7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prinsip Dasar Difusi Melalui Membran
Difusi didefenisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan
dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas barrier, misalnya membran polimer. Sebagai contoh, perjalanan suatu zat
melalui suatu batas bisa terjadi oleh suatu permeasi molekul sederhana atau oleh gerakan melalui pori dan lubang saluran Martin, et al., 1993.
2.1.1 Hukum Fick pertama
Sejumlah M benda yang mengalir melalui satu satuan penampang melintang, S, dari suatu pembatas dalam satu satuan waktu t dikenal sebagai aliran
dengan simbol, J Martin, et al., 1993.
J =
dM Sdt
.
1 Di mana: M = massa gram
S = luas permukaan batas cm
2
Sebaliknya aliran berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi dCdX: J = - D
dC dX
2 Di mana: D = koefisien difusi cm
2
detik C = konsentrasi gramcm
3
X = jarak cm
Universitas Sumatera Utara
8 Persamaan 2 dikenal sebagai hukum Fick pertama. Persamaan ini
memberikan aliran laju difusi melalui satuan luas dalam aliran pada keadaan tunak. Dalam percobaan difusi, larutan dalam kompartemen reseptor yang
diambil, diganti secara terus menerus dengan pelarut baru untuk menjaga agar selalu dalam keadaan sink.
Parameter penetrasi perkutan secara in vitro dihitung dari data penetrasi dengan menggunakan persamaan berikut:
D =
6
2
3
Js =
s m
C DK
= Kp Cs 4 Di mana:
D = koefisien difusi cm
2
jam
= ketebalan membran cm
= lag time jam Kp
= koefisien permeabilitas melalui membran jam
-1
. cm
-2
Cs = konsentrasi zat aktif dalam salep mcg
Js = fluks mcgjam.cm
2
Km = koefisien partisi kulitpembawa cmjam
2
Martin, et al., 1993.
2.2 Kulit
Kulit menutupi seluruh tubuh dan melindunginya dari rangsangan eksternal dan kerusakan serta dari kehilangan kelembaban. Luas permukaan kulit
orang dewasa sekitar 1,6 m
2
. Ketebalan kulit bervariasi terhadap usia, jenis kelamin dan lingkungan hidup. Umumnya, kulit pria lebih tebal dibandingkan
kulit wanita. Namun, wanita mempunyai lapisan lemak yang tebal pada subkutan.
Universitas Sumatera Utara
9 Secara umum, kulit pada kelopak mata adalah yang paling tipis dan kulit pada
telapak kaki adalah yang paling tebal Mitsui, 1997.
2.2.1 Anatomi dan fisiologi kulit
Secara histopatologis kulit tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: a.
Lapisan epidermis b.
Lapisan dermis
c. Lapisan subkutan
Wasitaatmadja, 1997. Gambar 2.1 menunjukkan struktur anatomi kulit Saurabh, et al., 2014.
Gambar 2.1 Struktur kulit 2.2.1.1 Lapisan epidermis
Epidermis mempunyai ketebalan yang bervariasi, tergantung pada ukuran sel dan jumlah lapisan sel, mulai dari 0,8 mm pada telapak tangan dan 0,06 mm
pada kelopak mata Tortora dan Grabowski, 2006.
Universitas Sumatera Utara
10 Lapisan epidermis tersusun dari lima lapisan yaitu:
a.
Lapisan tanduk Stratum korneum
Stratum korneum merupakan lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah
berubah menjadi keratin zat tanduk Wasitaatmadja, 1997. b. Lapisan lusidum stratum lusidum
Stratum lusidum merupakan lapis sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein eleidin. Lapisan ini terdapat jelas di telapak tangan
dan kaki. Stratum lusidum terdapat langsung di bawah stratum korneum Wasitaatmadja, 1997.
c. Lapisan keratohialin stratum granulosum Stratum granulosum merupakan dua atau tiga lapis sel gepeng dengan
sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti sel di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum
granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki Wasitaatmadja, 1997. d. Lapisan spinosum stratum spinosum
Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel berbentuk poligonal dengan ukuran bermacam-macam akibat proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena
banyak mengandung glikogen dan inti sel terletak di tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan kulit makin gepeng bentuknya. Di antara sel-sel stratum
spinosum terdapat jembatan antarsel intercellular bridges yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antarjembatan membentuk
penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel stratum
Universitas Sumatera Utara
11 spinosum terdapat sel-sel Langerhans yang mempunyai peran penting dalam
sistem imun tubuh Wasitaatmadja, 1997. e. Lapisan basal stratum basale
Lapisan basal merupakan dasar epidermis, berproduksi dengan cara mitosis. Lapisan ini terdiri atas sel-sel kubus kolumnar yang tersusun vertikal, dan pada
taut dermoepidermal berbaris seperti pagar palisade Wasitaatmadja, 1997.
2.2.1.2 Lapisan dermis
Dermis mempunyai lapisan yang jauh lebih tebal daripada epidermis, terbentuk oleh jaringan elastik dan fibrosa padat dengan elemen selular, kelenjar,
dan rambut sebagai adneksa kulit. Lapisan ini terdiri atas: a.
Pars papilaris, yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
b. Pars retikularis, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan dengan
subkutis, terdiri atas serabut penunjang kolagen, elastin dan retikulin. Dasar matriks lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan
kondroitin sulfat dan sel-sel fibroblas. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya umur menjadi stabil dan keras. Retikulin mirip dengan
kolagen muda, sedangkan elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, mudah mengembang, dan elastis Wasitaatmadja, 1997.
2.2.1.3 Lapisan subkutan
Lapisan subkutan merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar,
dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh
Universitas Sumatera Utara
12 trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus, berfungsi
sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama
bergantung pada lokasi, di abdomen 3 cm, sedangkan di daerah kelopak mata dan penis sangat tipis. Lapis lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan
Wasitaatmadja, 1997.
2.2.2 Sistem penyampaian obat melalui kulit
Penyampaian obat secara transdermal menjadi alternatif yang lebih diinginkan untuk meningkatkan efisiensi pengobatan serta lebih aman daripada
penyampaian obat secara oral. Pasien sering lupa meminum obat atau menjadi bosan harus mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan frekuensi yang beberapa
kali sehari. Selain itu, penyampaian obat oral sering menyebabkan gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena first pass metabolism di hati. Selain
itu, absorpsi keadaan tunak suatu obat melalui kulit selama beberapa jam ataupun hari menghasilkan level dalam darah yang lebih disukai daripada yang dihasilkan
dari obat oral Kumar, et al., 2010.
2.2.3 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit
Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
a. Durasi kerja yang panjang sehingga frekuensi pemberian obat berkurang
b. Kenyamanan pemberian obat
c. Meningkatkan bioavailabilitas
d. Menghasilkan level plasma yang lebih seragam
Universitas Sumatera Utara
13 e.
Mengurangi efek samping obat dan meningkatkan terapi karena mempertahankan level plasma sampai akhir interval terapi
f. Kemudahan penghentian pemakaian obat
g. Meningkatkan kepatuhan pasien Kumar, et al., 2010.
2.2.4 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit
Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa kerugian, antara lain:
a.
Kemungkinan terjadinya iritasi lokal
b. Kemungkinan terjadinya eritema, gatal, dan edema lokal yang disebabkan
obat ataupun bahan tambahan dalam formulasi sediaan Kumar, et al., 2010.
2.2.5 Rute penyampaian obat melalui kulit
Ada dua jalur utama obat berpenetrasi menembus stratum korneum, yaitu: jalur transepidermal dan jalur pori. Gambar 2.2 menunjukkan jalur penetrasi obat
Trommer dan Neubert, 2006.
Gambar 2.2 Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum
Universitas Sumatera Utara
14 Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan jalur
interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan menembus secara langsung lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit yang mati.
Jalur ini merupakan jalur terpendek, tetapi obat mengalami resistansi yang signifikan karena harus menembus struktur lipofilik dan hidrofilik. Jalur yang
lebih umum bagi obat untuk berpenetrasi melalui kulit adalah jalur interselular Hadgraft, 2004.
Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit. Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan transglandular. Karena kelenjar
dan folikel rambut hanya menempati sekitar 0,1 dari total luas kulit manusia, oleh karena itu kontribusi rute ini terhadap penetrasi dianggap kecil
Moser, et al., 2001. Tetapi, jalur transfolikular dapat menjadi jalur yang penting bagi penetrasi
obat yang diberikan secara topikal Lademann, et al., 2003.
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelepasan Obat Secara Transdermal 2.3.1 Faktor kimia
Faktor-faktor kimia obat yang dapat mempengaruhi pelepasan obat melalui kulit yaitu:
a. Berat molekul obat
Absorpsi berhubungan terbalik dengan berat molekul dan semakin kecil molekul semakin cepat penetrasinya kedalam kulit daripada yang berukuran
besar. Semakin tinggi berat molekul semakin rendah tingkat penetrasi kedalam kulit Lombry, et al., 2000.
Universitas Sumatera Utara
15 b.
Lipofilisitas Pengaruh koefisien partisi terhadap difusi molekul telah dipelajari. Dengan
mengacu pada difusi pasif, peningkatan lipofilisitas obat menyebabkan berkurangnya permeasi Denet, et al., 2004. Sebuah studi serupa dengan
nalbuphine dan prodrugnya yang menunjukkan bahwa peningkatan lipofilisitas menyebabkan rasio peningkatan penetrasi menurun Sung, et al., 2003.
c. Formulasi
Faktor lain yang mempengaruhi penetrasi senyawa bioaktif melalui kulit adalah jenis formulasi yang dirancang untuk masuknya obat. Konsentrasi obat
mempengaruhi penghantaran topikal dan formulasi memainkan peranan penting dalam pemasukan obat melalui kulit, dengan korelasi antara konsentrasi dan
jumlah obat yang dihantarkan melalui kulit Regnier, et al., 1998. Selanjutnya, peningkatan viskositas pada formulasi menurunkan penetrasi obat ke dalam kulit
yang mungkin disebabkan oleh penurunan difusi. d.
Koefisien Partisi Koefisien partisi merupakan faktor yang penting untuk permeasi obat melalui
stratum korneum. Untuk pemberian obat pertama sampai terakhir, obat harus memiliki karakteristik tertentu yang meliputi massa molekul rendah, kelarutan
yang cukup dalam minyak, dan koefisien partisi yang cukup tinggi. Hal ini diamati bahwa semakin tinggi nilai koefisien partisi, obat lipofilik tidak mudah
masuk ke stratum korneum Prakash dan Thiagarajan, 2012.
2.3.2 Faktor biologis
Faktor-faktor biologis obat yang dapat mempengaruhi pelepasan obat melalui kulit yaitu:
Universitas Sumatera Utara
16 a.
Kondisi Kulit Kulit yang utuh berfungsi juga sebagai pelindung yang kuat tetapi banyak
bahan yang diketahui dapat merusak pelindung tersebut. Beberapa asam maupun basa dapat melukai sel pelindung dan mengizinkan penetrasi obat. Penyakit
umumnya mengubah kondisi kulit yang dapat meningkatkan permeabilitas obat. Penyakit yang ditandai dengan kerusakan stratum korneum, permeasi meningkat.
Karena lapisan pertama dari stratum korneum yang baru terbentuk, tingkat permeasi menurun. Difusi pasif maksimum terjadi pada area yang memiliki
banyak folikel rambut daripada area yang memiliki lapisan stratum korneum yang tebal Prakash dan Thiagarajan, 2012.
b. Usia Kulit
Hal ini sering diasumsikan bahwa kulit muda dan tua lebih permeabel dibandingkan orang dewasa setengah baya, tapi tidak ada bukti konklusif untuk
fenomena ini. Anak-anak lebih rentan terhadap efek toksik obat dan pada bayi prematur, stratum korneum tidak ada. Ini mungkin merupakan keuntungan untuk
mengobati beberapa penyakit melalui aplikasi topikal Prakash dan Thiagarajan, 2012.
c. Aliran Darah
Perubahan sirkulasi perifer tidak mempengaruhi penyerapan transdermal. Tetapi peningkatan aliran darah dapat mengurangi waktu molekul terdifusi untuk
bertahan pada dermis, juga meningkatkan konsentrasi gradien melalui kulit. Aliran darah lokal tidak mempengaruhi penetrasi epidermis dari kation
monovalen melalui kulit Cross dan Roberts, 1995. Namun, penetrasi dalam kasus diklofenak, asam salisilat dan antipyrine ditemukan dan ditingkatkan
Universitas Sumatera Utara
17 dengan pengurangan aliran darah ke kulit dengan menggunakan fenilefrin,
vasokonstriktor Higaki, et al., 2005. d.
Metabolisme kulit Beberapa proses metabolisme terjadi pada kulit akibat enzim yang terletak di
epidermis yang menentukan efikasi terapetik dari obat yang diaplikasikan secara topikal dengan memodulasi biotransformasi kulit Schaefer dan Filaquier, 1992.
2.3.3 Karakteristik molekul obat yang cocok untuk diformulasi menjadi sediaan transdermal
Ada 4 karakteristik molekul obat yang cocok untuk diformulasi menjadi sediaan transdermal, yaitu Barry, 1983:
a. Memiliki massa molekul yang rendah, yaitu lebih kecil dari 600 Da
b. Memiliki kelarutan yang cukup, baik dalam minyak maupun dalam air
c. Memiliki koefisien partisi yang cocok
d. Memiliki titik lebur yang rendah, titik lebur yang rendah menunjukkan
kelarutan yang ideal.
2.4 Enhancer Peningkat Penetrasi
Enha ncer atau peningkat penetrasi adalah bahan yang dapat meningkatkan
permeabilitas kulit. Bahan peningkat penetrasi tidak memiliki efek terapi, tetapi dapat mentransport obat dari bentuk sediaan ke dalam kulit Kushwaha dan
Sharma, 2012. Alasan dibutuhkan penggunaan bahan peningkat penetrasi adalah adanya barier penetrasi, yaitu stratum korneum. Peningkatan penetrasi obat dapat
dilakukan menggunakan peningkat penetrasi kimia maupun fisika Sharma, et al., 2012.
Universitas Sumatera Utara
18
2.4.1 Peningkat penetrasi secara fisika
Peningkat penetrasi secara fisika dapat dilakukan dengan Sharma, et al., 2012:
a. Tato obat medicated tattoos
b. Gelombang tekanan c. Frekuensi radio
d. Magnetoforesis e. Iontoforesis
f. Elektroporasi
g. Mikroporasi h. Injeksi tanpa jarum
i . Sonoforesis Fonoforesis
2.4.2 Peningkat penetrasi secara kimia
Tujuan peningkat penetrasi adalah untuk meningkatkan permeabilitas barier stratum korneum tanpa merusak sel. Sifat enhancer kimia yang ideal adalah:
a. Inert secara farmakologi.
b. Non-toksik, non-iritasi dan non-alergenik.
c. Onset of action obat cepat dan durasi kerja obat yang digunakan sesuai dan
dapat diperkirakan. d.
Dengan penghilangan enhancer, stratum korneum segera pulih kembali. e.
Bekerja saru arah, yaitu dapat membantu masuknya zat dari luar ke dalam tubuh, tapi mencegah keluarnya material endogen dari dalam tubuh.
f. Memiliki efikasi yang baik dan kompatibel secara fisika dan kimia dengan
berbagai bahan obat.
Universitas Sumatera Utara
19 g.
Merupakan pelarut yang baik bagi obat sehingga hanya dibutuhkan jumlah obat yang minimal.
h. Mudah disapukan pada kulit dan cocok dengan kulit.
i. Dapat di formulasi dengan mudah pada lotion, suspensi, salep, krem, gel
dan aerosol. j.
Tidak mahal, berbau, berasa dan berwarna Ramteke, et al., 2012
2.4.3 Mekanisme kerja enhancer kimia
Enha ncer kimia dapat bekerja dengan salah satu atau lebih mekanisme
utama berikut ini: a.
Merusak struktur lipid stratum korneum yang rapat b.
Berinteraksi dengan stuktur protein intraselular c.
Meningkatkan partisi obat atau pelarut ke dalam stratum korneum Bhowmik, et al., 2013.
2.4.4 Jenis-jenis enhancer kimia
Beberapa senyawa telah diketahui berperan sebagai enhancer kimia seperti: a.
Sulfoksida dan senyawa yang mirip b.
Azone c.
Pirolidon d.
Asam lemak e.
Ester f.
Minyak atsiri, terpen, dan terpenoid g.
Surfaktan h.
Propilen glikol i.
Urea dan turunannya Trommer dan Neubert, 2006.
Universitas Sumatera Utara
20
2.4.4.1 Lemak
Efek peningkat penetrasi dari lemak telah banyak disebutkan dalam literatur. Lemak dapat mengoklusi menutup permukaan kulit, dengan demikian
dapat meningkatkan hidrasi jaringan dan dapat meningkatkan permeasi obat ketika digunakan pada stratum korneum sebagai pembawa, lemak dapat menyatu
dengan lipid stratum korneum dan merusak struktur stratum korneum sehingga pembawa bebas menembus ke dalam kulit di mana obat mungkin kurang larut dan
karenanya meningkatkan aktivitas termodinamika obat Williams dan Barry,
2004. 2.5 Indometasin
2.5.1 Uraian bahan
a. Rumus bangun :
Gambar 2.3 Rumus bangun indometasin
b. Rumus molekul : C
19
H
16
ClNO
4
c. Berat molekul : 357,80
d. Nama kimia : Asam 1-4-klorbenzoil-5-metoksi-2metilindol-3-il-asetat
e. Pemerian : Hablur atau serbuk kuning pucat hingga kuning kecoklatan,
tidak berbau atau hampir tidak berbau, hampir tidak mempunyai rasa.
Universitas Sumatera Utara
21 f. Kelarutan
: Praktis tidak larut dalam air; larut dalam 50 bagian etanol 95 P, dalam 30 bagian kloroform P, dan dalam 45
bagian eter P Ditjen POM, 1979.
2.5.2 Efek indometasin terhadap inflamasi
Indometasin merupakan salah satu obat antiinflamasi nonsteroid yang paling efektif untuk pengobatan reumatoid artritis, ankylosing spondylitis, osteoartritis,
dan acute gouty arthritis Ramarao dan Diwan, 1998. Mekanisme kerja indometasin sebagai antiinflamasi yaitu dengan cara menghambat kedua isoenzim
siklooksigenase COX, COX-1 dan COX-2 secara kompetitif. Di mana enzim COX-1 dan COX-2 dapat mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi
prostaglandin G-2 PGG-2, dan tromboksan yang digunakan oleh tubuh untuk menjalankan berbagai respon fisiologis Tjay dan Rahardja, 2008.
2.6 Minyak Wijen
Minyak wijen adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan biji- biji sesamiwijen, berupa cairan yang warnanya kuning pucat, berbau lemah, dan
rasanya tawar. Berbeda dengan minyak-minyak nabati lainnya, minyak wijen tidak membeku dalam keadaan temperatur udara 0
°
C Sutedjo, 2004. Zat-zat yang terkandung dalam minyak wijen, yaitu:
a. Gliserida dari asam oleat 75.
b. Gliserida asam linoleat, asam palmitat, asam stearat, dan asam miristat
Sutedjo, 2004.
Universitas Sumatera Utara
22
2.7 Minyak Almond