T1 712010017 Full text

(1)

SEREN TAUN

Tinjauan Sosio-Teologis GKP Jemaat Cigugur

Terhadap Upacara Seren Taun

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi (S. Si. Teol.)

Program Studi Teologi

Anggara Rudianto Arpani

712010017

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

Salatiga


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

MOTTO

Setiap orang pasti sukses, tetapi untuk meraih kesuksesan

tersebut setiap orang menjalani proses yang berbeda-beda dan

selalu mengandalkan Tuhan setiap menjalani proses

&

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala

sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi

Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana

Allah


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat, bimbingan dan anugerahnya serta kehidupan yang diberikan kepada penulis sehingga melalui berbagai macam proses yang panjang, pada akhirnya penulisan dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini kiranya dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman dalam penulisan-penulisan tugas akhir berikutnya. Harapan penulis semoga jurnal ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih banyak kekurangan karena pengalaman penulis yang dimiliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, penulis berharap kepada para pembaca untuk memberikan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan tugas akhir ini.

Penulis ingin memberikan penghargaan terbesar kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai penulis dalam penulisan tugas akhir ini dan yang selalu memberi anugerah-Nya. Penulis berterima kasih kepada setiap pihak yang sudah memberikan dukungan dari awal studi di UKSW hingga kini sudah tercapai apa yang diharapkan. Terima kasih juga dipersembahkan kepada orang tua terkasih (Eddy Slamet Arpani dan Iriani Setiabudi Hastuti Alm.) dan adik (Anggia Immanuella Arpani) yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat, serta keluarga besar Arpani yang selalu memberikan dukungan dan doa dalam menempuh studi sebagai mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana. Apresiasi khusus untuk pembimbing, Dr. David Samiyono, MTS, MSLS. atas bimbingan, pengetahuan, waktu, dan dorongan yang membesarkan hati penulis untuk segera menyelesaikan studi di Fakultas Teologi UKSW dan memasuki dunia pelayanan. Terima kasih kepada wali studi terkasih Ibu Pdt. Dien Sumiyatiningsih yang menjadi orang tua selama penulis menjalankan masa perkuliahaan di Fakultas Teologi UKSW. Tentu juga untuk seluruh tenaga pengajar dan tata usaha di Fakultas Teologi UKSW, tanpa bimbingan dan kerja sama mereka pencapaian ini tidak akan pernah sempurna. Terima kasih kepada Jemaat GKP Cigugur dimana penulis melaksanakan praktek pendidikan lapangan sekaligus pra-penelitian selama empat bulan serta penelitian dan terima kasih pula kepada Jemaat GKP Bethesda sebagai asal Gereja penulis yang dimana selalu mendukung dan memberikan semangat untuk penulis. Terkhusus terima kasih kepada Sinode Gereja Kristen Pasundan yang selalu mendukung penulis dalam penulisan jurnal ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada


(8)

sahabat-vii

sahabat yang luar biasa: Jonathan, Kadek Bagus, Manasye, Estron, Arda, Riscky Manafe, Romi, Beritha, Franklin, Felix, Bambang, Kurniawan, Dekson, Janeman, Josua, J. Sinaga, Wilson, Made Rai, Carol, Desi, Joshua dan seluruh keluarga besar Fakultas Teologi angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu untuk kebersamaan yang telah kita bagi. Perjalanan baru saja akan dimulai, kiranya Tuhan Yesus Kristus Sang Guru Agung selalu menganugerahkan kasih-Nya bagi kita.

Atas perhatian, dukungan dan kerjasamanya, penulis ucapkan terima kasih Tuhan Yesus Memberkati.

Salatiga,


(9)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN AKSES ... iii

PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv

MOTTO ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... viii

ABSTRAK ... ix

1. Pendahuluan...1

2. Landasan Teori...6

2.1. Teori Ritual...6

2.2. Kebudayaan Menurut Raymond Williams...7

2.3. Teori Kebudayaan Richard Neibuhr...10

3. Deskripsi Hasil Penelitian Mengenai Upacara Seren Taun Jemaat GKP Cigugur...11

3.1. Gambaran Umum GKP Jemaat Cigugur...11

3.2. Sejarah Singkat GKP Jemaat Cigugur...12

3.3. Perayaan Upacara Seren Taun...14

3.4. Tanggapan GKP Jemaat Cigugur Terhadap Upacara Seren Taun...16

4. Relevansi Upacara Seren Taun Bagi Jemaat GKP Cigugur...20

5. Kesimpulan dan Saran...23

5.1. Kesimpulan...23

5.2. Saran...23


(10)

ix

Anggara Rudianto Arpani 712010017

SEREN TAUN

Tinjauan Sosio-Teologis GKP Jemaat Cigugur Terhadap Upacara Seren Taun

Abstrak

Upacara Seren Taun adalah pesta syukuran yang dilakukan pada awalnya oleh para petani setelah setahun hiruk-pikuk bekerja. Namun pada saat ini Seren Taun tidak hanya dilakukan oleh para petani saja tetapi dilakukan oleh semua elemen masyarakat Sunda. Tujuan diadakannya Upacara Seren Taun ini adalah bermuara dari rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang sudah diterima pada tahun yang sudah lewat dan menyambut tahun baru dengan luapan kegembiraan dan harapan.

Selain tujuan di atas, masyarakat Sunda pada umumnya menjalankan Upacara Seren Taun ini demi membangun keharmonisan antar warga. Hal ini dilakukan karena masyarakat Sunda memiliki beragam keyakinan yang cukup kuat, untuk tetap membangun kekerabatan. Hubungan yang terjadi dalam masyarakat Sunda adalah hubungan yang dinamis yang menyangkut hubungan antar warga, antar kelompok, maupun antar masyarakat dengan masyarakat lain.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan dari Upacara Seren Taun yang dilakukan ini adalah untuk membangun kebersamaan dengan masyarakat maupun dengan Tuhan yang disembah.


(11)

1 1. PENDAHULUAN

Upacara Seren Taun adalah pesta syukuran yang dilakukan pada awalnya oleh para petani setelah setahun hiruk-pikuk bekerja1, tetapi kini upacara Seren Taun tidak hanya dilakukan oleh para petani saja, melainkan juga oleh masyarakat setempat dan terlebih oleh para penganut kepercayaan lokal Sunda Wiwitan, yang biasa disebut penghayat.

Upacara Seren Taun ini biasanya berlangsung selama seminggu dan puncaknya tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir atau bulan ke- dua belas (12) dalam perhitungan tahun Sunda (Saka). Tujuan acara ini bermuara pada rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang sudah diterima pada tahun yang sudah lewat dan menyambut tahun baru dengan luapan kegembiraan dan harapan2.

Upacara Seren Taun ini merupakan bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan, kepercayaan Sunda Wiwitan adalah kepercayaan masyarakat Sunda dalam menghormati roh karuhun, nenek moyang. Kepercayaan ini tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Kepercayaan ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), kepercayaan Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau Agama Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa kepercayaan ini adalah bagian dari agama Buhun3, Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa4. Masyarakat yang memeluk kepercayaan Sunda Wiwitan disebut juga Penghayat. Namun pada saat yang sama pemeluk ADS juga ikut membubarkan diri disebabkan karena ada anggapan bahwa ADS bukanlah sebuah agama dan atau sebagai penyimpangan ajaran agama5.

1 Nana Gumilang,

Seren Taun – Pesona Budaya dan Rafleksi Rohani Masyarakat Cigugur (Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2013), 19

2

Gumilang, Seren Taun, 19

3

Buhun yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dan lain-lain

4

http://www.tabloidpodium.com/berita-agama-sunda-wiwitan.html, diunduh pada tanggal 04 Agustus 2015 pukul 22:45

5

Pernyataan ini dikemukakan oleh PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat), Katalog Dalam Terbitan (KDT), Cigugur, 40-41


(12)

2

Kepercayaan Sunda atau kepercayaan Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya6.

Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur7. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Sunda8.

Kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan asal mula terbentuknya Gereja Kristen Pasundan (GKP). Gereja Kristen Pasundan (GKP) adalah sebuah Gereja yang berada di tataran pasundan (Sunda-Jawa Barat) dan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Cigugur merupakan bagian dari GKP secara luas. GKP Jemaat Cigugur terletak di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Hal ini bagi penulis menarik untuk diteliti karena ritual Upacara Seren Taun merupakan upacara yang masih dilakukan sampai sekarang, ditengah-tengah keberagamaan agama terutama oleh masyarakat yang telah memeluk agama Kristen, oleh sebab itu penulis ingin meneliti lebih dalam tentang bagaimana tinjauan sosio-teologis GKP Jemaat Cigugur mengenai ritual Upacara Seren Taun tersebut.

Menurut informasi yang penulis terima dari jemaat GKP Cigugur mengenai upacara Seren Taun, bahwa upacara Seren Taun ini memiliki sisi sosiologis dan teologis. Adapun sisi sosiologis menurut jemaat diantaranya memper-erat tali persaudaraan, rasa menghormati yang tinggi terhadap tetua adat dan tidak membeda-bedakan agama, suku serta latar belakang. Sedangkan dari sisi teologis menurut informasi jemaat GKP Cigugur mengenai upacara Seren Taun bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat

6

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Cigugur – Miniatur Pluralisme Indonesia

(Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), Agustus 2013), 38

7

Katalog Dalam Terbitan (KDT), Cigugur, 24

8 Katalog Dalam Terbitan (KDT),


(13)

3

setempat (terlebih penghayat) kepada sang Pemberi Berkat dan masyarakat menunjukan penghormatan kepada alam sebagai ciptaan dari Sang Pencipta.

Upacara Seren Taun dilaksanakan setiap tahunnya yang diikuti oleh penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, masyarakat sekitar (termasuk jemaat GKP Cigugur), tamu dari luar daerah dan terlebih tamu dari mancanegara. Seren Taun ini dilakukan selama tujuh (7) hari yang di dalamnya terdapat banyak kegiatan yang dilakukan; dalam tujuh (7) hari tersebut ada tarian-tarian daerah, salah satunya adalah Tari Buyung; ada perlombaan-perlombaan bagi masyarakat sekitar, contohnya membuat irama musik dengan media air; Puncak dari acara Seren Taun ini adalah pada hari yang ke-tujuh (7) dimana pada hari tersebut masyarakat mendapat giliran untuk menumbuk padi di gedung Paseban, dimulai dari tamu undangan sampai pada yang terakhirnya kepada masyarakat sekitar; setelah acara menumbuk padi, semua masyarakat yang terlibat melakukan pawai mengelilingi daerah Cigugur, terlebih lagi mengelilingi Kabupaten Kuningan dengan membawa patung-patung hewan yang terbuat dari bahan sterofoam yang mereka buat sendiri.

Secara sosiologis upacara Seren Taun dapat mempererat hubungan masyarakat tanpa harus melihat latar belakang agama, budaya, ekonomi, politik, dan lain-lain. Sedangkan secara teologis upacara Seren Taun berarti suatu penghormatan kepada leluhur dan budaya yang dilakukan oleh Jemaat GKP Cigugur sebagai ungkapan rasa syukur.

Upacara Seren Taun yang penulis tulis ini merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia. Oleh sebab itu, ada tiga (3) teori yang akan penulis gunakan di dalam tulisan ini, diantaranya:

Teori tentang ritual menurut Agus Bustanuddin, Imam Suprayogo, dan Koentjaraningrat. Kebudayaan menurut Raymond Williams. Kebudayaan (culture) dekat pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation) yang berarti pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius. Namun dalam pemaknaannya, kebudayaan mengalami perubahan-perubahan sehingga definisinya menjadi sangat kompleks. Raymond Williams berpendapat bahwa kebudayaan merupakan penggambaran keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah


(14)

4

orang, kelompok, atau masyarakat9. Teori kebudayaan menurut Richard Niebuhr yang mengajukan lima tipologi tentang Kristus dan kebudayaan yaitu: Kristus melawan kebudayaan, Kristus dari kebudayaan, Kristus di atas kebudayaan, Kristus dan kebudayaan, dan Kristus pembaharu kebudayaan.

Menurut penulis, penggunaan tiga (3) teori tersebut sangat tepat karena upacara Seren Taun merupakan salah satu ritual dan kebudayaan yang ada di Indonesia dan seperti apa yang telah dikatakan oleh Raymond Williams, bahwa kebudayaan berarti pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius. Sedangkan teori yang diungkapkan oleh Richard Niebuhr bertujuan untuk melihat pandangan iman Kristen (Gereja) terhadap kebudayaan itu sendiri. Agus Bustanuddin, Imam Suprayogo, dan Koentjaraningrat memaparkan tentang teori ritual.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka fokus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana sikap GKP Jemaat Cigugur melihat Upacara Seren Taun secara sosio-teologis?

Dari rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan sikap GKP Jemaat Cigugur melihat upacara Seren Taun secara sosio-teologis.

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberi sumbangan pemikiran bagi masyarakat Indonesia yang multi etnis, agama, dan budaya yang bertitik tolak dari sebuah tradisi lokal yang telah lama dimiliki masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat itu sendiri.

Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan kualitatif dengan metode diskriptif. Metode kualitatif diskriptif adalah pencarian fakta dengan intepretasi yang tepat dengan jalan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena10.

9

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 8

10 Mohammad Nazir, M


(15)

5 Jenis dan Pengambilan Data

1. Primer

Data primer di dapatkan melalui wawancara. Wawancara ditujukan kepada informan kunci seperti: Ketua adat (Sunda Wiwitan), Pendeta Jemaat, Tetua Jemaat (Jemaat paling tua), Masyarakat pada umumnya.

2. Sekunder

Selain metode wawancara, penulis juga menggunakan teknik dokomentasi. Dokumentasi merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan penelitian, baik dari sumber dokumen, gambar, buku, koran, dan majalah11. Teknik ini dilakukan untuk memperoleh referensi yang relevan seperti konsep, gagasan, teori yang relevan dan berkaitan dengan penelitian baik dalam proses pengumpulan data dan pengolaan data.

3. Unit Amatan

Jemaat GKP Cigugur 4. Unit Analisis

Jemaat yang mengikuti ritual Seren Taun

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang akan dilakukan penulis bertempat di daerah Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Cigugur terletak di sebelah Barat Kabupaten Kuningan yang merupakan daerah pegunungan, dengan puncaknya Gunung Ciremai (3.076 m) di perbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Penulis sendiri akan lebih memfokuskan penelitian kepada GKP Jemaat Cigugur dan daerah Kecamatan Cigugur itu sendiri.

Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis membaginya menjadi lima bagian pokok bahasan. Bagian pertama berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian kedua berisi teori tentang ritual menurut Agus Bustanuddin, Imam Suprayogo, dan Koentjaraningrat, teori Raymond Williams: kultivasi (cultivation), dan Richard Niebuhr: Kristus dan Kebudayaan. Pada bagian ketiga penulis akan melakukan studi lapangan ke Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Cigugur, guna mencari informasi tentang ritual upacara Seren Taun. Bagian keempat berisikan analisa yang akan penulis lakukan guna

11 Hadiri Nawawi,


(16)

6

melihat relevansi ritual upacara Seren Taun bagi GKP Jemaat Cigugur dengan menggunakan teori-teori yang ada dibagian kedua. Bagian kelima berisi kesimpulan yang merupakan inti dari bagian pertama sampai bagian keempat.

2. LANDASAN TEORI

2.1.Teori Ritual

Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh kelompok umat beragama yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara12. Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu dan memakai pakaian tertentu pula13.

Ritual atau ritus dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan. Seperti upacara menolak balak dan upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, pernikahan dan kematian14. Upacara ritual sering disebut juga upacara keagamaan. Upacara yang tidak dipahami alasan konkretnya dinamakan rites dalam bahasa Inggris yang berarti tindakan atau upacara keagamaan. Upacara ritual merupakan kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh sekelompok masyarakat yang diatur dengan hukum masyarakat yang berlaku15. Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaningrat dimana upacara ritual adalah sistem aktifasi atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan bagaimana macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi pada masyarakat yang bersangkutan16. Adapun penggunaan kata ritus yang menurut Bustanuddin ritus berhubungan dengan kekuatan supranatural dan kesakralan. Karena itu istilah ritus atau ritual dipahami sebagai upacara keagamaan yang berbeda sama sekali dengan yang natural, profan, dan aktivitas ekonomis rasional sehari-hari. Ritual dilakukan sebagai salah satu sarana mencari keselamatan dan bukti nyata dari sebuah

12

Koentjaraningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1967),56

13

Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 41

14

Bustanuddin, Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 95

15

Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia, 96

16 Koentjaraningrat,


(17)

7

keyakinan yang dimiliki oleh kelompok atau anggota masyarakat tentang adanya kekuatan yang maha dahsyat di luar kemampuan manusia17.

Ritual juga merupakan bentuk rasa hormat kepada Tuhan, Dewa, Leluhur, dan Roh-Roh. Menurut Koentjaningrat, upacara religi atau ritual adalah wujudnya sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, Dewa-Dewa, Roh-Roh halus, Neraka, Surga dan sebagainya, tetapi mempunyai wujud yang berupa upacara-upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala18. Ritual selalu berhubungan dengan sebuah kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus rasa hormat luhur kepada yang dipercayainya. Ritual dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap (roh) leluhur dan sebuah permohonan keselamatan, rezeki (berkat) kepada Tuhan yang mereka yakini. Setiap ritual dilakukan dengan sakral karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan suci.

Upacara ritual menurut Koderi (1991 : 109) adalah upacara yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap kekuatan benda alam dan roh halus atau kekuatan gaib biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, seperti Suran, Sadranan, Sedhekah Laut, dan Sedhekah Bumi. Sisa-sisa kepercayaan semacam itu juga menyertai dalam kegiatan menuai padi, mendirikan rumah, dan memelihara benda-benda yang dianggap keramat.

Menurut Supanto dalam Sunyata (1996 : 2) ritual merupakan kegiatan sosial yang melibatkan para warga dalam mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara tradisional ataupun ritual adalah bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat. Hal ini terwujud karena fungsi upacara tradisional bagi kebudayaan masyarakat. Penyelenggaraan upacara tradisional sangat penting artinya bagi masyarakat pendukungnya.

2.2.Kebudayaan Menurut Raymond Williams

Kebudayaan menurut Raymond Williams. Kebudayaan (culture) dekat

pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation) yang berarti pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius. Namun dalam pemaknaannya, kebudayaan mengalami perubahan-perubahan sehingga definisinya menjadi sangat kompleks. Raymond Williams berpendapat bahwa kebudayaan merupakan penggambaran

17

Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia, 97

18 Koentjaraningrat,


(18)

8

keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat19.

Raymond Williams mengatakan bahwa kebudayaan merupakan terminologi yang paling “rumit” dalam sebuah bahasa. Rumitnya menafsir dan memahami kata tersebut disebabkan adanya keterlibatan prasangka (apriori) yang kuat sebagai paradigma kebudayaan (cultural paradigm). Sebuah tulisan dari Rene Char menyatakan bahwa kebudayaan adalah “warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat” (notre heritage

n’est precede d’aucun testament – Prancis). Dengan mengutip tulisan Rene Char ini, Ignas Kleden menjelaskan setiap pembaharuan suatu budaya. Bahwa pada mulanya kebudayaan adalah “nasib”, dan baru kemudian kita menanggungnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima yang bukan saja menghayati tetapi juga menjadi penderita yang menanggung beban kebudayaan tersebut sebelum kita bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan mengubahnya. Pada dasarnya kita adalah “pasien” kebudayaan sebelum kita cukup kuat untuk menjadi “agen”-nya20.

Oleh sebab itu menurut Raymond Williams, kata budaya atau culture adalah satu diantara tiga kata yang paling sulit untuk didefinisikan di dalam bahasa Inggris. Wiliams menyarankan tiga pengertian yang dapat digunakan untuk mengerti apa yang dimaksud dengan budaya, diantaranya: Pertama, A general process of intellectual, spiritual, and aesthetic development (Sebuah proses umum dari intelektual, spiritual, dan perkembangan estetika). Kedua, A particular way of life, whether of a people, a period or a group (Cara hidup yang khusus baik dari seseorang manusia, suatu periode, atau pun suatu kelompok). Ketiga, Refer to a works and practices of intellectual and especially artistic activity21(Mengacu kepada karya-karya atau praktek-praktek intelektual dan khususnya kegiatan-kegiatan yang bersifat seni).

Dari ketiga pengertian yang telah disarankan oleh Raymond Williams ini, akan didapatkan tiga wujud dari kebudayaan tersebut, selaras dengan yang dikemukakan oleh J.J. Hoenigman (dalam Koentjaraningrat, 1986), diantarnya: gagasan, aktivitas, dan artefak.

19

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 8

20

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 19

21

John Storey, Cultural Theory and Populer Culture An Introduction Sixth Edition, (New York: Routledge, 2013), 1-2


(19)

9 1. Gagasan (Wujud Ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

2. Aktivitas (Tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

3. Artefak (Karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Pada kenyataannya, kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama, yaitu kebudayaan material dan kebudayaan non- material. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olah raga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan non material adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.


(20)

10 2.3. Teori Kebudayaan Richard Neibuhr

Richard Neibuhr mengajukan lima tipologi tentang Kristus dan Kebudayaan yaitu Kristus lawan Kebudayaan, Kristus dari Kebudayaan, Kristus di atas Kebudayaan, Kristus dan Kebudayaan, dan Kristus Pembaharu Kebudayaan.

Kristus lawan Kebudayaan

Dalam tipologi ini ditekankan bahwa otoritas penuh Kristus atas orang Kristen dengan tegas menolak tuntutan kebudayaan. Kristus dengan karakternya yang suci dan kudus sangat bertolak belakang dengan keberadaan masyarakat yang berbudaya. Kebudayaan dianggap sebagai sumber dosa. Jadi dapat dikatakan bahwa keyakinan dan ketaatan akan Kristus dalam tipologi ini bersifat ekslusif22. Tipologi Kristus lawan Kebudayaan ini dapat dikatakan sebagai sikap radikal yaitu sikap yang sama sekali tidak mengakui hubungan antara iman dan budaya. Iman berasal dari Tuhan sedangkan budaya datang dari manusia23.

Kristus dari Kebudayaan

Tipologi yang kedua yaitu Kristus dari Kebudayaan menjelaskan bahwa pemahaman akan Kristus dapat dilihat melalui kehidupan dalam kebudayaan dengan memilih ajaran dan tindakan Kristus yang masih cocok dengan apa yang terbaik di dalam peradaban24. Jadi dapat dikatakan bahwa tipologi ini adalah sikap yang akomodatif yaitu melihat adanya keselarasan antara Kristus dan Kebudayaan terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sesuai dengan kehidupan Kristus. Sehingga sikap ini sangat bertentangan dengan sikap radikal25.

Kristus di atas Kebudayaan

Kristus di atas Kebudayaan berarti bahwa manusia dengan sifat alami dan keberadaan dalam kehidupan budayanya wajib untuk taat kepada Allah26. Tipologi ini disebut sebagai sikap yang sintetik atau sikap perpaduan dimana manusia tidak harus memilih antara Kristus atau Kebudayaan karena dalam sikap ini kedua hal tersebut diakui. Kristus dianggap relevan dalam kebudayaan tetapi Ia mempunyai otoritas terhadap kebudayaan tersebut karena kebudyaan berasal

22 H. Richard Neibuhr,

Kristus dan Kebudayaan, (Jakarta Pusat: Petra Jaya, 1989) 75

23

Gerrit E. Singgih, Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Persetia, 1995) 137

24

Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan, 94

25

Malcom, Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1989), 185

26 Neibuhr,


(21)

11

dari Allah dan dari manusia. Sehingga dapat disebutkan bahwa kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang saling mengisi27.

Kristus dan Kebudayaan

Tipologi yang keempat adalah Kristus dan Kebudayaan dimana dalam tipologi ini tergolong dalam sikap dualistik. Sikap dualistik berarti sikap yang mengakui dan hidup di dunia yang berbeda. Dunia yang pertama adalah Kerajaan Allah, dan dunia yang kedua adalah masyarakat. Manusia adalah warga Kerajaan Allah dan masyarakat juga merupakan warga Kerajaan Allah. Tetapi antara Kerajaan Allah dan masyarakat tidak ada sangkut paut apapun28.

Kristus Pembaharu Kebudayaan

Kristus pembaharu kebudayaan berarti bahwa Kristus hadir sebagai penebus yang memperbaharui masyarakat. Tipologi ini termasuk dalam sikap transformatif dimana ketika kebudayaan yang diciptakan oleh manusia telah dicemari oleh dosa, tetapi Kristus telah menang atas dosa manusia dan Roh Kudus bekerja untuk memperbaharui kebudayaan dan adat istiadat yang telah dicemari oleh dosa tersebut. Oleh karena itu iman harus selalu menjadi warna atau nafas dari kebudayaan. Jadi yang terpenting dalam sikap transformatif ini adalah tetap menerima bagian tertentu dari budaya yang sesuai dengan ajaran Kristus dan menolak bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus29.

3. Deskripsi Hasil Penelitian Mengenai Upacara Seren Taun Jemaat GKP Cigugur 3.1.Gambaran Umum GKP Jemaat Cigugur

GKP Jemaat Cigugur terletak di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Kabupaten Kuningan, adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Ibu kotanya adalah Kuningan. Letak astronomis Kabupaten ini di antara 108°23" - 108°47" Bujur Timur dan 6°45" - 7°13" Lintang Selatan. Kabupaten ini terletak di bagian timur Jawa Barat, berbatasan dengan Kabupaten Cirebon di utara, Kabupaten Brebes (Jateng) di timur, Kabupaten Ciamis di selatan, serta Kabupaten Majalengka di barat. Kabupaten Kuningan terdiri atas 32 Kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 361 Desa dan 15 Kelurahan. Pusat pemerintahannya di Kecamatan Kuningan. Bagian timur wilayah Kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang di bagian Barat berupa pegunungan, dengan

27

Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, 190

28

Singgih, Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, 139

29 Singgih,


(22)

12

puncaknya Gunung Ciremai (3.076 m) yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Gunung Ciremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat.

Kabupaten Kuningan terbagi dalam beberapa wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Darma, Kadugede, Nusaherang, Ciniru, Hantara, Selajambe, Subang, Cilebak, Ciwaru, Karangkancana, Cibingbin, Cibeureum, Luragung, Cimahi, Cidahu, Kalimanggis, Ciawi Gebang, Cipicung, Lebakwangi, Maleber, Garawangi, Sindang Agung, Kuningan, Cigugur, Kramatmulya, Jalaksana, Japara, Cilimus, Cigandamekar, Mandirancan, Pancalang, dan Pasawahan.

3.2.Sejarah Singkat GKP Jemaat Cigugur

Kehidupan jemaat GKP Cigugur masih tidak jauh berbeda dengan pada masa awal jemaat di awal perkembangan jemaat ini. Sebagian besar pekerjaan jemaatnya adalah petani, buruh tani dan peternak. Hal ini sangat terkait pada lingkungan alam dan GKP Cigugur. Kecamatan Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, dimana di daerah ini merupakan area pertanian dan area peternakan serta dekat dengan gunung Ciremai. Sebagian yang lain adalah tukang bangunan, meski penghasilan yang diperoleh digunakan jemaat untuk memenuhi biaya hidup dan pendidikan anggota keluarga.

Rata-rata jemaat disini sebagain besar hanya lulusan SMA atau se-derajat. Tetapi ada pula beberapa pemudinya yang melanjutkan kuliah ke luar kota. Pemuda-Pemudi di sini sangat memiliki keterampilan, tetapi dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka banyak yang pergi ke luar kota untuk bekerja. Sehingga, di jemaat ini sangat sedikit Pemuda-Pemudinya. Hal tersebut menimbulkan permasalahan seperti terkikisnya jumlah jemaat dan minimnya generasi penerus gereja, karena banyak anggota jemaat yang menempuh pendidikan, bekerja dan berkeluarga di kota dan daerah lain.

Cikal bakal berdirinya GKP Cigugur, dimulai sekitar tahun 1964. Pada tahun 1964 munculah suatu kebijaksanaan dari pemerintah; khususnya dari Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat; mengenai larangan bagi Agama Djawa Sunda (ADS) untuk mengembangkan kegiatan ajaran agamanya. Sehingga pada tahun itu, bisa dikatakan aktivitas keagamaan dari para penganut ADS mulai terhambat atau terhenti. Pemerintah hanya mengakui 5 agama saja, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Situasi dan keadaan yang kurang berpihak memposisikan para penganut ADS untuk masuk pada salah satu agama yang telah diakui oleh Pemerintah Indonesia. Menurut


(23)

13

salah satu anggota jemaat GKP Cigugur, Bapak Sukana, pada saat itu ada semacam pewahyuan dari salah seorang tokoh ADS yang beredar mengenai agama mana yang harus mereka ikuti. Isi dari pewahyuan itu: “ulah muntang ka caringin, muntangmah ka camara bodas”.(jangan berlindung di pohon beringin, berlindunglah kepada cemara putih). Kata-kata tersebut diartikan oleh para pengikut ADS supaya mereka berlindung pada ajaran yang dibawa oleh orang-orang kulit putih (Kristen Katolik)30.

Pengikut ADS yang beralih menjadi penganut agama Kristen Protestan, mula-mula di Cigugur: Bapak Maskum dan Isteri, Bapak Kiming dan Isteri, Bapak Sukana31.

Tiga keluarga tersebut dalam perjalanan imannya bertemu dengan seorang pelaut yang bernama Bapak Stefanus. Bapak Stefanus mengajak mereka untuk mencari gereja di Cirebon. Pencarian mereka akhirnya tertuju pada Gereja Kristen Pasundan Jemaat Cirebon, yang pada saat itu dipimpin oleh Pendeta Kesa Yunus32. Keempat keluarga tersebut mendapatkan pelayanan dari GKP Cirebon33. Awal mula kebaktian dirintis di rumah keluarga Bapak Maskum, Cigugur, ada pula pelayanan yang dilaksanakan pada saat itu di antaranya adalah kebaktian Umum Minggu dan pelayanan sakramen. Beberapa Pendeta yang memberikan pelayanan kepada anggota jemaat GKP Cirebon yang berada di Cigugur diantarnya adalah: Pdt. Kesa Yunus, Pdt. Yosua Anirun dan Pdt. K. Suryanata. Adanya suatu bentuk persekutuan dan pelayanan di wilayah Cigugur, dalam perjalanannya mengalami penambahan dalam jumlah keanggotaannya. Mereka yang tertarik pada persekutuan ini, bukan hanya berasal dari wilayah Cigugur saja, melainkan juga dari Kuningan yang mayoritas merupakan warga keturunan Tionghoa. Keluarga-keluarga yang berasal dari Cigugur serta Kuningan dan menggabungkan dirinya dalam persekutuan GKP Jemaat Cirebon di Cigugur, kurang-lebihnya ada 13 keluarga yang ikut dalam persekutuan GKP Jemaat Cirebon di Cigugur pada saat itu.

30

Yayan Heryanto, S.Si., Laporan Masa Vikariat di GKP Jemaat Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur

31

Hasil Wawancara dengan Bapak S., bersama-sama dengan Bapak S., dalam mencari gereja di Cirebon

32

Yayan Heryanto, S.Si, Laporan Masa Vikariat di GKP Jemaat Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur

33

PPTG GKP 2003 Bab. VI Pasal 32 Adanya persekutuan di wilayah Cigugur pada saat itu masih merupakan Pos Pelayanan dari GKP Cirebon dan belum berbentuk Pos Kebaktian


(24)

14

Pada sekitar tahun 1974, terjadilah penambahan anggota yang masuk dan bergabung. Ada 11 keluarga yang tadinya beragama Katolik mendaftarkan diri menjadi anggota dari persekutuan jemaat GKP Cirebon di Cigugur34.

Seiring dengan berjalannya waktu, pertengahan tahun 2004, diangkatlah suatu gagasan mengenai pendewasaan bagi Pos Kebaktian Cigugur menjadi jemaat yang mandiri. Melalui pertemuan di rumah salah satu anggota Majelis GKP Jemaat Cirebon, Bapak Guusye H. Runtukahu yang pada saat itu menjabat sebagai ketua dua Majelis Jemaat GKP Cirebon, dibicarakanlah dengan khusus mengenai rencana pendewasaan Pos Kebaktian Cigugur35. Sebelum menjadi jemaat, Pos Kebaktian perlu menempuh proses menjadi Bakal Jemaat. Dalam rangka upaya peningkatan status dari Pos Kebaktian menjadi Bakal Jemaat, maka dibuatlah pembinaan bagi Pos Kebaktian Cigugur.

Pembinaan berlangsung selama 4 bulan, dimulai pada bulan Agustus 2004 dan berakhir pada bulan November 2004. Tepatnya pada tanggal 21 November 2004 dalam sebuah kebaktian Minggu yang dipimpin oleh Pdt. Budi T. Kaidun, S.Th, yang pada saat itu menjadi Pendeta di GKP Juntikebon dan sebagai Pendeta Konsulen di GKP Jemaat Cirebon, Pos Kebaktian Cigugur diresmikan menjadi Bakal Jemaat Cigugur36.

Pada tahun 2007, Pdt. Yayan Heryanto, S.Si ditahbiskan menjadi Pendeta jemaat di GKP Jemaat Cirebon dan ditugaskan melayani di GKP Bakal Jemaat Cigugur. Seiring berjalannya waktu dan dengan perjuangan dari seluruh anggota di Bakal Jemaat Cigugur, akhirnya pada bulan Oktober 2010, Bakal Jemaat Cigugur menjadi jemaat mandiri. Tepatnya pada tanggal 18 Oktober 2010, Bakal Jemaat Cigugur diresmikan menjadi GKP Jemaat Cigugur.

3.3.Perayaan Upacara Seren Taun

Sebelum melakukan Ucapara Seren Taun sebagai puncak dari kegiatan di jemaat Cigugur, masyarakat setempat biasanya melakukan beberapa rangkaian kegiatan, untuk menyambut puncak acara yakni Upacara Seren Taun. Rangkaian kegiatan tersebut

34

Rasimah TEF Manalu, SS., Laporan Masa Vikariat di Cirebon - Yayan Heryanto, S.Si., Laporan Masa Vikariat di GKP Jemaat Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur

35

Pertemuan tersebut merupakan salah satu usaha realisasi atas ide pendewasaan Pos Kebaktian Cigugur. Y. H. S.Si., Laporan Masa Vikariat di GKP Jemaat Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur

36

PPTG GKP 2003 Bab. Vi Pasal 30 No.4 - Yayan Heryanto, S.Si., Laporan Masa Vikariat di GKP Jemaat Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur


(25)

15

biasanya dilakukan enam hari lamanya. Misalnya; Wayang Semalam Suntuk, Pasar Rakyat, dan sebagainya.

Upacara Seren Taun yang dilakukan oleh masyarakat atau jemaat GKP Cigugur adalah pesta syukuran yang dilakukan oleh para petani setelah setahun hiruk-pikuk bekerja. Hal ini dimaksudkan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas hidup dan kehidupan yang sudah diterima dalam tahun yang sudah lewat dan menyambut tahun baru dengan luapan kegembiraan dan harapan. Anggapan masyarakat Cigugur adalah bahwa Tuhan Maha Agung telah memberi hidup dan kehidupan lewat apa yang kita makan dan minum, dan lewat udara yang dihirup, dan karenanya patut disyukuri. Ada nilai-nilai simbolis yang di ambil dari angka 22 Rayagung yang merupakan tanggal diadakannya ucapara Seren Taun. Maknanya adalah Rayagung diartikan sebagai bulan akhir yang berarti batas akhir aktifitas setahun yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Sedangkan angka 22 menunjukan arti tertentu. Angka 22 terdiri dari 20 dan 2; Bilangan dua mengandung makna bahwa di dunia ini selalu berpasangan seperti siang-malam, baik buruk, pria wanita dan hal berpasnagan lainnya. Sedangkan angka 20 menunjukan organ-organ yang ada pada tubuh manusia37. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa upacara ini bertujuan untuk menyatukan dan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Menurut masyarakat setempat, Ucapara Seren Taun ini tidak dibatasi hanya pada golongan tertentu, tetapi untuk semua golongan yang ada dalam masyarakat Cigugur.

Menurut salah satu majelis jemaat GKP Cigugur Upacara Seren Taun adalah ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena masyarakat telah tuntas menyelesaikan setiap tanggung jawab dari awal bulan (Muharam38) sampai pada bulan terakhir yakni Rayagung. Menurut beliau, masyarakat perlu bersyukur karena telah diberikan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk memperoleh hasil panen yang dijadikan sebagai makanan pokok bagi masyarakat setempat39.

37 Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, SEREN TAUN: Pesona dan Refleksi Rohani Masyarakat

Cigugur, (PT Rana Genta Nusantara, 2013) 19-20.

38

Muharam merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menyebut awal bulan dalam kalender suku Sunda, yang juga adalah awal tahun atau dalam kalender masehi disebut sebagai awal bulan (Januari). Sedangkan Rayagung adalah bulan terakhir dalam kalender suku Sunda yang dalam kalender Masehi berarti bulan Desember


(26)

16

3.4.Tanggapan GKP Jemaat Cigugur Terhadap Upacara Seren Taun

GKP Jemaat Cigugur memiliki tradisi yang sampai saat ini masih dipertahankan. Tradisi tersebut adalah Upacara Adat Seren Taun yang merupakan tradisi dari kepercayaan lokal, yaitu kepercayaan ADS atau biasa dikenal Sunda Wiwitan. Setiap diadakannya Upacara Seren Taun, semua elemen anggota jemaat ikut terlibat dan sangat antusias mengikutinya, tetapi menurut penuturan salah satu responden yang mengatakan, meskipun semua jemaat ikut terlibat dan antusias dalam Upacara Seren Taun, jemaat tetap harus mengingat bahwa Upacara Seren Taun hanyalah bagian dari kebudayaan masyarakat lokal (Sunda)40. Menurut salah satu responden, masyarakat menyambut dengan antusias kegiatan yang dilakukan ini, oleh karenanya kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang beragama Kristen, melainkan masyarakat non-Kristen pun ikut berpartisipasi dan antusias mengikuti acara ini. Keterlibatan masyarakat dalam hal ini GKP Jemaat Cigugur dan anggota masyarakat non-Kristen dalam acara ini menunjukan bahwa masyarakat benar-benar ingin menghayati dan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga masyarakat benar-benar menjaga keamanan dan ketertiban dari awal kegiatan ini sampai pada puncak kegiatan. Kegiatan ini dikatakan berjalan dengan baik, karena semua jemaat ikut mendukung acara ini. Selain tidak ada hal-hal yang menghambat acara ini, GKP Jemaat Cigugur benar-benar berpartisipasi, baik ikut menyumbangkan makanan dan memberikan tumpangan bagi tamu-tamu yang ada, semua jemaat berusaha untuk memeriahkan kegiatan ini. Menurut beliau, Upacara Seren Taun ini tidak dapat ditiadakan karena akan terkesan jemaat melupakan jati diri mereka, dan dalam banyak hal akan ada banyak pihak yang begitu kecewa. Budaya harus diangkat dan dilestarikan karena banyak budaya yang hilang karena pengaruh perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan keagamaan, kegiatan ini bertujuan untuk menyatukan umat beragama yang satu agama dengan umat beragama lainnya, saling terikat satu dengan yang lain, hidup rukun antar umat beragama, dalam saling berbagi pengalaman. Sedangkan dalam hubungannya dengan Yang Maha Esa, manusia mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan karena Tuhan telah memberikan kehidupan melalui makanan dan minuman, sebagai bentuk kedekatan manusia dengan Tuhan yang dapat digambarkan melalui kegiatan Upacara Seren Taun. Kegiatan ini merupakan sebuah tradisi, maka kegiatan ini tidak dapat digantikan oleh kegiatan


(27)

17

keagamaan lain. Karena apabila hal itu terjadi maka dapat menimbulkan perpecahan dan menimbulkan permasalahan dalam jemaat.

Adapun pernyataan tersebut diperkuat oleh Bapak Sukana yang mengatakan bahwa Seren Taun adalah sebuah tradisi asli masyarakat lokal (Sunda) yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Sunda dan ini merupakan ungkapan syukur yang disampaikan oleh masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hidup itu harus selaras dengan cara hidupnya. Hal ini disebabkan karena Upacara Seren Taun adalah yang menyatukan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, sehingga tidak ada permasalahan yang begitu berarti dalam acara ini. Menurut bapak Sukana pemerintah ikut mendukung acara ini karena kegiatan ini menyatukan masyarakat. Bukan hanya agama Kristen atau GKP Jemaat Cigugur yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini, tetapi agama lain juga ikut berpartisipasi. Menurut beliau juga ada anggapan dari salah satu anggota DPRD pada saat itu bahwa Bhinneka Tunggal Ika tercermin dalam Upacara Seren Taun yang berada di Cigugur. Menurut beliau, adanya GKP Jemaat Cigugur sekarang ini bermula dari orang-orang yang memeluk kepercayaan ADS atau yang biasa dikenal Sunda Wiwitan, oleh sebab itu upacara Seren Taun yang setiap tahunnya diadakan tidak dapat lepas dari jatidiri jemaat41. Inti dari perayaan Seren Taun (pergantian tahun) adalah sebagai bentuk ungkapan syukur yang di lakukan oleh masyarakat setempat kepada yang Ilahi atas hidup dan kehidupan yang telah di terima dalam tahun yang akan segera berakhir, dan menyatakan kegembiraan atas datangnya tahun baru42.

Dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, maka salah satu responden menyatakan secara sosiologi GKP Jemaat Cigugur tidak akan mengambil jarak dari Seren Taun, karena Seren Taun sudah menjadi akar kuat yang dimiliki oleh jemaat dari nenek moyang dan juga menjadi sebuah keungtungan warga GKP Jemaat Cigugur dikenal oleh orang lain, menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Jemaat lebur menjadi bagian dari komunitas masyarakat dan adat yang secara khusus terlibat dalam Seren Taun. Secara sosiologi Seren Taun sebuah keuntungan bagi jemaat GKP Cigugur dalam hal bermasyarakat43.

41

Hasil wawancara dengan Bapak S., Selasa 14 Juli 2015, Cigugur

42

Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, SEREN TAUN: Pesona dan Refleksi Rohani Masyarakat Cigugur. (PT Rana Genta Nusantara, 2013) 11-12


(28)

18

Secara sosiologis juga, Upacara Seren Taun adalah acara budaya Sunda atau disebut sebagai pesta rakyat. Oleh karena itu, masyarakat mempercayainya sebagai sarana untuk membangun relasi antar kelompok yang satu dengan kelompok lain, satu keluarga dengan keluarga lain, dan satu anggota dengan anggota lain dalam masyarkat. Menurut responden masyarakat seperti menyatu ketika acara ini diadakan. Tidak ada kepentingan pribadi yang ditonjolkan dalam Upacara Seren Taun karena kepentingan bersama lebih diutamakan. Selain tanggapan sosiologis yang telah dikemukakan oleh responden, ada juga tanggapan secara teologis44.

Pandangan secara teologi GKP Jemaat Cigugur terhadap Upacara Seren Taun pada awalnya tidak memiliki sebuah landasan teologi, karena Seren Taun merupakan sebuah kultur masyarakat yang masih melekat. Jemaat GKP Cigugur sendiri sekarang ini adalah generasi ke 2 dan ke 3 dari orang tua mereka yang benar-benar memeluk ADS atau dikenal sebagai kepercayaan Sunda Wiwitan. Tetapi dengan seiring berjalannya waktu dan perubahan pola pikir serta kepemimpinan, GKP Jemaat Cigugur mempunyai landasan teologi. Secara teologi, GKP Jemaat Cigugur membuat propaganda45 yang dipaparkan kepada masyarakat ADS bahwa kami46 adalah Gereja Kristen Pasundan untuk wilayah Cigugur. Jemaat GKP Cigugur 90% masyarakat sunda yang ketika menjadi Kristen, jemaat tercabut dari akar budaya. Jemaat harus menggunakan pakaian, tradisi yang asing untuk mengenal Kristus. Maka, jemaat menyadari bahwa hubungan sejarah akar jemaat ada di masyarakat ADS, orang tua jemaat merupakan orang ADS, maka ketika jemaat ingin belajar kesundaan, yang paling mungkin adalah jemaat belajar ke komunitas ADS, karena masyarakat ADS atau Sunda Wiwitan yang di dalamnya terdapat Upacara Seren Taun adalah orang tua jemaat47.

Selain pandangan teologis di atas, ada pandangan teologis lain yang diungkapkan oleh salah satu responden bahwa Upacara Seren Taun merupakan suatu tradisi atau sarana membangun hubungan dengan Yang Maha Esa. Upacara Seren Taun merupakan tempat yang tepat bagi masyarakat dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena tahun yang sudah lewat dan kegembiraan dalam menyambut

44

Hasil wawancara dengan Bapak O. M., Kamis 16 Juli 2015, Cigugur

45

Teologi propaganda= Bahasa teologi yang dimengerti dan diterima oleh masyarakat ADS

46

Kami= Jemaat GKP Cigugur


(29)

19

tahun yang akan datang. Masyarakat percaya bahwa Tuhan sudah memberikan berkat hasil berupa hasil tani yakni padi, pisang, singkong, umbi-umbian dan lain sebagainya48.

Responden lain, yang juga turut memperkuat tanggapan-tanggapan di atas, menyatakan bahwa Upacara Seren Taun merupakan tradisi lokal masyarakat Sunda, tradisi ini sejak dulu sudah ada dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Sunda. Tradisi ini sudah mendarah daging bagi jemaat asli dan jemaat pendatang. Pada awalnya Upacara Seren Taun hanya dilakukan oleh msyarakat ADS (Agama Djawa Sunda) tetapi pada zaman sekarang tradisi ini adalah milik semua orang Sunda. Saat ini, Upacara Seren Taun telah dan sering mengalami perkembangan, tetapi juga mengalami pasang surut artinya Upacara Seren Taun ini mengalami krisis pengunjung, sehingga untuk menarik minat dari para pengunjung maka dibuatlah undangan dan poster untuk mengundang masyarakat di luar GKP jemaat Cigugur. Para undangan tersebut diantaranya masyarakat pada umumnya dan para tokoh agama maupun orang-orang dari pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar lebih menarik perhatian dan minat dari kalangan di luar masyarakat Sunda. Upacara Seren Taun sudah diakui mancanegara, dan Upacara Seren Taun yang diakui ini terlebih yang berada di Cigugur49.

Menurut responden pada saat melakukan praktek pendidikan lapangan VI yang di lakukan di GKP Jemaat Cigugur, mendapati bahwa beberapa bulan sebelum puncak Upacara Seren Taun, banyak jemaat sudah mempersiapkan segala pernak-pernik untuk perayaan Upacara Seren Taun. Ini merupakan suatu hal positif yang dilakukan oleh GKP Jemaat Cigugur, karena pada saat sekarang ini, jemaat ingin melestarikan budaya atau Upacara Seren Taun ini.

Alasan untuk tetap mengembangkan atau melestarikan Upacara Seren Taun ini adalah karena GKP Jemaat Cigugur merasa bertanggung jawab untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan tradisi ini. Alasan lain yang dikemukakan adalah karena GKP Jemaat Cigugur merupakan orang-orang asli Sunda dari generasi kedua sampai pada generasi ketiga yang akan terus mengingat hal ini sebagai bentuk membangun hubungan yang baik dengan orang-orang terdahulu yang telah mengembangkan tradisi ini. Orang-orang terdahulu tersebut adalah orang-orang yang memeluk Agama Djawa Sunda (ADS) atau yang sering disebut Sunda Wiwitan. Tradisi

48

Hasil wawancara dengan Rama Anom, Kamis 16 Juli 2015, Cigugur


(30)

20

ini adalah merupakan jati diri yang dijadikan patokan dalam mengembangkan budaya yang ada di Cigugur50.

Dengan demikian makna sebenarnya dari Upacara Seren Taun menurut responden adalah sebuah tradisi asli masyarakat Sunda yang mana masyarakat setempat dalam hal ini GKP Jemaat Cigugur mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pemberi berkat51.

4. Relevansi Upacara Seren Taun Bagi GKP Jemaat Cigugur

Tanggapan GKP Jemaat Cigugur terhadap Upacara Seren Taun adalah bahwa Upacara tersebut merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan juga merupakan wujud dari rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hidup dan Kehidupan yang sudah diterima dari tahun yang sudah lewat dan menyambut tahun baru dengan luapan kegembiraan dan penuh harapan.

Dari tanggapan di atas, jelas bahwa GKP Jemaat Cigugur menganggap Upacara Seren Taun sebagai sebuah ungkapan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mana ada ungkapan syukur, dan pesta panen. Perasaan bersyukur yang diungkapkan merupakan sebuah dorongan psikologis orang-orang religius dan bukan merupakan ritus sebuah agama, GKP Jemaat Cigugur hidup dalam suatu ikatan kekerabatan yang begitu kuat. Hubungan-hubungan sosial ini terjadi antara orang-perorang, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang-perorang dengan kelompok manusia yang terjadi diantara warga masyarakat Cigugur. Tanggapan yang dikemukakan ini sangat berkaitan atau sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Koentjaningrat yang mengatakan bahwa upacara ritual adalah sistem aktifasi atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan bagaimana macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi pada masyarakat yang bersangkutan52.

Tanggapan GKP jemaat Cigugur yang menyatakan bahwa Upacara Seren Taun adalah wujud rasa syukur jemaat menunjukan suatu aktifitas yang dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat dan mengindikasikan bahwa sebagai masyarakat atau GKP Jemaat Cigugur yang religius, mereka dipanggil untuk bersyukur.

50

Hasil wawancara dengan Saudara A. R. A. Pada Selasa 14 Juli 2015, Cigugur

51

Hasil wawancara dengan Bapak A. K. A., Pada Minggu 19 Juli 2015, Cigugur

52 Koentjaraningrat,


(31)

21

Ungkapan syukur yang GKP Jemaat Cigugur ekspresikan adalah wujud nyata dari kehidupan yang telah diterima. Ungkapan syukur ini dilakukan oleh GKP Jemaat Cigugur dengan hiasan janur, nyanyian dan tarian, acara menumbuk padi bersama, persembahan hasil bumi, yang bernafaskan keagamaan merupakan ungkapan sebagaimana yang disebutkan dalam oleh Raymond Williams bahwa kebudayaan merupakan penggambaran keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat53. Kebudayaan ini diwujudkan dalam sebuah aktivitas (tindakan) berpola dari manusia dalam masyarakat itu sendiri. Wujud dari aktifitas ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Tanggapan lain yang juga dikemukakan adalah bahwa Upacara Seren Taun merupakan bagian dari tradisi luhur masyarakat Sunda. Ini berarti bahwa GKP Jemaat Cigugur menjadikan Upacara Seren Taun sebagai pengikat antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, dan antara satu golongan dengan golongan lain atau dengan kata lain, Upacara Seren Taun adalah pemersatu dari masyarakat setempat baik Kristen maupun non-Kristen. Sebagai makluk sosial, manusia sadar bahwasanya hidup di dunia adalah hidup bersama dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupannya, manusia harus senantiasa menjalin hubungannya yang baik dengan yang lainnya, hidup rukun antar sesama, saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Dengan demikian maka hal ini dapat dikatakan sama dengan apa yang diungkapkan oleh Supanto dalam Sunyata (1996 : 2) bahwa ritual merupakan kegiatan sosial yang melibatkan para warga dalam mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara tradisional ataupun ritual adalah bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat. Hal ini terwujud karena fungsi upacara tradisional bagi kebudayaan masyarakat. Penyelenggaraan upacara tradisional sangat penting artinya bagi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian Upacara Seren Taun ini juga merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh GKP Jemaat Cigugur.

53

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 8


(32)

22

Selain dari beberapa tanggapan yang telah di kemukakan di atas, ada tanggapan lain yang dikemukakan bahwa Upacara Seren Taun ini merupakan sebuah formasi budaya yang menekankan pentingnya mempertimbangkan tradisi serta kebudayaan supaya penghayatan agama itu bersifat kontekstual. Hal ini sangat berkaitan dengan apa yang dikemukan oleh Richard Neibuhr yang mengajukan lima tipologi tentang Kristus dan Kebudayaan yaitu Kristus lawan Kebudayaan, Kristus dari Kebudayaan, Kristus di atas Kebudyaan, Kristus dan Kebudayaan, dan Kristus Pembaharu Kebudayaan. Dan salah satu yang cocok untuk tanggapan seperti di atas adalah Kristus Pembaharu Kebudayaan. Kristus pembaharu kebudayaan berarti bahwa Kristus hadir sebagai penebus yang memperbaharui masyarakat. Tipologi ini termasuk dalam sikap transformatif dimana ketika kebudayaan yang diciptakan oleh manusia telah dicemari oleh dosa, tetapi Kristus telah menang atas dosa manusia dan Roh Kudus bekerja untuk memperbaharui kebudayaan dan adat istiadat yang telah dicemari oleh dosa tersebut. Oleh karena itu iman harus selalu menjadi warna atau nafas dari kebudayaan. Jadi yang terpenting dalam sikap transformatif ini adalah tetap menerima bagian tertentu dari budaya yang sesuai dengan ajaran Kristus dan menolak bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus54.

GKP Jemaat Cigugur mencoba untuk menghayati bagaimana latar belakang etnis dan kebudayaan mereka melalui Ucapara Seren Taun. Hal ini bukan menyangkut keberadaan yang ilahi tetapi merupakan sebuah formasi pengalaman GKP Jemaat Cigugur terhadap Tuhan, hidup dalam lingkungan tertentu, dan mengembangkan kebudayaan tertentu yang pada akhirnya melahirkan sebuah persepsi tentang bagaimana ungkapan syukur kepada Tuhan. Hal inilah yang terjadi dengan GKP Jemaat Cigugur mencoba mengungkapkan rasa syukur mereka dengan mengadakan Upacara Seren Taun. Apa yang telah dikemukakan ini sesuai yang dikatakan bahwa ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh kelompok umat beragama yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara55.

Dengan demikian, dari semua tanggapan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu manifestasi terima kasih atau ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

54

Singgih, Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, 139

55 Koentjaraningrat,


(33)

23

apa yang telah diterima oleh GKP Jemaat Cigugur adalah melalui Upacara Adat Seren Taun.

5. Kesimpulan dan Saran 5.1.Kesimpulan

Ungkapan Syukur atau pesta panen budaya yang dilakukan oleh GKP Jemaat Cigugur adalah bentuk dari melestarikan nilai-nilai toleransi dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Pelaksanaan pesta panen ini dilakukan oleh semua warga Cigugur tanpa memandang agama dan suku. “Baik yang beragama Kristen, Khatolik, Islam atau kepercayaan, semuanya sukarela menyiapkan Upacara Seren Taun”. Bukan hanya orang Cigugur yang sibuk. Orang-orang di luar Cigugur juga ikut membantu. Sikap saling membantu dalam tugas dan tidak ada pengotak-ngotakan peran berdasarkan keyakinan juga merupakan bentuk toleransi yang tetap terpelihara. Tidak pernah ada perselisihan karena latar belakang agama akibat salah satu pihak merasa dirugikan. Sebab, semua masalah diselesaikan bersama-sama tanpa memandang muka.

Hal di atas merupakan sikap atau tanggapan GKP Jemaat Cigugur yang dianggap sebagai suatu hal positif, bahwa GKP Jemaat Cigugur menghayati atau mengungkapkan rasa terima kasihnya melalui Upacara Seren Taun yang dilakukan pada setiap tanggal 22 Rayagung. harapan dan permohonan di tahun yang akan datang turut dipanjatkan dalam kegiatan ini. Ada beberapa tanggapan atau sikap yang dapat diambil adalah: Pertama, Sikap Pelestarian budaya dalam masyarakat untuk meningkatkan. Kedua, Toleransi antar umat beragama atau sikap kekerabatan melalui Upacara Seren Taun.

5.2.Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan di atas dan dalam upaya mengembangkan Upacara Seren Taun, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.

Dalam Upacara Seren Taun, khususnya kepada semua orang baik itu masyarakat maupun GKP Jemaat Cigugur, pertahankanlah nilai-nilai luhur yang ada di dalam masyarakat karena dengan begitu, budaya yang ada dapat menyatukan berbagai macam perbedaan yang ada dalam masyarakat.

Bagi gereja, dukunglah terus kegiatan-kegiatan yang ada dalam masyarakat dan turut ambil bagian dalam kegiatan dalam masyarakat tersebut.


(34)

24

Bagi fakultas, sebaiknya fakultas meningkatkan kualitas untuk penelitian

lapangan sehingga mahasiswa benar-benar melihat bagaimana masyarakat


(35)

25

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Brownlee, Malcolm. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1989.

Bungin, Burham, H. M. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Effendi, Djohan. Pluralisme dan Kebebasa n Beragama. Yogyakarta: Institut

DIAN/interfidei, 2010.

Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.

---. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Girimukti Pasaka, 1984.

Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Gumilang, Nana. Pikukuh Tilu Pemaparan Budaya Spiritual. Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2013.

---. Seren Taun Pesona Budaya dan Rafleksi Rohani Masyarakat Cigugur. Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2013.

Indrawardana, Ira. Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman. Bandung: Gedung Merdeka,

2011.

Knitter, Paul. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung jawab global. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Kobong, Th. Iman dan Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

Koentjaraningrat. Bebera pa Pokok Antropologi Sosia. Jakarta: Dian Rakyat, 1967.

Kruyt, A.C. Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.


(36)

26

Nawawi, Hadiri. Instrumen Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.

Nazir, Mohammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Niebuhr, H. Richard. Kristus dan Kebudayaan. Jakarta Pusat: Petra Jaya, 1989.

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Cigugur Miniatur Pluralisme Indonesia. Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2013.

Singgih, Gerrit E. Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan Dunianya Yang Sedang Berubah. Jakarta: Persetia, 1995.

Storey, John. Cultural Theory and Populer Culture An Introduction Sixth Edition. New York: Routledge, 2013.

Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda

Karya, 2001.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, (editor). Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2005.


(1)

21

Ungkapan syukur yang GKP Jemaat Cigugur ekspresikan adalah wujud nyata dari kehidupan yang telah diterima. Ungkapan syukur ini dilakukan oleh GKP Jemaat Cigugur dengan hiasan janur, nyanyian dan tarian, acara menumbuk padi bersama, persembahan hasil bumi, yang bernafaskan keagamaan merupakan ungkapan sebagaimana yang disebutkan dalam oleh Raymond Williams bahwa kebudayaan merupakan penggambaran keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat53. Kebudayaan ini diwujudkan dalam sebuah aktivitas (tindakan) berpola dari manusia dalam masyarakat itu sendiri. Wujud dari aktifitas ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Tanggapan lain yang juga dikemukakan adalah bahwa Upacara Seren Taun merupakan bagian dari tradisi luhur masyarakat Sunda. Ini berarti bahwa GKP Jemaat Cigugur menjadikan Upacara Seren Taun sebagai pengikat antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, dan antara satu golongan dengan golongan lain atau dengan kata lain, Upacara Seren Taun adalah pemersatu dari masyarakat setempat baik Kristen maupun non-Kristen. Sebagai makluk sosial, manusia sadar bahwasanya hidup di dunia adalah hidup bersama dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupannya, manusia harus senantiasa menjalin hubungannya yang baik dengan yang lainnya, hidup rukun antar sesama, saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Dengan demikian maka hal ini dapat dikatakan sama dengan apa yang diungkapkan oleh Supanto dalam Sunyata (1996 : 2) bahwa ritual merupakan kegiatan sosial yang melibatkan para warga dalam mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara tradisional ataupun ritual adalah bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat. Hal ini terwujud karena fungsi upacara tradisional bagi kebudayaan masyarakat. Penyelenggaraan upacara tradisional sangat penting artinya bagi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian Upacara Seren Taun ini juga merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh GKP Jemaat Cigugur.

53

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 8


(2)

22

Selain dari beberapa tanggapan yang telah di kemukakan di atas, ada tanggapan lain yang dikemukakan bahwa Upacara Seren Taun ini merupakan sebuah formasi budaya yang menekankan pentingnya mempertimbangkan tradisi serta kebudayaan supaya penghayatan agama itu bersifat kontekstual. Hal ini sangat berkaitan dengan apa yang dikemukan oleh Richard Neibuhr yang mengajukan lima tipologi tentang Kristus dan Kebudayaan yaitu Kristus lawan Kebudayaan, Kristus dari Kebudayaan, Kristus di atas Kebudyaan, Kristus dan Kebudayaan, dan Kristus Pembaharu Kebudayaan. Dan salah satu yang cocok untuk tanggapan seperti di atas adalah Kristus Pembaharu Kebudayaan. Kristus pembaharu kebudayaan berarti bahwa Kristus hadir sebagai penebus yang memperbaharui masyarakat. Tipologi ini termasuk dalam sikap transformatif dimana ketika kebudayaan yang diciptakan oleh manusia telah dicemari oleh dosa, tetapi Kristus telah menang atas dosa manusia dan Roh Kudus bekerja untuk memperbaharui kebudayaan dan adat istiadat yang telah dicemari oleh dosa tersebut. Oleh karena itu iman harus selalu menjadi warna atau nafas dari kebudayaan. Jadi yang terpenting dalam sikap transformatif ini adalah tetap menerima bagian tertentu dari budaya yang sesuai dengan ajaran Kristus dan menolak bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus54.

GKP Jemaat Cigugur mencoba untuk menghayati bagaimana latar belakang etnis dan kebudayaan mereka melalui Ucapara Seren Taun. Hal ini bukan menyangkut keberadaan yang ilahi tetapi merupakan sebuah formasi pengalaman GKP Jemaat Cigugur terhadap Tuhan, hidup dalam lingkungan tertentu, dan mengembangkan kebudayaan tertentu yang pada akhirnya melahirkan sebuah persepsi tentang bagaimana ungkapan syukur kepada Tuhan. Hal inilah yang terjadi dengan GKP Jemaat Cigugur mencoba mengungkapkan rasa syukur mereka dengan mengadakan Upacara Seren Taun. Apa yang telah dikemukakan ini sesuai yang dikatakan bahwa ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh kelompok umat beragama yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara55.

Dengan demikian, dari semua tanggapan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu manifestasi terima kasih atau ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

54

Singgih, Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, 139

55 Koentjaraningrat,


(3)

23

apa yang telah diterima oleh GKP Jemaat Cigugur adalah melalui Upacara Adat Seren Taun.

5. Kesimpulan dan Saran 5.1.Kesimpulan

Ungkapan Syukur atau pesta panen budaya yang dilakukan oleh GKP Jemaat Cigugur adalah bentuk dari melestarikan nilai-nilai toleransi dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Pelaksanaan pesta panen ini dilakukan oleh semua warga Cigugur tanpa memandang agama dan suku. “Baik yang beragama Kristen, Khatolik, Islam atau kepercayaan, semuanya sukarela menyiapkan Upacara Seren Taun”. Bukan hanya orang Cigugur yang sibuk. Orang-orang di luar Cigugur juga ikut membantu. Sikap saling membantu dalam tugas dan tidak ada pengotak-ngotakan peran berdasarkan keyakinan juga merupakan bentuk toleransi yang tetap terpelihara. Tidak pernah ada perselisihan karena latar belakang agama akibat salah satu pihak merasa dirugikan. Sebab, semua masalah diselesaikan bersama-sama tanpa memandang muka.

Hal di atas merupakan sikap atau tanggapan GKP Jemaat Cigugur yang dianggap sebagai suatu hal positif, bahwa GKP Jemaat Cigugur menghayati atau mengungkapkan rasa terima kasihnya melalui Upacara Seren Taun yang dilakukan pada setiap tanggal 22 Rayagung. harapan dan permohonan di tahun yang akan datang turut dipanjatkan dalam kegiatan ini. Ada beberapa tanggapan atau sikap yang dapat diambil adalah: Pertama, Sikap Pelestarian budaya dalam masyarakat untuk meningkatkan. Kedua, Toleransi antar umat beragama atau sikap kekerabatan melalui Upacara Seren Taun.

5.2.Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan di atas dan dalam upaya mengembangkan Upacara Seren Taun, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.

Dalam Upacara Seren Taun, khususnya kepada semua orang baik itu masyarakat maupun GKP Jemaat Cigugur, pertahankanlah nilai-nilai luhur yang ada di dalam masyarakat karena dengan begitu, budaya yang ada dapat menyatukan berbagai macam perbedaan yang ada dalam masyarakat.

Bagi gereja, dukunglah terus kegiatan-kegiatan yang ada dalam masyarakat dan turut ambil bagian dalam kegiatan dalam masyarakat tersebut.


(4)

24

Bagi fakultas, sebaiknya fakultas meningkatkan kualitas untuk penelitian lapangan sehingga mahasiswa benar-benar melihat bagaimana masyarakat mempertahankan dan menjaga budaya yang ada di Indonesia yang begitu beragam.


(5)

25

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Brownlee, Malcolm. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1989.

Bungin, Burham, H. M. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Effendi, Djohan. Pluralisme dan Kebebasa n Beragama. Yogyakarta: Institut DIAN/interfidei, 2010.

Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.

---. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Girimukti Pasaka, 1984.

Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Gumilang, Nana. Pikukuh Tilu Pemaparan Budaya Spiritual. Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2013.

---. Seren Taun Pesona Budaya dan Rafleksi Rohani Masyarakat

Cigugur. Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN),

2013.

Indrawardana, Ira. Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman. Bandung: Gedung Merdeka, 2011.

Knitter, Paul. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung jawab

global. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Kobong, Th. Iman dan Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.

Koentjaraningrat. Bebera pa Pokok Antropologi Sosia. Jakarta: Dian Rakyat, 1967.

Kruyt, A.C. Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.


(6)

26

Nawawi, Hadiri. Instrumen Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.

Nazir, Mohammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Niebuhr, H. Richard. Kristus dan Kebudayaan. Jakarta Pusat: Petra Jaya, 1989.

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Cigugur Miniatur

Pluralisme Indonesia. Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan

Nusantara (LPKN), 2013.

Singgih, Gerrit E. Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan Dunianya Yang Sedang

Berubah. Jakarta: Persetia, 1995.

Storey, John. Cultural Theory and Populer Culture An Introduction Sixth Edition. New York: Routledge, 2013.

Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, (editor). Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2005.