Aspek Hukum Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Perjanjian Kerja pt. Perkebunan Nusantara iv bah Jambi Dengan Tenaga Kerja Tetap)

(1)

TAHUN 2003

(STUDI PADA PERJANJIAN KERJA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV BAH JAMBI DENGAN TENAGA KERJA TETAP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

FIQIH HAZRIAH NIM: 090200141

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014 This image cannot currently be display ed.


(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Oleh: FIQIH HAZRIAH

NIM: 090200141

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

DR. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

DR. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum Zulkifli Sembiring, S.H., M.H. NIP. 196603031985081001 NIP. 196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalani perkuliahaan sampai tahap penyelesaikan skripsi pada Jurusan Hukum Perdata BW di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.

Penulisan skripsi yang diberi judul “ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 (STUDI PADA PERJANJIAN KERJA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV BAH JAMBI DENGAN TENAGA KERJA TETAP)” ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih jika ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah membantu sebelum, selama, dan setelah Penulis mengerjakan skripsi. Melalui kesempatan ini, Penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Orang tua Penulis, Ir. Syafril Harahap dan Iris Yasmin yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dukungan dan semangat kepada Penulis.


(4)

yang selalu memberikan dorongan semangat kepada Penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis dalam mengerjakan skripsi;

7. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis dalam mengerjakan skripsi.; 8. Bapak Edy Murya, S.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis; 9. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi Penulis selama menjalani masa perkuliahan;


(5)

membantu Penulis untuk meneliti di PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi, dan kepada Bapak Godang dan Bapak Haris yang membantu memberikan hal-hal yang dibutuhkan Penulis;

11. Terima kasih kepada teman-teman Angkatan 2009 FH Universitas Sumatera Utara, Nella Octaviany Siregar, Netty Karolin Hutabarat, Joice, Sherly, Esra, Ila, dan semua yang tidak dapat Penulis tuliskan satu persatu. Semoga pertemanan ini selamanya dan sukses untuk kita semua. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada adik junior, Annisaa’ Lubis, yang membantu Penulis dalam berbagi informasi dan menjadi teman seperjuangan skripsi.

12. Kepada sahabat Penulis, Qaws Quzan (Ajeng, Cai, Cekik, Lili, Mina, Mutia, Nana, Nisha, Rahma, Tika, Una) yang selalu mengingatkan Penulis mengerjakan skripsi ini dan memberikan dukungan kepada Penulis, Penulis ucapkan terima kasih banyak;

13. Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, Penulis mengucapkan terima kasih.

Demikian Penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Medan, April 2014

Penulis,


(6)

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pemasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA A. Perjanjian Pada Umumnya ... 15

B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama ... 30

C. Tata Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama ... 33

D. Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama ... 42


(7)

NOMOR 13 TAHUN 2003

A. Pengertian Tenaga Kerja ... 51 B. Macam Tenaga Kerja ... 52 C. Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja ... 55 D. Ruang Lingkup dan Dasar Hukum Perlindungan Tenaga Kerja .. 65 BAB IV ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK

DALAM PERJANJIAN KERJA DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV BAH JAMBI

A. Pengaturan Hak dan Kewajiban Para Pihak Terhadap Kesepakatan Kerja di PTPN IV Bah Jambi ... 75 B. Perjanjian Kerja Para Pihak dalam Melindungi Hak-Hak dan Jaminan

Sosial Bagi Para Pekerja yang Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ... 82 C. Penyelesaian Sengketa Terhadap Tenaga Kerja Tetap yang Tidak

Menjalankan Aturan Sesuai dengan Isi Perjanjian Kerja yang Disepakati ... 88 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 97 B. Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA


(8)

Zulkifli Sembiring***)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan, dan kesejahteraan. Perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia. Bertolak dari pemikiran tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak terhadap kesepakatan kerja PTPN IV Bah Jambi, apakah perjanjian kerja sudah melindungi hak-hak dan jaminan sosial bagi para pekerja, dan bagaimana penyelesaian sengketa terhadap tenaga kerja tetap yang tidak menjalankan aturan yang disepakati.

Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang mengkaji penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan bahan teori dari kepustakaan.

Dari penelitian yang telah dilakukan bahwa pengaturan hak dan kewajiban yang dijalankan PTPN IV Bah Jambi tertera dalam PKB perusahaan tersebut. Hubungan antara pekerja dan pengusaha merupakan hubungan yang berdimensi banyak. Perlindungan terhadap tenaga kerja diberikan dalam bentuk waktu kerja, pengupahan, kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja. Dimana bentuk perlindungan tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Perlindungan tersebut juga harus sesuai dengan UUK. Mekanisme penyelesaian sengketa/perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian kerja di PTPN IV Bah Jambi dapat dilakukan dengan cara non litigasi (diluar pengadilan) dan melalui musyawarah.

Kata Kunci : Tenaga Kerja, Perjanjian Kerja Bersama *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(9)

Fiqih Hazriah*) Hasim Purba**) Zulkifli Sembiring***)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan, dan kesejahteraan. Perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia. Bertolak dari pemikiran tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak terhadap kesepakatan kerja PTPN IV Bah Jambi, apakah perjanjian kerja sudah melindungi hak-hak dan jaminan sosial bagi para pekerja, dan bagaimana penyelesaian sengketa terhadap tenaga kerja tetap yang tidak menjalankan aturan yang disepakati.

Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang mengkaji penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan bahan teori dari kepustakaan.

Dari penelitian yang telah dilakukan bahwa pengaturan hak dan kewajiban yang dijalankan PTPN IV Bah Jambi tertera dalam PKB perusahaan tersebut. Hubungan antara pekerja dan pengusaha merupakan hubungan yang berdimensi banyak. Perlindungan terhadap tenaga kerja diberikan dalam bentuk waktu kerja, pengupahan, kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja. Dimana bentuk perlindungan tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Perlindungan tersebut juga harus sesuai dengan UUK. Mekanisme penyelesaian sengketa/perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian kerja di PTPN IV Bah Jambi dapat dilakukan dengan cara non litigasi (diluar pengadilan) dan melalui musyawarah.

Kata Kunci : Tenaga Kerja, Perjanjian Kerja Bersama *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(10)

A. Latar Belakang

Memasuki era globalisasi khususnya di sektor ketenagakerjaan akan menghadapi tantangan yang cukup besar, persaingan antara dunia usaha akan semakin ketat dan penggunaan teknologi maju akan semakin mendapat perhatian sehingga pemilihan pekerja akan semakin selektif. Hanya pekerja yang memiliki kualitas diri yang baik, intelektual maupun derajat kesehatan yang tinggi yang pada akhirnya dapat meraih keberhasilan. Selain itu pemanfaatan pasar kerja internasional menuntut pula berbagai persyaratan serta kualifikasi dan hubungan antar manusia, serta keberhasilan pembinaan terhadap pekerja selama ini, akan meningkatkan kesadaran hukum mereka yang menyangkut hak dan kewajiban dalam hubungan industrial dan hal ini membuka peluang terjadinya perselisihan industrial baik yang menyangkut hak dan kepentingan termasuk kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja.1

Pembangunan nasional merupakan upaya untuk meningkatkan aspek pembangunan ekonomi, manusia, hingga sosial budaya dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Dengan pelaksanaan

       1

Gunawi Kartasapoetra, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Cetakan I, (Bandung : Armico, 1982), hlm. 2.


(11)

pembangunan nasional, perluasan lapangan kerja dan tenaga kerja mempunyai peran yang penting sebagai tujuan pembangunan.

Peran serta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas nasional.2 Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.3

Pembangunan dalam suatu negara tidak terlepas dari perekonomian negara itu sendiri, yang pada hakekatnya pembangunan itu adalah merupakan suatu cara atau dasar untuk memperkuat perekonomian negara yang bersangkutan. Disetiap negara, selalu berusaha untuk meningkatkan perekonomian melalui suatu pembangunan secara terus menerus dan berkelanjutan. Adapun pembangunan yang terus menerus ditingkatkan adalah untuk menaikkan tingkat kehidupan rakyat. Setiap negara di dunia ini mempunyai corak ekonomi yang berbeda-beda dalam melaksanakan pembangunannya, namun tujuannya adalah tetap sama yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, sehingga akan terwujud ke satu arah yang akan terpenuhinya kebutuhan yang beraneka ragam.

       2

Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1987), hlm. 1. 3

Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan dengan Perburuhan Pancasila, (Jakarta : Melpon Putra, 1991), hlm. 9.


(12)

Peran pemerintah dalam mengatasi ketenagakerjaan di Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Karena persoalan ketenagakerjaan adalah persoalan yang menyangkut hajat hidup orang. Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia disebabkan masih rendahnya kualitas tenaga kerja dan rendanya pendidikan masyarakat serta penciptaan lapangan kerja yang terbatas. Pengangguran merupakan salah satu masalah ketenagakerjaan yang menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, seperti kualitas hidup menurun, meningkatnya angka kriminalitas, dan lingkungan kumuh. Untuk mengatasi hal tersebut, selain upaya dan kebijakan pemerintah, masyarakat sendiri pun perlu menciptakan dan mengembangkan lapangan kerja sendiri atau membangun usaha mandiri.

Tenaga kerja dan pengusaha merupakan dua faktor yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan terjadinya sinergi kedua faktor itu baru perusahaan akan berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya, seahli apapun tenaga kerja tanpa adanya perusahaan hanya akan melahirkan produk pengangguran.4 Sisi lain, pengusaha sebagai pemilik perusahaan berada pada posisi yang kuat sebab didukung modal yang besar, sedangkan tenaga kerja berada pada posisi yang lemah karena hanya bermodalkan keahlian dan intelektual. Hal ini sering digunakan oleh pengusaha yang nakal berbuat semena-mena terhadap karyawan dalam mendapatkan hak-haknya seperti hak upah yang

      

4 Noni Faransiska, Akibat Hukum Perjanjian Kerja yang Dibuat Perusahaan Dengan Pekerja Ditinjau Dari Hukum Perdata dan Undang-Undang Ketenagakerjaan (Studi Terhadap Perjanjian Kerja yang Didaftarkan Pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan), Tesis, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011), hlm. 2.


(13)

layak, hak mendapatkan pesangon, hak istirahat, dan hak cuti serta hak mendapatkan jaminan sosial.

Hak dan kewajiban tenaga kerja telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut dengan UUK) dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Undang-Undang Serikat Pekerja/Serika Buruh (selanjutnya disebut dengan UUSP) serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011, di mana hak merupakan suatu hal selayaknya diterima oleh pekerja sesuai kesepakatan atau perjanjian dengan pihak pemberi kerja. Sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang wajib dijalankan atau wajib dilaksanakan oleh pekerja sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian dengan pihak pemberi kerja. Dengan melaksanakan hak dan kewajiban antara pekerja dan pemberi kerja berarti telah memenuhi apa yang sudah disepakati bersama atau sudah diperjanjikan, masing-masing pihak telah memenuhi prestasinya.

Hak dan kewajiban masing-masing pihak haruslah seimbang. Oleh sebab itu, hak pekerja merupakan kewajiban pengusaha, dan sebaliknya hak pengusaha merupakan kewajiban pekerja.5 Hak merupakan sesuatu yang harus diterima oleh seseorang tanpa ada suatu persyaratan yang harus dipenuhi sehingga dapat menimbulkan suatu keyakinan untuk dipertahankan dan dimiliki seutuhnya, karena dengan memperoleh hak maka dapat digunakan untuk meningkatkan taraf kehidupan seseorang dan keluarganya.6 Salah satu hak dari tenaga kerja adalah       

5 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 26.

6

Soedarjadi, Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hlm. 33.


(14)

hak menerima upah. Upah adalah sesuatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan. Oleh sebab itu, setelah melakukan pekerjaan secara gigih yang menyita tenaga dan pikiran maka tenaga kerja berhak mendapatkan imbalan berupa upah, dan itu merupakan kewajiban dari pengusaha untuk memberikan upah yang layak atas prestasi kerja yang dilakukan oleh pekerja. Meskipun kadang kala upah tersebut tidak cukup memenuhi kebutuhan, namun tugas tetap harus dikerjakan sebagai konsekuensi seorang pekerja yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan yang telah diperjanjikan sebelumnya. Keadaan tersebut diatas menjadi penghalang terciptanya hubungan kerja yang harmonis, nyaman dan dinamis.

Hubungan Industrial yang harmonis, nyaman dan dinamis antara pekerja dengan pengusaha akan berdampak pada peningkatan produktifitas kerja serta peningkatan kesejahteraan pekerja. PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero) (selanjutnya disebut dengan PTPN IV) Bah Jambi sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan salah satu pelaku ekonomi nasional disamping usaha swasta dan koperasi. Sebagai Badan Usaha Milik Negara, PTPN IV merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang berasal dari dalam negeri. Mengingat begitu penting dan strategis peranan PTPN IV sebagai salah satu BUMN maka diperlukan suatu lingkungan kerja yang harmonis, nyaman dan dinamis sehingga produktifitas meningkat yang berdampak pula pada peningkatan pendapatan negara.

Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban antara PTPN IV Bah Jambi dengan


(15)

tenaga kerja tetap yang dalam menjalankan perjanjian kerja yang telah disepakati, yang akan dibahas dalam tulisan ini dengan mengangkat judul “Aspek Hukum Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (Studi pada Perjanjian Kerja PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi dengan Tenaga Kerja Tetap)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dengan latar belakang di atas, maka hal yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak terhadap kesepakatan kerja di PTPN IV Bah Jambi?

2. Apakah perjanjian kerja para pihak sudah melindungi hak-hak dan jaminan sosial bagi para pekerja sesuai dengan undang-undang yang berlaku?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa apabila tenaga kerja tetap tidak menjalankan aturan sesuai dengan isi perjanjian kerja yang telah disepakati?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah Penulis kemukakan di atas, maka tujuan dari Penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hak dan kewajiban para pihak di perusahaan PTPN IV dalam kesepakatan kerja.


(16)

2. Untuk mengetahui perjanjian kerja tersebut sudah melindungi hak-hak dan jaminan sosial para pekerja sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

3. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa antara perusahaan PTPN IV dengan pekerja.

D. Manfaat Penulisan

Dalam penulisan ini, selain terdapat tujuan yang akan dicapai, juga berharap dapat memberikan manfaat yang berguna.

1. Manfaat Secara Teoritis

Pembahasan terhadap skripsi ini diharapkan akan memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi pembaca mengenai aturan hukum terhadap perlindungan tenaga kerja, khususnya mengenai hak dan kewajiban perusahaan perkebunan PTPN IV dan tenaga kerja perkebunan itu sendiri agar dapat terpenuhi dan terlaksana dengan baik. Jadi, secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum secara umum dan ilmu hukum perdata pada khususnya. Selain itu juga diharapkan dapat menambah dan melengkapi koleksi karya ilmiah dibidang keperdataan terkait dengan perlindungan tenaga kerja.

2. Manfaat Secara Praktis

Manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini yaitu untuk dapat memberikan masukan kepada pembaca tentang hal-hal yang berhubungan


(17)

dengan tenaga kerja perkebunan serta untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi tenaga kerja perkebunan di PTPN IV Bah Jambi, sehingga kesejahteraan para tenaga kerja perkebunan tersebut dapat terpenuhi.

E. Metode Penelitian

Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe pemikiran yang secara sistematis dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet, koran, dan sebagainya.7 Metode penelitian yuridis normatif ini dilakukan dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan judul skripsi ini baik yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa masalah-masalah yang dibahas dalam permasalahan skripsi ini. Nama lain dari penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum doktrinal, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen.8

      

7 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hlm. 139.

8

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, edisi 8, 2006), hlm. 42.


(18)

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta-fakta secara sistematik sehingga lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas data faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh.

2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat data yang diperoleh melalui bahan pustaka.9

Data sekunder yang dipakai Penulis adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan merupakan landasan utama yang dipakai dalam penulisan skripsi ini, yakni terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer10 seperti buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberik petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 11 Misalnya, kamus, ensiklopedia, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat       

9

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 23. 10

Ibid. 11


(19)

dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam Penulisan skripsi ini adalah teknik studi kepustakaan (library research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memeroleh data dari sumber ini, Penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

4. Analisis Data

Pada peneliatan hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka pada umumnya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.12 Metode analisis data yang dilakukan Penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan:

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan

kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan yang kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

       12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2005), hlm. 69


(20)

F. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui orisinalitas Penulisan skripsi, sebelum melakukan Penulisan “Aspek Hukum Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 (Studi pada Perjanjian Kerja PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi dengan Tenaga Kerja Tetap)”, Penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum / Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU melalui surat tertanggal Nopember 20013 (terlampir) menyatakan bahwa “Tidak Ada Judul yang Sama”.

Adapun beberapa judul yang berkaitan dengan judul karya ilmiah Penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain sebagai berikut:

1. Penulis : Sari Anggraini / 930200204

Judul : Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan

Tebu Antara PT. Perkebunan Nusantara II Pabrik Gula Kuala Madu dengan Para Rekanan Angkutan. Rumusan masalah :

1. Bagaimana perjanjian pada umumnya menurut KUH Perdata?

2. Sebagaimana dalam judul skripsi ini merupakan perjanjian kerja sama pengangkutan, selain kita mengetahui perjanjian disini penulis mempermasalahkan bagaimana juga halnya tentang pengangkutan itu sendiri dan pelaksanaan pengangkutan.


(21)

3. Bagaimana prosedur pengikatan perjanjian pengangkutan dan dengan adanya perjanjian tersebut maka timbul hak dan kewajiban dari para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, maka apa yang menjadi hak dan kewajiban dari para pihak tersebut serta bagaimanaakibat hukumnya bila terjadi kesalahan dari salah satu kedua belah pihak dan bagaimana pula tentang masalah ganti ruginya.

2. Nama : Rehulina Sembiring / 930200185

Judul : Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Kerja Pada

Penggantian Pipa Superheater Ketel Uap Takuma N-600 di Pabrik Minyak Sawit Tinjauan (Studi Pada PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero Pabatu). Rumusan masalah :

1. Sejauh mana kekuatan hukum perjanjian pemborongan kerja bangunan. 2. Garansi bank sebagai jaminan pemborong atas pekerjaan yang harus

dilaksanakannya.

3. Pemilihan barang yang diadakan dalam pemborongan proyek atau pengadaan barang/jasa pada pekerjaan borongan penggantian pipa superheater di PMS Tinjowan.

Apabila ada tulisan yang hampir mirip, mungkin itu hanya dari segi redaksi saja, karena muatan/substansinya jelas berbeda dengan tulisan karya ilmiah ini.


(22)

Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus memiliki keteraturan agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, Penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya.

Adapun sistematika Penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang yaitu apa yang melatarbelakangi Penulis mengangkat judul, Perumusan Masalah yaitu hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, Tujuan Penulisan yaitu dan Manfaat Penulisan yaitu maksud dari Penulis dalam menulis skripsi ini, Metode Penelitian yang memaparkan metode yang digunakan Penulis dalam mengkaji permasalahan, Keaslian Penulisan yaitu pemaparan yang membuktikan bahwa skripsi ini asli berasal dari pemikiran Penulis dan belum pernah dibahas sebelumnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Sistematika Penulisan yang semuanya berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja.

Bab II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA Bab ini merupakan awal dari pembahasan terhadap permasalahan yang

telah dirumuskan dalam pendahuluan. Adapun yang dibahas adalah Perjanjian Pada Umumnya, Pengertian Perjanjian Kerja Bersama, Tata


(23)

Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama, Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama, Manfaat Dibentuknya Perjanjian Kerja Bersama.

Bab III : TENAGA KERJA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

Pada bab ini yang menjadi pembahasan adalah Pengertian Tenaga Kerja, Macam-macam Tenaga Kerja, Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja, Ruang Lingkup dan Dasar Hukum Perlindungan Tenaga Kerja. Bab IV : ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM

PERJANJIAN KERJA DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV BAH JAMBI

Sebagai kelanjutan bab sebelumnya, bab ini akan membahas Pengaturan Hak dan Kewajiban Para Pihak Terhadap Kesepakatan Kerja, Perjanjian Kerja Para Pihak dalam Melindungi Hak-Hak dan Jaminan Sosial Bagi Para Pekerja yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Penyelesaian Sengketa Terhadap Tenaga Kerja Tetap yang Tidak Menjalankan Aturan Sesuai dengan Isi Perjanjian Kerja yang Disepakati.

Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan akhir dari Penulisan skripsi. Pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir Penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi Penulisan skripsi


(24)

ini dan poin-poin yang berisi saran-saran konstruktif yang Penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.


(25)

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA BERSAMA

A. Perjanjian Pada Umumnya

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.13 Hubungan hukum yang menerbitkan perikatan itu bersumber pada perjanjian atau sumber lainnya, yaitu undang-undang. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata) bahwa perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang.

Perikatan yang lahir dari undang-undang tidak ada kesepakatan dari para pihak ataupun tidak dari kemauan para pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.14 Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat tanpa kehendak dari para pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain perikatan merupakan

       13

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung : Intermasa, 1978), hlm. 1. 14


(26)

pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian merupakan suatu hal yang konkrit atau merupakan suatu peristiwa.15 Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Maksudnya bahwa perjanjian suatu perbuatan dari para pihak yang ditujukan agar timbul akibat hukum. Dengan demikian, perjanjian adalah suatu hubungan timbal balik, maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari menerima hak-hak yang diperolehnya.16

Wirjono Prodjdikoro menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksaaan janji tersebut”.17 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian mengandung suatu pengertian yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.18

Perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum diawali dengan adanya suatu perjanjian. Setiap orang diberikan kebebasan untuk mengadakan perjanjian atau perikatan sepanjang tidak melanggar batasan yang telah ditentukan. Berdasarkan kehendak dari para pihak       

15 Ibid. 16Ibid. 17

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung : Sumur, 1981), hlm. 11.

18


(27)

yang membuat perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam KUH Perdata.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa :

Diizinkan orang membuat peraturansendiri karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu tidak lengkap, itulah yang menyebabkan sifat hukum perjanjian disebut dengan hukum pelengkap (optimal law) selanjutnya bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas atau leluasa memperjanjikan apa saja disebut atas kebebasan berkontrak yang berhubungan dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu yang halal.19

Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang.20

Ahmadi Miru menyatakan bahwa:21

Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.

Abdulkadir Muhammad menyatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu:22

       19

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 110

20

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1.

21


(28)

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.

4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengaddakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.23 Ia juga menyebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu:

a. Adanya pihak-pihak

b. Adanya persetujuan antara para pihak c. Adanya tujuan yang akan dicapai d. Sepakat mereka yang mengikatkan diri e. Kecakapan membuat suatu perjanjian24

Perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (Legally concluded

        22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 78. 23

Ibid. 24


(29)

contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Adapun syarat sahnya suatu perjanjian telah ditentukan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, yakni:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama sahnya kontrak adalah kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.25 Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:26

1. Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2. Bahasa yang sempurna secara lisan;

3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan. Kesepakatan terjadi melalui 4 (empat) teori, yaitu:

1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

Menurut teori pernyataan, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.       

25

Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm. 33.

26 Ibid.


(30)

Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)

Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kelemahannya yaitu perjanjian telah mengikat pada saat orang yang menawarkan sendiri tidak tahu tanggal berapa, sehingga tidak dapat diterima berdasarkan kepatutan.

3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)

Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia mengetahui isinya apabila ia belum menerimanya.

4. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)

Menurut teori ini bahwa kesepakatan terjadi padasaat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

5. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang membuat perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika ia oleh


(31)

undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Dalam Pasal 330 KUH Perdata dinyatakan bahwa seorang dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika belum genap berumur 21 tahun, kecuali ia telah kawin sebelum itu. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Sementara itu, dinyatakan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang  telah  melarang membuat perjanjian tertentu.

Khusus huruf c diatas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi  lagi,  setelah dikeluarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal  membuat  perjanjian. Dalam membuat sesuatu perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam perbuatan hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan harus dapat mempertanggungjawabkannya.27

Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak

       27


(32)

sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.28

Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu/pemboros di dalam mengendalikan keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari orang tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya.29 Setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi Miru mengatakan bahwa:

Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.30

4. Suatu hal tertentu (adanya objek perjanjian)

KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat       

28

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 6. 29

Ibid, hlm. 9. 30


(33)

sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu. 31 Pada perikatan untuk memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan merek sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi bukan yang dimaksudkan. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitur) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang seorang debitur, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditur, atas kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur. Pasal 1824 KUH Perdata dinyatakan bahwa : “penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas       

31

Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 18.


(34)

penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya.” Dalam pandangan KUH Perdata, kewajiban penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan utang terhadap hak tagih kreditur kepada debitur, dimana penanggung akan memenuhi kewajiban debitur yaitu untuk membayar hak tagih kreditur manakala debitur cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih kreditur adalah kebendaan yang dinyatakan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, harus telah dapat ditentukan terlebih dahulu. Dalam perikatan untuk tidak melakuan atau tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian untuk merahasiakan sesuatu (confidentially agreement) misalnya, apa-apa saja yang wajib dirahasiakan oleh debitur misalnya terhadap hak (atas kekayaan intelektual) milik kreditur, yang dalam pandangan KUH Perdata adalah juga merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian merahasiakan saja tanpa menjelaskan apa yang harus dan wajib dirahasiakan belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya belum menerbitkan perikatan bagi para pihak. Jadi jelaslah bahwa dalam pandangan KUH Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu, melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.


(35)

KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, dinyatakan bahwa “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.” Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

5. Suatu sebab yang halal

Menurut undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Perjanjian yang berisi suatu sebab yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa sebab, ia dianggap tidak pernah ada.32

Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut:

1. Syarat Subjektif

Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian di mana hal ini meliputi kesepakatan

       32


(36)

mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu, hal ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Akibat hukum dari kedua syarat tersebut apabila tidak dapat terpenuhi adalah batal demi hukum (Pasal 1446 KUH Perdata). Dalam syarat subjektif, apabila perjanjian yang disepakati itu diberikan karena kekhilafan, dengan paksaan, atau penipuan maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Lebih lanjut lagi dapat diperjelas, kalau akibat hukum itu dapat dibatalkan, ini berarti sebelum dilakukan pembatalan tersebut perjanjian itu adalah sah, sahnya sampai diadakannya pembatalan itu. Sedangkan kalau akibatnya batal demi hukum, ini berarti sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau perjanjian itu memang ada tapi tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada.33

Perjanjian dikenal beberapa asas penting, yaitu:34 1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dinyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian       

33

A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm 13.

34


(37)

2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,dan persyaratannya 4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang-undang maupun belum diatur dalam undang-undang.35

Asas kebebasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

5. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dinyatakan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

Syarat sahnya suatu perjanjian, bahwa harus ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian. Asas ini penting sekali dalam suatu perjanjian,

       35


(38)

sebab dengan kata sepakat ini sudah timbul adanya suatu perjanjian sejak tercapainya kata sepakat. Sejak tercapainya kata sepakat maka perjanjian itu sudah mempunyai akibat hukum dan mengikat mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan itu.36

6. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda

merupakan asas bahwa hakim atau pihak yang berkepentingan harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.

Asas pacta sunt servanda ini dalam suatu perjanjian bermaksud untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu. Asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian yang mereka buat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.37 7. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Asas iktikad baik dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yaitu “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus       

36

Ibid, hlm. 21. 37


(39)

melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari pihak.

Asas itikad baik ini dapat dibedakan antara itikad baik yang subjektif dan itikad baik yang objektif.38 Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian yang objektif, maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat (Pasal 1339 KUH Perdata).

8. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseoranagan saja. Asas ini dinyatakan dalam Pasal 1315 KUH Perdata, yaitu “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Namun ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1317 KUH Perdata bahwa dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,

       38


(40)

atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini menyatakan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.39

B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama

Istilah Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya disebut dengan PKB) timbul setelah diundangkannya UUSP, dimaksudkan untuk mengganti istilah sebelumnya yaitu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dikarenakan pembuat undang-undang berpendapat bahwa pengertian dari PKB sama dengan KKB. UUK menggunakan istilah PKB, karena substansi PKB ini sendiri memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dihasilkan melalui perundingan atau perjanjian dan isinya bersifat mengikat.

Sentanoe Kertonegoro berpendapat lain mengenai persamaan pengertian PKB dengan KKB, beliau menyatakan bahwa:

PKB adalah:

1. Merupakan dasar dari individualisme dan liberalisme yang berpendapat bahwa diantara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam perusahaan. 2. Bebas untuk melakukan perundingan dan juga membuat perjanjian

tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.

3. Dibuat melalui perundingan yang bersifat tawar-menawar masing-masing pihak akan berusaha memperkuat kekuatan tawar-menawar, bahkan dengan menggunakan senjata mogok dan penutupan perusahaan.

4. Hasilnya adalah perjanjian yang merupakan keseimbangan dari kekuatan tawar-menawar.

Adapun KKB, yaitu:

1. Dasar adalah hubungan industrial Pancasila berpandangan bahwa antara pekerja dan pengusaha terdapat hubungan yang bersifat kekeluargaan dan gotong-royong.

       39


(41)

2. Mereka bebas melakukan perundingan dan memuat perjanjian asal saja, tetapi memperhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa, dan negara.

3. Dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, tidak melalui kekuatan tawar-menawar, tetapi yang diperlukan sifat yang keterbukaan, kejujuran, dan pemahaman terhadap kepentingan semua pihak. Kehadiran serikat pekerja dalam rangka meningkatkan kerja sama dan tanggung jawab.

4. Hasilnya adalah suatu kesepakatan yang merupakan titik optimal yang bisa dicapai menurut kondisi yang ada, dengan memperhatikan kepentingan semua pihak.40

Perbedaan antara PKB dengan KKB, tampak ada peluang yang dapat digunakan oleh majikan dalam memanfaatkan suatu keadaan dari pengertian KKB untuk menekankan buruh dalam memperjuangkan haknya. Pada pengertian KKB, lebih ditekankan bahwa semua pihak tidak hanya mengutamakan kepentingannya, tetapi juga harus memperhatikan juga kepentingan bangsa dan negara. Sebagai contoh pemerintah telah menetapkan upah minimum provinsi/kota.41

Pasal 1 angka 21 UUK dinyatakan pengertian PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang membuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

PKB merupakan perundingan para pihak terkait yaitu serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau beberapa pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. PKB tidak hanya mengikat para pihak yang       

40 Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan antara Pengusaha dan Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), (Jakarta : YTKI, 1999), hlm. 106.

41

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 93.


(42)

membuatnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha saja tetapi juga mengikat pihak ketiga yang tidak ikut dalam perundingan yaitu pekerja/buruh, terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut menerima atau menolak isi PKB dan apakah pekerja/buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berunding atau tidak.42 Perundingan PKB harus didasari dengan itikad baik dan kemauan bebas kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat sehingga hasil yang dicapai dapat dilaksanakan bersama dalam upaya menciptakan hubungan yang harmonis didalam perusahaan.

Penggunaan istilah bersama dalam PKB ini memberikan kekuatan berlakunya perjanjian yaitu adanya kekuatan mengikat pengusaha, atau beberapa pengusaha, serikat pekerja/buruh, dan pekerja/buruh itu sendiri. Dalam suatu perusahaan hanya boleh dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku untuk pengusaha dan semua pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dalam satu perusahaan tidak terdapat perbedaan syarat-syarat kerja antara pekerja/buruh satu dengan pekerja/buruh lainnya. Apabila perusahaan memiliki cabang perusahaan, maka dapat dibuat PKB induk yang berlaku untuk di semua cabang dan PKB turunan yang berlaku untuk di masing-masing cabang perusahaan. PKB induk mengatur ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan dan PKB turunan memuat pelasanaan PKB induk yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing cabang perusahaan. Apabila belum ada kesepakatan dalam PKB turunan maka tetap berlaku PKB induk (Pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011).

       42

Maimun, Hukum Ketenagakerjaan (Suatu Pengantar), (Jakarta : Pradnya Paramita, 2007), hlm. 129.


(43)

C. Tata Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja Bersama

PKB dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

Pihak-pihak yang dapat mengadakan PKB sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011 adalah:

1. Dari pihak pengusaha, yaitu: 1. Pengusaha, atau

2. Perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan pengusaha yang berbadan hukum.

3. Dari pihak pekerja, yaitu: 1. Serikat pekerja, atau

2. Serikat-serikat pekerja yang telah terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja.

Membangun hubungan industrial di perusahaan tanpa kehadiran serikat pekerja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Banyak perusahaan yang tidak membentuk serikat pekerja. Namun demikian, pihak perusahaan harus berhati-hati dalam merencanakan dan melaksanakannya. Hal ini penting untuk menghindarkan perusahaan dari tuntutan hukum karena dianggap menghalangi pembentukan serikat pekerja, yang


(44)

merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.

Hubungan industrial tanpa keterlibatan serikat pekerja, dapat dibangun apabila faktor-faktor yang dapat menahan upaya pengorganisasian serikat pekerja telah dimiliki atau telah dibangun oleh pihak perusahaan. Faktor-faktor tersebut adalah:43

1. Faktor faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya

pengorganisasian serikat pekerja

1. Adanya keyakinan dari karyawan bahwa atasannya tidak

memanfaatkannya.

2. Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya.

3. Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik disimpan oleh perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka mengetahui bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai.

4. Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang sewenang-wenang. Para karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil.

5. Faktor-faktor di dalam perusahaan yang dapat menahan munculnya keinginan membentuk serikat pekerja

1. Komunikasi yang efektif. 2. Kepercayaan dan keterbukaan.

       43

http://e-psikologi.com/artikel/organisasi-industri/bagaimana-mengelola-hubungan-industrial diakses pada tanggal 4 April 2014, pukul 17.01.


(45)

3. Kompensasi yang efektif dengan sistim penggajian dan kesejahteraan diberikan secara tepat guna kepada karyawan untuk mendorong mereka berprestasi secara maksimal di dalam perusahaan.

4. Lingkungan kerja yang sehat dan aman.

UUK menjelaskan bahwa dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan (Pasal 119 ayat 1 UUK). Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh tetapi tidak memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara (Pasal 19 ayat 2 UUK). Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur semula.44

Tempat perundingan pembuatan PKB dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat buruh atau tempat lain sesuai       

44

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 73.


(46)

dengan kesepakatan kedua belah pihak. Biaya perundingan PKB menjadi beban pengusaha, kecuali disepakatan lain oleh kedua pihak (Pasal 17 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011).

Perundingan pembuatan PKB dimulai dengan menyepakati terlebih dahulu tata tertib dalam perundingan yang sekurang-kurangnya memuat (Pasal 17 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011):

1. Tujuan pembuatan tata tertib, 2. Susunan tim perunding, 3. Lamanya masa perundingan, 4. Materi perundingan,

5. Tempat perundingan, 6. Tata cara perundingan,

7. Cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan, 8. Sahnya perundingan, dan

9. Biaya perundingan

Tim perunding merupakan perwakilan dari masing-masing pihak (serikat pekerja dan pengusaha) dengan pemberian kuasa penuh untuk melakukan perundingan pembuatan PKB dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang dengan kuasa penuh. Ketentuan tata cara pembuatan PKB menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011 yaitu:


(47)

1. PKB dirundingkan oleh serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Salah satu pihak (serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha) mengajukan pembuatan PKB secara tertulis, disertai konsep PKB;

2. Minimal anggota serikat pekerja/serikat buruh 50% (lima puluh persen) dari jumlah pekerja/buruh yang ada pada saat petama pembuatan PKB;

3. Perundingan dimulai paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan tertulis;

4. Pihak-pihak yang berunding adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh dan pimpinan perusahaan dengan membawa surat kuasa masing-masing;

5. Perundingan dilaksanakan oleh tim perunding (negosiator) dengan jumlah masing sesuai kebutuhan dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang;

6. Batas waktu perundingan bipartid sesuai kesepakatan dalam tata tertib, apabila dalam perundingan PKB tidak selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib, maka kedua belah pihak dapat menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah perundingan gagal;

7. Apabila dalam hal perundingan pembuatan PKB masih belum selesai dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib dan penjadwalan


(48)

kembali, maka para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada waktunya yang memuat:

1. Materi perjanjian kerja bersama yang belum mencapai kesepakatan;

2. Pendirian para pihak; 3. Risalah perundingan;

4. Tempat, tanggal dan tanda tangan para pihak.

5. Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam poin 6 maka salah satu pihak atau kedua belah pihak melapor kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan perihal gagalnya perundingan tersebut untuk diselesaikan sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Instansi di bidang ketenagakerjaan yang dimaksud adalah:

1. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya PKB hanya mencakup satu Kabupaten/Kota;

2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi, apabila lingkup berlakunya PKB lebih dari satu Kabupaten/Kota di satu Provinsi;

3. Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya PKB meliputi lebih dari satu provinsi.


(49)

4. Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud poin 9 dilakukan sesuai dengan mekanisme penyelesaian hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004;

5. Apabila penyelesaiaannya melalui mediasi dan para pihak atau salah satu pihak tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan para pihak, mediator melaporkan kepada menteri untuk menetapkan langkah-langkah penyelesaian, laporan tersebut memuat:

1. Materi Perjanjian Kerja Bersama yang belum dicapai kesepakatan;

2. Pendirian para pihak; 3. Kesimpulan perundingan;

4. Pertimbanggan dan saran penyelesaian;

Dalam hal ini menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan penyelesaian pembuatan PKB;

5. Apabila berbagai cara telah ditempuh untuk menyelesaiakan pembuatan PKB namun tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan;

6. Pengusaha mendaftarkan PKB kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, maksud pendaftaran PKB adalah sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan perusahaan dan sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan PKB.


(50)

Untuk keabsahan suatu PKB, maka harus memenuhi syarat formal dan material yaitu sebagai berikut:

1. Syarat formal

1. Harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;

2. Memuat nama, tempat kedudukan dan alamat serikat

pekerja/buruh, nomor dan tanggal pencatatan serikat pekerja/buruh pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan;

3. PKB hanya diadakan paling lama 2 tahun dan kemudian dapat diperpanjang.

4. Syarat material

1. Dilarang memuat aturan yang mewajibkan pengusaha hanya menerima atau menolak dari satu golongan (berkenaan dengan suku, agama, ras, golongan);

2. Dilarang memuat aturan yang mewajibkan seorang pekerja supaya hanya bekerja pada pengusaha suatu golongan.

Dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan, PKB merupakan salah satu sarana yang sangat penting sehingga tercapai tingkat produktifitas yang tinggi serta tercapainya kesejahteraan pekerja, maka jangka waktu PKB jangan terlalu pendek, akan tetapi juga jangan terlalu lama agar dapat menyesuaikan tingkat ekonomi yang selalu berubah-ubah.45

       45

Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm. 62.


(51)

Pasal 123 UUK menjelaskan bahwa masa berlaku PKB paling lama 2 (dua) tahun, dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh. Apabila selama masa berlakunya PKB kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perubahan, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari PKB yang sedang berlaku. Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang masih berlaku, namun jika dalam perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan maka PKB yang sedang berlaku, masih berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Saat berlakunya PKB pada saat ditandatangani kecuali ditentukan lain dalam PKB sesuai dengan ketentuan Pasal 132 UUK.

Pasal 124 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa PKB paling sedikit memuat: 1. Hak dan kewajiban pengusaha;

2. Hak dan kewajiban serikat pekerja/ serikat buruh serta pekerja atau buruh;

3. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB; 4. Tanda tangan para pihak membuat PKB.

Ketentuan dalam PKB tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 124 ayat (2) UUK). Jika isi PKB bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 124 ayat (3) UUK).


(52)

D. Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama

PKB pada dasarnya merupakan suatu cara dalam rangka mengembangkan partisipasi pekerja untuk ikut andil dalam menentukan pengaturan syarat kerja dalam pelaksanaan hubungan kerja, sehingga dengan adanya partisipasi tersebut diharapkan timbul suatu sikap ataupun rasa memiliki dan juga rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup perusahaan.

PKB dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Perundingan PKB ini haruslah didasari oleh itikad baik dan berkemauan bebas dari kedua belah pihak. Perundingan PKB dilaksanakan secara musyawarah untuk mufakat. Lamanya perundingan PKB ditetapkan pada kesepakatan para pihak dan dituangkan ke dalam tata terib perundingan.46

Pembentukan PKB berdasarkan Pasal 119 dan Pasal 120 UUK dibagi menjadi 2 yaitu untuk perusahaan yang memiliki satu serikat pekerja/ serikat buruh dan perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat pekerja/ serikat buruh. Ketentuan Pasal 119 UUK berlaku bagi perusahaan yang memiliki satu serikat pekerja/serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila:

1. Memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan atau apabila musyawarah tidak mencapai kesepakatan tentang suatu hal,       

46

Suria Ningsih, Mengenal Hukum Ketenagakerjaan, (Medan : USU Press, 2011), hlm. 86.


(53)

maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

2. Mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.

3. Apabila tidak terpenuhi, dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara.

Ketentuan Pasal 120 UUK bagi perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat buruh, yaitu batasan serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila:

1. Jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

2. Apabila tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.

3. Apabila tidak terpenuhijuga, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.

Tafsiran dari ketentuan diatas terdapat kemungkinan bahwa pekerja/buruh dapat menjadi pihak dalam perundingan pembuatan PKB apabila jumlah anggota serikat pekerja/serikat buruh terdapat 50% dari jumlah seluruh pekerja/buruh di


(54)

perusahaan yang bersangkutan dan mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Apabila tidak terpenuhi maka dibentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.47

Tempat untuk melaksanakan perundingan PKB dilakukan di kantor perusahaan yang bersangkutan atau di kantor serikat pekerja/serikat buruh ataupun bisa juga dilaksanakan di tempat lain yang sesuai dengan kesepakatan para pihak. Dan semua biaya yang timbul dalam pelaksanaan perundingan PKB akan menjadi beban perusahaan atau pengusaha, kecuali telah disepakati oleh para pihak.

PKB dibuat dalam bentuk tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal PKB dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka PKB tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi yang telah disumpah dan hasil terjemahan tersebut dianggap sebagai PKB yang telah memenuhi syarat perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 116 ayat 3 UUK.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Kerja Bersama, PKB sekurang-kurangnya harus memuat:

1. Nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh; 2. Nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;

       47


(55)

3. Nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;

4. Hak dan kewajiban pengusaha;

5. Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh;

6. Jangka waktu dan mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan 7. Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

Menurut ketentuan di dalam Pasal 124 ayat 1 UUK, PKB haruslah paling sedikit memuat:

1. Hak dan kewajiban pengusaha;

2. Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; 3. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;

dan

4. Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

Secara yuridis formal dasar hukum dalam pembuatan PKB didasarkan atas:

1. Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2. Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

3. Undang-Undang No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98.


(56)

4. Undang-Undang No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Pekerja dan Majikan.

5. Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 1954 tentang Tata Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan.

6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 16 tahun 2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

E. Manfaat Dibentuknya Perjanjian Kerja Bersama

PKB merupakan kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan kerja dengan memperhatikan kepentingan pekerja/buruh maupun pengusaha. PKB merupakan salah satu prasarana dalam rangka pelaksanaan hubungan industrial yang serasi, aman, dan dinamis berdasarkan Pancasila, sehingga manfaat dari PKB itu sendiri adalah:48

1. Baik pekerja maupun pengusaha akan lebih mengetahui dan memahami tentang hak dan kewajiban masing-masing;

2. Mengurangi timbulnya perselisihan industrial atau hubungan ketenagakerjaan sehingga dapat menjamin kelancaran proses produksi dan peningkatan usaha;

3. Membantu ketenangan kerja pekerja serta mendorong semangat dan kegiatan bekerja lebih tekun dan rajin;

       48

Pedoman Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), (Jakarta : Direktorat Persyaratan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005), hlm. 7-8.


(57)

4. Pengusaha dapat menyusun rencana-rencana serta menetapkan labour cost yang perlu dicadangkan atau disesuaikan dengan masa berlakunya PKB;

5. Perundingan membuat PKB merupakan lembaga bipartid yang sangat efektif dimana kedua belah pihak dapat bertemu dan memperpadukan kepentingan masing-masing yang hasil tanpa campur tangan pihak lain; 6. Dapat menciptakan suasana musyawarah dan kekeluargaan dalam

perusahaan.49

PKB akan menekankan serikat pekerja untuk lebih hati-hati dalam penggunaan hak mogoknya sebagai upaya yang paling akhir dan lebih mengedepankan proses dialog atau negosiasi dalam menyampaikan tuntutannya. Selain dari pada manfaat terbentuknya PKB yang merupakan kepentingan pekerja maupun pengusaha juga mempunyai fungsi yang lain:50

1. Sebagai pedoman induk mengenai hak dan kewajiban bagi para pekerja dan pengusaha, sehingga dapat dihindarkan adanya perbedaan-perbedaan pendapat yang tidak perlu antara pekerja dengan pihak pengusaha;

2. Sebagai sarana untuk menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja dan kelangsungan usaha bagi perusahaan;

3. Merupakan partisipasi pekerja dalam penentuan atau pembuatan kebijakan dalam perusahaan.

       49

Suprihanto, Hubungan Industrial Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : BPFE, 1986), hlm. 105.

50


(58)

Berkaitan dengan fungsi PKB, dapat di jelaskan lebih lanjut tentang fungsi yang diatas yaitu fungsi pertama PKB adalah sebagai pedoman induk. Dalam Pasal 127 UUK menyebutkan bahwa “perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama”. Hal ini menempatkan PKB sebagai pedoman induk bagi perjanjian kerja, dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perjanjian kerja. Fungsi PKB sebagai pedoman induk memberi kemudahan pada pekerja dalam membuat perjanjian kerja. Adanya kemudahan ini sesuai dengan kebutuhan pekerja, yang pada umumnya tidak mampu menyusun suatu perjanjian kerja yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Oleh karena itu, ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan PKB, dapat menjamin suatu perjanjian kerja yang memberikan dasar hukum pada kedudukan pekerja dalam proses produksi.51

Fungsi kedua PKB adalah menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja dan kelangsungan usaha bagi pengusaha. Bagi pekerja, ketenangan kerja berarti, adanya kepastian untuk melaksanakan hubungan kerja dalam suatu jangka waktu yang cukup lama dan diharapkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas sehingga dapat memenuhi kebutuhannya secara teratur. Selama masa berlakunya PKB, para pekerja tidak lagi perlu memikirkan, bagaimana memperjuangkan kepentingannya. Segala perhatiannya dapat dicurahkan dalam melaksanakan kewajibannya berupa kerja dengan sebaik-baiknya tanpa lagi setiap saat terlibat mogok kerja maupun aksi demo dalam perjuangan untuk memperoleh pengakuan

       51


(1)

dilakukan dengan cara penyelesaian bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Bila penyelesaian tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan maka penyelesaiannya dilakukan dalam Pengadilan Hubungan Industrial. Sanksi yang diberikan kepada pekerja yang melanggar ketentuan disiplin berupa kewajiban dan larangan pekerja dapat dijatuhi sanksi yaitu berupa teguran lisan/tertulis, dan pemberian peringatan tertulis. Peringatan tertulis yang diberikan yaitu Peringatan I, Peringatan II, dan Peringatan III, apabila tenaga kerja yang bersangkutan tidak menanggapi hingga Peringatan III maka yang bersangkutan diberlakukan ketentuan penundaan kenaikan gaji ataupun penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat, pembebasan tugas serta pemberhentian.

4. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan dalam penelitian ini, penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Adanya jiwa besar dan kebijaksanaan yang sungguh-sungguh dari pihak pengusaha/perkebunan untuk menjalin pengertian bersama dengan para tenaga kerja sebaik mungkin untuk menyelesaikan pekerjaannya tepat pada waktu yang telah ditentukan dalam PKB yang telah disepakati masing-masing pihak, dengan tujuan agar perusahaan tidak dirugikan dan tenaga kerja dapat melaksanakan pekerjaannya untuk meningkatkan produksi dan produktifitas demi kepentingan tenaga kerja dan kepentingan pengusaha/perkebunan dalam mencapai tujuan perusahaan;


(2)

2. PTPN IV Bah Jambi hendaknya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mencegah terjadinya masalah atau perselisihan perburuhan di masa mendatang, serta dapat melindungi hak dan kewajiban dari tenaga kerja dan perusahaan/pengusaha. Perusahaaan diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai isi dari PKB dalam menjalankan tugasnya untuk mepermudah tugas Departemen Tenaga Kerja dalam melakukan pengawasan terhadap perkebunan serta untuk mengefektifkan tugas penyelenggaraan dalam hal ini PT. JAMSOSTEK, untuk menegur perkebunan yang lalai ataupun sengaja tidak mendaftarkan tenaga kerja kepada program jaminan sosial yang ada dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga kesannya tidak bersifat pasif;

3. Diharapkan pihak perkebunan/pengusaha meneliti dan menelaah lebih jauh terhadap persoalan atau perselisihan yang terjadi serta pengawasan terhadap tenaga kerja yang sering mangkir tanpa pemberitahuan. Selain itu juga diharapkan peran aktif dari Departemen Tenaga Kerja dalam mengadakan pengawasan dengan melakukan peninjauan ke setiap perkebunan/perusahaan guna mengetahui keadaan tenaga kerja dan melihat serta memeriksa PKB yang berlaku. Jika ada hal-hal bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka departemen Tenaga Kerja harus bersikap tegas dengan cara menjatuhkan sanksi hukum kepada perkebunan/perusahaan yang melakukan pelanggaran.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Anwar, Syaiful, Sendi-Sendi Hubungan Pekerja dengan Pengusaha. Medan : FH UISU, 1991.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung : Alumni, 1983.

Djumadi, Hukum Perburuhan, Perjanjian Kerja. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.

Halim, Ridwan, Hukum Perburuhan Aktual. Jakarta : Pradnya Paramita, 1987. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni, 1986. Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke- 20.

Bandung : Alumni, 1994.

H.S, Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar Grafika, 2003.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Husni, Lalu, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta : Raja Grafindo, 1996. Kartasapoetra, Gunawi, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan (Cetakan I). Bandung :

Armico, 1982.

Kartasapoetra, G, dan Rience Indraningsih, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Cetakan I. Bandung : Armiro, 1982.


(4)

Kertonegoro, Sentano, Hubungan Industrial, Hubungan antara Pengusaha dan Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid). Jakarta : YTKI, 1999

Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.

Kosidin, Koko, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan. Bandung : Mandar Maju, 1999.

Maimun, Hukum Ketenagakerjaan (Suatu Pengantar). Jakarta : Pradnya Paramita, 2007.

Manulang, Sedjun H., Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Cetakan II. Jakarta : Rineka Cipta, 1995.

Meliala, A Qirom Syamsudin, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya. Yogyakarta : Liberty, 1985.

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak). Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan. Bandung : Alumni, 1982.

Nainggolan, P., Hukum Perburuhan. Medan : FH USU, 1989.

Nasution, Bahder Johan, Hukum Ketenagakerjaan (Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja). Bandung : Mandar Maju, 2004.

Ningsih, Suria, Mengenal Hukum Ketenagakerjaan. Medan : USU Press, 2011.

Prints, Darwin, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu. Bandung : Sumur, 1981.


(5)

Sinaga, Budiman N.P.D, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Soedarjadi, Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha. Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009.

Soejono, Wiwoho, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan dengan Perburuhan Pancasila. Jakarta : Melpon Putra, 1991.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2005.

Subekti, R., Hukum Perjanjian. Bandung : Intermasa, 1978.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada, edisi 8, 2006.

Suprihanto, Hubungan Industrial Sebuah Pengantar. Yogyakarta : BPFE, 1986. Wijayanti, Asri, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar

Grafika, 2009.

2. Peraturan Perundang-Undangan

Pedoman Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Jakarta : Direktorat Persyaratan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005.

Buku Pedoman PT. Perkebunan Nusantara IV, Perjanjian Kerja Bersama, Medan, 2012.

Dokumen PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi, Tata Cara Dan Prosedur Di Dalam Melakukan Penindakan Karyawan, Medan, 2008.

Dokumen PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Kebun Bah Jambi, Selayang Pandang Kebun Bah Jambi, September 2012.


(6)

3. Hasil Skripsi dan Tesis

Marbun, Carina F., Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan (Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara II), Skripsi, (Medan : FH USU, 2008).

Noni Faransiska, Akibat Hukum Perjanjian Kerja yang Dibuat Perusahaan Dengan Pekerja Ditinjau Dari Hukum Perdata dan Undang-Undang Ketenagakerjaan (Studi Terhadap Perjanjian Kerja yang Didaftarkan Pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan), Tesis, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011).

4. Internet

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Tenaga_kerja

http://gresnews.com/berita/Tips/01149-hak-tenaga-kerja-harian-lepas

http://www.ptpn4.co.id/   

http://e-psikologi.com/artikel/organisasi-industri/bagaimana-mengelola-hubungan-industrial


Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Perjanjian Kerja Pt. Perkebunan Nusantara Iv Bah Jambi Dengan Tenaga Kerja Tetap)

0 59 113

Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu)

0 41 176

PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PADA PT KANDANG KARYA PERKASA Pelaksanaan Perjanjian Kerja Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pada PT Kandang Karya Perkasa Di Kabupaten Sukoharjo.

0 6 19

PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PADA PT KANDANG KARYA PERKASA Pelaksanaan Perjanjian Kerja Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pada PT Kandang Karya Perkasa Di Kabupaten Sukoharjo.

0 5 14

TENAGA KERJA WANITA (Studi Tentang Perlindungan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Di PT Adetex Boyolali).

0 2 18

Perjanjian Kerja Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Menurut Hukum Islam.

0 0 15

PERLINDUNGAN HUKUM KESELAMATAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAAN TERHADAP TENAGA KERJA DI PT. X SURABAYA.

0 0 80

Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Kontrak Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Muhammad Wildan

0 0 9

PERLINDUNGAN HUKUM KESELAMATAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAAN TERHADAP TENAGA KERJA DI PT. X SURABAYA

0 0 43

ANALISIS TENTANG HAK-HAK TENAGA KERJA SETELAH PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN -

0 0 83