Berpuasa Seperti Rasulullah Shalalahu Alaihi

FIKIH PUASA PRAKTIS

Berpuasa Seperti Rasulullah Shalalahu Alaihi

Wasallam

Kata Pengantar

“Islam dibangun atas lima perkara; kesaksian tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah, menegakan sholat, menunaikan zakat, dan naik haji ke

baitul haram, serta puasa Ramadhan. 1 ”

Ramadhan memang istimewa bagi kaum Muslim. Pasalnya, Allah SWT telah memenuhi bulan itu dengan keberkahan, rahmat, dan ampunan yang melimpah ruah. Sayangnya, kesempatan emas itu justru disia-siakan oleh sebagian besar kaum Muslim. Mereka melewatkan bulan Ramadhan seperti tahun-tahun sebelumnya; yakni, mengisi bulan Ramadhan dengan kegiatan-kegiatan mubadzir dan sia-sia.

Semua ini disebabkan karena, banyak kaum Muslim yang belum memahami makna hakiki dari Ramadhan, bahkan, sebagian besar diantara mereka awam terhadap hukum-hukum seputar puasa dan bulan Ramadhan. Akhirnya, mereka melalui bulan Ramadhan dengan amalan-amalan yang tidak memberikan pengaruh berarti bagi kehidupan mereka.

Untuk itu, harus ada buku panduan praktis yang bisa memandu mereka untuk memahami semua hal yang berhubungan dengan ibadah di bulan Ramadhan. Ini ditujukan agar kita bisa melewati bulan Ramadhan dengan amalan-amalan berkualitas, bukan malah mengisi bulan Ramadhan dengan aktivitas-aktivitas yang sia-sia dan tidak memberikan pengaruh apapun bagi kehidupan kita. Betapa Rasulullah Saw telah menyindir orang-orang yang melalaikan ibadah di bulan Ramadhan. Di dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Saw bersabda, “Alangkah kecewanya orang yang sejak tiba bulan Ramadhan hingga habis bulan tidak diberi ampunan. ”

Sesungguhnya, orang yang menyia-nyiakan bulan Ramadhan, pasti akan menuai penyesalan. Sebab, ia telah melalaikan ibadah di bulan Ramadhan. Akibatnya, puasanya hampa belaka, dan hanya sekedar

memperoleh haus dan dahaga. 2 Ia juga tidak pernah mendapat keberkahan, rahmat dan ampunan dari Allah SWT.

Lalu, apa yang mesti kita perbuat untuk menyambut bulan Ramadhan tahun ini? Apakah bulan Ramadhan terus kita lewati dengan permainan-permainan yang melalaikan; dengan begadang setiap malam; ataukah kita malah kesal dan keberatan dengan kedatangannya? Na’udzubillah min dzalik!

Seyogyanya, seorang hamba yang shalih harus menyambut bulan Ramadhan dengan taubat nashûhâ, dan disertai tekad yang bulat untuk meraih kebaikan sebanyak-banyaknya di bulan suci ini. Sudah semestinya pula kita mengisi bulan Ramadhan dengan amal-amal shalih; dan tidak lupa selalu memohon kepada Allah SWT agar Dia menolong kita dalam menunaikan ibadah dengan baik.

Demikianlah, risalah ini saya sajikan dengan penuh rasa rindu, disertai penghormatan yang tulus, tercurah dari lubuk hati paling dalam, serta sebagai wujud kecintaan penulis kepada seluruh kaum

1 HR. Bukhâri 1/47, dan Muslim 16, dari Ibn Umar ra. 2 HR. Ibn Mâjah 1/539; ad-Darimi 2/211; Ahmad 2/441, 373; al-Baihaqi 4/270; dari jalan Said al-Muqbiri dari Abu

Hurairah ra. Sanadnya shahih.

Muslim karena Allah SWT. Akhirnya, semoga risalah ini bisa menjadi masukan bagi kita semua untuk semakin memantapkan tekad dan semangat untuk beribadah sebanyak-banyaknya selama bulan Ramadhan. Marilah kita membulatkan niat kita untuk menjalankan puasa di bulan Ramadhan ini semaksimal mungkin. Sebab, belum tentu tahun depan kita bisa menjumpai bulan yang penuh berkah ini.

Akhirnya, penulis memohon kepada Allah, semoga kita semua dipertemukan olehNya di dalam Surga yang penuh kemuliaan dan rahmat. Penulis juga berharap agar saudara dan saudariku sekalian sudi kiranya menerima risalah ini dengan lapang dada dan ikhlash. Penulis juga mengharapkan nasihat dari ikhwan wa akhwat. Semoga Allah memelihara kita semua, dan memudahkan urusan kita. Wallahu muwaffiq ila aqwamith tharîq.

Newcastle, Australia Muhammad Ramadhan al-Muhtasib

BAB I - RAMADHAN, MENUJU KESATUAN UMMAT ISLAM

Sesungguhnya, ibadah shiyam di bulan Ramadhan merupakan salah satu syiar yang bisa dijadikan momentum untuk menyatukan kaum Muslim, sekaligus mengingatkan mereka, bahwa Rabb mereka adalah umat yang satu, agama mereka pun satu, kiblat mereka sama, dan tujuan mereka juga satu. Lebih dari itu, Ramadhan juga bisa dijadikan tonggak untuk mengokohkan kedudukan mereka sebagai ummat wahidah yang berbeda dengan ummat manusia lainnya. Puasa Ramadhan seharusnya juga mengingatkan mereka, bahwa ummat Islam tidak boleh hidup dalam keterpecahbelahan; dimana sekarang ini kaum Muslim terpecah belah menjadi lebih dari lima puluh negara boneka yang sangat lemah dan kerdil. Puasa Ramadhan mestinya juga mengingatkan, bahwa kita tidak boleh hidup tanpa Khilafah yang akan menyatukan mereka serta tidak boleh terus menerus hidup tanpa penerapan syari’at Islam yang menjadikan mereka mulia dan bahagia.

Seperti bulan-bulan Ramadhan sebelumnya, datangnya bulan Ramadhan tahun ini, harusnya dijadikan ajang bagi kaum Muslim untuk melakukan koreksi (muhasabah) dan pengkajian. Benar, kita harus mengoreksi diri kita sendiri, sebelum dihisab oleh Allah SWT. Apa andil yang sudah kita berikan kepada Islam hingga saat ini? Apakah kita telah berupaya menghidupkan hukum-hukum Islam yang telah hilang? Apakah kita juga sudah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mematikan bid’ah dan menghidupkan Sunnah? Apakah kita telah melakukan amar ma’ruf nahi munkar? Apakah kita sudah turut mengemban dakwah Islam serta bergabung dalam aktivitas untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah? Ataukah kita malah ridha dengan kondisi sekarang ini dan justru melakukan aktivitas sebaliknya? Dan apakah kita hanya berdiam diri dari aktivitas untuk menerapkan syari’at Islam dan rela hidup dibawah syari’at (hukum) kufur?

Bila kita amati dengan seksama, kita akan mendapatkan kenyataan, bahwa ummat Islam saat ini terus ditekan dan didzalimi lebih keras lagi dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Namun, pada saat yang sama, ummat juga merasa, bahwa tidak ada yang dapat melepaskan dirinya dari keburukan yang menimpa mereka selain Allah SWT. Ummat juga merasakan, semua pihak kini telah mengerumuni dan dengan rakus merobek dan memakan dagingnya. Keadaan semacam ini telah diuraikan dan disinggung oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, “Kelak, bangsa-bangsa lain akan memperebutkan kalian, sebagaimana (mereka) memperebutkan makanan untuk meremukannya. ” [HR. Abû Dâwud, dari ats-Tsauban].

Tentunya, setelah melakukan muhasabah dan koreksi diri, kaum Muslim wajib mengkaji kondisi mereka saat ini, lalu membandingkannya dengan kondisi yang mereka alami pada Ramadhan sebelumnya. Ia wajib mengkaji hal-hal yang menguatkan dan yang melemahkan dirinya, serta mempelajari unsur-unsur yang mampu meninggikan, memuliakan dan membangkitkan dirinya, sehingga tercipta suatu keyakinan di dalam dirinya, bahwasanya pertolongan Allah itu adalah dekat. Kaum Muslim juga wajib mengkaji unsur-unsur kemunduran, kehinaan dan keterpurukan yang selama ini semakin memperpanjang jalan menuju keberhasilan, bahkan menjadi penghalang jalan kesuksesan. Ummat wajib mencermati sebab-sebab tersebut hingga mereka dapat melepaskan diri dari kelemahan dan kehinaan mereka, dan agar mereka dapat melewati hambatan dan rintangan yang menghalangi datangnya pertolongan Allah atas mereka. Selanjutnya, mereka mesti mengambil semua sebab yang bisa menguatkan, meninggikan dan memuliakan dirinya.

Persatuan dan Kesatuan Umat Islam dari Masa ke Masa

Persatuan umat Islam mulai tampak secara kongkrit sejak berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah. Pada saat itu, Rasulullah Saw berkedudukan sebagai kepala negara (ra’isu ad-daulah), hakim (qadhi), dan sekaligus panglima angkatan bersenjata (qa’idul jaisy). Di kota Madinah Rasulullah Saw membangun persatuan umat atas dasar ukhuwah Islamiyah yang berasaskan ‘aqidah Islamiyah, sesuai firman Allah SWT:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara…” (Qs. al-Hujarât [49]: 10).

Setelah itu, golongan Anshar —terdiri dari qabilah Aus dan Khazraj— dan golongan Muhajirin yang terdiri dari orang-orang Quraisy bersatu dan bersaudara di bawah naungan '‘aqidah Islam. Bahkan ada beberapa shahabat Rasulullah Saw yang berada di luar golongan-golongan tersebut, seperti Bilal al-Habsyi dari Habasyah (sekarang Ethiopia), Shuhaib ar-Rumi dari Romawi (Eropa), dan Salman al- Farisi dari Persia (Iran). Mereka semua adalah bersaudara satu sama lain, sebagaimana Rasulullah Saw juga telah mempersaudarakan sesama kaum Muslim atas dasar Islam. Beliau Saw pernah mencanangkan proyek “muakhkha” (penyaudaraan). Beliau menyaudarakan dirinya dengan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib bersaudara dengan maulanya Zaid. Abu Bakar ash-Shiddiq disaudarakan dengan Kharijah bin Zaid. Umar bin Khaththab disaudarakan dengan Uthban bin Malik al-Khazraji. Thalhah bin Ubaidilah disaudarakan dengan Abu Ayyub al-

Anshori; dan Abdurrahman bin Auf disaudarakan dengan Sa’ad bin ar-Rabi’. 3 Ukhuwah ini benar- benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari tatkala mereka saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing dalam berdagang, bertani, dan yang lainnya.

Eksistensi persatuan umat Islam semakin ditegaskan di dalam Piagam Madinah (Watsiqah Madinah) yang mengatur interaksi sesama kaum Muslim maupun antar kaum Muslim dengan non-muslim (Yahudi) di Madinah. Dengan perjanjian ini, Rasulullah Saw bermaksud membangun masyarakat Islam berdasarkan asas yang tetap dan kokoh, yaitu ‘aqidah Islamiyah. Dalam kitab-kitab sirah dan hadits disebutkan antara lain teks piagam tersebut:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi Saw antara orang-orang mu’min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib…: “Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan orang-orang

lain… 4 ”

Dari teks di atas terlihat dengan jelas, bahwa umat Islam merupakan satu kesatuan. Namun tidak berarti bahwa negara Islam hanya akan dihuni oleh warga negara yang beragama Islam saja. Orang- orang kafir pun dapat menjadi warga negara Daulah Islamiyyah. DI dalam Piagam Madinah itu juga diatur interaksi golongan Yahudi dengan kaum Muslim.

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, persatuan dan kesatuan umat tetap terjaga, setelah para shahabat berkonsensus untuk membai’at seorang Khalifah saja sebagai kepala negara. Secara global dapat dikatakan, bahwa kewajiban mengangkat seorang Khalifah ini tetap dilaksanakan oleh kaum Muslim

3 Lihat as-Sirah an-Nabawiyah, jld. 2, hal. 123-126, karya Ibn Hisyam dan as-Sirah al-Halabiyah, jld. 2, hal. 292-293. 4 Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah, jld. 2, hal. 119.

sepanjang sejarah hingga tahun 1342 H (1924 M), yakni, tatkala kaum kafir penjajah berhasil meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah dan memenggal-menggal Dunia Islam menjadi negara-negara

kerdil yang lemah. 5

Memang, dalam sejarah Islam ada fenomena yang menunjukkan seolah-olah kaum Muslim pernah tidak bersatu di bawah satu negara. Sebenarnya tidak demikian. Perlu dipahami, para Khalifah terdahulu umumnya tidak mengadopsi (mentabanni) hukum-hukum tertentu mengenai sistem pemerintahan, meskipun mereka mengadopsi hukum-hukum tertentu dalam bidang perekonomian dan bidang lainnya. Hal ini mengakibatkan sebagian Khalifah dan Wali mendapatkan kesempatan untuk menjalankan roda pemerintahan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kesatuan dan kekuatan negara, meskipun tidak sampai mempengaruhi keberadaan negara Islam. Para Wali pada saat itu diberi kekuasaan umum (al-wilâyah al-‘âmmah) dan otoritas yang luas sebagai wakil dari Khalifah. Hal ini menyebabkan munculnya keinginan dan hasrat memimpin dalam diri mereka, sehingga mereka bertindak seperti orang yang terpisah atau tidak memiliki hubungan dengan Khalifah di pusat. Para Wali itu hanya mencukupkan diri dengan membai’at Khalifah, mendoakannya di mimbar- mimbar masjid pada saat sholat Jum’at atau hari-hari raya, mencetak mata uang atas nama Khalifah, dan hal-hal formalitas lainnya. Sementara itu, urusan pemerintahan secara riil ada di tangan mereka. Kenyataan ini menyebabkan wilayah-wilayah ini menjadi seperti negara-negara yang berdiri sendiri, yang sebenarnya tidaklah demikian. Inilah yang dapat menerangkan keberadaan kekuasaan Hamdaniyyin, Saljuqiyyin, dan yang lainnya, yang terkadang dipahami —secara kurang tepat— oleh

sebagian penulis sejarah sebagai negara-negara Islam yang independen. 6

Sesungguhnya, kekuasaan umum (al-wilâyah al-‘âmmah) tidak berpengaruh terhadap kesatuan negara. Hal ini pernah terjadi pada shahabat Amr bin al-‘Ash yang memiliki wilayah kekuasaan umum di Mesir, atau Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang juga memiliki kekuasaan umum di Syam. Meskipun demikian, pada saat itu mereka —sebagai seorang wali— tidak berdiri sendiri atau memisahkan diri dari Khalifah sedikit pun. Kesatuan negara tetap terjaga karena kuatnya kepemimpinan para Khalifah.

Tetapi tatkala kepemimpinan para Khalifah lemah dan para Wali membiarkan hal ini, muncullah penampakan adanya negara di wilayah-wilayah kekhilafahan Islam. Padahal, sesungguhnya wilayah ini masih berada di bawah teritorial Khilafah dan menjadi bagian integral darinya. Negara Khilafah tetap merupakan satu kesatuan dan tidak pernah berubah menjadi semacam “federasi wilayah”. Sebab, Khalifahlah yang mengangkat dan memberhentikan para Wali. Mereka tidak berani untuk tidak mengakui kepemimpinan Khalifah, bagaimana pun kuatnya kepemimpinan mereka.

Dengan demikian, negara Khilafah tetap merupakan satu kesatuan utuh yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Dialah yang memegang segala kewenangan kenegaraan di setiap bagian teritori negara, di

pusat (ibu kota), di berbagai wilayah, kota, dan desa. 7

Adapun peristiwa sejarah yang menunjukkan adanya Khilafah di Andalusia dan munculnya Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir, dimensinya berbeda dengan dimensi menonjolnya kekuatan wilayah

5 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah, cet 2, hal. 100. 6 Idem, hal. 103; Dr. Abdul Halim ‘Uwais, Dirasah li Suquthi Tsalatsina ad-Daulah al-Islamiyyah. 7 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah, cet. 2, hal. 104.

seperti telah diterangkan. Saat itu Andalusia telah dikuasai oleh para Wali yang melepaskan diri dari pusat Khilafah. Namun demikian, Wali yang ada di sana tidak dibai’at sebagai Khalifah untuk kaum Muslim, tetapi —seperti disebut-sebut kemudian— sebagai Khalifah untuk penduduk Andalusia saja, bukan untuk seluruh kaum Muslim. Wilayah Andalusia menganggap dirinya sebagai wilayah yang tidak masuk dalam teritori Khilafah, mirip dengan kondisi yang ada di Iran pada masa Daulah Utsmaniyah. Dengan demikian, Khalifah bagi seluruh kaum Muslim tetap satu dan tetap memegang kekuasaan umum bagi mereka. Dengan kata lain, di Andalusia sebenarnya tidak muncul Khalifah kedua. Yang terjadi adalah munculnya satu wilayah yang tidak masuk dalam teritorial Khilafah.

Sedangkan munculnya Khilafah golongan Fathimiyin di Mesir, sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai Khilafah kedua dalam tubuh umat Islam. Fakta yang terjadi saat itu, adalah adanya upaya untuk memindahkan kekuasaan Khilafah kepada Ahlul Bait, sesuai dengan pemahaman Islami yang mereka adopsi, bahwa Khilafah harus dipegang oleh Ahlul Bait. Peristiwa ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh golongan ‘Abbasiyin tatkala mereka mengambil kekuasaan dari golongan Umawiyin. Seperti diketahui, golongan ‘Abbasiyin telah membangun pengaruh mereka di Persia dan Irak, lalu membai’at Khalifah dan meruntuhkan Khilafah Umawiyin. Demikian pula halnya dengan Khilafah Fathimiyin. Mereka membai’at seorang Khalifah untuk memindahkan kekuasaan Khilafah kepada golongan mereka saja (ahlul bait) hingga waktu tertentu saat berakhirnya kekuasaan mereka. Sementara itu, Khilafahan Abbasiyin masih tetap ada dan terus bertahan. Oleh karena itu, berdirinya kekuasaan pemerintahan Fathimiyin di Mesir bukan merupakan Khilafah kedua di tubuh umat (setelah adanya Khilafah Abbasiyin di Baghdad), melainkan hanya upaya untuk memindahkan kekuasaan

Khilafah dari satu golongan ke golongan lain. 8

Jelaslah, negara Islam (Khilafah) dalam sejarahnya tetap merupakan satu kesatuan, tak pernah terpecah-belah menjadi beberapa negara. Yang terjadi adalah usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan sesuai dengan persepsi Islami tertentu mengenai pemerintahan, kemudian usaha ini berakhir; sementara itu Khilafah yang sah terus eksis dan tetap satu. Di antara bukti yang menunjukkan bahwa Khilafah merupakan satu kesatuan, adalah adanya keleluasaan berpindah dan bepergian bagi kaum Muslim dari satu negeri ke negeri Islam lain. Seorang Muslim yang bepergian melintasi beberapa negeri Islam tak pernah ditanya dari mana asalnya seperti orang asing, atau dimintai izin pindah dan izin tinggal. Sebab, negeri-negeri Islam adalah satu, di bawah Khilafah Islamiyah yang satu.

Kondisi seperti ini tetap berlangsung di sepanjang sejarah Islam, hingga akhirnya kaum penjajah kafir berhasil menghancurkan Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M melalui agennya Musthofa Kamal Attaturk yang murtad. Sejak itu nasib kaum Muslim menjadi terpuruk hingga taraf yang terendah, terlunta-lunta, ternista, dan terhina dalam belenggu ide nasionalisme dan patriotisme. Ide ini (nasionalisme dan patriotisme) sengaja disebarluaskan oleh imperialis Barat sebagai racun untuk membunuh hasrat bersatu kaum Muslim sebagai umat Islam yang satu. Lebih dari itu, ide ini juga dijadikan alat untuk melestarikan perpecahan umat Islam, agar kaum Muslim terus dijajah, dieksploitir, dan dikendalikan oleh imperialis Barat yang kafir.

8 Idem, hal, 104.

Wajib Mengembalikan Kesatuan Umat

Sesungguhnya, dalam lintasan sejarahnya, umat Islam selalu hidup dalam satu kesatuan, yakni hidup dalam satu institusi, satu negara, di bawah kepemimpinan seorang pemimpin (Khalifah/Imam).

Hal tersebut merupakan suatu kewajiban atas kaum Muslim —sebagaimana kewajiban sholat, shaum, dan jihad— sesuai firman Allah SWT:

“Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai… ” (Qs. Ali-‘Imran [3]: 103).

Rasulullah Saw dalam masalah ini bersabda:

“Barangsiapa mendatangi kalian —sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah)— dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai- beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia! ” [HR. Muslim].

“Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim].

“Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu. ” [HR. Muslim].

Dalil-dalil di atas menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum Muslim atas dasar Islam (hablullah), bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya. Nash-nash di atas juga mewajibkan kaum Muslim untuk hidup di bawah satu kepemimpinan, yaitu seorang Khalifah. Dalil- dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah dan bercerai-berai. Barangsiapa yang berupaya untuk memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, maka sanksi syar’i baginya adalah jelas dan tegas: hukuman mati!

Di samping al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijma’ Shahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berkata, “Tidak halal kaum Muslim mempunyai dua pemimpin (Imam) .” Perkataan ini didengar oleh para shahabat dan tidak satupun dari mereka yang mengingkari. Oleh karena itu, hal ini telah menjadi ijma’ (konsensus) di kalangan mereka.

Bahkan sebagian fuqaha menggunakan Qiyas —sumber hukum keempat— untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam al-Juwaini berkata, “Para ulama kami (madzhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki !”

Artinya, Imam al-Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum Muslim, sebagaimana keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan Artinya, Imam al-Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum Muslim, sebagaimana keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan

Dari sini dapat dipahami, bahwa kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah adalah satu kewajiban syar’i yang harus segera diwujudkan. Jika mereka lalai mewujudkannya, mereka akan memikul dosa besar di hadapan Allah kelak di Hari Kiamat nanti. Kaum Muslim wajib berjuang demi terwujudnya kesatuan umat di bawah naungan negara Khilafah, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah umat Islam tempo dulu. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila para imam-imam madzhab ⎯Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad⎯ bersepakat bulat bahwa kaum Muslim di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja. Syaikh Abu Bakar al- Jaziri menyatakan, “Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) ⎯rahimahumullah⎯ bersepakat pula bahwa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat maupun tidak 10 .”

Dengan berjuang secara ikhlas dan bersungguh-sungguh, InsyaAllah, cita-cita ini akan tercapai, sesuai janji Allah SWT:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal- amal yang shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,

sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa… ” (Qs. an-Nûr [24]: 55 ).

Bersatu dalam Naungan Daulah Khilafah Islamiyyah

Secara ringkas, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah dengan, “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at

Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia 11 .”

Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya. Adapun dalil yang menunjukkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah sebagai berikut.

Dalil Al-Qur’an Di dalam al-Qur’an memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-

Qur’an terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

9 Syaikh Dr. Muhammad Khair Haekal, Wahdatul Muslim fi asy-Syai’ah al-Islamiyyah, majalah al-Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Juli 1998 M.

10 Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld. 5, hal. 416. 11 Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hal. 17.

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada RasulNya dan ulil amri di antara kalian. ” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 59).

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu al-Hâkim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha’, berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu. Sebab, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya hanya berhukum mandub saja. Oleh karena itu, mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab, adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri akan menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Walhasil, mewujudkan ulil amri itu adalah wajib. Sebab, jika tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyî’ al-hukm asy-syar’i).

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah Saw untuk mengatur urusan kaum Muslim berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

“Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang

kepadamu. ” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 48).

“Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. ” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 49 ).

Dalam kaidah ushul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini, tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah Saw. Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Adapun yang dimaksud dengan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-sulthan). Sebab, dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, yaitu negara Khilafah.

Dalil As-Sunnah Abdullah bin Umar meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat

dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah’. ” [HR. Muslim].

Nabi Saw mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadits ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap Muslim. Sebab, bai’at baru ada di leher kaum Muslim kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah. Rasulullah Saw bersabda:

“Bahwasanya Imam itu bagaikan perisa (tameng), dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung. ” [HR. Muslim].

“Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. ” Para shahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka. ” [HR. Muslim].

“Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah. ” [HR. Muslim].

Hadits pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah Saw bahwa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahwa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum Muslim. Pernyataan Rasulullah Saw bahwa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faidah-faidah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan RasulNya, apabila mengandung celaan (adz-dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at-tarki ). Apabila perintah itu mengandung pujian (al-mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al-fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu berarti bersifat pasti (fardhu). Oleh karena itu, hadits pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya menegakkan Khilafah. Sebab, tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.

Hadits ketiga menjelaskan keharaman kaum Muslim keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as-sulthan). Ini juga menunjukkan, bahwa keberadaan Khilafah adalah wajib. Sebab, seandainya hal ini tidak wajib, Nabi Saw tidak mungkin sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Semua ini menegaskan bahwa mendirikan pemerintahan bagi kaum Muslim hukumnya adalah wajib.

Rasulullah Saw bersabda pula, “Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu. ” [HR. Muslim].

Dalam hadits ini Rasululah Saw telah memerintahkan kaum Muslim untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang- orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum Muslim, yaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, niscaya tidak mungkin Nabi Saw memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, yaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil as-Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya menegakkan Khalifah bagi kaum Muslim.

Dalil Ijma’ Shahabat Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Shahabat menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa

mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah Saw hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridhwanullah ‘alaihim.

Ijma’ Shahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah. Hal ini tampak jelas saat mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah Saw dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah melakukan kesibukan lain sebelum jenazah sempurna dikebumikan. Namun, para shahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah Saw, sebagian di antaranya, justru lebih mendahulukan upaya-upaya untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sebagian shahabat lain juga mendiamkan shahabat yang menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah tersebut; bahkan mereka juga menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi Saw sampai dua malam. Padahal, mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Sejarah juga menunjukkan, bahwa seluruh shahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai wajibnya mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah Saw maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu, Ijma’ Shahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.

Penerapan Kaidah Syar’iyah Ditilik dari analisis ushul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam ushul fiqh dikenal kaidah

syar’iyah yang disepakati para ulama, Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fa huwa wâjib (Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya ).

Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara itu, hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.

Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam di atas telah menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajiban dari Allah SWT atas seluruh kaum Muslim.

Pendapat Para Ulama Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitabnya mengatakan, “Menegakkan khilafah Islamiyyah berhukum fardlu kifayah atas kaum muslim di seluruh dunia Islam…Menegakkan khilafah tak

ubahnya dengan kewajiban-kewajiban lain yang difardlukan oleh Allah SWT…mengabaikan kewajiban ini adalah kemaksiyatan terbesar yang akan diganjar dengan adzab yang sangat

pedih… 12 ”

Seluruh imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya, “Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) —rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang

tertindas dari yang menindasnya… 13 ”

Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah ⎯termasuk Khawarij dan Mu’tazilah⎯ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nash-nash syara’ yang telah jelas.

Imam asy-Syaukani menyatakan, “Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’ 14 .”

Ibn Hazm mengatakan, “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah 15 ).”

Imam Abu Ya’la Muhammad al-Husain al-Firai al-Hanbali menyatakan, “Mengangkat khalifah merupakan kewajiban 16 .”

Imam Ahmad berkata, “Akan ada fitnah yang sangat besar jika tidak ada imam yang mengurusi urusan masyarakat 17 .”

12 Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, jld. 2, hal. 15. 13 Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld. 5, hal. 416. 14 Nailul Authar, jld. 8, hal. 265. 15 Al-Fashl fi al-Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal, jld. 4, hal. 87. 16 Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hal. 19.

Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah berkata, “Harus dipahami bahwa wilayat an-nâs (mengurus urusan masyarakat –tertegaknya Khilafah Islamiyyah) merupakan kewajiban teragung diantara kewajiban-

kewajiban agama yang lain, bahkan agama ini tidak akan tegak tanpa adanya khilafah Islamiyyah 18 .”

Imam al-Mawardi menyatakan, “Khilafah berkedudukan sebagai wakil nubuwwah…ia juga bertugas menjaga agama dan kehidupan dunia…ia adalah sistem pemerintahan yang harus ditegakkan berdasarkan ijma’…mengangkat seorang khalifah hukumnya adalah wajib atas jama’ah

al-Islamiyyah… 19 ” Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn berkata, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan

sesuatu perkara ketika negara tidak lagi memiliki imam dan peradilan telah rusak… 20 ”

Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib ⎯bukan haram apalagi bid’ah— dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja

21 referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah, Imam Ibn Mandzur, 22 Imam al-Qalqasyandi,

23 24 25 Imam az-Zamakhsyari 26 , Imam Ibn Katsîr, Imam al-Baidhawi, Imam ath-Thabari, Ibn

27 28 29 ‘Abd al-Barr 30 , Imam al-Mawardi, Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, Imam al-Ghazali, Ibn

33 Khaldun 34 , Imam al-Qurthubi,32 Ibn Hajar al-Haitsami, al-Hâfidz Ibn Hajar al-Asqalâni, Imam an-Nawawi , 35 Prof. Dr. Dhiya’uddin ar-Rais, 36 Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq, 37

38 39 Syaikh Abdul Qadir Audah 40 , Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi, Syaikh Sulaiman ad-Diji,

41 Syaikh Muhammad Abduh , dan masih banyak lagi yang lainnya.

17 Imam Abu Ya’la, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hal. 19. Keterangan Imam Ahmad ini terdapat di dalam riwayat Muhammad bin ‘Auf bin Sofyan al-Himashi.

18 Mauqif Bani al-Marjah, Shahwah al-Rajul al-Maridh, hal. 375. 19 Abu al-A’lâ al-Maududi, al-Hukumah al-Islamiyyah, al-Mukhtâr al-Islami, cet-I, tahun 1977, diterjemahkan dalam

bahasa Arab oleh Ahmad Idris. 20 Lihat juga Syarhnya oleh az-Zabidi, jld. 2, hal. 233.

21 Lisân al-‘Arab, hal. 26. 22 Mâtsirul al-Inafah fi Ma’âlim al-Khilafah, jld. 1, hal. 16. 23 Tafsîr al-Kasysyâf, jld. 1, hal. 209. 24 Tafsîr al-Qurân al-‘Adzim, jld 1, hal. 70. 25 Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, hal. 602. 26 Tharikhal-Umam wa al-Muluuk, jld. 3, hal. 277. 27 Al-Isti’âb fi Ma’rifat ash-Ashhâb, jld. 3, hal. 1150 dan Târikh al-Khulafâ’, hal. 137-138. 28 Al-Ahkam ash-Shulthaniyah, hal. 5. 29 As-Siyasah Asy-Syar’iyah, hal. 161, Majmu’ al-Fatawa, jld. 28, hal. 62, dan Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, jld.

1, hal. 137-138. 30 Al-Iqtishâd fi al-I’tiqad, hal. 97.

31 Al-Muqaddimah, hal. 167, 519. 32 Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jld. 1, hal. 264 33 Ash-Shawa’iqul Muhriqah, hal. 17. 34 Fath al-Bârî, jld. 13, hal. 176. 35 Syarh Shahîh Muslim, jld. 12, hal. 205. 36 Al-Islam wa al-Khilafah, hal. 99. 37 Asy-Syura, hal. 26. 38 Al-Islam wa Audha’una as-Siyasiyah, hal. 124. 39 Qawaid Nizham al-Hukum fi al-Islam, hal. 248. 40 Al-Imamah al-‘Uzhma, hal. 75. 41 Al-Islam wa an-Nashraniyah, hal. 61.

Metode Mendirikan Khilafah

Dalam hal ini perlu ditegaskan 2 (dua) prinsip. Pertama, seluruh aktivitas kaum Muslim wajib bersandar kepada hukum syara’, bukan bersandar kepada selainnya, seperti kepentingan sesaat, hawa nafsu, atau akal. Karena itu, perjuangan umat untuk mendirikan Khilafah harus berdasarkan kepada hukum-hukum syara’, tidak boleh didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang non-syara’. Keterikatan kepada syari’at Islam adalah kewajiban tiap muslim. Kedua, umat Islam wajib mengambil suri teladan (uswah hasanah) dari Nabi Muhammad Saw dalam masalah ini. Sebab, Rasulullah Saw telah memberi teladan bagaimana cara mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Kita wajib meneladani manhaj (metode) Rasulullah Saw ini. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah

(dengan membaca dzikir dan mengingat Allah). ” (Qs. al-Ahzab [33]: 21).

“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’. ” (Qs. Ali-‘Imran [3]: 31).

“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. ” (Qs. al-Hasyr [59]: 7).

Atas dasar itu, langkah-langkah untuk mendirikan Khilafah Islam harus bersandar kepada 2 (dua) prinsip di atas. Adapun langkah-langkah untuk mendirikan Khilafah dapat disarikan sebagai berikut:

Pertama, perjuangan harus dilakukan secara jama’i (berkelompok). Sebab mendirikan Khilafah adalah tugas yang berat yang tidak akan mampu dipikul oleh individu-individu. Karena itu, umat wajib berkelompok (berjama’ah) untuk mendirikan Khilafah. Sebab, tanpa berkelompok tak mungkin kewajiban mulia itu dapat terealisir secara sempurna. Kaidah syara’ menetapkan, Mâ lâ yatimmu al- wâjibu illâ bihi fa huwa wâjib (Jika sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya ).

Selain itu, berdirinya jamaah yang menyeru kepada Islam dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar adalah wajib pula berdasarkan firman Allah SWT:

“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jama’ah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. ” (Qs. Ali-‘Imran [3]: 104).

Kedua, perjuangan harus berada di jalur politik (siyasah). Sebab mendirikan Khilafah adalah masalah politik sehingga metode yang relevan untuk mendirikannya tentunya adalah melalui pendekatan politik. Penggunaan jalan politik ini bukan berarti menghalalkan segala cara, sebagaimana praktek politik saat ini yang sangat kotor dan tuna susila. Akan tetapi maksudnya adalah, perjuangan yang dilakukan harus selalu mengacu pada aktivitas pemeliharaan urusan umat, sebab politik (siyasah) adalah pemeliharaan dan pengaturan segala urusan umat menurut hukum-hukum syara’.

Dengan demikian, penegakan Khilafah tidak ditempuh melalui jalur selain politik. Jadi, mendirikan Khilafah paling tepat dilakukan oleh sebuah kelompok politik. Tidak tepat bila mendirikan Khilafah ditempuh melalui jalur selain politik, misalnya jalur yang dilakukan kelompok yang mengadakan kegiatan sosial-kemasyarakatan (seperti membangun sekolah dan rumah sakit; membantu fakir miskin, anak-anak yatim atau orang-orang jompo dan sebagainya), atau kelompok yang bergerak dalam peribadatan dan amalan-amalan sunnah, atau kelompok yang menerbitkan buku-buku keislaman, mentakhrij hadits-hadits Nabi Saw, dan sebagainya.

Memang, semua itu adalah amal shalih, bukan amal salah. Namun tidak tepat kalau itu dimaksudkan sebagai langkah atau jalur menuju berdirinya Khilafah.

Ketiga, perjuangan tidak menggunakan cara kekerasan (fisik), misalnya dengan membentuk milisi- milisi bersenjata untuk menyerang penguasa. Sebab, aktivitas Rasulullah Saw di Makkah terbatas hanya pada dakwah secara lisan dan tidak melakukan kegiatan apapun yang bersifat fisik sampai beliau Hijrah. Bahkan tatkala tokoh-tokoh Madinah menawarkan kepada beliau pada Bai’atul Aqabah

II agar mereka diizinkan memerangi penduduk Mina dengan pedang, Rasulullah Saw menjawab, “lam nu’mar bi dzalika ba’du (Kami belum diperintahkan [untuk melakukan yang demikian( perang)]).”

Kekuatan fisik yang dimaksud dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan Jihad. Jihad tetap berlangsung terus hingga hari Kiamat. Apabila musuh-musuh kafir menyerang salah satu negeri Islam, maka wajib atas kaum Muslim yang menjadi penduduk negeri itu untuk menghadapinya.

Keempat, perjuangan harus menempuh tahap-tahap (marhalah) yang dicontohkan Rasulullah Saw. Dengan mendalami sirah Rasulullah Saw di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan suatu Daulah Islam di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan jelas tujuan-tujuannya. Dari sirah Rasulullah Saw inilah kita mengambil metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini. Berdasarkan sirah Rasulullah Saw tersebut, kita dapati terdapat 3 (tiga) tahapan (marhalah) berikut: Pertama, Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (marhalah at-tatsqif), yang dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran Islam dalam rangka pembentukan kerangka tubuh jama’ah/kelompok. Kedua, Tahapan Berinteraksi dengan Umat (marhalah tafa’ul ma’a al-ummah), yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, agar umat berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Ketiga, Tahapan Pengambilalihan Kekuasaan (marhalah Istilâm al-hukm), yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.

Tahap pertama tersebut, serupa dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah Saw pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyam- paikan kepada orang-orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepadanya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah Saw berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu Tahap pertama tersebut, serupa dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah Saw pada tahap awal dakwah beliau yang berlangsung selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyam- paikan kepada orang-orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepadanya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah Saw berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu

Adapun tahap kedua, dilaksanakan Rasulullah Saw setelah turunnya firman Allah SWT:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpa linglah dari orang-orang yang musyrik. ” (Qs. al-Hijr [15]: 94).

Rasulullah Saw diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, ‘aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.

Beliau menyerang dan mencela setiap ‘aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur. Ayat al-Qur’an tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat al-Qur’an turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.

Sedangkan tahap ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan, ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah Saw, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Bai’at Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah Saw sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah Saw setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.

Inilah langkah-langkah yang harus ditempuh umat untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah.

BAB II - RAMADHAN: MOMENTUM MENANGGULANGI KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan salah satu momok dalam kehidupan umat manusia. Benar, ia benar-benar menjadi momok menakutkan, tidak hanya bagi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, tetapi juga bagi negara-negara maju.

Kemiskinan dapat digolongkan dalam tiga kategori; kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan natural. Kemiskinan struktural disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat, dan lain-lainnya. Intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia.

Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju.

Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.

Dari ketiga katagorisasi kemiskinan di atas, pada dasarnya kemiskinan berpangkal pada masalah distribusi kekayaan yang timpang dan tidak adil. Karena itu, Islam menekankan pengaturan distribusi ekonomi yang adil agar ketimpangan di dalam masyarakat dapat dihilangkan. Allah SWT berfirman:

“… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (Qs. al-Hasyr [59]: 7 ).

Agar harta tersebut tidak berhenti di tangan orang-orang kaya saja, maka, melalui momentum Ramadhan yang suci ini, kita harus menghidupkan ukhuwah Islamiyyah di tengah-tengah masyarakat, mendorong mereka membelanjakan hartanya di jalan Allah, dan mengkoreksi kebijakan pemerintah yang tidak adil.

Mendorong Ukhuwah Islamiyyah

Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah membangun kepedulian antara sesama anggota masyarakat. Dalam Islam kepedulian terhadap sesama ini diikat kokoh dengan tali persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah). Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara …” (Qs. al-Hujarât [49]: 10).

Dari Ibn Umar dituturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Muslim itu saudara seorang muslim, dia tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Siapa saja yang memenuhi kebutuhan Dari Ibn Umar dituturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Muslim itu saudara seorang muslim, dia tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Siapa saja yang memenuhi kebutuhan

“Seorang Muslim adalah saudara (akhun) bagi Muslim lainnya.” [HR. Muslim].

Kekuatan persaudaraan Islam diibaratkan sebagai satu tubuh, di mana jika ada satu anggota badan yang sakit maka seluruh badan merasakan sakit pula. Rasulullah Saw bersabda:

“Perumpamaan kaum Muslim dalam kasih sayang dan tolong-menolong mereka adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh menderita sakit maka seluruh tubuh ikut menopang dengan