PENDAHULUAN T1 712010017 Full text

1

1. PENDAHULUAN

Upacara Seren Taun adalah pesta syukuran yang dilakukan pada awalnya oleh para petani setelah setahun hiruk-pikuk bekerja 1 , tetapi kini upacara Seren Taun tidak hanya dilakukan oleh para petani saja, melainkan juga oleh masyarakat setempat dan terlebih oleh para penganut kepercayaan lokal Sunda Wiwitan, yang biasa disebut penghayat. Upacara Seren Taun ini biasanya berlangsung selama seminggu dan puncaknya tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir atau bulan ke- dua belas 12 dalam perhitungan tahun Sunda Saka. Tujuan acara ini bermuara pada rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang sudah diterima pada tahun yang sudah lewat dan menyambut tahun baru dengan luapan kegembiraan dan harapan 2 . Upacara Seren Taun ini merupakan bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan, kepercayaan Sunda Wiwitan adalah kepercayaan masyarakat Sunda dalam menghormati roh karuhun, nenek moyang. Kepercayaan ini tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Kepercayaan ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang tradisi nenek moyang, kepercayaan Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau Agama Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa kepercayaan ini adalah bagian dari agama Buhun 3 , Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa 4 . Masyarakat yang memeluk kepercayaan Sunda Wiwitan disebut juga Penghayat. Namun pada saat yang sama pemeluk ADS juga ikut membubarkan diri disebabkan karena ada anggapan bahwa ADS bukanlah sebuah agama dan atau sebagai penyimpangan ajaran agama 5 . 1 Nana Gumilang, Seren Taun – Pesona Budaya dan Rafleksi Rohani Masyarakat Cigugur Cileungsi- Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara LPKN, 2013, 19 2 Gumilang, Seren Taun, 19 3 Buhun yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk Agama Kuring di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dan lain-lain 4 http:www.tabloidpodium.comberita-agama-sunda-wiwitan.html , diunduh pada tanggal 04 Agustus 2015 pukul 22:45 5 Pernyataan ini dikemukakan oleh PAKEM Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, Katalog Dalam Terbitan KDT, Cigugur, 40-41 2 Kepercayaan Sunda atau kepercayaan Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya 6 . Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur 7 . Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Sunda 8 . Kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan asal mula terbentuknya Gereja Kristen Pasundan GKP. Gereja Kristen Pasundan GKP adalah sebuah Gereja yang berada di tataran pasundan Sunda-Jawa Barat dan Gereja Kristen Pasundan GKP Jemaat Cigugur merupakan bagian dari GKP secara luas. GKP Jemaat Cigugur terletak di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Hal ini bagi penulis menarik untuk diteliti karena ritual Upacara Seren Taun merupakan upacara yang masih dilakukan sampai sekarang, ditengah-tengah keberagamaan agama terutama oleh masyarakat yang telah memeluk agama Kristen, oleh sebab itu penulis ingin meneliti lebih dalam tentang bagaimana tinjauan sosio-teologis GKP Jemaat Cigugur mengenai ritual Upacara Seren Taun tersebut. Menurut informasi yang penulis terima dari jemaat GKP Cigugur mengenai upacara Seren Taun, bahwa upacara Seren Taun ini memiliki sisi sosiologis dan teologis. Adapun sisi sosiologis menurut jemaat diantaranya memper-erat tali persaudaraan, rasa menghormati yang tinggi terhadap tetua adat dan tidak membeda-bedakan agama, suku serta latar belakang. Sedangkan dari sisi teologis menurut informasi jemaat GKP Cigugur mengenai upacara Seren Taun bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat 6 Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan KDT, Cigugur – Miniatur Pluralisme Indonesia Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara LPKN, Agustus 2013, 38 7 Katalog Dalam Terbitan KDT, Cigugur, 24 8 Katalog Dalam Terbitan KDT, Cigugur, 36 3 setempat terlebih penghayat kepada sang Pemberi Berkat dan masyarakat menunjukan penghormatan kepada alam sebagai ciptaan dari Sang Pencipta. Upacara Seren Taun dilaksanakan setiap tahunnya yang diikuti oleh penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, masyarakat sekitar termasuk jemaat GKP Cigugur, tamu dari luar daerah dan terlebih tamu dari mancanegara. Seren Taun ini dilakukan selama tujuh 7 hari yang di dalamnya terdapat banyak kegiatan yang dilakukan; dalam tujuh 7 hari tersebut ada tarian-tarian daerah, salah satunya adalah Tari Buyung; ada perlombaan-perlombaan bagi masyarakat sekitar, contohnya membuat irama musik dengan media air; Puncak dari acara Seren Taun ini adalah pada hari yang ke-tujuh 7 dimana pada hari tersebut masyarakat mendapat giliran untuk menumbuk padi di gedung Paseban, dimulai dari tamu undangan sampai pada yang terakhirnya kepada masyarakat sekitar; setelah acara menumbuk padi, semua masyarakat yang terlibat melakukan pawai mengelilingi daerah Cigugur, terlebih lagi mengelilingi Kabupaten Kuningan dengan membawa patung-patung hewan yang terbuat dari bahan sterofoam yang mereka buat sendiri. Secara sosiologis upacara Seren Taun dapat mempererat hubungan masyarakat tanpa harus melihat latar belakang agama, budaya, ekonomi, politik, dan lain-lain. Sedangkan secara teologis upacara Seren Taun berarti suatu penghormatan kepada leluhur dan budaya yang dilakukan oleh Jemaat GKP Cigugur sebagai ungkapan rasa syukur. Upacara Seren Taun yang penulis tulis ini merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia. Oleh sebab itu, ada tiga 3 teori yang akan penulis gunakan di dalam tulisan ini, diantaranya: Teori tentang ritual menurut Agus Bustanuddin, Imam Suprayogo, dan Koentjaraningrat. Kebudayaan menurut Raymond Williams. Kebudayaan culture dekat pengertiannya dengan k ata “kultivasi” cultivation yang berarti pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius. Namun dalam pemaknaannya, kebudayaan mengalami perubahan-perubahan sehingga definisinya menjadi sangat kompleks. Raymond Williams berpendapat bahwa kebudayaan merupakan penggambaran keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah 4 orang, kelompok, atau masyarakat 9 . Teori kebudayaan menurut Richard Niebuhr yang mengajukan lima tipologi tentang Kristus dan kebudayaan yaitu: Kristus melawan kebudayaan, Kristus dari kebudayaan, Kristus di atas kebudayaan, Kristus dan kebudayaan, dan Kristus pembaharu kebudayaan. Menurut penulis, penggunaan tiga 3 teori tersebut sangat tepat karena upacara Seren Taun merupakan salah satu ritual dan kebudayaan yang ada di Indonesia dan seperti apa yang telah dikatakan oleh Raymond Williams, bahwa kebudayaan berarti pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius. Sedangkan teori yang diungkapkan oleh Richard Niebuhr bertujuan untuk melihat pandangan iman Kristen Gereja terhadap kebudayaan itu sendiri. Agus Bustanuddin, Imam Suprayogo, dan Koentjaraningrat memaparkan tentang teori ritual. Berdasarkan latar belakang diatas, maka fokus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana sikap GKP Jemaat Cigugur melihat Upacara Seren Taun secara sosio-teologis? Dari rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan sikap GKP Jemaat Cigugur melihat upacara Seren Taun secara sosio-teologis. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberi sumbangan pemikiran bagi masyarakat Indonesia yang multi etnis, agama, dan budaya yang bertitik tolak dari sebuah tradisi lokal yang telah lama dimiliki masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat itu sendiri. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan kualitatif dengan metode diskriptif. Metode kualitatif diskriptif adalah pencarian fakta dengan intepretasi yang tepat dengan jalan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses- proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena 10 . 9 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto editor, Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005, 8 10 Mohammad Nazir, Metode Penelitian Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, 63-64 5 Jenis dan Pengambilan Data 1. Primer Data primer di dapatkan melalui wawancara. Wawancara ditujukan kepada informan kunci seperti: Ketua adat Sunda Wiwitan, Pendeta Jemaat, Tetua Jemaat Jemaat paling tua, Masyarakat pada umumnya.

2. Sekunder