PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN JIGSAW DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI SISWA KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 3 WAY JEPARA
ABSTRAK
PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN JIGSAW
DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI SISWA KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 3
WAY JEPARA Oleh ERWATI
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) interaksi antara pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi belajar siswa, (2) perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw, (3) perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang memiliki motivasi berprestasi lemah yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw, dan (4) Perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang memiliki motivasi berprestasi kuat yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan ” pretest-posttest one
group design”. Subjek penelitian adalah kelas VII SMP Negeri 3 Way Jepara. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik angket dan tes. Data dianalisis menggunakan analisis varian (ANAVA) dan uji Least Signifikan Difference (LSD).
Hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) ada interaksi antara pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi belajar siswa, (2) prestasi belajar siswa yang dibelajarkan melalalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan rata-rata nilai 74,64, lebih tinggi dibandingkan dengan tipe Jigsaw dengan rata-rata nilai 70,40,(3) prestasi belajar siswa yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki motivasi lemah dengan rata-rata nilai 71, 60 lebih tinggi dibandingkan dengan tipe Jigsaw dengan rata-rata nilai 58,40 (4) prestasi belajar siswa yang dibelajarkan melalalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki motivasi kuat dengan rata-rata nilai77,68 lebih rendah dibandingkan dengan tipe Jigsaw dengan rata-rata nilai 82,40.
Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif tipe STAD, pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, motivasi, prestasi belajar.
(2)
THE DIFFERENCE OF MATHEMATIC LEARNING ACHIEVEMENT THROUGH COOPERATIVE LEARNING STAD AND JIGSAW TYPES
WITH THE MOTIVATION OF STUDENTS CLASS VII STATE JUNIOR HIGH SCHOOL 3 WAY JEPARA
ABSTRACT By
ERWATI, BUDI KOESTORO, ARNELIS DJALIL
This research is aimed to analyze: (1) the interaction between cooperative learning with students’ motivation achievement toward students’ learning achievement, (2) the difference of students’ mathematic learning achievement which was taught through cooperative learning STAD and Jigsaw types, (3) the difference of students’ mathematic learning achievement whose got weak learning motivation taught through cooperative learning STAD and Jigsaw types, and (4) the difference of students’ mathematic learning achievement whose got strong learning motivation taught through cooperative learning STAD and Jigsaw types. This research used experimental method with “pretest-posttest one group design”. The subjects of research were class VII SMP Negeri 3 Way Jepara. The data collecting techniques used questionnaire technique and test. The data analysis used variant analysis (ANAVA) and Least Significant Difference (LSD) test. The research result can be concluded : (1) There is an interaction between cooperative learning with the students’ achievement motivation toward the students’ learning achievement, (2) The students’ learning achievement taught through cooperative learning STAD type with average score 74,64 higher than Jigsaw type with average score 70,40, (3) The students’ learning achievement taught through cooperative learning STAD type and have weak motivation with average score 71,60 higher than Jigsaw type with average score 58,40 (4) The students’ learning achievement taught through cooperative learning STAD type and have strong motivation with average score 77,68 lower than Jigsaw type with average score 82,40.
Keywords: Cooperative learning STAD type, cooperative learning Jigsaw type, motivation, learning achievement
(3)
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN
Judul Tesis : Perbedaan Prestasi Belajar Matematika Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan Jigsaw
dengan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Way Jepara
Nama Mahasiswa : Erwati Nomor Pokok mahasiswa : 1023011072
Program Studi : Teknologi Pendidikan
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Budi Koestoro, M.Pd. Dra. Arnelis djalil, M.Pd. NIP. 195901081982111001 NIP. 195308031983032001
2. Ketua Program Studi
Dr. Adelina Hasyim, M.Pd. NIP. 19531018 198112 2 001
(4)
MENGESAHKAN
1.Tim Penguji
Ketua : Dr. Budi Koestoro, M.Pd. __________
Sekretaris : Dr. Arnelis Djalil, M.Pd.
__________ Penguji Anggota I : Dr. Riswandi, M.Pd. __________
II : Dr. Adelina Hasyim, M.Pd. __________
2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dr. Bujang Rahman,M.S. NIP 196003151985031003
3. Direktur Program Pascasarjana
Prof. Dr. Sujarwo, M.S. NIP. 19530528 18103 1002
(5)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
1. Tesis dengan judul ” Perbedaan Prestasi Belajar Matematika Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad dan Jigsaw dengan Motivasi berprestasi siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Way Jepara” adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiatisme.
2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Univarsitas Lampung.
Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bandarlampung, 1 Maret 2013
Erwati
Materai Rp6000,00
(6)
(7)
MOTT0
Pendidikan menciptakan manusia yang bisa melakukan
hal baru, tidak sekedar mengulang apa yang telah
dilakukan generasi sebelumnya
(Jean Piegat)
(8)
MOTT0
Pendidikan menciptakan manusia yang bisa melakukan
hal baru, tidak sekedar mengulang apa yang telah
dilakukan generasi sebelumnya
(Jean Piegat)
(9)
PERSEMBAHAN
Dengan ketulusan hati kupersembahkan
karya ilmiahku ini untuk:
Ibunda tercinta,
Suamiku tercinta,
Anak-anakku tersayang,
serta Kakak terbaikku Maryati
atas motivasi dan perhatiannya
(10)
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat Anugerahnya-Nya sebuah tesis yang berjudul: Perbedaan Prestasi Belajar
Matematika Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan Jigsaw dengan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Way Jepara dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Teknologi Pendidikan dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Untuk itu, pada kesempatan ini dengan tulus dan penuh kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Sugeng P. Hariyanto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.
2. Bapak Prof Dr. Sudjarwo, M.S. selaku Direktur Pascasarjana Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung.
4. Ibu Dr. Adelina Hasyim, M.Pd., selaku Ketua Program Magister Teknologi Pendidikan Universitas Lampung dan selaku penguji kedua yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.
5. Ibu Dr. Herpratiwi, M.Pd., selaku Sekretaris Program Magister Teknologi Pendidikan.
6. Bapak Dr. Budi Koestoro, M.Pd., selaku pembimbing pertama, yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.
(11)
membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.
8. Bapak Dr. Riswandi, M.Pd., selaku penguji pertama yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.
9. Bapak dan Ibu Dosen, serta Staf Administrasi Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Lampung.
10.Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pendidikan Angkatan 2010 11.Kepala Sekolah, Dewan Guru serta staf TU SMPN 3 Way Jepara.
12.Teristimewa untuk Orang Tuaku, suamiku, dan anak-anakku serta kakak dan adikku atas dukungannya dalam penyelesaian penyusunan tesis ini.
13.Rekan-rekan satu angkatan: Bapak I Nengah Surata, Ibu Maryati, Bapak Ibnu Sapari, Bapak Mulyadi, Bapak Suyono, Bapak Samija, Bapak Muzhir dengan semangat, kesabaran dan kekompakan selalu bersama-sama dalam suka dan duka selama mengikuti pendidikan di Pascasarjana Unila.
14.Semua pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan sebagai amal ibadah dan diberikan pahala yang mulia di sisi Allah SWT. Amin.
Way Jepara, Februari 2013 Peneliti
(12)
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya demi mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 (2003:11), tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagai upaya mewujudkan pembangunan di bidang pendidikan antara lain diperlukan peningkatan sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pembelajaran yaitu guru dan siswa. Guru sebagai pendidik harus selalu berusaha meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam memberikan materi dan pengelolaan pembelajaran. Sedangkan siswa berusaha memahami materi dengan baik, sehingga dapat menyelesaikan tugas dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu mata pelajaran yang erat kaitannya dengan kehidupana sehari-hari adalah matematika. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2003:6)
(13)
menjelaskan matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki obyek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Dalam pembelajaran matematika, agar mudah dimengerti oleh siswa, maka proses penalaran induktif dapat dilakukan pada awal pembelajaran dan kemudian dilanjutkan dengan proses penalaran deduktif yang menguatkan pemahaman yang sudah dimiliki oleh siswa. Untuk mencapai tingkat penalaran dan pemahaman yang baik membutuhkan proses yang menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Kondisi ini tidak mungkin tercapai tercapai apabila model pembelajaran yang diterapkan tidak memberikan kesempatan yang besar pada siswa untuk berpikir kreatif.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan bakat minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik ( PP 19 tahun 2005: 54).
Guru sebagai pendidik profesional harus pandai memilih model, pendekatan, strategi, metode, teknik dan taktik yang tepat dalam proses pembelajaran sehingga pembelajaran bisa berjalan aktif, inovatif, kreatif, efisien dan menyenangkan. Untuk memilih model, pendekatan, strategi metode, teknik dan taktik yang tepat,
(14)
terutama pada pembelajaran matematika perlu memperhatikan beberapa hal diantaranya materi yang akan disampaikan, tujuan pembelajaran, dan karakter siswa.
Dewasa ini, yang kita lihat bahwa sebagian besar sistem pembelajaran masih bersifat transfer informasi artinya guru memberikan informasi berupa konsep kepada siswa, pembelajaran yang demikian menganggap siswa adalah tempayan yang siap diisi oleh guru dengan informasi. Dalam pandangan ini, siswa secara pasif “menyerap” struktur pengetahuan yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran. Pembelajaran hanya sekadar penyampaian fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan kepada siswa (Clements & Battista dalam Trianto, 2010: 18 ). Proses pembelajaran matematika pada umumnya masih menggunakan kebiasaan dengan urutan sajian pembelajaran sebagai berikut: (1) diajarkan teori/teorema/definisi; (2) diberikan contoh-contoh; dan (3) diberikan latihan soal-soal ( Trianto, 2010: 18).
Matematika mempunyai peranan penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Untuk itu matematika perlu difungsikan sebagai wahana untuk menumbuhkembangkan kecerdasan, kemampuan, keterampilan serta untuk membentuk kepribadian siswa. Pembelajaran matematika akan berhasil apabila pembelajaran disesuaikan karakteristik mata pelajaran matematika.
Matematika memiliki karakteristik tersendiri baik ditinjau dari aspek kompetensi yang ingin dicapai, maupun dari aspek materi yang dipelajari untuk menunjang tercapainya kompetensi. Ditinjau dari aspek kompetensi yang ingin dicapai,
(15)
matematika menekankan penguasaan konsep dan algoritma serta keterampilan memecahkan masalah. Keterampilan tersebut akan dimiliki siswa bila guru membelajarkan bagaimana memecahkan masalah yang efektif kepada siswa-siswanya (Hudoyo, 2005: 123).
Belajar merupakan perjalanan yang tidak pernah berakhir dalam pembinaan dan pemahaman diri. Analisis serta perbaikan cara-cara belajar dituntut agar tetap berlangsung berkesinambungan. Kemampuan untuk menganalisis dan memperbaiki cara belajar dan berpikir perlu dilakukan secara sadar, dan seyogianya tidak berhenti belajar, tidak berhenti menginplementasikan hasil belajar itu (Sindhunata, 2000: 115).
Proses belajar matematika tidak selamanya berjalan efektif, karena dari hasil pengamatan di SMP Negeri 3 Way Jepara masih ada beberapa siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Kesulitan belajar matematika terutama disebabkan oleh sifat khusus dari matematika yang memiliki obyek abstrak. Sifat inilah yang perlu disadari dan dicari jalan keluar sehingga siswa dapat mempelajari matematika dengan mudah dan menyenangkan. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Kecerdasan matematika-logika memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis sistem angka-angka,
(16)
serta menyelesaiakan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir (Sindhunata, 2000: 88).
Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan, dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi aljabar, geometri, logika matematika, peluang dan statistika. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik, atau tabel.
Membelajarkan matematika tidaklah mudah karena fakta menunjukkan bahwa para siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika (Jaworski dalam Depdiknas, 2004:116). Pembelajaran matematika yang diselenggarakan oleh pendidikan formal, yaitu sekolah perlu ditekankan pada hubungan yang lebih bersifat prinsip seperti dalam menganalisis struktur keterkaitan antar konsep. Struktur orgnisasi dalam matematika bersifat hirarkis, yaitu dimulai dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih kompleks. Hal ini membawa konsekuensi bahwa kesiapan mental siswa dalam belajar matematika dimulai dari penguasaan materi sebelumnya. Di sini siswa menganggap matematika itu sulit diterima. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidaktuntasannya dalam melakukan pembelajaran konsep sebelumnya. Demkian pula sebaliknya, siswa akan senang belajar matematika karena merasa paham pada apa yang dipelajari sebelumnya. Rendahnya pemahaman pelajaran matematika berdampak pada pada prestasi belajar. Hal ini terjadi pada SMP Negeri 3 Way Jepara. Rerata nilai hasil ulangan
(17)
tengah semester siswa kelas VII semester genap tahun pelajaran 2011/2012 yaitu sebesar 56,96 di bawah standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran matematika kelas VII adalah 65. Selanjutnya berdasarkan sebaran jumlah siswa, dari 116 siswa kelas VII SMP Negeri 3 Way Jepara tahun pelajaran 2011/2012 hanya 27 siswa atau 23,28% yang tuntas dan sebanyak 89 siswa atau 76,72% tidak mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Data tersebut disajikan pada Tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1 Tabulasi Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VII tahun 2011/2012 Berdasarkan KKM
No Kriteria Ketuntasan Kategori Jumlah %
1 ≥65 Tuntas 27 23,28
2 <65 Tidak tuntas 89 76,72
Jumlah 116 100,00
Sumber: Guru mata pelajaran matematika kelas VII SMP Negeri 3 Way Jepara (analisis data primer)
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa hasil belajar siswa untuk mata pelajaran matematika masih rendah dan masih jauh berada di bawah kriteria ketuntasan minimal, yaitu 6,5. Jumlah siswa yang mencapai kriteria ketuntasan hanya 27 orang (23,28%), sedangkan jumlah siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan sangat tinggi yaitu 89 orang siswa (76,72%).
Rendahnya nilai siswa disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya kurangnya minat siswa terhadap mata pelajaran matematika. Pada umumnya minat siswa akan tumbuh apabila adanya keterlibatan siswa dalam proses belajar. Namun kenyataannya hal ini belum terealisasi termasuk dalam pembelajaran matematika.
(18)
Guru-guru di SMP Negeri 3 Way Jepara, khususnya guru matematika selama ini dalam proses pembelajaran masih menggunakan strategi pembelajaran yang konvensional. Ciri utama pembelajaran ini adalah proses pembelajaran terpusat pada guru, siswa cenderung pasif. Siswa kurang termotivasi untuk belajar dan pada akhirnya berdampak pada rendahnya prestasi belajar.
Kondisi tersebut di atas mendorong peneliti untuk mencari solusi yang lebih efektif guna memperbaiki proses pembelajaran di SMP Negeri 3 Way Jepara yang memiliki siswa dengan motivasi belajar matematika yang heterogen, sehingga prestasi belajar matematika siswa SMP Negeri 3 Way Jepara dapat lebih meningkat.
Berdasarkan hasil survei awal diperoleh gambaran bahwa karakteristik siswa SMP Negeri 3 Way Jepara adalah senantiasa berkembang dan terus mengalami perubahan. Namun model pembelajaran yang digunakan dalam setiap proses pembelajaran kurang bervariatif. Model pembelajaran langsung menjadi pilihan bagi sebagian besar guru untuk melaksanakan pembelajaran di kelas karena dengan menggunakan model pengajaran langsung target kurikulum dapat tercapai sesuai dengan alokasi waktu yang disediakan.
Pembelajaran matematika di SMP Negeri 3 Way Jepara dilaksanakan secara klasikal. Model pembelajaran seperti ini menyebabkan karakteristik siswa dalam belajar kurang diperhatikan dan seluruh siswa dianggap sama cara belajarnya. Pemilihan model pembelajaran yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran matematika memerlukan keterampilan tersendiri. Dalam mengajar matematika,
(19)
intuisi, percobaan, evaluasi, dan pengalaman dapat berguna sebagai panduan dalam memilih model pengajaran. Dalam hal ini seorang guru dianjurkan agar lebih sering memvariasikan dan mencoba suatu model pembelajaran untuk digunakan dalam suatu proses pembelajaran matematika. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, guru dapat menggunakan instingnya untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan suatu model pembelajaran dan membandingkannya dengan model pembelajaran yang lain. Pemilihan model pembelajaran yang tepat diharapkan dapat mengoptimalkan hasil pembelajaran dan mengatasi kesulitan siswa dalam belajar matematika.
Kurang optimalnya pembelajaran konvensional dalam meningkatkan prestasi belajar siswa lebih disebabkan rendahnya keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Untuk itu, guru perlu menerapkan model pembelajaran yang baru yang dapat menjamin keterlibatan siswa pada kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran yang tepat digunakan adalah model pembelajaran kooperatif.
Menurut Lie (2003: 12) pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok
(20)
belum menguasai bahan pelajaran. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu strategi yang membelajarkan siswa untuk memiliki keterampilan kerja sama dan kolaborasi melalui pengelompokan siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen dan tingkat kemampuan yang berbeda.
Menurut Huda (2011:65), pembelajaran kooperatif dipandang sebagai sarana ampuh untuk memotivasi pembelajaran dan memberikan pengaruh positif terhadap iklim ruang kelas yang pada saatnya akan turut mendorong pencapaian yang lebih besar, meningkatkan sikap-sikap positif dan harga diri yang lebih dalam mengembangkan skill-skill koaboratif yang lebih baik, dan mendorong motivasi social yang lebih besar kepada orang yang membutuhkan. Sedangkan Sadker dan Sadker (dalam Huda, 2011:66) menjabarkan beberapa manfaat pembelajaran kooperatif, yaitu (1) siswa yang diajari dengan dan dalam struktur-struktur kooperatif akan memperoleh hasil pembelajaran yang lebih tinggi, (2) siswa yang berpartisipasi dalam pembelajaran kooperatif akan memiliki sikap harga diri yang lebih tinggi dan motivasi yang lebih besar untuk belajar, (3) dengan pembelajaran kooperatif, siswa menjadi lebih peduli pada teman-temannya, dan diantara mereka akan terbangun rasa ketergantungan yang positif untuk proses belajar mereka nanti, dan (4) pembelajaran kooperatif meningkatkan rasa penerimaan siswa terhadap teman-temannya yang berasal dari latar belakang ras dan etnik yang berbeda-beda.
Dengan demikian, pembelajaran kooperatif merupakan salah satu strategi yang membelajarkan siswa untuk memiliki keterampilan kerja sama dan kolaborasi
(21)
melalui pengelompokan siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen dan berbeda tingkat kemampuannya sehingga mempermudah siswa dalam mencapai standar kompetensi pembelajaran yang diharapkan dan mampu meningkatkan hasil belajar secara optimal. Pembelajaran kooperatif yang saat ini sangat populer antara lain adalah pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Devision (STAD) dan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD, tujuan kelompok tidak hanya menyelesaikan tugas yang diberikan, tetapi juga memastikan bahwa setiap anggota kelompok menguasai tugas yang sama yang diterimanya, selain itu mendorong siswa untuk saling membantu dan termotivasi menguasai keterampilan yang diberikan guru.
Menurut Trianto (2009; 73), STAD merupakan pembelajaran kooperatif yang cukup sederhana karena kegiatan pembelajaran yang dilakukan masih dekat kaitannya dengan pembelajaran konvensional, yaitu adanya penyajian informasi atau materi pelajaran. Sementara Slavin (2005:143) memaparkan bahwa STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. Slavin (2005:12) juga mengemukakan bahwa gagasan utama dari STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Demikian pula halnya dengan Rusman (2011:214) menyatakan bahwa STAD adalah yang paling tepat untuk mengajarkan materi-materi pelajaran ilmu pasti, seperti perhitungan dan penerpan matematika,
(22)
penggunaan bahasa dan mekanika, geografi dan keterampilan perpetaan, dan konsep-konsep sains lainnya.
Berbeda dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD, pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berorientasi pada kelompok sehingga setiap siswa dapat termotivasi untuk melakukan aktivitas belajar. Menurut Lei (dalam Rusman, 2011:218), Jigsaw merupakan salah sati tipe atau model pembelajaran kooperatif yang fleksibel. Siswa yang terlibat dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini, akan memperoleh prestasi yang lebih baik, mempunyai sikap yang lebih positif terhadap pembelajaran, dan menghargai perbedaan dan pendapat orang lain.
Menurut Trianto (2009; 74), dalam belajar kooperatif tipe Jigsaw, secara umum siswa dikelompokkan secara heterogen dalam kemampuan, siswa diberi materi yang baru atau pendalaman materi sebelumnya untuk dipelajari. Hal ini tentunya akan menciptakan suasana belajar yang lebih efektif karena masing-masing siswa akan berusaha untuk memahami materi yang dipelajarinya. Disamping itu, pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, penyampaian informasi dari guru tertulis sehingga teori konstruktivisme lebih terakomodasi, dan setiap siswa mempunyai tanggung jawab yang sama dalam membelajarkan teman sekelompoknya. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.
Selain penerapan pembelajaran kooperatif, faktor lain yang juga harus diperhatikan adalah motivasi berprestasi siswa. Motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Motivasi berprestasi
(23)
adalah dorongan siswa untuk mencapai prestasi belajar yang optimal. Siswa yang memiliki motivasi tinggi akan berusaha untuk belajar dengan sungguh-sungguh, sampai dapat mencapai prestasi belajar yang baik. Sedangkan siswa yang memiliki motivasi rendah cenderung tidak bersemangat dalam belajar. Kondisi ini dapat menghambat tercapainya prestasi belajar yang baik.
Salah satu kelemahan pembelajaran saat ini adalah tidak adanya analisis awal terhadap siswa khususnya motivasi berprestasi siswa. Dampaknya kita tidak dapat mengidentifikasi tingkat motivasi siswa. Padahal sangat penting identifikasi awal ini,yang bertujuan untuk mempermudah guru dalam penerapan pembelajaran siswa. Berdasarkan beberapa kajian ilmiah menunjukkan variasi tingkat motivasi siswa dalam penerapan model pembelajaran juga menghasilan prestasi belajar yang juga bervariasi. Hal ini berarti, motivasi dapat berinteraksi dengan model pembelajaran dalam mempengaruhi prestasi belajar siswa.
1.2.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dan survey awal sebelum penelitian, serta wawancara dengan kepala sekolah dan guru mata pelajaran matematika, dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:
1. Prestasi belajar matematika siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari jumlah siswa yang mencapai KKM masih rendah.
2. Pembelajaran yang klasikal yang diterapkan tmembatasi siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain, berkreatif, dan beraktivitas pada kegiatan pembelajaran.
(24)
3. Guru belum memperhatikan motivasi berprestasi siswa. Pada umumnya guru memberikan pola pembelajaran yang sama pada seluruh siswa tanpa
memperhatikan motivasi berprestasi siswa.
4. Siswa seharusnya memiliki kemampuan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dari pengalaman belajar yang diperolehnya, namun kenyataannya siswa hanya menerima pengetahuan dari guru.
1.3Pembatasan Masalah
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya prestasi belajar siswa, maka penelitian ini hanya akan difokuskan untuk menyelidiki keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan tipe Jigsaw pada siswa serta motivasi berprestasi dalam upaya meningkatkan prestasi belajar matematika di SMP Negeri 3 Way Jepara.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah ada interaksi antara pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi belajar siswa.
2. Apakah ada perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.
(25)
3. Apakah ada perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang memiliki motivasi berprestasi lemah yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.
4. Apakah ada perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang memiliki motivasi berprestasi kuat yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.
1.5.Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis:
1. Interaksi antara pembelajaran kooperatif dengan motivasi berprestasi siswa terhadap prestasi belajar siswa.
2. Perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.
3. Perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang memiliki motivasi berprestasi lemah yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.
4. Perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang memiliki motivasi berprestasi kuat yang dibelajarkan melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.
(26)
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi khasanah ilmu pengetahuan untuk menerapkan konsep, prinsip, dan prosedur teknologi pendidikan dalam kawasan desain pembelajaran dan pengelolaan pembelajaran, khususnya model pembelajaran matematika.
Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai: 1. Motivasi bagi siswa untuk mengikuti proses pembelajaran matematika. 2. Secara aktif dan menyenangkan sehingga efektif digunakan dalam mencapai
tujuan pembelajaran.
3. Bahan pertimbangan bagi guru dalam menentukan strategi pembelajaran yang efektif guna meningkatkan hasil belajar siswa.
4. Masukan bagi sekolah, agar lulusan yang dihasilkan lebih bermutu.
5. Landasan empirik bagi peneliti-peneliti berikutnya, terutama yang akan mengkaji dan mengembangkan model pembelajaran yang relevan dalam upaya meningkatkan efektifitas proses pembelajaran.
(27)
II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian pustaka
2.1.1 Teori Belajar dan Pembelajaran
Menurut Ernest ER. Hilgard (dalam Riyanto, 2010:4) mendifinisikan sebagai berikut “learning is the process by wich an activity originates or is charger throught training procedures (whether in the laboratory or in the natural environment) as disitinguished from changes by factor not attributable to training”.
Seseorang dapat dikatakan belajar kalau dapat melakukan sesuatu dengan cara latihan-latihan sehingga yang bersangkutan menajadi berubah. Sementara Hamalik (2008:27-28) menyatakan bahwa (1) belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior throught experiencing). Menurut pengertian ini belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya sekedar mengingat akan tetapi lebih luas dari itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan; (2) belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Dibandingkan dengan
(28)
pengertian pertama maka jelas tujuan belajar pada prinsipnya sama, yakni perubahan tingkah laku, hanya berbeda cara atau cara pencapaiannya.
Sedangkan Harold Spears (dalam Sardiman, 2011) memberikan batasan bahwa learning is to observe, to read, to imitated, to try something themselves, to listen to follow direction”. Sehubungan dengan itu, Sardiman (2011:20) menerangkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya.
Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir. (Trianto, 2009). Sedangkan Bruner (dalam Ali, dkk, 2007: 164) berpandangan bahwa belajar adalah merefleksikan suatu proses sosial yang di dalamnya anak terlibat dalam dialog dan diskusi, baik dengan diri mereka sendiri maupun orang lain termasuk guru, sehingga mereka berkembang secara intelektual.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat diartikan bahwa belajar sebagai proses perubahan tingkah laku yang relatif permanen sebagai akibat dari latihan atau pengalaman. Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar memiliki pengertian yang luas, bisa berupa keterampilan fisik, verbal, intelektual, maupun sikap.
Menurut Callahan (1993:198), belajar berlangsung seumur hidup, namun disadari bahwa tidak semua belajar dilakukan secara sadar. Proses belajar bagi seorang
(29)
individu dapat terjadi dengan sengaja maupun tidak sengaja. Belajar yang disengaja merupakan suatu kegiatan yang disadari dan dirancang serta bertujuan untuk memperoleh pengalaman baru. Proses belajar yang tidak sengaja merupakan suatu interaksi yang terjadi antara manusia dengan lingkungannya, dimana dalam interaksi tersebut individu memperoleh pengalaman baru.
Belajar yang dialami siswa sesuai dengan pertumbuhan jasmani dan perkembangan mental akan menghasilkan prestasi belajar sebagai dampak pengiring, selanjutnya akan menghasilkan program belajar sendiri sebagai perwujudan emansipasi siswa menuju kemandirian. Dari segi guru, kegiatan belajar siswa merupakan akibat dari tindakan pendidikan atau pembelajaran. Proses belajar siswa tersebut menghasilkan perilaku yang dikehendaki suatu prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran (Dimyati, 2002:1)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Belajar terjadi jika siswa memperoleh suatu pengalaman dari lingkungan sekitar atau hal-hal yang dapat dijadikan bahan belajar. Belajar adalah proses aktif dalam memberi reaksi terhadap situasi yang ada di sekitar individu yang sedang belajar, yang diarahkan kepada tujuan dengan melihat, mengamati, dan memahami sesuatu untuk mendapatkan pengalam baru.
Menurut Miarso (2007:528), pembelajaran atau disebut juga kegiatan pembelajaran atau instruksional adalah usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif dalam kondisi tertentu. Mengelola lingkungan dengan sengaja yang dimaksud adalah mengelola
(30)
lingkungan pembelajaran yang di dalamnya terdiri dari tujuan pembelajaran, materi ajar, strategi pembelajaran termasuk di dalamnya pendekatan yang mampu selain sebagai sarana penanaman konsep juga sebagai nilai-nilai serta perancangan evaluasi.
Lebih lanjut Miarso (2007:528) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah usaha mengelola lingkungan belajar dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif dalam kondisi tertentu. Pembelajaran dimaknai sebagai aktivitas atau suatu kegiatan yang berfokus pada kondisi dan kepentingan pembelajar (learning centered). Hal ini dapat dimaknai beberapa hal yaitu
1. Belajar menunjukkan adanya perubahan tingkah laku yang dapat diamati 2. Perubahan tingkah laku adalah relatif permanen
3. Perubahan karena belajar bersifat potensial, artinya sifat ini tidak segera diwujudkan dalam tingkah lakunya
4. Perubahan tingkah laku sebagai akibat pengalaman atau latihan
5. Pengalaman atau latihan dapat mengarahkan pembelajar pada apa yang dipelajarinya
Selanjutnya Reigeluth (2007:134) menyatakan pembelajaran adalah suatu kegiatan agar proses belajar mengajar seorang atau kelompok dapat terjadi sehingga proses belajar dapat tercapai secara efektif dan efisien. Sebagai hasil proses belajar dan pembelajaran diukur dengan prestasi belajar.
Pembelajaran berpusat pada tujuan yang hendak dicapai berdasarkan perencanaan. Pembelajaran adalah proses yang terjadi yang membuat seseorang atau sejumlah
(31)
orang yaitu peserta didik melakukan proses belajar sesuai yang diprogramkan. Pembelajaran adalah proses membuat orang belajar. Guru bertugas membantu orang belajar dengan cara memanipulasi lingkungan sehingga siswa dapat belajar dengan mudah, artinya guru harus mengadakan pemilihan terhadap berbagai strategi pembelajaran yang ada, yang paling memungkinkan proses belajar siswa berlangsung optimal. Pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik yang dipengaruhi faktor internal maupun eksternal yang datang dari lingkungan (Darmadi, 2009:177).
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif dalam kondisi tertentu. Pembelajaran adalah usaha guru dalam mengelola lingkungan belajar untuk mengkondisikn siswanya melakukan kegiatan belajar.
Ada beberapa teori belajar dan pembelajaran yang penting untuk dimengerti dan dapat diterapkan sesuai dengan kondisi dan konteks pembelajaran matematika, seperti teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, teori belajar konstruktivistik, teori belajar humanistik, teori belajar sibernetik, teori belajar sosial, teori belajar revolusi sosiokultural dan kecerdasan ganda. Pada
penelitian ini penulis membatasi pada teori belajar kognitif piaget dan teori belajar sosial Vygotsky yang ada kaitannya dengan pembelajaran matematika.
(32)
2.1.1.1. Teori Belajar Kognitif Piegat
Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari tahapan : pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional (akal). http://www.kompasiana.com/jokowinarto
Teori kognitif lebih memfokuskan pada bagaimana proses atau upaya dalam mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu, kognitif memiliki perbedaan dengan teori behavioristik, yang lebih cenderung menekankan aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan melalui kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang pada dirinya.
Pada kehidupan sehari-hari kita selalu mendengar kata kognitif. Pada aspek tenaga pendidik misalnya, guru diharuskan memiliki kompetensi di bidang kognitif. Artinya, seorang guru harus mempunyai kemampuan intelektual, yaitu penguasaan materi pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan cara menilai siswa dan sebagainya.
Belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan
(33)
berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
Teori belajar kognitif telah dikembangkan oleh para pakar pendidikan, diantaranya Piaget, Bruner, dan Ausubel (dalam Suherman, 2001:164) dinyatakan bahwa:
Proses belajar terdiri dari tiga tahapan yaitu, asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Proses asimilasi adalah penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Proses akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Proses equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget (dalam Suherman, 2001:166) mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis (menurut usia kalender) yaitu (1) tahap sensori motor, dari lahir sampai umur sekitar dua tahun, (2) tahap pra operasi, dari sekitar umur dua tahun sampai dengan umur tujuh tahun, (3) tahap operasi konkrit, dari sekitar umur tujuh tahun sampai dengan sekitar umur sebelas tahun, (4) tahap operasi formal, dari sekitar umur sebelas tahun dan seterusnya.
Sementara Bruner (dalam Suherman, 2001:170) menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pembelajaran dirahkan kepada konsep-konsep dan struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang dibelajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, siswa akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini
(34)
menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat siswa.
Berdasarkan uraian di atas, keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sangat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan prestasi belajar perlu mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana sampai ke yang kompleks, dan perbedaan individual pada diri siswa perhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
2.1.1.2. Teori Belajar Sosial Vygotsky
Menurut Vigotsky dalam (Trianto,2009: 26) bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pemikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Selanjtunya Vigotsky berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung baik pada faktor biologis yang menentukan fungsi-fungsi lementer memori, atensi, persepsi, dan stimulus respon. Sedangkan faktor sosial sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental yang lebih tinggi untuk pengembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan.
Teori pembelajaran ini lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Peranan siswa dalam teori pembelajaran ini adalah siswa diharapkan dapat belajar dengan keras dan menangani tugas-tugas yang belum dipelajari karena tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka, yakni daerah tingkat
(35)
perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan saat ini (Zona of proximal development). Siswa harus aktif melaksanakan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Sementara peranan guru adalah memberi bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal petkembangan dan berangsur-angsur mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya.
Peranan utama guru dalam interaksi pembelajaran adalah pengendalian yang meliputi (1) menumbuhkan kemandirian dengan memberikan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak, (2) menunbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak dengan menimgkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa, (3) menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Vygotsky lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam pengembangan intelektual atau kognitif anak. Vygotsky memandang bahwa kognitif anak berkembang melalui interaksi sosial. Anak mengalami interaksi dengan orang yang lebih tahu.
Secara singkat, teori perkembangan sosial berpendapat bahwa interaksi sosial dengan budaya mendahului. Maksudnya dari relasi dengan budaya membuat seorang anak mengalami kesadaran dan perkembangan kognisi. Jadi intinya Vygotsky memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan.
(36)
Pengetahuan terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial dan budaya seorang anak. Pengetahuan tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu pengetahuan spontan dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan spontan mempunyai sifat lebih kurang teridentifikasi secara jelas, tidak logis, dan sistematis. Sedangkan pengetahuan ilmiah sebuah pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal dan sifatnya lebih luas, logis, dan sistematis. Kemudian proses belajar adalah sebuah perkembangan dari pengertian spontan menuju pengertian yang lebih ilmiah.
Pengetahuan ilmiah terbentuk dari sebuah proses relasi anak dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini bergantung pada seberapa besar kemampuan anak dalam menangkap model yang lebih ilmiah. Dalam proses ini bahasa memegang peranan yang sangat penting. Bahasa sebagai alat berkomunikasi yang membantu anak dalam menyampaikan pemikirannya dengan orang lain. Dengan demikian diperlukan sebuah penyatuan antara pemikiran dan bahasa. Seorang anak dalam masa pembelajarannya, idealnya harus mampu memvisulisasikan apa yang menjadi pemikirannya dalam bahasa. Ketika hal tersebut telah mampu terwujud itu berarti ia juga telah mampu menginternalisasikan pembicaraan mereka yang egosentris dalam bentuk berbicara-sendiri.
Menurut Vygotsky seorang anak yang mampu melakukan pembicaraan pribadi lebih berpeluang untuk lebih baik dalam hubungan sosial. Karena pembicaraan pribadi adalah sebuah langkah awal bagi seorang anak untuk lebih mampu
(37)
berkomunikasi secara sosial. Bahasa adalah sebuah bentuk awal yang berbasis sosial. Pandangan Vygotsky ini berkonfrontasi dengan Piaget yang lebih menekankan pada percakapan anak yang bersifat egosentris. Unsur yang perlu untuk dibahas lebih lanjut adalah mengenai kebudayaan dan masyarakat. Seperti sudah dikatakan pada awal penjelasan tadi, dalam teori Vygotsky, kebudayaan adalah penentu utama perkembangan individu. Kebudayaan sendiri terdiri dari beberapa bentuk, seperti bahasa, agama, mata pencaharian, dan lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam teori Vygotsky terdapat tiga klaim besar. Pertama, bahwa kemampuan kognitif seorang anak dapat diketahui hanya jika dianalisis dan ditafsirkan. Kedua, kemampuan kognitif diperoleh dengan bantuan kata, bahasa, dan bentuk percakapan, sebuah bentuk alat dalam psikologi yang membantu seseorang untuk mentransformasi kegiatan mental. Vygotsky berargumen bahwa sejak kecil seorang anak mulai menggunakan bahasa untuk merencanakan setiap aktivitasnya dan mengatasi masalahnya. Ketiga, kemampuan kognitif berasal dari hubungan-hubungan sosial ditempelkan pada latar belakang sosiokultural. (http://www.scribd.com/doc/35776081/teori-vygotsky )
Berdasarkan uraian di atas, keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sangat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan prestasi beajar perlu mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau
(38)
logika tertentu dari yang sederhana sampai yang kompleks, dan perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.
Pembelajaran dalam hal ini merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Seperti yang dikemukakan Trianto (2009:16) bahwa dalam makna yang lebih kompleks dari pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Dari makna ini terlihat jelas behwa pembelajaran merupakan interaksi dua arah antara guru dan siswa, sehingga antara keduanya terjadi komunikasi yang terarah pada tujuan yang ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan Kyriacou (2011:44) menyatakan bahwa pembelajaran murid bisa dirumuskan sebagai perubahan tingkah perilaku seorang murid yang berlangsung sebagai akibat dari keterlibatannya dalam sebuah pengalaman pendidikan.
Gagne et al (dalam Kyriacou, 2011:44), mengidentifikasikan ada lima tipe pokok pembelajaran (1) informasi verbal, misalnya fakta, nama, prinsip, dan generalisaasi, (2) keahlian intelektual, yakni ”mengetahui bagaimana dan mengapa”. Bukannya ”mengetahui bahwa”. Ini bisa disusun dalam urutan kompleksitas yang semakin menaik, dengan keahlian intelektual yang lebih kompleks ditempatkan di atas keahlian yang lebih simpel, (3) strategi kognitif yakni cara bagaimana murid mampu mengontrol dan mengelola proses mental
(39)
yang tercakup dalam pembelajaran termasuk strategi menekuni, memikirkan, mengingat, dan menangani persolan baru, (4) sikap, bisa didefinisikan sebagai perasaan seorang murid terhadap obyek atau ide tertentu. Pengembangan sikap tertentu misalnya sikap terhadap minoritas etnis atau terhadap mata pelejaran sekolah, merupakan hasil pendidikan yang penting, (5) keahlian motor, misalnya memainkan alat musik atau mengoperasikan program pengolah data.
2.1.2. Model Desain Pembelajaran
Menurut Reigeluth (2007:15) menjelaskan desain pembelajaran merupakan kisi-kisi dari penerapan teori belajar dan pembelajaran untuk memfasilitasi proses belajar seseorang. Selanjutnya Gagne dkk, dalam Prawiradilaga menjelaskan desain pembelajaran membantu individu dalam proses belajar, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera dan jangka panjang. Oleh karenanya desain pembelajaran haruslah disusun secara sistematis, dan menerapkan konsep pendekatan sistem agar berhasil meningkatkan mutu kinerja seseorang.
Dalam desain pembelajaran dikenal beberapa model yang dikemukakan oleh para ahli. Secara umum, model desain pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam model berorientasi kelas, model berorientasi sistem, model berorientasi produk, model prosedural dan model melingkar. Salah satu model desain pembelajaran yang berorientasi kelas adalah model ASSURE.
Model ASSURE merupakan suatu Model Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) atau disebut juga model berorientasi kelas. Model ASSURE ini dicetuskan oleh
(40)
Heinich, dkk. sejak tahun 1980-an dan dan dikembangkan oleh Smaldino, dkk (Prawira Dilaga, 2008: 47).
Menurut Heinich Model ASSURE terdiri enam langkah kegiatan yaitu: 1. Analyze Learners (menganalisis peserta didik)
2. States Objectives (merumuskan tujuan pembelajaran)
3. Select Methods, Media, and Material (memilih metode, media, dan bahan ajar)
4. Utilize Media and materials (memanfaatkan media dan bahan ajar)
5. Require Learner Participation (mengembangkan peran serta peserta didik) 6. Evaluate and Revise (menilai dan memperbaiki)
Rincian Model ASSURE dikembangkan dalam suatu modifikasi, yaitu model PROGRAM. Model PROGRAM adalah modifikasi dari model ASSURE, yang merupakan singkatan terdiri atas istilah:
1. Pantau pebelajar atau peserta didik
2. Rumuskan tujuan pembelajaran atau kompetensi 3. Olah materi atau isi dari mata pelajaran
4. Gunakan media, sumber belajar, dan metode yang sesuai 5. Renungkan sejenak
6. Atur kegiatan peserta didik atau pebelajar 7. Menilai hasil
1. Pantau pebelajar atau peserta didik
(41)
a. Karakteristik umum: latar belakang sosial budaya, kemampuan membaca, atau ciri-ciri umum terkait dengan konteks materi seperti minat atau kesulitan lain yang sekiranya timbul di kelas.
b. Kompetensi awal: kemampuan intelektual yang menjadi modal dasar pebelajar untuk menguasai materi ajar. Kompetensi awal berpengaruh terhadap topik dan pencapaian tujuan pembelajaran.
c. Gaya belajar: gaya belajar seorang pebelajar dikaitkan dengan persepsi dan indranya. Cara melihat, mendengarkan, memperhatikan, menyimak, melakukan dan meniru gerakan tubuh selama belajar berpengaruh terhadap penguasaan kompetensi.
2. Rumuskan tujuan pembelajaran atau kompetensi
Setiap rumusan tujuan pembelajaram harus jelas dan lengkap. Kejelasan dan kelengkapan ini sangat membantu dalam menentukan model belajar, pemanfaatan media dan sumber belajar. Rumusan klasik tujuan pembelajaran yang sejak dahulu diterapkan adalah singkatan ABCD sebagai berikut:
A = Audience
Pebelajar atau peserta didik dengan segala karakteristiknya. Siapapun peserta didik, apapun latar belakangnya, jenjang belajarnya, serta kemampuan prasyaratnya sebaiknya jelas dan rinci. Penjelasan juga menyangkut triwulan, semester atau program pendidikan dan pelatihan yang diikuti.
(42)
B = Behavior
Perilaku belajar yang dikembangkan dalam pembelajaran. Perilaku belajar mewakili kompetensi, tercermin dalam penggunaaan kata kerja. Kata kerja yang digunakan biasanya kata kerja yang terukurdan dapat diamati. C = Conditions
Situasi kondisi atau lingkungan yang memungkinkan bagi pebelajar dapat belajar dengan baik. Penggunaan media dan metode serta sumber belajar menjadi bagian dari kondisi belajar. Kondisi ini sebenarnya menunjuk pada istilah strategi pembelajaran tertentu yang diterapkan selama proses belajar mengajar berlangsung.
D = Degree
Persyaratan khusus atau kriteria yang dirumuskan sebagai bukti bahwa pencapaian tujuan pembelajaran dan proses belajar berhasil. Kriteria ini dapat dinyatakan dalam persentase benar (%), menggunakan kata-kata seperti tepat/benar, waktu yang harus dipenuhi, kelengkapan persyaratan tertentuyang dianggap dapat mengukur pencapaian kompetensi.
3. Olah isi atau mata pelajaran
Langkah-langkah analisis yang dilakukan adalah: a. Ragam pengetahuan
Pengetahuan atau topik terkait dikategorikan berdasarkan karakteristiknya. Sebagai contoh, ragam prosedur dapat disajikan dengan menggunakan metode demonstrasi. Jika metode demonstrasi tidak dapat diterapkan,
(43)
maka alternatif penyajiannya adalah memutarkan program video yang berisi tentang topik yang sama.
b. Sifat pengetahuan
Pengetahuan yang menjadi prasyarat disampaikan terlebih dahulu kepada peserta didik. Untuk itu, pengetahuan prasyarat harus benar-benar sudah dikuasai sebelum peserta didik menerima pengetahuan selanjutnya.
c. Alternatif penyajian
KBM adalah salah satu model pembelajaran. Jika KBM mengalami kendala, maka pikirkan salah satu alternatif penyajian. Dalam hal ini pengajar dapat mengembangkan paket belajar atau modul dengan topik terkait.
1. Gunakan Media, Sumber Belajar, dan Metode yang Sesuai
a. Memilik format media dan sumber belajar yang disesuaikan dengan pokok bahasan atau topik
Media pembelajaran adalah media yang dapat menyampaikan pesan pembelajaran atau mengandung muatan untuk membelajarkan seseorang. Perana media pembelajaran diantaranya:
1) Pengaturan pengajar 2) Pengaturan peserta didik 3) Belajar jarak jauh
Media pembelajaran sering dikaitkan dengan sumber belajar. Hal ini terlihat dari kategorisasi media pembelajaran yang tercakup dalam rumusan sumber belajar, seperti yang diusulkan organisasi tertua teknologi pendidikan EACT yaitu:
(44)
1) Sumber belajar: orang, peralatan, teknologi, dan bahan ajar untuk membantu peserta didik.
2) Sumber belajar: ICT, sumber yang terdapat di masyarakat seperti perpustakaan, museum, kebun binatang, dan pakar
3) Sumber belajar: media digital seperti CD Room, Website, Webquests, dan EPSS (Elektronic, performance, support systems)
4) Sumber belajar: media analog seperti buku dan bahan cetak, rekaman video, dan media audio visual tradisional.
b. Menentukan metode yang tepat
Metode pembelajaran merupakan teknik penyajian yang dipilih dan diterapkan seiring dengan pemanfaatan media dan sumber belajar. Selain itu metode sering dterapkan secara kombinasi sehingga keterbatasan satu metode dapat diatasi dengan metode yang lainnya. Metode yang dianggap inovatif terhadap perkembangan kemampuan kognitif yang dianjurkan untuk digunakan adalah: 1) Belajar berbasis masalah
2) Belajar proyek 3) belajar kolaboratif
2. Renungkan Sejenak a. Refleksi diri
Refleksi diri adalah upaya pengajar yang mendesain sendiri KBM-nya untuk melakukan perbaikan atas apa yang telah dikerjakan. Perbaikan ini berdasarkan masukan dari peserta didik dan mitra pengajar lainnya.
(45)
b. Diskusi dengan mitra pengajar
Setiap pengajar mempunyai pengalaman yang berbeda dengan pengajar lainnya. diskusi sangat dianjurkan agar masing-masing pengajar dapat memberi masukan kepada mitra pengajar lain berkaitan dengan desain, atau KBM.
c. Mengkaji ulang dan menyiapkan bahan ajar serta lingkungan
Sebelum memutuskan bahan ajar yang akan digunakan, terlebih dahulu mengkaji bahan ajar tersebut. Kemudian menyiapkan bahan ajar yang akan digunakan agar bahan ajar sudah tersedia pada waktu pembahasan topik pelajaran. Selanjutnya menyiapkan ruangan yang akan digunakan.
3. Atur Kegiatan Peserta Didik
Untuk mempermudah pengelolaan kegiatan peserta didik, buatlah jadwal bersama-sama dengan peserta didik. Libatkan mereka dalam pengelolaan. Keterlibatan ini akan memupuk rasa tanggung jawab peserta didik akan keberhasilan mereka sendiri.
4. Menilai dan Memperbaiki a. Hasil belajar
Salah satu tujuan penilaian adalah mengukur tingkat pemahaman atas materi yang diberikan. Penilaian dapat bersifat kognitif, dalam bentuk pertanyaan yang harus mereka jawab atau mereka harus melakukan sesuatu hal.
(46)
b. Penilaian portofolio
Portofolio dianggap penilaian yang asli karena tidak hanya guru saja yang menilai proses belajar, tetapi pebelajar berkesempatan menilai proses belajarnya. Penilaian diri dan upaya perbaikan proses belajar dicantumkan dalam portofolio.
c. Penilaian KBM
Tujuan penilaian ini adalah untuk meningkatkan mutu KBM. Penilaian KBM dapat diterapkan terhadap seluruh komponen yang ada seperti media dan sumber belajar, metode, bahan ajar, dan penyajian guru. Penilaian merupakan masukan bagi perbaikan penyelenggaraan KBM selanjutnya atau digunakan untuk menentukan program pengayaan yang sesuai.
Terdapat beberapa manfaat Model ASSURE yaitu: 1. Sederhana, relatif mudah untuk diterapkan 2. Dapat dikembangkan sendiri oleh pengajar 3. Komponen KBM lengkap
4. Peserta didik dapat dilibatkan dalam persiapan untuk KBM (Prawira Dilaga, 2008: 48)
2.1.3 Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
2.1.3.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Menurut Vygotsky (dalam Ali, 2007: 165), belajar dapat membangkitkan prose mental tersimpan yang hanya bias dioperasikan manakala seseorang berinteraksi
(47)
dengan orang dewasa atau berkolaborasi dengan sesame teman. Vygotsky juga menjelaskan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap, yaitu tahap pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap berikutnya dilakukan secara individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi. Selama proses interaksi terjadi baik antara guru dengan siswa, maupun antar siswa, dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam saling menghargai, menguji kebenaran pernyataan fihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi pendapat yang berkembang. Vygotsky juga mengatakan, bahwa belajar dapat membangkitkan berbagai proses mental tersimpan yang hanya bisa dioperasikan manakala seseorang berinteraksi dengan orang dewasa atau berkolaborasi dengan sesama teman.
Pembelajaran kooperatif dapat digunakan secara efektif pada setiap tingkatan kelas, untuk mengajarkan berbagai materi mulai dari menghitung, membaca, menulis, keterampilan dasar sampai pemecahan masalah. Dalam pembelajaran kooperatif siswa dapat mencapai hasil belajar secara maksimal, sehingga mempunyai kesempatan yang sama antar anggota kelompok untuk sukses dalam belajar (Slavin, 2005: 5).
Selanjutnya Lie Anita (2003:12) mengemukakan, pembelajaran kooperatif merupakan sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur yang disebut dengan sistem.
(48)
Lebih lanjut Robert E. Slavin (2005:4) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran.
Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Rusman (2011:20) bahwa pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran siswa melalui belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
Dari beberapa definisi pembelajaran kooperatif di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah bekerja sama dalam satu kelompok dengan tugas terstruktur dan keberhasilan yang akan diraih ditentukan oleh semua usaha anggota kelompok untuk mencapai kepentingan bersama.
2.1.3.2. Strategi Pendekatan Kooperatif
Terdapat empat unsur dalam strategi pembelajaran kooperatif yaitu adanya peserta dalam kelompok, adanya aturan dalam kelompok, adanya upaya belajar setiap anggota kelompok, dan adanya tujuan yang harus dicapai.
Menurut Slavin (2005:26) salah satu strategi dari model pembelajaran kelompok adalah strategi pembelajaran dengan pendekatan kooperatif (Cooperative Learning). Strategi pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran
(49)
kelompok yang dianjurkan para ahli pendidikan untuk digunakan. Menurut Slavin (2005:28) ada dua alasan penggunaan Cooperative Learning, yaitu:
1. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran dengan pendekatan kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri.
2. Pembelajaran dengan pendekatan kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar, berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan denga keterampilan. Dari alasan tersebut, pembelajaran dengan pendekatan kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan.
Strategi pembelajaran dengan pendekatan kooperatif mempunyai dua komponen, yaitu : komponen tugas kooperatif (cooperative task) dan komponen struktur intensif kooperatif (cooperative incentive structure). Tugas kooperatif berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota bekerjasama dalam menyelesaikan tugas kelompok, sedangkan stuktur intensif kooperatif merupakan sesuatu yang membangkitkan motivasi individu untuk bekerjasama mencapai tujuan kelompok. Struktur intensif dianggap sebagai keunikan dari pembelajaran kooperatif, karena melalui struktur intensif setiap anggota kelompok bekerja keras untuk belajar, mendorong dan memotivasi anggota lain untuk menguasai materi pelajaran sehingga tujuan kelompok dapat tercapai.
(50)
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa manfaat dalam strategi pembelajaran kooperatif sangat berperan khususnya bagi siswa yang berprestasi rendah, karena dengan diterapkannya pembelajaran kooperatif tersebut, siswa yang prestasinya rendah akan termotivasi dan sikap positif pada diri siswa akan cenderung meningkat dengan adanya belajar kelompok akan mempengaruhi prestasi siswa menjadi lebih baik.
2.1.3.3 Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD)
Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang pada proses pembelajarannya menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan anggota pada masing-masing kelompok terdiri dari 4 – 5 orang siswa secara heterogen, dengan kegiatan pembelajaran yang diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, tes, dan penghargaan kelompok.
Menurut Slavin (dalam Trianto,2009; 68), pada STAD siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan 4 – 5 orang yang merupakan campuran antara tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja dalam tim mereka memastikan bahwa seluruh anggota tim telah mengusai pelajaran tersebut. Kemudian seluruh siswa diberikan tes tentang materi tersebut, pada saat tes ini mereka tidak diperbolehkan saling membantu.
STAD merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang sekarang sangat popular digunakan di sekolah-sekolah. Slavin (2005: 279) menjelaskan bahwa
(51)
pada intinya terdapat tiga komponen mendasar dalam belejar koopertif tipe STAD yaitu (1) group goal yaitu bekerja sama dalam kelompok dan membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan belajar , (2) individual accountability yaitu setiap anggota kelompok diharapkan melakukan aktivitas belajar bersama sehingga mengusai dan memamahi isi materi, dan (3) aqual opportunity for success yaitu setiap anggota pada kelompok mempunyai kesempatan yang dicapainya.
Menurut Hanafiah (2009:44) STAD adalah pembelajaran dalam kelompok kecil. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh adalah:
1. Peserta didik diberikan tes awal dan diperoleh skor awal
2. Peserta didik dibagi dalam kelompok kecil 4-5 orang secara hiterogen menurut prestasi, jenis kelamin, ras, dan suku
3. Guru menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik
4. Guru menyajikan bahan pelajaran dan peserta didik bekerja dalam tim 5. Guru membimbing kelompok peserta didik
6. Peserta didik diberi tes tentang materi yang telah diajarkan 7. Guru memberikan penghargaan
Terdapat enam fase utama pembelajaran kooperatif tipe STAD, pembelajaran diawali dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran disertai dengan memotivasi siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Fase ini diikuti dengan penyampaian informasi dengan lisan atau dalam bentuk bacaan. Selanjutnya siswa dikelompokkan dalam kelompok-kelompok belajarnya, fase berikutnya
(52)
bimbingan guru pada saat siswa bekerja sama menyelesaikan tugas secara berkelompok. Selanjutnya fase terakhir meliputi presentasi akhir kerja kelompok dari materi yang telah dipelajari dan memberikan penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok atau individu. Keenam fase pembelajaran kooperatif oleh Arends (dalam Ibrahim, 2000:10) adalah seperti yang terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 Fase-fase pembelajaran kooperatif tipe STAD Fase
ke
Indikator Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa 1 Menyampaikan
tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi belajar siswa
Menyimak penjelasan guru
2 Manyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Mendengarkan dan
memperhatikan 3 Mengorganisasikan
siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Membentuk kelompok yang telah ditentukan
4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
Mengerjakan LKS
5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Mempresentasik an hasil belajar
6 Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai upaya atas hasil belajar individu maupun kelompok
Secara teknis pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD dijelaskan oleh Ibrahim (2000:20) sebagai berikut.
Guru yang menggunakan STAD mengacu pada belajar kelompok siswa menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu dengan menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam satu kelas dibagi menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang. Setiap kelompok haruslah
(53)
heterogen terdiri dari laki perempuan, berasal dari berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa STAD adalah jenis pembelajaran kooperatif dalam kelompok kecil yang harus diawali dari pemberian materi baru, selajutnya penyelesaian tugas pendalaman materi, dan dilanjutkan dengan diskusi antar kelompok. Kelompok yang mengajukan pertanyaan diberi pont sesuai dengan mutu pertanyaannya. Selanjutnya Slavin (2005:288) menyatakan bahwa STAD merupakan suatu metode pembelajaran kooperatif yang efektif dan berikut ini diuraikan bagaimana pelaksanaannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
1) Pembelajaran
Pembelajaran kooperatif tipe STAD selalu dimulai dengan penyajian materi ajar di kelas. Penyajian materi menyangkut pembukaan, pengembangan, dan latihan terbimbing dari keseluruhan materi yang diajarkan.
2) Belajar kelompok
Tugas anggota kelompok dalam belajar kelompok adalah menguasai materi yang diberikan dalam pembelajaran dan membantu teman satu kelompok untuk menguasai materi tersebut. Siswa diberi lembar kegiatan yang dapat digunakan untuk melatih keterampilan serta untuk mengevaluasi diri mereka dan teman satu kelompok. Pada saat pertama kali menggunakan pembelajaran kooperatif, guru perlu mengamati kegiatan pembelajaran secara seksama. Guru harus melakukan hal-hal sebagai berikut: (1)meminta anggota kelompok memondahkan bangku/meja mereka bersama-sama dan pindah ke meja kelompok, (2) memilih
(54)
nama kelompok, dan (3) kelompok manapun yang tidak dapat menyepakati nama kelompok pada saat itu boleh memilih kemudian, (4) membagikan lembar kegiatan/tugas. Selanjutnya menyerahkan kepada siswa untuk bekerja sama dalam pasangan kelompok. Dalam mengerjakan soal masing-masing siswa harus mengerjakan soal sendirian dan kemudian dicocokkan dengan temannya. Jika da yang tidak dapat mengerjakan, teman sekelompoknya bertanggung jawab menjelaskannya. Guru perlu memperhatikan hal sebagai berikut: (1) menekankan pada siswa bahwa mereka belum selesai belajar sampai mereka yakin teman-teman satu kelompok semua memahami, (2) memastikan siswa mengerti bahw lembar kegiatan tersebut untuk belajar tidak hanya untuk diisi dan diserahkan, (3) mengingatkan siswa bahwa jika mereka mempunyai pertanyaan, mereka seharusnya menanyakan kepada teman-teman sekelompok sebelum bertanya kepada guru.
3) Tes/Kuis
Tes/kuis dikerjakan oleh siswa secara mandiri yang bertujuan untuk menunjukkan apa saja yang telah diperoleh siswa selama belajar dalam kelompok. Hasil kuis digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan dalam nilai perkembangan kelompok.
4) Penghargaan kelompok
Hal yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah menghitung nilai kelompok dan nilai perkembangan individu serta memberikan penghargaan kelompok. Pemberian penghargaan berdasarkan pada rata-rata nilai perkembangan individu dalam kelompoknya.
(55)
2.1.3.4 Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Slavin (dalam Trianto, 2009; 74), dalam belajar kooperatif tipe Jigsaw secara umum siswa dikelompokkan secara heterogen dalam kemampuan. Siswa diberi materi yang baru atau pendalaman dari materi sebelumnya untuk dipelajari. Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjai ahli (expert) pada suatu aspek tertentu dari materi tersebut. Setelah membaca dan mempelajari materi, ”ahli” dari kelompok berbeda berkumpul untuk mendiskusikan topik yang sama dari kelompok lain sampai mereka menjadi ”ahli” di konsep yang ia pelajari. Kemudian kembali ke kelompok semula untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada teman sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau assessment yang lain pada semua topik yang diberikan.
Selanjutnya Silberman (2006:157) menyatakan bahwa pembelajaran Jigsaw berupa pola mengajar teman sebaya dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk mempelajari suatu materi dengan baik dan pada waktu yang sama ia menjadi nara sumber bagi yang lain.
Teknik mengajar tipe Jigsaw dikembangkan oleh Aronson sebagai metode pembelajaran kooperatif. Teknik ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Pendekatan ini bisa digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, kimia, agama, dan bahasa. Teknik ini cocok untuk semua kelas/tingkatan (Lie, 2003:68).
(56)
Lebih lanjut Lie (2003:68) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan pemebelajaran kooperatif dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang secara heterogen dan bekerja sama, saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan materi pelejaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada kelompok lain. Pada pembelajaran ini siswa diminta untuk membaca suatu materi dan diberi lembar ahli (expert sheet) yang memuat topik-topik berbeda untuk tiap tim yang harus dipeajari. Apabila siswa telah selesai membaca, selanjutnya dari tim berbeda dengan topik yang sama berkumpul dalam kelompok ahli (expert group) untuk mendiskusikan topik mereka. Selanjutnya ahli-ahli ini kembali ke tim masing-masing untuk mengajarkan kepada anggota yang lain dalam satu tim. Pada akhirnya siswa mengerjakan kuis yang mencakup semua topik dan skor yang diproleh menjadi skor tim (Wijayanti, 2002:66).
Menurut Slavin (2005:126) mengemukakan bahwa “Jigsaw is one of the most flexible of the cooperative learning methods several modification”. Pernyataan tersebut diartikan bahwa Jigsaw adalah salah satu metode cooperative learning yang lebih luwes dengan melalui beberapa penyempurnaan dengan karakter yang lain. Selanjutnya Slavin (2005:71) mengemukakan bahwa rencana pembelajaran kooperatif Jigsaw dapat diatur sebagai berikut:
a. Membaca: siswa memperoleh materi dan membaca materi untuk mendapatkan informasi.
b. Diskusi kelompok ahli: siswa dengan materi yang sama bertemu untuk mendiskusikan materi tersebut.
c. Diskusi kelompok asal: kelompok ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan materi tersebut pada kelompokknya.
(57)
e. Penghargaan kelompok: perhitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok.
Sintaks (langkah-langkah) pembelajaran dengan tipe Jigsaw menurut Riyanto (2010: 271) sebagai berikut:
Tabel 2.2 Sintaks Pembelajaran Tipe Jigsaw
Fase – Fase. Aktivitas
Fase 1
Pembentukan kelompok asal
Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok belajar. Setiap kelompok beranggotakan 4 orang siswa (kelompok asal)
Fase 2
Pembagian materi
Guru memberikan materi yang berbeda kepada siswa dalam kelompok asal Fase 3
Persiapan diskusi kelompok ahli
Semua kelompok mempelajari materi ajar yang telah diberikan oleh guru. Fase 4
Diskusi kelompok ahli
Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
Fase 5
Kembali ke kelompok asal
Anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal masing-masing (home teams) untuk menjelaskan kepada teman dalam kelompoknya.
Fase 6 Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar siswa secara individual.
Fase 7 Penutup
Guru memberikan tugas di rumah
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Jigsaw adalah : 1) Meggunakan strategi tutor sebaya.
2) Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok asal (home) dan kelompok ahli 3) Dalam kelompok ahli peserta didik belajar secara kooperatif menuntaskan topik yang sama sampai mereka menjadi ahli
(58)
4) Dalam kelompok asal setiap siswa saling mengajarkan keahlian masing- masing (Riyanto, 2010: 271).
Pelaksanaan Jigsaw dapat digambarkan pada bagan berikut:
Keterangan : A = Klasikal
B = Kelompok Asal
C = Kelompok Ahli. (Riyanto, 2010:272) Gambar 2.1: Bagan Pelaksanaan Jigsaw
Kelebihan dari pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. 1. Mengembangkan kreatifitas dan inovasi
2. Siswa terbiasa bekerja sendiri maupun kelompok
3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan pemikiranya 4. Meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami pengetahuan yang sulit
ABC ABC ABC
ABC ABC ABC
AAA
ABC ABC ABC
BBB CCC
A
B
C
B
(1)
3. Dalam kelompok ahli peserta didik belajar secara kooperatif menuntaskan topik yang sama sampai mereka menjadi ahli. 4. Dalam kelompok asal siswa saling mengajarkan keahlian
masing-masing. b. Secara praktis
1. Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara baik, baik materi pembelajaran dan pembentukan kelompok.
2. Penyampaian materi harus-harus benar dapat dikuasi oleh siswa. 3. Adanya penghargaan kelompok.
5.3 Saran
1) Interaksi pembelajaran kooperatif dan motivasi ternyata berpengaruh pada prestasi belajar. Untuk itu, harus menguasai prinsip-prinsip pembelajaran kooperatif dan motivasi berprestasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempelajari prinsip-prinsip pelaksanaan pembelajaran kooperatif melalui studi literatur, dan pelatihan. Selanjutnya dapat menyusun instrumen motivasi, sehingga dapat mengidentifikasi awal motivasi berprestasi siswa 2) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik
dibandingkan kooperatif tipe Jigsaw dalam meningkatkan prestasi belajar. Untuk itu, guru harus menguasai prinsip-prinsip pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan cara mempelajari
(2)
teori-teori pembelajaran kooperatif tipe STAD. Selanjutnya guru secara terjadwal menerapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD.
3) Pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih sesuai untuk siswa yang memiliki motivasi lemah. Untuk itu, guru harus mampu mengidentifikasi siswa yang memiliki motivasi lemah. Selanjutnya harus menjelaskan pada siswa prinsip-prinsip dasar yang harus dilaksanakan pada pembelajaran kooperatif tipe STAD
4) Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih sesuai untuk siswa yang memiliki motivasi kuat. Untuk itu, guru harus mengidentifikasi siswa yang memiliki motivasi kuat. Selanjutnya guru juga harus menguasai model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw melalui belajar secara mandiri maupun mengikuti pelatihan.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis . Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
http://azisgr.blogspot.com/2010/05/model-pembelajaran-kooperatif-tipe.html (02 Mei, 2010)
Ali , Muhammad, dkk. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bakti Utama
Anderson, EW dan Krathwolt. 2001. Taxonomi For Learning, Teaching, and Assexing. New York: Longman Inc.
Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta.
Callahan, Joseph. 1993. Foundation of Education. Mac Millan Publising Co. New York.
Darmadi. 2009. Kemampuan Dasar Mengajar. Alfabeta. Bandung.
Depdiknas. 2003. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Direktorat Pendidikan menengah umum.
Dirjen Dikdasmen Depdiknas. 2004. Pedoman Umum Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Siswa Lanjutan Pertama (SMP). Jakarta: Binatama Raya.
Dimyati, dkk. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.
Djaali, dkk. 2001. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta. Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. ______________. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
(4)
Hanafiah, Nanang. 2009. Konsep dan Strategi Pembelajaran. Refika Aditama. Bandung.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21356/4/chapter%20II.pdf) http:/www.kompasiana.com./jokowinarto
Huda, Miftahul. 2011. Cooperative Learning (Metode, Teknik, Struktur, dan model Penerapan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hudoyo, Herman. 2005. Teori Dasar Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Ibrahim, Muslimin. Pembelajaran Kooperatif. UNS. Surabaya.
Jurnal. Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Peningkatan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA pada Materi Listrik Dinamis. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA Vol. I No.3. Bandung: Program Studi IPA Sekolah Pascasarjana UPI.
Kyriacou, Chris. 2011. Effective Teaching Theory and Practice. Nusa. Bandung. Lie , Anita. 2003. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative
Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Liliasari. 2009. Pembelajaran Sains untuk Membangun Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Makalah Seminar Nasional Pendidikan II). Bandar Lampung: Unila.
Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing. P3G Matematika. Yogyakarta.
Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Cet Ke-4. Kencana. Jakarta.
Nur, M dan Wikandari, Prima Retno. 2003. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivisme dalam Pengajaran. Surabaya: UNESA Nurkencana, Wayan. 1996. Evaluasi Pendidikan. Usaha Nasional. Jakarta. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA Vol. I No.3. Bandung: Program Studi IPA
Sekolah Pascasarjana UPI.
(5)
Reigeluth. 2007. Design and Development Research. Copyriht by Lawrence Erlbaum Associates Inc. USA.
Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran (Sebagai Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas) Jakarta: Kencana Prenada media Group.
Ruseffendi, E.T. 1998. Statistika Dasar Untuk Penelitian. Bandung. IKIP Bandung.
Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran (Mengembangkan Profesionalisme Guru). Bandung: Rajagrafindo Persada.
Sardiman, AM. 2011. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Silbermen, Melvin. 2006. Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject (Boston: Allyn and Bacon). Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Cet. Ke-3. Nuansa dan Nusameda. Bandung.
Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma baru Pendidikan. Surabaya: Gramedia Pustaka Utama.
Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta. Jakarta
Slavin, Robert, E. 2005. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik (diterjemahkan dari Cooperative Learning: Theory, researche and Practice). London: Allymand Bacon.
Sopah, Djamaraah, 2000. Pengaruh Model Pembelajaran dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan no.22.
Sudjana, Nana. 2002. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suherman, Eman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika. Jakarta. Universitas Terbuka.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Kencana Jakarta: Prenada media Group.
(6)
Trihantoro, A. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesman. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Uno, Hamzah. 2006. Teori Motivasi & Pengukurannya: analisis di bidang pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
---, 2007. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Bumi Aksara .
Wijayanti. 2002. Pembelajaran Kooperatif pada Sub Pokok Bahasan Keliling dan Luas Persegi Panjang dan Persegi. (makalah). Surabaya: UNS.