubla wal Murdhi’, 4/190. Lafadz hadits ini at-Tirmidzi.

menyusui khawatir terhadap anaknya, maka mereka diperintahkan berbuka dan wajib mengqadha’nya 123 .”

Zhâhir hadits tersebut menetapkan bahwa wanita hamil dan menyusui yang berbuka wajib baginya mengqadha’. Sebab, puasa telah diringankan dari mereka seperti halnya musafir. Sedangkan zhâhir al- Qur’an 124 menetapkan fidyah bagi orang yang berat berpuasa dan tidak perlu berpuasa.

Makna yang dapat dipahami dari hadits tersebut adalah, Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan menyusui selama mereka masih belum mampu berpuasa, dan setelah mampu, barulah mereka wajib mengqadha’. Hal ini sama dengan ketika digugurkannya puasa dari musafir yang masih dalam perjalanan, dan setelah mukim barulah ia wajib mengqadha’nya. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa mereka diperintah berbuka dan membayar fidyah tanpa wajib mengqadha’. Kalau saja pada hadits tersebut ada dilalah (petunjuk) yang menunjukkan bahwa Allah SWT telah meringankan puasa dari mereka hanya melalui firmannya, “…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin… ” (Qs. al- Baqarah [2]: 184 ); niscaya musafir yang berbuka puasa dan masih dalam perjalanan tidak wajib mengqadha’ puasa, dan cukup membayar fidyah saja; dengan alasan Nabi Saw benar-benar telah menyatukan hukum musafir dengan hukum wanita hamil dan menyusui. Pendapat yang seperti ini

jelas-jelas menyalahi zhâhir al-Qur’an dan ijma’ ummat. 125

Dalam penelitian kedokteran yang diajukan oleh tiga orang spesialis pada Konferensi masalah kedokteran dalam al-Qur’an al-Karim yang diadakan di Kairo Mesir pada bulan Muharram 1406 H, dengan tema “Sebagian perubahan kimia pada wanita hamil dan menyusui akibat berpuasa”, dikemukakan, “Dengan memperhatikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para wanita selama bulan ramadhan mengenai pengaruh puasa bagi wanita hamil dan menyusui, maka aktivitas pengkajian itu telah sempurna. Dan dalam kajian itu telah ditemukan bahwa kadar gula pada darah tidak berpengaruh secara signifikan bagi wanita hamil atau menyusui dibandingkan dengan wanita biasa (yang tidak hamil dan menyusui). Sebagaimana telah ditemukan bahwa kadar kolestrol meningkat pada wanita hamil, akan tetapi pada batas-batas wajar dan alami. ”

Dari penelitian ini ditetapkan bahwa tidak ada bahaya bagi wanita hamil dan menyusui untuk tetap berpuasa di bulan Ramadhan.” 126

Jawaban atas Beberapa Sanggahan Pertama, sesungguhnya tidak ada argumentasi bagi orang yang berdalil dengan hadits di atas, sebab

hadits di atas sama sekali tidak menyinggung kewajiban membayar fidyah. Sehingga, kewajiban membayar fidyah itu membutuhkan dalil sebagaimana kewajiban mengqadha’. 127

123 At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, 3/95. 124 Ibn al-Arabi, yang terkenal dengan Ibn al-Arabi al-Maliki, Aridhotul Ahwâdi bi Syarhi Shahîh at-Tirmidzi, jld. 3, hal. 238.

125 Ath-Thabari, al-Jâmi’ al-Bayan fi Tafsîr al-Qur’âni, jld. 3, hal. 140; al-Jashshâsh, al-Ahkâm al-Qur’ân, jld. 1, hal. 221.

126 Muhammad Aqlah, ash-Shiyâm Muhdatsatuhu wa Hawâditsuhu, hal. 85, 210-211. 127 Ibn Qudamah, al-Mughni, jld. 3, hal. 140.

Memang benar, bahwa hadits di atas tidak menyinggung kewajiban membayar fidyah dan mengqadha’, namun ketika Nabi Saw menyebut puasa dan menggugurkannya dari musafir, wanita hamil dan menyusui, maka Nabi Saw telah menyamakan di antara mereka. Dan telah jelas bahwa musafir itu wajib mengqadha’ puasa, sehingga mengqadha’ itu juga wajib bagi wanita hamil dan menyusui.

Sebenarnya wanita hamil dan menyusui itu berbuka disebabkan karena udzur. Sedang udzurnya tidak ada pada dirinya sendiri, namun ada pada orang lain, yaitu anaknya. Padahal anak ini tidak

diperhitungkan. 128 Dalil udzur ini adalah firman Allah SWT:

“Maka barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-ahri yang lain .” (Qs. al- Baqarah [2]: 184 ).

Sebagian orang menganalogkan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit, namun yang dikehendaki bukanlah sakit yang sebenarnya. Sebab, orang sakit yang berpuasa dan tidak membahayakan dirinya, tidak boleh berbuka. Dengan demikian, menyebut kata “sakit” adalah kinayah dari suatu perkara yang ketika berpuasa dapat membahayakan dirinya. Perkara yang demikian itu ada pada wanita hamil dan menyusui, sehingga mereka termasuk di antara orang yang mendapatkan

rukhshah 129 (dispensasi) berbuka. Menurut mereka, membayar fidyah itu kalau pun wajib, maka kewajiban itu hanyalah untuk menambal sesuatu yang hilang. Sedangkan makna (tujuan) menambal

itu bisa dihasilkan dengan mengqadha’. Oleh karena itu fidyah tidak wajib bagi orang sakit dan musafir. 130

Kedua, sesungguhnya menganalogkan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit itu tidak sah (benar). Sebab keadaan orang sakit itu lebih ringan dibandingkan keadaan wanita hamil dan

menyusui. Orang sakit itu boleh berbuka disebabkan dirinya sendiri. 131 Sedangkan wanita hamil dan menyusui itu boleh berbuka disebabkan sesuatu yang berhubungan dengan dua orang, sehingga

statusnya seperti jima’. 132

Analog atas jima’ adalah bathil dan tidak tepat sama sekali, sebab wanita hamil dan menyusui itu tidak dianggap melakukan tindakan yang melanggar hukum syara’ ketika berbuka. 133 Sedangkan

orang yang berjima’ pada siang hari bulan ramadhan adalah orang yang melanggar hukum syara’. Oleh karena itu syara’ menetapkan sanksi yang menjadi kaffârah (penebus) kesalahannya. Jelas ini berbeda dengan wanita hamil dan menyusui yang berbuka demi menjaga anaknya, dan mereka diwajibkan berbuka demi anak yang tidak terpisah darinya.

Bagaimana bisa wanita hamil dan menyusui itu diperintahkan membayar kaffârah, padahal berbuka bagi mereka itu dibolehkan oleh hukum syara’. Ketika orang yang tidak boleh berbuka itu minum dan

Al-Babarti, Syarh al-Inâyah alal Hidâyah, dicetak bersama dengan Syarh Fath al-Qadîr, jld. 2, hal. 355; as-

Sarkhasi , al-Mabsûth, jld. 3, hal. 99. 129 Al-Kasani, Badâ’iu Shanâ’i, jld. 2, hal. 99.

130 Idem, jld 2, hal. 97. 131 Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal fî Ahkâm al-Mar’ah wal Bait al-Muslim, jld. 2, hal. 40. 132 Al-Mawardi, al-Hâwi, jld. 3, hal. 438. 133 As-Sarkhasi, al-Mabsûth, jld. 3, hal. 99.

makan dengan sengaja di siang hari bulan ramadhan tidak disuruh membayar kaffârah, 134 maka dengan demikian tidak wajib membayar kaffârah itu lebih utama bagi wanita hamil dan menyusui

yang berbuka karena ada udzur. 135

Ketiga, kaffârah-kaffârah itu tidak diwajibkan karena banyaknya dosa dan maksiat, akan tetapi hanyalah hikmah yang hanya dipahami oleh Allah SWT. Bukankan memahami bahwa riddah (murtad) pada bulan ramadhan itu lebih besar dosanya daripada berhubungan badan, tetapi mengapa terhadap riddah ini tidak ada kaffârah. Itu dikarenakan makna keduanya berbeda seperti yang telah dijelaskan.

Sesungguhnya fidyah itu diwajibkan adakalanya sebagai pengganti atau sanksi. Sedang di sini tidak ada kemungkinan lain, selain sebagai pengganti dari berbuka. Padahal pengganti itu telah ada, yaitu mengqadha’. Dengan demikian, fidyah tidak diperlukan lagi. Adapun riddah (murtad) dan sejenisnya, maka al-Musyarri’ (Allah) yang Maha Bijaksana telah menetapkan kaffârah atas dosa-dosa yang memang perlu kaffârah, seperti berjima’ dan sejenisnya. Ketika Allah tidak menetapkan kaffârah untuk selain jima’ kecuali taubat nashuha, maka riddah (murtad) itu dosa yang tidak tertambal dengan selain taubat nashuha, yaitu dengan masuk Islam dan bersikap istiqamah. Sebab, orang murtad itu benar-benar telah keluar dari Islam secara keseluruhan, sehingga ia tidak dituntut selain kembali kepada Islam.

Ancaman Bagi Orang yang Meninggalkan Puasa

Dalam kitab Targhib disebutkan; apabila seseorang meninggalkan kewajiban puasa dengan sengaja secara i’tiqadi maka ia telah terjatuh dalam kekufuran. Kesimpulan ini berdasarkan riwayat ad- Dailami dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi dari Ibn ‘Abbas bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:

“Sendi-sendi dan dasar-dasar Islam ada tiga. Dan Islam dibangun di atas tiga sendi ini. Barangsiapa meninggalkan salah satu dari ketiganya, maka kufur, dan halallah darahnya; yaitu; mengakui

bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, sholat fardhu, dan puasa Ramadhan .” [HR. Abu Ya’la].

Puasa yang ditinggalkan dengan sengaja tidak akan bisa diganti atau diqadha’ dengan puasa sepanjang umur. Rasulullah Saw bersabda:

“Barangsiapa berbuka sehari dalam bulan Ramadhan dengan tanpa rukhshah (keringanan) yang telah ditetapkan oleh Allah, maka puasa yang ditinggalkannya itu tidak akan bisa diganti dengan berpuasa sepanjang abad, walaupun ia melakukannya .” 136

“Barangsiapa berbuka dalam bulan Ramadhan dengan tanpa udzur dan sakit, puasa itu tidak akan bisa diganti dengan puasa sepanjang masa meskipun ia melakukannya .” [HR. Bukhâri].

134 Al-Mawardi, al-Hâwi, jld. 3, hal. 436. 135 Aqlah, Ahkâm ash-Shiyâm wal I’tikâf, hal. 85. 136 HR. Abû Dâwud, Ibn Mâjah, dan at-Tirmidzi. Lihat dalam Targhib, jld. 2, hal. 231.

Adz-Dzahabi berkata, “Telah jelas bagi kaum mukminin bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan tanpa sakit lebih jahat daripada pezina dan peminum arah, bahkan diragukan

keislamannya 137 .”

Cara Mengqadha’ Puasa

Para ulama berbeda pendapat apakah qadha’ puasa mesti dilakukan dengan berurutan atau tidak. Sebagian ulama menyatakan boleh memilih kedua-duanya (berurutan maupun terpisah-pisah harinya). Rasulullah Saw bersabda:

“Qadha’ puasa Ramadhan boleh dilakukan dengan berurutan maupun terpisah-pisah harinya.” [HR. ad-Daruquthni ].

Imam Bukhâri berkata, “Tidak mengapa mengqadha’ puasa dengan terpisah-pisah, sebagaimana firman Allah SWT, “Maka sempurnakan puasa kalian pada hari yang lain 138 .”

Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, turun ayat, “Maka sempurnakan puasa kalian pada hari yang lain dengan berturut-turut (harinya 139 ).”

Para ulama berbeda pendapat dalam berhujjah dengan hadits ini. Sebab, riwayat ini adalah ahad yang diklaim sebagai al-Qur’an. Pendapat yang lebih rajih dalam hal ini adalah sebagaimana diungkapkan oleh jumhur ulama, yakni boleh mengqadha’ puasa dengan berturut-turut harinya, atau dengan terpisah-pisah. Oleh karena seseorang, misalnya memiliki hutang puasa lima hari, maka ia boleh mengqadha’ puasanya dengan berturut-turut, atau terpisah-pisah yang penting terhitung lima hari.

Waktu Mengqadha’ Puasa

Batas waktu mengqadha’ puasa adalah hingga menjelang bulan Ramadhan (Sya’ban). Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat ‘Aisyah ra, bahwa ia berkata, “Aku memiliki tanggungan puasa dari bulan Ramadhan, maka aku tidak mengqadha’nya sehingga datanglah bulan Sya’ban. ” [HR. Bukhâri ].

Bila seseorang tidak mengqadha’ puasanya hingga datang bulan Ramadhan berikutnya, maka sebagian ulama mewajibkan orang tersebut membayar fidyah selain kewajiban mengqadha’ puasanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang tersebut tetap wajib qadha’ namun tidak diwajibkan membayar fidyah, baik karena udzur atau tidak. Ini adalah pendapat al-Hasan, dan ulama Hanafiyyah. Sedangkan Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq sependapat dengan ulama Hanafiyyah, jika orang tersebut mempunyai udzur, namun ia wajib membayar fidyah bila tidak ada udzur. Menurut ahli tahqiq pendapat ulama Hanafiyyah lebih bisa dipegang.

137 Idem, hal. 231-232. 138 Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 299. 139 HR. ad-Daruquthni, dan mengatakan isnadnya shahih.

Bila seseorang mati dengan menyisakan puasa Ramadhan, maka walinya tidak wajib membayar fidyah. Bila si mati bernadzar maka si walinya harus melaksanakan nadzar si mati. 140

Ulama yang mengharuskan bagi wali untuk membayar fidyah bagi si mati berpegang kepada hadits- hadits berikut ini:

Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa meninggal dan atasnya ada puasa Ramadhan yang telah ditinggalkan, maka hendaklah diberi makan atas namanya sehari seorang miskin 141 .”

Dari Ibn ‘Abbas ia berkata, “Apabila seseorang sakit dalam bulan Ramadhan kemudian mati, padahal ia tidak berpuasa, maka walinya harus memberikan fidyah atas nama si mati. Tidak ada qadla

atasnya, akan tetapi jika si mati bernadzar maka walinya harus mengqadha’ puasanya. 142 ”

Oleh karena itu, para pentahqiq berkesimpulan bahwa dua hadits ini tidak bisa digunakan argumentasi untuk membangun pendapat mereka, sebab hadits di atas adalah hadits dha’if, sementara riwayat dari Ibn ‘Abbas adalah hadits mauquf. Berpegang dengan kaidah “al-barât al-ashliyyah”, maka hadits dha’if dan hadits mauquf tidak bisa digunakan hujjah. Oleh karena itu, pendapat ulama Hanafiyyah

lebih utama untuk diikuti. 143

Membayar Fidyah

Fidyah adalah memberikan makan kepada orang miskin, karena tidak mengerjakan puasa karena ada alasan-alasan syar’i. Allah SWT berfirman:

“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. ” (Qs. al-Baqarah [2]: 184).

Berdasarkan ayat di atas, orang-orang yang tidak mampu mengerjakan puasa maka ia wajib membayar fidyah yang diberikan kepada orang miskin.

Orang yang terkategori orang yang tidak mampu adalah; (1) orang hamil, (2) orang yang sedang menyusui, (3) orang yang sudah sangat tua. Mereka diberi keringanan (rukhshah) untuk tidak melaksanakan ibadah puasa dengan kompensasi membayar fidyah. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:

140 Bila si mati bernadzar maka walinya harus mengerjakan nadzar dari si mati. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia memiliki tanggungan puasa yang ditinggalkannya, tidak

dikerjakan di masa hidupnya, dipuasakanlah untuknya oleh walinya. ” [HR. Bukhâri dan Muslim]. Juga diriwayatkan dari Bukhâri dan Muslim, Bahwasanya seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw lalu bertanya, “Ya Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, ada puasa nadzar atasnya, apakah saya mengqadla’nya? ” Rasulullah menjawab, “Apa pendapatmu, sekiranya ibumu punya hutang, kemudian engkau membayarnya, apakah ibumu masih punya utang? ” Lalu ia menjawab, “Tidak.” Rasulullah Saw bersabda, “Puasalah atas namanya.” Oleh karena itu jumhur ulama sepakat bahwa wali si mati harus mengganti puasa yang ditinggalkan oleh walinya.

141 HR. at-Tirmidzi. Lihat Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 301, karya Imam asy-Syaukani. Hadits ini dha’if, akan tetapi Imam at-Tirmidzi men-shahih-kan hadits ini, tapi hadits ini mauquf.

142 HR. Abû Dâwud, hadits ini adalah mauquf. 143 Imam asy-Syaukani , Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 303-305.

“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin .” (Qs. al-Baqarah [2]: 184).

Ibn ‘Abbas berkata, “Ayat ini walaupun dimansukhkan, namun hukumnya tetap untuk orang yang sangat tua, lelaki atau perempuan, yang tidak mampu berpuasa, maka ia harus memberi makan

seorang miskin setiap harinya. ” [HR. Bukhâri].

Diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa Ibn ‘Abbas berkata:

“Ayat tersebut diberlakukan bagi wanita hamil dan yang sedang menyusui.” 144

Termasuk golongan yang tidak mampu berpuasa adalah orang yang memiliki sakit yang sangat akut, menahun, dan tidak bisa diharapkan sembuh.

Diriwayatkan oleh Ibn Hazm dari Hammad Ibn Salah dari Ayub dari Nafi’ bahwa seorang perempuan Quraisy yang sedang hamil bertanya kepada Ibn Umar, tentang hal puasanya. Ibn Umar menjawab,

“Berbukalah dan berilah makan seorang miskin setiap harinya, dan tidak usah mengqadha’nya.” 145

Diriwayatkan pula dari al-Bazzar dan dishahihkan oleh ad-Daruquthni dari Ibn ‘Abbas, bahwa beliau pernah berkata kepada ibu anaknya (budak yang dijadikan isterinya) yang sedang hamil, “Engkau sekedudukan dengan orang yang tak sanggup mengerjakan puasa; atas engkau hanya fidyah dan

tidak ada qadha’ 146 .”

Riwayat di atas meskipun mauquf bisa diikuti, bahwa orang yang hamil, menyusui, dan orang sakit menahun dan takut, harus berbuka, dan tidak perlu mengqadha’nya. Ia hanya diwajibkan membayar

fidyah itupun jika ia mampu. Dan inilah pendapat yang paling kuat. 147

Fidyah adalah memberikan makanan kepada fakir miskin setiap hari, dengan takaran sebanyak 1 mud (lebih dari 6 ons). Ketentuan ini berdasarkan sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbas, “Barangsiapa telah

sangat tua yang tidak sanggup berpuasa Ramadhan, maka ia memberi fidyah sehari sebanyak 1 mud gandum. ” [HR. Bukhâri]. Riwayat senada dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dari shahabat Ibn Umar.

Orang yang sakit wajib mengqadha’ puasanya jika ia telah sembuh dari sakitnya. Sebagaimana firman Allah SWT:

144 HR. Abû Dâwud. Lihat Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 297-8, karya Imam asy-Syaukani. 145 Al-Muhalla, jld. 6, hal. 263. 146 Taufiq Mahmud, Hakadza Nashumu, hal. 239. 147 Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang hamil, atau menyusui, jika ia berbuka karena takut atas (keselamatan) dirinya, maka ia wajib mengqadla dan tidak wajib membayar fidyah. Namun bila ia berbuka karena takut akan keselamatan janinnya, maka ia wajib mengqadla’ dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Sufyan, dan Imam Ahmad . Sebagian ulama berpendapat bahwa si hamil, dan menyusui tidak perlu mengqadla puasanya, namun cukup membayar fidyah. Akan tetapi bila ia berniat untuk mengqadla’ puasanya maka ia tidak wajib mengeluarkan fidyah. Sedangakan al-Hasan, Atha’, Zuhri, Sa’id Ibn Jubair, Nakha’i dan Abu Hanifah berpendapat, “Tidak ada kafarat atas si hamil dan wanita yang menyusui; ia hanya wajib qadla’. ” Sedangkan Imam Malik menyatakan, “Fidyah itu hanya wajib dikeluarkan atas orang yang menyusui saja, tidak bagi wanita hamil. ”

“Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah ia mengerjakan puasa yang ia tinggalkan dalam sakit atau dalam safar itu, di hari-hari yang lain. ” (Qs. al-Baqarah [2]: 184 ).

Adab Berbuka Puasa

Di dalam al-Quran, Allah SWT berfirman:

“Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Qs. al-Baqarah [2]: 187).

Rasulullah Saw menafsirkan ayat ini dengan arti, “datangnya malam dan perginya siang, serta tersembunyinya bundaran matahari ”. Syaikh Abdur Razzaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf

7591 dengan sanad yang di-shahih-kan oleh al-Hâfidz Ibn Hajar 149 dan al-Haitsami dari Amr bin Maimun al-Audi:

“Para sahabat Muhammad Saw adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur .”

a. Menyegerakan Berbuka Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kita supaya menyegerakan berbuka puasa, ketika

matahari telah terbenam.

Dari Sahl bin Sa’ad ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan bebuka.” 150

Di dalam riwayat lain yang dituturkan dari Sahl bin Sa’ad ra, dinyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Ummatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa). 151 ”

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya. 152 ”

148 Fath al-Bârî, jld. 4, hal. 199.

149 Majma’ az-Zawaid, jld. 3, hal. 154

150 HR. Bukhâri 4/173 dan Muslim 1093. 151 HR. Ibn Hibban 891 dengan sanad shahih. 152 HR. Abû Dâwud 2/305 dan Ibn Hibban 223, sanadnya hasan.

b. Berbuka Sebelum Sholat Maghrib Rasulullah Saw berbuka sebelum sholat Maghrib 153 karena menyegerakan berbuka termasuk

akhlaknya para nabi. Dari Abu Darda’ ra:

“Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan di atas tangan kiri dalam shalat 154 .”

c. Berbuka dengan Korma dan Air Pada dasarnya, memberi asupan makanan manis pada tubuh, selepas berpuasa penuh, akan lebih

membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan. Bahkan makanan manis, misalnya korma, akan menguatkan tubuh dan mengembalikan kesegaran pada tubuh kita. Adapun air, sesungguhnya, ketika sedang menjalankan ibadah puasa, banyak sekali cairan tubuh yang lenyap (dehidrasi). Oleh karena itu, air sangat diperlukan untuk menormalisasi cairan tubuh; sehingga tubuh kita tidak terkena dehidrasi.

Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung berkah dan kekhususan — demikian pula air. Lebih dari itu, ia akan memberikan pengaruh yang baik dan mensucikan hati kita. Hal ini tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang mengikuti sunnah Rasulullah. Dari Anas bin Malik ra:

“Adalah Rasulullah Saw berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan korma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air. 155 ”

d. Doa yang Diucapkan Ketika Berbuka Doa yang paling afdhal adalah doa ma’tsur dari Rasulullah Saw. Nabi Saw jika berbuka

mengucapkan:

“Dzahaba ad-dhâma’u wabtalati al-‘urûqu watsabbati al-ajru insyaAllah (Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah 156 ).”

153 HR. Ahmad 3/164 dan Abû Dâwud 2356, dari Anas dengan sanad hasan.

HR. ath-Thabrani dalam al-Kabîr sebagaimana dalam al-Majma 2/105 dia berkata: “…marfu’ dan mauquf shahih adapaun yang marfu’ ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya. ” Syaikh Salim bin Id al-Hilali, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid menyatakan mauquf —sebagaimana telah jelas— mempunyai hukum marfu’ (lihat Sifat ash-Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fî Ramadhan). 155 HR. Ahmad 3/163; Abû Dâwud 2/306; Ibn Khuzaimah 3/277-278; at-Tirmidzi 93/70 dengan dua jalan dari Anas,

sanadnya shahih. 156 HR. Abû Dâwud 92/306, no. 2357; al-Baihaqi 4/239; al-Hâkim 1/422; Ibn Sunni 128; an-Nasâ’i 1/66 dan dalam

‘Amalul Yaum wal Lailah, hal. 296; ad-Daruquthni 3/1401, no. 2247; dan al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah jld. 6, hal. 265. Semuanya diriwayatkan dari jalur Ali bin Hasan. Menurut al-Hâkim, haditsnya shahih dengan syarat Bukhâri dan Muslim, dan ad-Dzahabi menyepakatinya. Sedangkan ad-Daruquthni 2/185 berkata: “sanadnya hasan”. Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albâni dalam kitab Irwâ al-Ghalîl, jld. 4, hal. 39, no. 920.

Ketahuilah, doa orang yang berpuasa akan dikabulkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, berdoalah kepadaNya dengan doa-doa yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat. Dari Abu Hurairah ra dituturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Tiga doa yang dikabulkan: doanya orang yang berpuasa, doanya orang yang terdhalimi dan doanya musafir 157 .”

Doa orang yang sedang berpuasa pasti tidak akan ditolak, alias dikabulkan oleh Allah SWT. Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra; bahwasanya Nabi Saw bersabda:

“Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya: orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan doanya orang yang didhalimi 158 .”

Dalam riwayat lain, dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, dituturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memeliki doa yang tidak akan ditolak.” 159

e. Memberi Makan Orang yang Puasa Siapa saja yang memberi makan kepada orang yang berpuasa niscaya akan mendapatkan pahala besar

dan kebaikan yang banyak. Rasulullah Saw bersabda:

“Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun 160 .”

Orang yang sedang menjalankan puasa wajib memenuhi undangan (makan) saudaranya, dan orang yang diundang disunnahkan mendoakan pengundangnya setelah selesai makan dengan doa-doa dari Nabi Saw:

“ ‘Aftara ‘indakumus-sâ’imûna, wa ‘akala ta’âmakumul-‘abrâru, wa sallat ‘alaikumul- malâ’ikatu (Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat

[mendoakan kebaikan] atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian 161 ).”

“Allâhumma ‘atim man ‘at’amanî wasqi man saqânî (Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan berilah minum orang yang memberiku minum 162 ).”

HR. Uqaili dalam ad-Dhu’afa’ 1/72, Abu Muslim al-Kajji dalam Juz-nya, dan dari jalan Ibn Masi dalam Juzul

Anshari sanadnya hasan kalau tidak ada ‘an-‘annah Yahya bin Abi Katsir, hadits ini punya syahid yaitu hadits selanjutnya.

158 HR. at-Tirmidzi 2528; Ibn Mâjah 1752; Ibn Hibban 2407 ada jahalah Abu Mudillah. 159 HR. Ibn Mâjah 1/557; al-Hâkim 1/422; Ibn Sunni 128; ath-Thayalisi 299 dari dua jalan al-Bushiri berkata: 2/81 ini

sanad yang shahih, perawi-perawinya tsiqat.

160 HR. Ahmad 4/144, 115, 116, 5/192; at-Tirmidzi 804; Ibn Mâjah 1746; Ibn Hibban 895, di-shahih-kan oleh Imam

at-Tirmidzi .

161 HR. Abi Syaibah 3/100; Ahmad 3/118; an-Nasâ’i dalam Amalul Yaum wal Lailah, hal. 268; Ibn Sunni 129; Abdur

Razzaq 4/311 dari berbagai jalan darinya, sandnya shahih. 162 HR. Muslim 2055 dari Miqdad.

Hikmah Makan Sahur

Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana Ia telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. ” (Qs. al-Baqarah [2]: 183).

Waktu dan hukum puasa bagi umat Islam tak ubahnya dengan apa yang diwajibkan kepada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan berjima’ setelah tidur. Artinya, jika salah seorang dari mereka tidur, ia tidak boleh makan hingga malam selanjutnya. Ketentuan semacam ini juga berlaku

bagi kaum Muslim. 163 Rasulullah Saw telah memerintahkan untuk makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.

Dari Amr bin ‘Ash ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur.” 164

Keutamaan Makan Sahur

Di antara keutamaan makan sahur bagi seorang Muslim adalah sebagai berikut:

Pertama, makan sahur adalah keberkahan. Dari Salman ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

“Keberkahan itu ada pada tiga perkara: al-Jama’ah, ats-Tsarid dan makan Sahur.” 165

Dari Abu Hurairah ra diceritakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah menjadikan keberkahan pada makan sahur dan takaran.” 166

Dari Abdullah bin al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Saw diriwayatkan, dikisahkan, Aku masuk menemui Nabi Saw ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda:

163 Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut: Zâdul Masir, jld. 1, hal. 184 oleh Ibn al-Jauzi, Tafsîr al-Qur’an al- ‘Adhim, jld. 1, hal. 213-214 oleh Ibn Katsir, ad-Durul Mantsur, jld. 1, hal. 120-121 karya Imam as-Suyuthi.

164 HR Muslim 1096.

HR. ath-Thabrani dalam al-Kabîr 5127, Abu Nu’aim dalam Dzikr al-Akhbar ash-Shbahan 1/57 dari Salman al- Farisi al-Haitsami berkata al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah al-Bashiri, adz-Dzahabi berkata: “Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat. ” Hadits ini mempunyai syahid dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al- Khatib dalam Munadih Auhumul Sam’i Watafriq 1/203, sanadnya hasan.

HR. asy-Syirazy (al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami’ ash-Shagir 1715 dan al-Khatib dalam al-Muwaddih, jld. 1, hal. 263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini hasan sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaid al-Qadir, jld. 2, hal. 223.

“Sesungguhnya makan sahur adalah keberkahan yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan. 167 ”

Keberadaan makan sahur sebagai sebuah keberkahan sangatlah jelas. Sebab, dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan puasa, dan memompa semangat untuk menambah puasa. Sebab, dengan makan sahur, puasa menjadi terasa lebih ringan bagi orang yang menjalankannya.

Dengan makan sahur juga, kita telah menyelisihi Ahlul Kitab. Sebab, mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Saw menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana yang telah disebutkan di dalam dua hadits al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda ra:

“Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur.” 168

Kedua, Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur. Barangkali, keberkahan sahur yang begitu melimpah tersebut disebabkan karena Allah SWT akan mencurahkan ampunanNya kepada orang-orang yang makan sahur, memenuhi mereka dengan rahmatNya, dan malaikat Allah akan memintakan ampunan bagi mereka, berdoa kepada Allah agar mema’afkan mereka supaya mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan dari siksa api neraka oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur .”

Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala besar yang berasal dari Rabb Yang Maha Pengasih. Adapun makan sahur yang paling utama adalah buah korma. Rasulullah Saw bersabda:

“Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma.” 169

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk seteguk air; disebabkan begitu melimpahnya keutamaan makan sahur, dan juga karena sabda Rasulullah Saw, "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air.”

167 HR. an-Nasâ’i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya shahih. 168 Adapun hadits al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abû Dâwud 2/303; an-Nasâ’i 4/145 dari jalan Yunus bin

Saif dari al-Harits bin Ziyad dari Abi Rahm dari al-Irbath. Al-Harits majhul (tidak diketahui). Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibn Hibban 223, Mawarid dari jalan Amr bin al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa’ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari hadits al-Migdam bin Ma’dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. an-Nasâ’i 4/146 sanadnya shahih.

169 HR. Abû Dâwud 2/303; Ibn Hibban 223; al-Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya shahih.

Mengakhirkan Sahur

Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar. Pasalnya, Nabi Saw dan Zaid bin Tsabit ra melakukan sahur, dan ketika selesai sahur Nabi Saw bangkit untuk shalat subuh. Sedangkan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat Shubuh kira-kira sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas ra meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra:

“Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau sholat.” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “kira-kira 50 ayat membaca al-Qur’an 170 .”

Ketahuilah wahai hamba Allah, kita diperbolehkan makan, minum, jima’ selama dalam keadaan ragu, apakah fajar telah terbit atau belum. Di samping itu Allah serta RasulNya telah menerangkan batasan waktu puasa hingga jelas benar, bahwa waktunya telah masuk Shubuh. Oleh karena itu, Allah SWT memaafkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima’, selama belum ada kejelasan; sedangkan orang yang masih ragu belum mendapat kejelasan, sehingga ia boleh makan, minum, dan jima’. Sesunguhnya kejelasan adalah keyakinan yang tidak ada keraguan lagi.

Hukum Makan Sahur

Rasulullah Saw telah memerintahkan kaum Muslim untuk makan sahur. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya beliau bersabda:

“Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu.” 171

Dalam riwayat lain, beliau juga bersabda:

“Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah.” 172

Beliau juga menjelaskan betapa tingginya nilai sahur bagi ummatnya; beliau bersabda:

“Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur.”

Di dalam hadits lain, Nabi Saw melarang meninggalkannya, beliau bersabda:

170 HR. Bukhâri 4/118 dan Muslim 1097. Al-Hâfidz Ibn Hajar al-Asqalâni berkata dalam Fath al-Bârî, jld. 4, hal. 238: “Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal): kira-kira selama memeras kambing.

Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau ra bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadhabur al-Qur’an. ” Sekian dengan sedikit perubahan.

171 HR. Ibn Abi Syaibah 3/8; Ahmad 3/367; Abu Ya’la 3/438; al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.

172 HR. Bukhâri 4/120 dan Muslim 1095 dari Anas.

“Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan MalaikatNya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur 173 .”

Rasulullah Saw bersabda:

“Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air.” 174

Zakat Fithrah

Zakat menurut bahasa artinya adalah an-namâ’ (berkembang) atau at tath-hîr (pensucian). Adapun menurut pengertian syara’, zakat adalah haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah (hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu). 175

Dengan perkataan “haqqun muqaddarun” (hak yang telah ditentukan besarnya), berarti zakat tidak mencakup hak-hak —berupa pemberian harta— yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan yajibu (yang wajib [dikeluarkan]), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan fi amwâlin mu’ayyanah (pada harta-harta tertentu) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.

Terdapat hadits-hadits shahih mengenai zakat fithrah yang hukumnya wajib. Dari Ibn Umar ra:

“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fithri (pada bulan Ramadhan kepada manusia).” 176

Dan berdasarkan hadits Ibn ‘Abbas ra:

“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fithri.” 177

Sebagian Ahlul Ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah dihapus (mansukh) oleh hadits Qais bin Sa’ad bin Ubadah, ia berkata:

“Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan shadaqah fithri sebelum diturunkannya (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkannya (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami, tetapi kami mengerjakan (mengeluarkan zakat fithri). ”

Berikut ini adalah beberapa pandangan para fuqaha yang mu’tabar dalam masalah ini:

173 HR. Ibn Abi Syaibah 2/8 dan Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said al-Khudri. Sebagaimana menguatan yang lain.

HR. Abu Ya’la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibn Hibban no.884 padanya ada ‘an-anah Qatadah. Hadits hasan.

175 Syaikh Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi ad-Daulah al-Khilafah, hal. 147. 176 HR. Bukhâri 3/291 dan Muslim 984, dan tambahannya pada Muslim. 177 HR. Abû Dâwud 1622 dan an-Nasâ’i 5/50, padanya ada al-Hasan ber-‘an’anah. Dan hadits sebelumnya sebagai

syahid .

Pertama, Imam Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan zakat fithri dari benda-benda yang telah disebutkan di dalam berbagai hadits. Contohnya adalah hadits dari Abi Sa’id al-Khudri yang berkata:

“Kami telah mengeluarkan zakat fithri pada saat Rasulullah (masih) berada di tengah-tengah kami satu sha’ dari makanan, atau satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ dari gandum, atau satu sha’ dari

kismis, atau satu sha’ aqith. Aku tetap melakukan hal itu (dengan mengeluarkan benda-benda tersebut) sebagaimana aku telah mengeluarkannya selama ini. 178 ”

Walhasil, boleh mengeluarkan zakat fithrah dengan benda-benda tersebut diatas. Boleh juga mengeluarkan zakat fithri dengan benda-benda lain selain benda-benda tersebut diatas. Misalnya beras dan biji adas. Banyaknya beras diukur setara dengan takaran satu sha’ kurma, kemudian dikeluarkan dalam bentuk beras. Atau juga dalam bentuk uang (nuqud) yang nilainya setara dengan nilai (harga) satu sha’ kurma, kemudian dikeluarkan dalam bentuk uang. Pendapat mereka ini terdapat di dalam kitab Tuhfatu al-Fuqaha.

Kedua, madzhab Imam Malik membolehkan apa yang jadi bahan makanan penduduk negeri sebagaimana yang disebutkan (dalam hadits) tadi atau yang biasa dimakan oleh masyarakat. Contohnya beras dan biji adas, kacang-kacangan dan lain-lain. Pendapatnya ini terdapat di dalam kitab Balighatu as-Salik.

Ketiga, madzhab Imam Syafi’i membolehkan untuk mengeluarkan zakat fithri dari jenis apa yang bisa dizakatkan, yaitu dari hasil pertanian, buah-buahan. Dan yang paling utama adalah apa yang biasa menjadi makanan penduduk negerinya atau apa yang biasa menjadi makanannya. Pendapat ini terdapat di dalam kitab Mughni al-Muhtaj. Dengan ukuran (takaran) yang telah dijelaskan di dalam berbagai hadits.

Keempat, madzhab Imam Hambali membolehkan mengeluarkan zakat fithri hanya dari benda-benda yang telah disebutkan (di dalam hadits). Beliau tidak membolehkan selain dari benda-benda tersebut. Namun demikian, jika tidak dijumpai salah satu jenis dari beberapa jenis benda-benda tersebut, maka dibolehkan mengeluarkan zakat fithrah dengan sejenis bahan makanan yang layak, berupa biji-bijian jagung/shorgum, beras… Pendapat ini terdapat di dalam kitab al-Mughni.

Sha’ adalah takaran, yaitu ukuran volume tertentu. Berat isi timbangannya berbeda-beda tergantung biji apa yang memenuhi volumenya. Satu sha’ gandum setara dengan 2.25 kg gandum, atau lebih detail lagi setara dengan 2.176 gram gandum.

Di kalangan para mujtahid yang disebutkan di atas, seluruhnya tidak membolehkan zakat fithri dikeluarkan dalam bentuk nilai tertentu dari mata uang, kecuali pendapat Imam Abu Hanifah.

HR. Bukhâri dan Muslim dengan lafadz berdasarkan riwayat Muslim. Aqith atau keju adalah sari pati susu yang dimasak, kemudian dibiarkan hingga kering. Aqith atau keju adalah sari pati susu yang dimasak, kemudian dibiarkan hingga kering.

Waktu Mengeluarkan Zakat Fithrah

Zakat fithrah harus dikeluarkan sebelum sholat Ied. Boleh juga zakat fithri dikeluarkan satu atau dua hari sebelum Ied, dan disalurkan kepada fakir miskin. Zakat fithri dapat di serahkan secara langsung, demi menenteramkan diri kita, kepada orang-orang yang berhak (yaitu fakir miskin), juga boleh mewakilkannya kepada seseorang —yang anda percayai— untuk menyerahkannya kepada orang- orang yang berhak.

Kriteria Miskin yang Berhak Mendapatkan Zakat

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria miskin. Sebagian ulama menyatakan bahwa miskin itu lebih berat dibandingkan dengan faqir, ini adalah pendapat dari ulama Baghdad, dan Imam Malik. Ada juga yang menyatakan faqir itu lebih berat dibandingkan miskin. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i dalam sebuah qaulnya. Namun ada sebagian

ulama yang menyamakan istilah ini. Ini adalah pendapat Ibn al-Qasim. 179 Namun pendapat yang lebih tepat adalah, faqir itu lebih berat daripada miskin. Sebab Allah SWT telah menyatakan faqir lebih

dahulu dibandingkan miskin. Berarti faqir itu lebih berat dibandingkan miskin. 180 Oleh karena itu faqir didefinisikan orang yang tidak memiliki apa-apa (untuk memenuhi kebutuhannya), atau

memilikii sesuatu akan tetapi tidak sampai 1/2 dari nishab. Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki harta 1/2 nishab atau lebih akan tetapi tidak sampai sempurna senishab. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa yang disebut kaya adalah orang memiliki harta sebanyak senishab. Ini di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw kepada Mu’adz ra, “Maka kabarkanlah kepada mereka bahwa allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka. ”

Mahasiswa ataupun pelajar yang mendapatkan bantuan berupa harta (uang) dari orang tuanya, akan tetapi, selama harta itu belum mencukupi kebutuhannya, atau belum sampai senishab maka dirinya termasuk orang yang miskin (lihat batasan di atasnya). Ukuran untuk menetapkan layak atau tidaknya seseorang menerima zakat, atau miskin, bukan diukur dengan “ia didonasi atau tidak oleh orang tuanya. ”

Orang tua wajib menafkahi anak perempuannya sampai anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang lain. Sebab, kewajiban untuk memberi nafkah adalah tanggungjawab pihak laki-laki (bapak, atau kerabat laki-laki yang dekat). Alasan lain adalah, hukum bekerja hanya wajib bagi laki-laki yang

memiliki kemampuan. Sedangkan bekerja bagi perempuan hukumnya mubah. 181 Walhasil, anak perempuan nafkahnya ditanggung oleh orang tua laki-laki. Jika orang tua tidak mampu, maka

kerabatnya yang akan menanggung. Jika kerabatnya tidak mampu maka negara. Jika negara tidak mampu maka seluruh kaum muslim wajib untuk membantu nafkahnya. Ini dengan catatan jika wanita itu belum menikah. Jika ia sudah menikah maka kewajiban memberi nafkah jatuh kepada pihak suami.

179 Lihat Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, bab Zakat. 180 Al-Sa’di, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fi Tafsîr Kalâm al-Manan, jld. 3, hal. 252. 181 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah Dustur, bab Nidzam al-Iqtishâd, pada pasal, persoalan ekonomi.

Nafkah kepada laki-laki hanya diberikan orang tua, hingga dirinya akil baligh. Jika ia sudah mencapai akil baligh maka orang tua tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada anak laki-lakinya. Kecuali dalam kondisi anak laki-laki itu tidak mampu bekerja, karena cacat, atau dirinya sudah bekerja akan tetapi penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Gharim (orang berhutang yang tidak mampu bayar) ada dua model: Pertama, Gharim karena mendamaikan dua orang yang bersengketa dengan hartanya.Ini diakibatnya karena, segitu sibuknya ia mengurusi dua orang yang bersengketa itu, sampai akhirnya ia berhutang. Namun, ia tidak mampu membayar hutangnya. Gharim semacam ini lebih berhak untuk mendapat zakat. Kedua, gharim karena dirinya sendiri. Ia berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan

orang lain. Ia akan diberi zakat sebatas utangnya. 182

Menurut fuqaha’, Ibn Sabil adalah orang yang bepergian jauh dalam urusan ketaatan (bukan dalam urusan maksiyat), kemudian ia kehabisan bekal dan tidak memperoleh nafkah hidup. 183

Ada juga sebagian besar fuqaha’ yang berpendapat bahwa orang yang sedang menuntut ilmu kemudian ia kehabisan bekal, maka orang semacam ini berhak mendapatkan zakat. Sebab, menurut mereka menuntut ilmu termasuk aktivitas di jalan allah (fî sabilillah). Dan ini telah ditetapkan dalam

surat at-Taubah [9]: 60. 184

182 Al-Sa’di, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fi Tafsîr Kalâm al-Manan, jld. 3, hal. 253. 183 Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid. 184 Al-Sa’di, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fi Tafsîr Kalâm al-Manan, jld. 3, hal. 253.