Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar Di Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga

INFESTASI PINJAL DAN INFEKSI Dipylidium caninum PADA
KUCING LIAR DI KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DRAMAGA

AULIA SYIFAK BASHOFI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infestasi Pinjal dan
Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar di Kampus Institut Pertanian Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Aulia Syifak Bashofi
NIM B04090106

ABSTRAK
AULIA SYIFAK BASHOFI. Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum
pada Kucing Liar Di Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga. Dibimbing oleh
SUSI SOVIANA dan YUSUF RIDWAN.
Penelitian ini dilakukan untuk menginvestigasi infestasi pinjal dan infeksi
Dipylidium caninum pada kucing liar di Institut Pertanian Bogor Dramaga. Total
30 kucing dikumpulkan dari beberapa tempat yang sering ditemukan di IPB
Dramaga. Kucing liar dikumpulkan secara purposif yang menunjukan pruritus
dan alopecia. Seluruh tubuh kucing dibedaki dengan bedak gamexan, setelah itu
pinjal dikoleksi secara manual dan diperiksa secara mikroskopis. D. caninum
diperiksa dari 30 sampel feses kucing liar menggunakan metode McMaster,
metode pengapungan, dan melihat keberadaan proglotid. Identifikasi pinjal
dilakukan di laboratorium Entomologi, sementara feses diperiksa di laboratorium
Helmintologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Hasil
identifikasi menunjukan hanya satu spesies pinjal yaitu Ctenocephalides felis,

sementara D. caninum tidak ditemukan. Dua puluh satu kucing (70%) dari 30
terinfestasi pinjal dengan rata- rata kepadatan pinjal per kucing yaitu 3.8±1.9.

Kata kunci: Ctenocephalides felis, Dipylidium caninum, Prevalensi, kucing liar.

ABSTRACT
AULIA SYIFAK BASHOFI. Flea Infestation and Dipylidium caninum infection
on Stray Cat in Bogor Agricultural University Campus Dramaga. Supervised by
SUSI SOVIANA and YUSUF RIDWAN.
This study was conducted to investigate flea infestation and Dipylidium
caninum infection on stray cat in Bogor Agricultural University Dramaga. The
totals of 30 stray cats were collected from various places which found commonly
in Bogor Agricultural University Dramaga. The stray cats were collected
purposifelly which showed pruritus and alopecia. The whole body of cat
powdered by gamexan powder, after that the fleas were collected by manual and
examined microscopically. The D. caninum were examined from 30 fecal samples
of stray cats used McMaster methode, flotation methode and observed by
existence of proglotids. Fleas identification were conducted in Laboratory
Entomology, while fecals were examined in Laboratory Helminthology, Faculty of
Veterinary Medicine Bogor Agricultural University. The identification showed

that was only one spesies of flea namely Ctenocephalides felis, while D. caninum
were not found. Twenty one (70%) from thirty cats were infestated by the flea with
density average of fleas per cat was 3.8±1.9.
Keywords: Ctenocephalides felis, Dipylidium caninum, Prevalence, Stray cat.

INFESTASI PINJAL DAN INFEKSI Dipylidium caninum PADA
KUCING LIAR DI KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DRAMAGA

AULIA SYIFAK BASHOFI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul Skripsi : Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar
Di Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga.
Nama
: Aulia Syifak Bashofi
NIM
: B04090106

Disetujui oleh

Dr drh Susi Soviana, MSi
Pembimbing I

Dr drh Yusuf Ridwan, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian
dilaksanakan sejak bulan November 2012 sampai Januari 2013 dengan judul
Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar di Kampus
Institut Pertanian Bogor Dramaga.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr drh Susi Soviana,
MSi dan Bapak Dr drh Yusuf Ridwan, MSi selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah membimbing, mengarahkan dan memberi saran positif kepada penulis
selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada drh Chaerul Basri, M.Epid selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahannya. Penulis juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Eman, dan Bapak Heri yang
telah banyak membantu dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih yang
sebesar-besarnya disampaikan kepada Ayah (Shofi’i), Ibu (Siti Rohma), Kakak,
Adik, dan seluruh keluarga tercinta serta teman-teman, atas segala do’a dan kasih

sayangnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Aulia Syifak Bashofi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2


Karakteristik Kucing

2

Pinjal

2

Dipylidium caninum

5

METODE

6

Waktu dan Tempat

6


Lokasi Penelitian

6

Rancangan Studi

6

Prosedur Penelitian

6

Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

9


Jenis Pinjal yang Ditemukan

9

Prevalensi dan Derajat Infestasi Pinjal

11

Prevalensi Dipylidium caninum

11

SIMPULAN DAN SARAN

12

Simpulan

12


Saran

13

DAFTAR PUSTAKA

12

LAMPIRAN

16

RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR TABEL
1 Perbandingan jumlah pinjal jantan dan betina
2 Hubungan derajat infestasi, gejala klinis, dan jenis kelamin inang

9
11

DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi pinjal
2 Telur D. caninum dan Proglotid pada feses
3 Morfologi kepala pinjal Ctenocephalides felis, tibia bagian tungkai
belakang, aedeagus pada pinjal jantan ,dan kantung spermateka pada
pinjal betina.

3
5

10

1

PENDAHULUAN
Kucing yang hidup liar sering dijumpai di sekitar lingkungan manusia di
antaranya tempat makan, pemukiman, dan tempat pembuangan sampah termasuk
di lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB). Kucing yang berkeliaran di kampus
IPB Dramaga sering dijumpai dalam kondisi kurus dan kotor. Kondisi kucing
yang hidup secara bebas sekaligus kotor memudahkan berbagai jenis penyakit di
antaranya Flea Allergic Dermatitis (FAD) dan Dipylidiasis berkembang di
lingkungan kampus IPB Dramaga.
FAD merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan pinjal (ordo
Siphonaptera) dengan gejala klinis pruritus dan papula di kulit (Lane et al. 2008).
Menurut Hadi dan Soviana (2010) beberapa pinjal utama yang menimbulkan
masalah di Indonesia adalah Pulex irritans, Ctenocephalides felis,
Ctenocephalides canis, dan Xenopsylla cheopis. Pinjal selain menyebabkan
gangguan pada kucing juga mengganggu manusia. Chin et al. (2010) melaporkan
enam mahasiswa laki-laki di Kuala Lumpur terinfestasi C. felis dengan gejala
klinis berupa pruritus dan maculopapular. Selain dapat menyebabkan gangguan
secara langsung, pinjal juga berperan sebagai inang antara cacing pita Dipyllidium
caninum (Gupta et al. 2008).
Infeksi D. caninum pada inang definitif dikenal sebagai penyakit
Dipylidiasis. Hal tersebut dapat terjadi karena inang definitif menelan inang antara
yang mengandung larva D. caninum (Bowman et al.2002). Dipylidiasis termasuk
dalam metazoonosis yaitu penyakit zoonosa yang ditransmisikan dari invertebrata
ke vertebrata (Lane et al. 2008). Adam et al. (2012) melaporkan kejadian
Dipylidisis pada laki-laki karena tidak sengaja menelan pinjal mengandung larva
D. caninum yang berada pada anjing dan kucing disekitarnya. Dipylidiasis pada
kucing biasanya tidak menunjukkan gejala klinis, namun proglotid dapat
ditemukan pada fesesnya (BARK 2010).
Penelitian tentang infestasi pinjal dan infeksi D. caninum pada kucing liar
jarang dilakukan di Indonesia. Laporan mengenai prevalensi dan penyebaran
parasit dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan tindakan
penanggulangan dan pengendalian penyakit parasitik. Mengingat potensi pinjal
dan cacing D. caninum sebagai agen zoonotik, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui keberadaanya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis pinjal dan
mengetahui keberadaan cacing D. caninum pada kucing liar di lingkungan kampus
IPB Dramaga.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keragaman jenis
ektoparasit khususnya pinjal yang menyebabkan FAD dan perannya sebagai inang
antara D. caninum pada kucing liar di lingkungan kampus IPB Dramaga, sehingga

2
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengendalian yang tepat. Penelitian ini
juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat di lingkungan
kampus IPB Dramaga tentang bahaya penyakit zoonosa yang dapat ditularkan
kucing.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Kucing
Kucing merupakan satwa karnivora yang telah didomestikasi dan menjadi
salah satu hewan kesayangan manusia. Klasifikasi kucing menurut Linnaeus
(1758) dalam Ereshefsky (2000) sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Carnivora
Famili
: Felidae
Genus
: Felis
Spesies
: Felis domestica
Hubungan kucing dan manusia bersifat saling menguntungkan (simbiosis)
yaitu kucing mendapatkan ketersediaan makanan, sedangkan manusia
memperoleh pengendali rodensial dan teman (Meadows dan Flint 2006). Kucing
juga berperan sebagai inang penyebar penyakit. Menurut Blaszkowska et al.
(2013) kucing liar merupakan salah satu sumber utama pencemaran telur parasit
zoonotik di lingkungan.
Pinjal
Klasifikasi
Pinjal merupakan ektoparasit yang hidup di permukaan tubuh inang
(Sucipto 2011). Menurut Hadi dan Soviana (2006) pinjal bersifat semi obligat
karena sebagian hidupnya berada di tubuh inang. Pinjal termasuk ke dalam filum
Arthropoda, kelas Insecta, dan ordo Siphonaptera. Di Indonesia famili yang ada
antara lain Pulicidae, Ishcnopyllidae, Hystrichopsyllidae, Pygiopsyllidae,
Ceratophyllide, dan Leptosyllidae. Hanya dua famili yang penting dalam dunia
kedokteran hewan yaitu Ceratophyllidae dan Pulicidae (Wall dan Shearer 2001).
Ceratophyllidae merupakan famili besar yang terdiri atas 80 spesies parasit
burung dan 420 lebih parasit hewan pengerat (Taylor et al. 2007). Famili
Pulicidae memiliki beberapa genus penting karena perannya dapat menimbulkan
masalah di Indonesia yaitu Ctenocephalides (pinjal kucing dan anjing),
Echinophaga (pinjal ayam), Pulex (pinjal manusia) dan Xenopsylla (pinjal tikus)
(Hadi dan Soviana 2010).

3
Morfologi
Bentuk morfologi pinjal dewasa berbeda dibandingkan dengan bentuk
serangga lainnya yaitu pipih bilateral. Bentuk tubuh dewasa memiliki panjang satu
sampai enam milimeter dan biasanya ukuran betina lebih besar dibandingkan
jantan (Wall dan Shearer 2001). Seperti serangga pada umumnya, tubuh pinjal
terdiri atas kepala, toraks, dan abdomen yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Kepala pinjal memiliki lekuk yang berfungsi menyimpan antena bersegmen
(Levine 1990). Menurut Hadi dan Soviana (2010) terdapat tiga segmen antena
pada lekuk. Pinjal memiliki mata sederhana di depan antena. Bagian ventral
anterior kepala memiliki bagian yang dikenal sebagai gena. Gena memiliki duri
berjajajar seperti sisir yang dinamakan sisir gena (genal ctenidium). Bagian
ventral kepala juga memiliki sepasang lobus maxillary yang luas dikenal sebagai
stipes, dilengkapi dengan bantalan palps maxillary yang panjang. Mulut pinjal
memiliki struktur berlapis, yang terdiri atas sepasang laciniae beralur halus,
berfungsi untuk menusuk kulit inang. Mulut pinjal juga dilengkapi dengan
epiharynx labrum yang berfungsi menusuk ke kapiler darah inang, sehingga darah
mengalir ke saluran pencernaan pinjal (Wall dan Shearer 2001).
Toraks memiliki tiga segmen yaitu protoraks, mesotoraks, dan metatoraks.
Beberapa genus pinjal memiliki sebaris duri yang kuat di bagian belakang
protoraks yang dinamakan sisir pronotal (pronotal ctenidium) (Wall danShearer
2001). Keberadaan Ctenidium berguna dalam mengidentifikasi jenis pinjal. Pada
segmen terakhir, metatoraks berkembang sangat baik untuk menunjang tungkai
belakang sebagai pendorong saat melompat (Levine 1990).
Abdomen pinjal terbagi menjadi sepuluh segmen. Pinjal betina mempunyai
organ yang disebut spermateka, berfungsi menyimpan sperma, dan berbentuk
seperti kantung terletak di antara segmen enam sampai delapan (Hadi dan Soviana
2010). Di lokasi yang sama pada pinjal jantan terdapat organ yang disebut
aedeagus atau penis berkhitin berbentuk seperti per melingkar. Bagian dorsal pada
segmen terakhir abdomen dijumpai lempeng Sensilium atau Pygidium dengan
ditumbuhi rambut sensoris yang fungsinya belum diketahui (Wall dan
Shearer2001).

Gambar 1 Morfologi pinjal (Wall dan Shearer 2001)

4
Siklus Hidup
Pinjal mengalami metamorfosis sempurna (holometabolous) yaitu telur,
larva, pupa dan dewasa. Pada kondisi ideal seluruh tahapan siklus tersebut bisa
dicapai dalam waktu dua sampai tiga minggu (Hadi dan Soviana 2010). Menurut
Wall dan Shearer (2001) siklus dapat berkisar enam sampai 12 bulan. Panjang
waktu siklus hidup tergantung pada kondisi lingkungan, khususnya suhu dan
kelembaban saat tahap larva dan pupa (Urquhart et al. 1996)
Levine (1990) menyatakan pinjal betina bertelur tiga sampai 18 butir telur
setiap harinya. Pinjal betina biasanya bertelur di tubuh inang kemudian telur
tersebut akan jatuh. Pada kondisi ideal larva akan muncul setelah dua sampai 6
hari (Wall dan Shearer 2001).
Larva pinjal akan memakan sisa protein organik seperti rambut, bulu, dan
kotoran pinjal dewasa. Larva hidup sesuai dengan tempat peristirahatan seharihari inang definitifnya seperti sarang, tempat persembuyian di lantai, reruntuhan
gudang, padang-padang rumput dan tempat sampah (Levine 1990). Larva akan
mengalami dua sampai tiga kali pergantian kulit instar menjadi pupa yang
terbungkus kokon setelah 10 sampai 21 hari (Hadi dan Soviana 2010). Tahap
pupa sangat bergantung pada suhu lingkungan, meskipun sedikit bergantung pada
kelembaban yang tinggi dibandingkan tahap sebelumnya. Setelah muncul kutikula
pada kokon, pinjal dewasa biasanya tetap di dalam kokon sampai mendapat
rangsangan suhu atau rangsangan lain yang disebabkan oleh inang. Pinjal yang
sudah mendapatkan inang akan mengisap darah inang sebelum melakukan
perkawinan (Wall dan Shearer 2001).
Berbagai Jenis Pinjal pada Kucing
Kucing umumnya terinfeksi C. canis dan C. felis (Levine 1990). Pada
kucing juga dapat ditemukan Spilopsyllus cuniculi, Echidnophaga gallinacea,
Pulex irritans dan Ceratophyllus spp. (Wall dan Shearer 2001). C. felis (pinjal
kucing) merupakan parasit umum karnivora. C. felis memiliki bagian depan
kepala miring dan memanjang yang merupakan ciri khas dari pinjal kucing. C.
canis (pinjal anjing) secara morfologi mirip seperti dengan C. felis, walaupun
demikian tidak dapat mengadakan perkawinan karena keduanya merupakan
spesies yang berbeda. C. canis mempunyai bentuk dahi yang lebih tinggi
dibandingkan C. felis. Spilopsyllus cuniculi merupakan pinjal yang biasanya
dijumpai pada kelinci. S. cuniculi memiliki tempat predileksi di dalam telinga
(Taylor et al. 2007). Echidnophaga gallinacea merupakan pinjal yang biasanya
dijumpai pada unggas. E. gallinacea bersifat menggali ke dalam kulit terutama
bagian kepala inang sehingga sulit untuk dihilangkan (Smit 1957). Pulex irritans
merupakan pinjal yang biasanya dijumpai pada manusia. Ceratophyllus spp.
merupakan famili Ceratophyllidae yang sebagian besar tersebar di daerah
holacrtic. Beberapa spesies Ceratophyllus spp. yang memiliki peran penting
dalam dunia kedokteran hewan yaitu Ceratophyllus niger dan Ceratophyllus
gallinae.
Permasalahan Akibat Infestasi Pinjal
Secara langsung pinjal dapat menggigit inangnya. Efek gigitan pinjal
bergantung dari kepekaan korbannya. Ektoparasit ini mengisap darah inangnya,
sehingga dalam jumlah banyak dapat menyebabkan anemia. Bersamaan dengan

5
mengisap darah, pinjal juga menyuntikkan saliva sehingga mengiritasi inangnya.
Reaksi hipersensitif tersebut dikenal sebagai FAD (Noli 2009). Dermatitis dapat
diperparah dengan infeksi sekunder yang berlanjut menjadi alopecia (kebotakan)
(Sucipto 2011). Selain gangguan langsung, pinjal juga berperan secara tidak
langsung dalam penularan beberapa penyakit berbahaya bagi manusia dan hewan.
Beberapa pinjal berperan sebagai inang antara D. caninum, selain itu juga sebagai
vektor virus dan bakteri (Wall dan Shearer 2001).
Dipylidium caninum
Dipylidium caninum merupakan anggota kelas Cestoda, ordo
Cyclophylidea, famili Dipylididae, genus Dipylidium (Ballweber 2001). Cacing
D. caninum diketahui membutuhkan pinjal sebagai inang antara dalam siklus
hidupnya (Wall dan Shearer 2001). Telur cacing D. caninum keluar bersama feses
inang vertebrata, selanjutnya termakan oleh larva pinjal bersama sisa-sisa organik.
Telur akan berkembang mencapai stadium larva sebagai cysticercoid di rongga
tubuh pinjal. Ketika inang vertebrata (kucing) melakukan kegiatan grooming
biasanya akan menelan pinjal yang berada ditubuhnya. Akhirnya, cysticercoid
berkembang dalam tubuh inang vertebrata menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa
berpredileksi di usus halus dan dalam jumlah besar akan menyebabkan gangguan.
Infeksi berat pada hewan muda umumnya muncul gejala klinis yang tidak spesifik
seperti konstipasi dan diare (Bowman et al. 2002). Manusia juga bisa terinfeksi D.
caninum dan menimbulkan gejala klinis berupa sakit perut, mual, dan muntah
(Adam et al. 2012).
Tubuh cacing D.caninum terdiri atas kepala, leher dan strobila (Ballweber
2001). Kepala cacing pita dilengkapi bothridia, bothria, atau scolex yang
berfungsi untuk menempel pada dinding usus. Scolex dilengkapi dengan empat
sucker (otot pengisap). Bagian anterior scolex terdapat organ disebut rostellum
yang dilengkapi kait. Cacing D. caninum memiliki ciri khas berbentuk segmen
yang dikenal sebagai proglotid, terdiri atas organ reproduksi baik jantan maupun
betina dan berisi telur (Bowman et al. 2002). Kumpulan beberapa proglotid yang
memanjang dikenal sebagai strobila. Kapsul telur cacing D. caninum
mengandung beberapa embrio yang akan dikeluarkan dari inang definitif ketika
proglotid masih saling melekat (Gambar 2a), namun kumpulan beberapa kapsul
telur juga dapat dikeluarkan dalam bentuk proglotid (Gambar 2b).

b
a
Gambar 2 Telur D. caninum (2a) dan Proglotid pada feses (2b) (ESCCAP
2010)

6

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2012 sampai Januari 2013.
Sampel kucing diambil di kampus IPB Dramaga. Pemeriksaan pinjal dilakukan di
Laboratorium Entomologi dan pemeriksaan sampel feses di laboratorium
Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Lokasi Penelitian
Lokasi dilakukannya penelitian ini berada di kampus IPB Dramaga.
Kawasan kampus IPB Dramaga memiliki luas 297 Ha. Letak geografis antara 6°
30’-6° 45’ LS,dan 106° 45’ BT. Ketinggian tempat antara 145-400 m dpl
(tergolong dataran rendah). Suhu rata-rata/ tahun 25-33 °C, kelembaban nisbi ratarata 80-86% dan lama penyinaran matahari 58.9%. Berdasarkan kasifikasi
Schmidt dan Ferguson lingkungan IPB termasuk ke dalam kawasan beriklim
tropis basah dengan curah hujan yang tinggi (Yusmur 2003).
Rancangan Studi
Lokasi pengambilan kucing dipilih secara purposif berdasarkan
pertimbangan bahwa lokasi tersebut sering ditemukan kucing di lingkungan
kampus IPB Dramaga. Lokasi yang dipilih diantaranya: asrama, perumahan
dosen, kantin yellow corner, kantin blue corner, kantin red corner, tempat
pembuangan sampah Graha Widya Wisuda (GWW), tempat pembuangan sampah
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) dan tempat pembuangan sampah asrama.
Penelitian ini menggunakan sampel kucing yang diambil dari 30 kucing dengan
gejala klinis (Alopecia dan pruritus). Kucing yang ditangkap kemudian dilakukan
observasi untuk melihat adanya infestasi pinjal. Koleksi pinjal dilakukan secara
manual. Keberadaan telur D. caninum dalam feses dideteksi dengan melihat
langsung proglotid dan menggunakan metode McMaster (modifikasi metode
pengapungan).
Prosedur Penelitian
Menentukan ukuran sampel kucing
Penarikan sampel mengacu pada prevalensi Dipylidiasis pada kucing liar di
Kuala Lumpur sebesar 11.6% (Zain dan Sahimin 2010), dengan koefisien
kepercayaan yang diambil 90%. Penarikan sampel dihitung menggunakan rumus
Sudjana (2006):

7
2
1

n >π 1−π

Z γ
2

b

keterangan :
n = sampel yang dibutuhkan
= prevalensi kejadian yang pernah dilaporkan
Z 1/2 γ= koefisien kepercayaan
b = tingkat kesalahan
perhitungan :
n > 0.116 0.884 1.28 0.1 2
n > 16.8
sampel paling sedikit terdiri atas 17 kucing.
Penangkapan kucing
Kucing ditangkap secara manual dan dibawa menggunakan keranjang.
Kucing dikandangkan dan diberi pakan sampai kucing melakukan defekasi.
Selama menunggu kucing defekasi dilakukan pengambilan pinjal. Sebelum
dilepaskan kembali, kucing diberi tanda menggunakan pewarna rambut dengan
kandungan henna (lawsonia inermis) pada bagian kepalanya untuk menghindari
pengambilan sampel berulang.
Koleksi feses dan pinjal kucing
Feses kucing dikumpulkan dalam kantong plastik dan dipisahkan
berdasarkan individu kucing. Kantong plastik diberi keterangan berupa nomer
kucing dan tempat penangkapan. Feses disimpan dalam kotak berisi es. Koleksi
pinjal dilakukan dengan terlebih dahulu menaburi seluruh tubuh kucing dengan
gamexan untuk membunuh pinjal. Pengambilan pinjal dilakukan secara manual
menggunakan sisir pada seluruh tubuh kucing. Pinjal yang berjatuhan
dikumpulkan ke dalam vial berisi akohol 70%, dipisahkan berdasarkan individu
kucing dan diberi keterangan.
Pemeriksaan feses
Pemeriksaan keberadaan cacing D. caninum dengan melihat langsung
keberadaan proglotid pada feses dan pemeriksaan feses di laboratorium dengan
metode McMaster (Taylor et al. 2007). Metode McMaster digunakan untuk
melihat keberadaan telur sekaligus menghitung jumlah telur. Prinsip kerja dari
metode ini merupakan modifikasi metode pengapungan. Sampel feses ditimbang
seberat dua gram menggunakan alat timbang digital, selanjutnya dimasukkan ke
dalam gelas plastik. Sampel feses ditambahkan larutan gula-garam jenuh dengan
berat jenis 1.28 sebanyak 58 mL kemudian dihomogenkan, dan disaring
menggunakan saringan teh sebanyak tiga kali. Larutan dimasukkan kedalam
kamar hitung McMaster dan ditunggu lima menit supaya telur mengapung. Kamar
hitung McMaster diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 kali.
Jumlah telur tiap gram per tinja (TTGT) diperoleh dengan rumus Soulsby (1982)
sebagai berikut :

8
TTGT=

Jumlah telur cacing dalam kamar hitung
Berat feses (gram)

x

Volume total sampel (mL)
Volume Kamar hitung (mL)

Apabila pada pemeriksaan menggunakan metode McMaster dinyatakan nol,
maka dilanjutkan dengan metode pengapungan untuk memastikan tidak ada telur.
Sampel feses yang telah ditambahkan larutan gula-garam jenuh pada metode
McMaster dituang ke dalam tabung reaksi sampai penuh dan terbentuk miniskus
pada puncaknya. Cover glass diletakkan pada ujung tabung reaksi dan dibiarkan
selama 10 menit. Cover glass diambil dan diletakkan pada object glass kemudian
diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali.
Identifikasi pinjal
Preservasi pinjal sebagai sediaan preparat kaca menggunakan metode
Ashadi dan Partosoejono (1992) dalam Hadi dan Soviana (2010). Pinjal yang
telah diperoleh dimasukan ke dalam KOH 10% pada suhu kamar selama empat
sampai lima hari untuk menipiskan lapisan khitin. Penipisan khitin juga dapat
dipercepat dengan pemanasan. Khitin pinjal yang telah tipis dicuci menggunakan
air tiga sampai empat kali. Bagian abdomen pinjal yang menggembung dapat
ditusuk dengan jarum halus supaya cairan dalam abdomennya keluar. Pengeringan
pinjal dilakukan dengan dehidratasi ke dalam alkohol dengan konsentrasi
bertingkat yaitu 70%, 85% dan 95% masing-masing 10 menit. Pinjal
terdehidratasi direndam dalam minyak cengkeh selama 15 sampai 30 menit untuk
clearing. Pinjal yang telah jernih direndam dalam xylol dua sampai tiga kali
supaya tidak kaku.
Pinjal yang telah diproses diletakkan di atas object glass yang sebelumnya
telah diberi satu sampai dua tetes Canada balsam sebagai mounting. Object glass
ditutup dengan cover glass selanjutnya dikeringkan dalam slide warmer dengan
suhu 37 sampai 40 °C selama empat sampai lima hari. Identifikasi pinjal
dilakukan di bawah mikroskop dengan kunci identifikasi Wall dan Shearer (2001).
Analisis Data
Analisis data infestasi pinjal dan infeksi D. caninum dilakukan secara
deskriptif dari hasil identifikasi. Data infestasi pinjal yang diperoleh setiap kucing
dikategorikan berdasarkan tingkat keparahan yang terbagi atas: (I) ringan, dengan
jumlah 1 sampai 5 pinjal, (II) sedang, dengan jumlah 6 sampai 20 pinjal, (III)
parah, dengan jumlah lebih dari 20 pinjal (Genchi 2000). Analisis statistik untuk
mengetahui hubungan jenis kelamin kucing terhadap derajat infestasi pinjal
menggunakan uji chi-square. Pengujian statistik tersebut menggunakan software
SPSS 17.0.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Pinjal yang Ditemukan
Pengamatan di bawah mikroskop dengan kunci identifikasi Wall dan
Shearer (2001) menunjukan bentuk anatomi C. felis yaitu memiliki sisir pronotal
dan sisir gena. Sisir gena terdiri atas delapan atau sembilan duri yang tersusun
secara horisontal (Gambar 3a). Bagian depan kepala memiliki bentuk miring dan
memanjang (Gambar 3a). Tibia bagian tungkai belakang memiliki enam bantalan
seta (Gambar 3b). Smit (1957) melaporkan pada duri pertama pada sisir gena
ukurannya lebih pendek dibandingkan duri kedua. Organ yang membedakan
pinjal betina yaitu terdapat spermateka untuk menyimpan sperma sementara,
berbentuk seperti kantung terletak di antara segmen enam sampai delapan bagian
abdomen (Gambar 3d). Pinjal jantan pada segmen yang sama memiliki organ
dinamakan aedeagus atau penis berkhitin berbentuk seperti per melingkar,
ditunjukan pada Gambar 3c (Hadi dan Soviana 2010).
Kucing umumnya terinfestasi C. canis dan C. felis (Levine 1990), namun
menurut Wall dan Shearer (2001) pada kucing juga dapat ditemukan pinjal spesies
lain di antaranya Spilopsyllus cuniculi, Echidnophaga gallinacea, Pulex irritans
dan Ceratophyllus spp. Hasil identifikasi semua jenis pinjal yang menginfestasi
kucing liar kampus IPB Dramaga adalah C. felis. Hal ini sama dengan Susanti
(2001) bahwa pinjal yang menginfestasi kucing di Bogor merupakan C. felis. Wall
dan Shearer (2001) menyatakan jenis pinjal C. felis merupakan jenis pinjal yang
paling umum ditemukan pada karnivora di seluruh dunia. Salpeta (2011)
melaporkan bahwa di Australia 98.8% pinjal yang ditemukan pada anjing dan
kucing adalah C. felis.
Pinjal yang ditemukan terdiri atas C. felis betina 46.3% dan C. felis jantan
53.8% dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah pinjal jantan dan betina tidak terlalu
berbeda jauh. Hal yang sama dinyatakan oleh Krasnov et al. (2008) bahwa secara
umum jumlah pinjal jantan dewasa dan betina dewasa tidak berbeda secara
signifikan dari seluruh populasi pinjal yang ada pada inang. Hal tersebut
disebabkan secara umum pinjal dewasa tidak aktif mencari inang namun lebih
untuk menunggu inang yang mendekat. Pinjal memiliki kesempatan yang sama
ketika menginfestasi inang. Pinjal akan tetap diam sampai ada getaran, sinyal
suhu, atau kelembaban yang berubah sehingga memicu pinjal untuk melompat
menuju inang (Wall dan Shearer 2001).

Tabel 1 Perbandingan jumlah pinjal jantan dan betina
Jenis kelamin pinjal
Betina
Jantan
Total

Jumlah

Persentase (%)

37
43
80

46.3
53.8
100

Rata-rata pinjal per ekor kucing
terinfestasi
2.1±1.9
1.8±1.1
3.8±1.9

10
100 µm

a

b

c

d
Gambar 3 Morfologi kepala pinjal C.felis (3a), tibia bagian tungkai belakang
(3b), aedeagus pada pinjal jantan dan kantung spermateka pada
pinjal betina (3d)

Prevalensi dan Derajat Infestasi Pinjal
Jumlah infestasi pinjal pada 21 dari 30 ekor kucing liar kampus IPB
Dramaga diperoleh 80 ekor pinjal. Prevalensi pinjal sebesar 70% dengan jumlah
rata-rata pinjal per kucing adalah 3.8±1.9 ekor pinjal. Prevalensi C. felis sangat
tinggi dan tidak ditemukan pinjal spesies lainnya. Tingginya prevalensi C. felis
pada kucing liar juga dilaporkan oleh Zain dan Sahimin (2010) di Kuala Lumpur
sebesar 55% dan Germinal et al. (2013) di Meksiko sebesar 53%. Tingginya
prevalensi ini bisa disebabkan oleh kondisi lingkungan yang mendukung bagi
perkembangan pinjal. Menurut Taylor et al. (2007), pinjal mampu bertahan dan

11
berkembang pada suhu 13 sampai 35 °C dengan kelembaban nisbi 50 sampai
92%. Derajat infestasi pinjal dapat dilihat pada Tabel 2, bahwa sebagian besar
derajat infestasi adalah ringan (53.3%), kemudian diikuti kucing tidak terinfestasi
(30.0%) dan sisanya infestasi sedang (16.6%). Prevalensi pinjal sangat tinggi,
akan tetapi derajat infestasinya sebagian besar ringan. Hal tersebut diduga akibat
faktor generasi pinjal sebelumnya terutama jumlah pinjal betinanya yang lebih
sedikit dibandingkan dengan pinjal jantan. Selain peran pinjal betina dalam
menghasilkan telur, pinjal betina juga berperan dalam memberi makan larva pinjal
dengan fesesnya. Hsu et al. (2002) melaporkan tingkat keberhasilan larva pinjal
mencapai dewasa, lima kali lebih besar apabila larva memakan feses pinjal betina
dan telur yang tidak menetas dibandingkan dengan feses jantan saja.
Pada Tabel 2 terlihat 30.0% kucing tidak ditemukan pinjal menunjukan
adanya gejala klinis. Hal tersebut diduga gejala klinis bukan disebabkan pinjal
namun penyebab lain. Noli (2009) menyatakan bahwa dermatitis akibat alergi
juga bisa disebabkan oleh alergi makanan dan dermatitis atopik. Infeksi sekunder
yang terlihat umumnya kerontokan rambut (alopecia) sehingga secara
makroskopis gejala klinis yang terlihat sulit untuk dibedakan dengan gejala klinis
akibat penyebab lain. Genchi (2000) melaporkan kucing dengan infestasi pinjal
sedang dan ringan memiliki gejala klinis alopecia dengan pruritus, sedangkan
kucing tanpa terinfestasi tidak menunjukan gejala klinis.
Perbedaan jenis kelamin inang juga dapat mempengaruhi derajat infestasi
pinjal yaitu hewan jantan akan lebih rentan terinfestasi dibandingkan betina
(Krasnov et al. 2008; Morand et al. 2004). Hal tersebut diakibatkan perbedaan
pergerakan dan kemampuan bertahan yang berbeda dari masing-masing inang.
Perbandingan kucing jantan dan kucing betina dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan derajat infestasi ringan, kucing jantan (62.5%) lebih tinggi
dibandingkan kucing betina (37.5%). Infestasi sedang juga didapatkan kucing
jantan lebih tinggi (60.0%) dibandingkan kucing betina (40.0%). Setelah
dilakukan perhitungan statistik menggunakan uji chi-square antara jumlah kucing
jantan dan betina pada derajat infestasi tidak berbeda nyata (p>0.05). Artinya,
tidak ada hubungan antara derajat infestasi pinjal dengan jenis kelamin kucing.
Hal tersebut diduga akibat pergerakan kucing jantan dan betina yang sama pada
saat mencari makanan. Kucing memiliki tingkah laku hidup secara soliter dan
menyebar ketika makanan sedikit (RED 2003).

Tabel 2 Hubungan derajat infestasi, gejala klinis, dan jenis kelamin inang
Total kucing
Derajat
Infestasi
Tidak
terinfestasi
Ringan
Sedang

Gejala
klinis

Kucing
jantan

Kucing
betina

Uji chi-square

Jumlah

%

Jumlah

%

Jumlah

%

+

9

30.0

4

44.4

5

55.6

+
+

16
5

53.3
16.7

10
3

62.5
60.0

6
2

37.5
40.0

Gejala klinis +/- = terdapat/ tidak ada gejala klinis, % = persentase

Pearson
chisquare

Nilaip

0.792

0.673

12
Prevalensi D. caninum
C. felis diketahui berperan sebagai inang antara dari D. caninum (Wall dan
Shearer 2001). Infeksi D. caninum tersebar di seluruh dunia dan umum terjadi
pada kucing (Taylor et al. 2007). Prevalensi cacing D. caninum pada kucing di
setiap wilayah berbeda-beda. Prevalensi cacing D. caninum pada penelitian ini
menunjukan hasil nol. Hasil ini berbeda dengan penelitian kucing liar di Meksiko
bahwa terjadi prevalensi D. caninum 36% yang berkorelasi dengan prevalensi C.
felis 53% (Germinal et al. 2013). Hal yang berbeda juga dilaporkan Zain dan
Sahimin (2010) di Kuala Lumpur terjadi prevalensi D. caninum 11.6% yang
berkorelasi dengan prevalensi C. felis 55%.
Tingkat prevalensi cacing D. caninum seperti penyakit pada umumnya,
dipengaruhi oleh lingkungan, agen, dan inang. Pada penelitian ini kondisi
lingkungan IPB memiliki suhu rata-rata/ tahun 25-33 °C (Yusmur 2003). Suhu
tersebut mendukung keberadaan cacing D. caninum seperti halnya negara
Meksiko dan Malaysia yang beriklim tropis. Telur cacing pita secara umum
mampu bertahan di lingkungan panas antara suhu 50 sampai 70 °C dan akan
hancur ketika suhu lebih dari 70 °C atau 100 °C (Gajadhar 2006). Eckert dan
Deplazes (2004) melaporkan bahwa telur cacing pita pada suhu 5 sampai 35 °C
mampu bertahan 161 sampai 28 hari. Pugh (1987) melaporkan bahwa telur cacing
D. caninum akan berkembang menjadi cysticercoid di tubuh pinjal pada suhu 30
sampai 32 °C. Kucing akan terinfeksi ketika menelan pinjal yang mengandung
larva D. caninum.
Kucing dengan infestasi pinjal yang tinggi umumnya merasa terganggu dan
mencoba untuk menghilangkan pinjal dengan cara menggaruk atau menjilat
sumber gangguan. Hinkle et al. (1998) melaporkan kucing mampu
menghilangkan 17.6% pinjal pada infestasi pinjal yang tinggi setiap harinya ketika
grooming. Derajat infestasi pinjal pada penelitian ini tergolong ringan sehingga
diduga tidak menimbulkan gangguan pada kucing. Oleh karena itu, peluang
kucing untuk menelan pinjal dan terinfeksi cacing D. caninum sangat kecil. Selain
grooming, prevalensi pinjal yang mengandung cysticercoid juga diduga sangat
kecil sehingga infeksi D. caninum tidak terjadi. Hinaidy (1991) melaporkan dari
9134 pinjal C. felis pada kucing hanya 2.3% positif terinfeksi cysticercoid D.
caninum.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tiga puluh ekor kucing liar kampus IPB Dramaga Bogor terinfestasi jenis
pinjal Ctenocepalides felis. Prevalensi infestasi pinjal 70% dengan derajat
infestasi sebagian besar ringan. Perbandingan prevalensi kejadian pada kucing
betina dan kucing jantan seimbang. Perbandingan C. felis betina dan C. felis
jantan yang menginfestasi kucing seimbang. Prevalensi D. caninum diperoleh 0%.

13
Saran
Perlunya pendalaman penelitian dengan melakukan bedah pinjal untuk
mengetahui prevalensi cysticercoid dalam tubuh pinjal.

DAFTAR PUSTAKA
Adam AA, Saeed OM, Ibrahim HM, Malik HYE, Ahmed ME. 2012. D. caninum
infection in a 41 year old sudanese man in Nyala, Suda: the first reported
case in Sudan in 2006. Neel Med J. 6(2):37-42.
[BARK] Banfield Applied Research & Knowledge Team. 2010. Flea Literature
Review. Tillamok (US): Banfield Pet Hospital.
Ballweber LR. 2001. Veterinary Parasitologi. United States of America (US):
Butterworth–Heinemann.
Blaszkowska J, Wojcik A, Kurnatowski P, Szwabe K. 2013. Geohelminth egg
contamination of children’s play areas in the city of Lodz (Poland). VetPar.
192:228-223. doi:10.1016/j.vetpar.2012.09.033.
Bowman DD, Hendrix HM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical
Parasitology. Ed k-1. Iowa (US): Iowa State Univ Pr.
Chin HC, Ahmad NW, Lim LH, Jeffery J, Hadi AA, Othman H, Omar B. 2010.
Infestation with the cat flea, Ctenocephalides felis felis (Siphonaptera:
Pulicidae) among students in Kuala Lumpur, Malaysia. Southeast Asian J
Trop Med. 41(6):1331-1334.
Eckert J, Deplazes P. 2004. Biological, epidemiological, and clinical aspects of
Echinococcosis, a zoonosis of increasing concern. Clin Microbiol Rev.
17(1):107. doi: 10.1128/CMR.17.1.107-135.2004.
[ESCCAP] European Scientific Counsel Companion Animal Parasites. 2010.
Worm Control in Dog and Cats. Ed k-1. Worcestershire (UK): ESCCAP.
Ereshefsky M. 2000. The Poverty of the Linnaean Hierarchy: A Phylosopycal
Study of Biological Taxonomy. Cambridge (GB): Cambridge Univ Pr.
Gajadhar AA, Scandrett WB, Forbes LB. 2006. Overview of food and water borne
zoonotic parasites at the farm level. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 25(2):595606.
Genchi C, Traldi G, Bianciardi P. 2000. Efficacy of imidacloprid on dogs and cats
with natural infestations of fleas, with special emphasis on flea
hypersensitivity. Vet Ther. 1(2):71-80.
Germinal JC, Roberto IG, Andrea M.O, Feliciano M, Juan M, Gabriela AT. 2013.
Prevalence of fleas and gastrointestinal parasites in free roaming cats in
Central Mexico. PLoS ONE. 8(4): e60744.doi:10.1371/journal.pone.0060744.
Gupta N, Gupta DK, Shalaby S. 2008. Parasitic zoonotic infections in Egypt and
India: an overview. JOPD. 32(1): 1-9.
Hadi UK, Soviana S. 2006. Hama Pemukiman Indonesia Pengenalan, Biologi dan
Pengendalian. Sigit SH, Hadi UK, editor. Bogor (ID): IPB Pr.
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr

14
Hinaidy HK. 1991. A contribution on the biology of Dipylidium caninum. J
Vedmed. 38(1):329-336. doi:10.1111/j.1439-0450.1991.tb00879.x
Hinkle NC, Koehler PG, Patterson RS. 1998. Host grooming efficiency for
regulation of cat flea (Siphanaptera: Pulicidae) populations. J Med Entomol.
35(3): 266-269.
Hsu MH, Hsu YC, Wu WJ. 2002. Compsumption of flea faeces and eggs by
larvae of the cat flea, Ctenocephalides felis. Medvet Entomol. 16:445-447.
Krasnov BR, Shenbrot GI, Khokhlova IS, Hawlena H. Degen A. 2008. Sex ratio
in flea infrapopulations: number of fleas, host gender and host age do not
have an effect. Cambridge J. 135:1133–1141. doi:10.1017/S0031182008004551.
Lane DR, Guthrie S, Griffith S. 2008. Dictionary of Veterinary Nursing. Ed k-3.
London (GB): Butterworth–Heinemann.
Levine ND. 1990. Parasitologi Veteriner. AsHadi G, penerjemah; Wardiarto,
editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari Parasitologi Veteriner.
Meadows G, Flint E. 2006. Buku Pegangan Bagi Pemilik Kucing. Sindoro A,
penerjemah; Saputra L, editor. Tanggerang (ID): Karisma Pr. Terjemahan
dari The Cat Owner’s Handbook.
Morand S, Gouy J, Stanko M, Miklisova D. 2004. Is sex biased ectoparasitism
related to sexual size dimorphism in small mammals of Central Europe.
Parasitology J. 129:505-510. doi:10.1017/S0031182004005840
Noli C. 2009. Flea allergy in cats clinical signs and diagnosis. EJCAP. 19:248253.
Pugh RE. 1987. Effects on the development of Dipylidium caninum and on the
host reaction to this parasite in the adult flea (Ctenocephatides felis felis).
Parasitology Research. 73(2): 171-177. doi: 10.1007/BF00536475
[RED] Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 2003. Ensiklopedia Indonesia Buku
Petunjuk Anatomi. Jakarta (ID): Ikrar Mandiri Abadi Pr.
Salpeta J, King J, McDonell D, Malik R, Homer D, Hannan P, Emery D. 2011.
The cat flea (Ctenocephalides felis) is the dominant flea on domestic dogs
and cats in Australian veterinary practices. EBSCO. 180:3-4.
Smit FGAM. 1957, c2012. Handbooks for the Identification of British Insects.
London (GB): Royal Entomology Soc London.
Soulsby EJL. 1982. Helmint, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal.
Ed k-7. London (GB): Balliare tindal.
Sucipto CD. 2011. Vektor Penyakit Tropis. Yogyakarta (ID): Penerbit Gosyen.
Sudjana. 2006. Metoda Statistika. Ed k-6. Bandung (ID): Tarsito Bandung Pr.
Susanti DM. 2001. Infestasi Pinjal C. felis (Siphonaptera:Pulicidae) pada Kucing
di Bogor [skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ed k-3. Australia
(AU): Blackwell scientific.
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1996. Veterinary
Parasitology. Ed k-2. Australia (AU): Blackwell scientific.
Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology and
Control. Ed k-2. Lowa (US): Iowa State Univ Pr.
Yusmur A. 2003. Basis data spasial agroklimatologi, studi kasus Kabupaten
Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

15
Zain SN, Sahimin N. 2010. Comparative study of the macroparasite communities
of stray cats from four urban cities in Peninsular Malaysia. Vetpar. doi:
10.1016/j.vetpar.2013.03.30.

16

LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis hubungan derajat infestasi pinjal dan jenis kelamin
kucing
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Derajat infestasi * jenis kelamin

Missing

Percent

30

100.0%

N

Total

Percent
0

.0%

N

Percent

30

100.0%

Derajat Infestasi * jenis kelamin Crosstabulation
jenis kelamin
kucing jantan
Derajat

tidak terinfestasi

Infestasi

Count

4

% within Derajat Infestasi
Ringan

44.4%

Count

10

% within Derajat infestasi
Sedang

62.5%

Count

3

% within Derajat Infestasi
Total

60.0%

Count

17

% within Derajat Infestasi

56.7%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2Value

df

sided)

.792a

2

.673

Likelihood Ratio

.788

2

.674

Linear-by-Linear Association

.469

1

.493

Pearson Chi-Square

N of Valid Cases
a.

30

3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 2.17.

kucing betina
5

Total
9

55.6% 100.0%
6

16

37.5% 100.0%
2

5

40.0% 100.0%
13

30

43.3% 100.0%

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Malang pada tanggal 27 Agustus 1991 sebagai anak kedua
dari tiga bersaudara pasangan Shofi’i dan Siti Rohma. Penulis menyelesaikan
sekolah dasar di SD Negeri 01 Blayu Wajak Malang dan lulus Tahun 2003.
Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 01 Wajak Malang dan lulus
Tahun 2006. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 01 Gondanglegi Malang
dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di UKM UKF tahun
2009/2011 sebagai anggota divisi eksitu, IMAKAHI sebagai anggota divisi
kominfo tahun 2010/2011, HIMPRO ruminansia sebagai divisi kominfo tahun
2010/2011 dan sebagai wakil ketua umum tahun 2011/2012.