EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LAJU REAKSI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGINDUKSI DAN MEMPERTIMBANGKAN HASIL INDUKSI

(1)

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LAJU REAKSI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN

MENGINDUKSI DAN MEMPERTIMBANGKAN HASIL INDUKSI

Oleh

I GEDE HERMAWAN Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Kimia

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LAJU REAKSI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN

MENGINDUKSI DAN MEMPERTIMBANGKAN HASIL INDUKSI Oleh

I GEDE HERMAWAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan efektivitas model pembe-lajaran problem solving pada materi laju reaksi dalam meningkatkan pilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi yang meliputi keteram-pilan menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menye-lidiki. Efektivitas model pembelajaran problem solving diukur dengan perbedaan n-Gain yang signifikan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan nonequivalent control group design. Teknik pemilihan sampel yang digunakan yaitu teknik purposive

sampling. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMAN 7 Bandar Lampung semester ganjil tahun ajaran 2012-2013 dengan kelas XI IPA1 dan kelas XI IPA3 sebagai sampel.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen yaitu 0,38 dan 0,56; serta rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki untuk


(3)

pilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi yang meliputi keteram-pilan menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil me-nyelidiki pada materi laju reaksi.

Kata kunci : keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta, keterampilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki, model pembelajaran problem solving


(4)

(5)

(6)

v DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Konstruktivisme ... 9

B. Model Pembelajaran Problem Solving ... 12

C. Keterampilan Berpikir Kritis ... 14

D. Keterampilan Menginduksi dan Mempertimbangkan Hasil Induksi.. 15

E. Kerangka pemikiran ... 16

F. Anggapan Dasar... 18


(7)

vi

B. Jenis dan Sumber Data ... 20

C. Desain dan Metode Penelitian ... 20

D. Variabel Penelitian ... 21

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya... 21

F. Langkah-Langkah Penelitian ... 22

G. Teknik Analisi Data ... 24

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Hasil Penelitian ... 29

B. Pembahasan ... 34

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 45

A. Simpulan ... 45

B. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

LAMPIRAN 1. Silabus ... 49

2. RPP kelas eksperimen ... 59

3. Lembar Kerja Siswa ... 99

4. Kisi-kisi pretest ... 145

5. Soal pretest ... 147

6. Rubrik pretest ... 150


(8)

vii 10.Data nila pretest, posttest, dan n-Gain keterampilan yang diamati... 168 11.Rata-rata nilai pretest, posttest, dan n-Gain keterampilan yang diamati

... ... 171 12.Perhitungan ... 172 13.Surat Ijin Penelitian ... 178


(9)

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengeta-huan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Ilmu kimia merupakan bagian dari IPA, yang berkembang berdasarkan pada fenomena alam. Ada tiga hal yang berkaitan dengan kimia, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan yang berupa fakta, kon-sep, prinsip, hukum, dan teori), kimia sebagai proses, dan kimia sebagai sikap. Oleh sebab itu pembelajaran kimia harus memperhatikan karakteristik kimia sebagai produk, proses,dan sikap (BSNP, 2006).

Ilmu kimia merupakan salah satu bidang ilmu sains yang mempelajari struktur, susunan, sifat dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan ma-teri, dengan demikian pembelajaran kimia yang dilakukan disekolah harus men-cerminkan karakteristik dari pembelajaran sains yang meliputi proses, produk dan sikap. Oleh karena itu, pembelajaran kimia tidak boleh mengesampingkan proses ditemukannya konsep. Sehingga kimia sebagai pembelajaran sains dapat dilaku-kan dengan memberidilaku-kan pengalaman secara langsung kepada siswa. Pelajaran kimia adalah pelajaran yang erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari.


(10)

Salah satu contohnya ialah materi laju reaksi. Materi laju reaksi menyajikan fakta-fakta tentang peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya mengapa kayu yang dibelah-belah akan lebih cepat habis terbakar dibandingkan dengan kayu gelondongan yang memiliki massa yang sama dan mengapa ketika merebus telur dengan suhu 100°C akan lebih cepat matang dibandingkan dengan merebus telur pada suhu 80°C. Jika seorang guru dapat mengaitkan fakta-fakta yang terjadi di lingkungan sekitar ke dalam materi kimia, dengan begitu siswa akan lebih mudah untuk memahami materi tersebut. Pembelajaran materi laju reaksi dapat dilakukan dengan eksperimen, sehingga siswa dapat membangun konsep dengan mengamati setiap fenomena yang terjadi selama eksperimen. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran konstruktivisme, dimana siswa sendiri yang dipacu untuk menemukan konsep untuk dirinya dan dapat mengkomuni-kasikan hasil eksperimen yang dilakukan. Dengan begitu ilmu yang diperoleh siswa diharapkan dapat bertahan lama.

Faktanya pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghafal konsep. Siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam menggunakan pengetahuan awalnya untuk membangun konsep baru. Akibatnya, perkembangan keterampilan berpikir kritis siswa terhambat dan siswa menganggap konsep-konsep materi yang sudah mereka terima selama ini hanyalah sebagai pengenalan istilah-istilah baru semata. Hal ini diperkuat dengan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap guru kimia dan siswa di kelas XI IPA 1 SMA Negeri 7 Bandar Lampung,

pembe-lajaran yang dilakukan di kelas XI IPA1 masih terkondisikan pada pembelajaran konvensional. Pembelajaran dilakukan dengan memberikan informasi yang berkaitan dengan materi kimia dengan menggunakan metode tanya jawab


(11)

kemudian diikuti dengan latihan soal yang diambil dari buku-buku kimia yang menjadi pegangan guru. Tentunya kegiatan pembelajaran seperti ini tidak sejalan dengan kurikulum yang berlaku. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran dan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator. Clement dan Lochhead dalam Schafersman (1991) dan Bassham (2007) menyatakan bahwa guru-guru seharusnya membelajarkan siswa tentang bagaimana berpikir (how to think), bukan membelajarkan siswa tentang apa itu berpikir (what to think). Tujuan utama pembelajaran adalah mengkondisi-kan siswa bagaimana berpikir, yaitu bagaimana siswa menjadi pebelajar yang aktif dan pemikir yang independen serta mampu mengendalikan diri. Cara pembelajaran seperti itu menyebabkan keterampilan berpikir kritis siswa kurang terlatih. Oleh karena itu, diperlukan model alternatif dalam pembelajaran kimia baik di dalam maupun di luar kelas guna menjembatani siswa dalam mengaitkan konsep yang dipelajari dengan lingkungan sekitarnya agar lebih mudah dipahami dan pembelajaran yang dilakukan menjadi lebih bermakna bagi siswa.

Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa bahwa problem solving merupakan salah satu model pembelajaran dalam strategi pembelajaran kontekstual yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran kimia yang meliputi konsep-konsep dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran ini, siswa di-haruskan melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan. Masalah nyata yang diberikan diyakini dapat menarik minat siswa untuk melihat lingkungannya dan terpanggil untuk memecahkan ma-salah yang ada. Keadaan ini diharapkan memampukan siswa untuk menemukan


(12)

konsep yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dengan berbagai penjelasan dengan mengungkap dan menyelesaikan masalah tersebut.

Dalam usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa dituntut untuk menjadi pembelajar yang mandiri yang mampu menggunakan dan menghubungkan berbagai aturan-aturan yang telah dikenalnya serta berbagai ke-terampilan yang mereka miliki. Dengan demikian, model pembelajaran ini mem-berikan kesempatan untuk mengembangkan berbagai kemampuan siswa.

Model problem solving adalah suatu penyajian materi pelajaran dengan mengha-dapkan siswa kepada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan adanya masalah yang dihadapkan kepada siswa dalam pembelajaran ini, siswa diharuskan melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan. Model problem solving terdiri dari beberapa tahap, dimana pada setiap tahap model pembelajaran problem solving ini dapat melatih keterampilan berpikir siswa, misalnya keteram-pilan menarik kesimpulan. Keteramketeram-pilan menarik kesimpulan adalah kemam-puan untuk menghubungkan berbagai petunjuk dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki, misalnya menarik kesimpulan sesuai fakata dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki. Keterampilan-keterampilan ini meru-pakan sub indikator dari keterampilan berpikir kritis yaitu indikator menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.

Menurut Ennis (1985), berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus diper-cayai atau dilakukan. Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu


(13)

kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan (Depdiknas, 2003). Elam dalam Redhana dan Liliasari (2008) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis telah menjadi tujuan pendidikan tertinggi. Sementara itu, Candy dalam Redhana dan Liliasari (2008) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu tujuan yang paling penting dalam semua sek-tor pendidikan.

Berpikir kritis dapat didefinisikan sebagai cara berpikir yang lebih kompleks dalam mengorganisir, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dengan fokus untuk menentukan apa yang harus dipercayai atau apa yang harus dilakukan. Me-nurut Schafersman (1991), tujuan pembelajaran berpikir kritis dalam sains adalah untuk memperbaiki keterampilan berpikir siswa dan menyiapkan siswa agar ber-hasil menghadapi kehidupannya. Selain itu, menurut Liliasari (dalam Agustina, 2006) berpikir kritis ternyata mampu mempersiapkan peserta didik dalam mema-hami berbagai disiplin ilmu dan dapat dipakai dalam pemenuhan kebutuhan in-telektual dan perkembangan potensi peserta didik. Dengan demikian, pembe-lajaran yang melatihkan keterampilan berpikir kritis siswa sangat penting dite-rapkan oleh guru-guru agar dapat mengembangkan daya nalar siswa, sehingga siswa dapat berpikir kritis dalam mengambil keputusan untuk menghadapi per-saingan hidup yang semakin ketat.

Hasil penelitian Saputra(2011), pada materi Kesetimbangan yang dilakukan pada siswa SMA kelas XI IPA di SMA Negeri 9 Bandar lampung, menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model Problem Solving dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh


(14)

Purwani (2009), yang dilakukan pada siswa SMA kelas X di SMAN 1 Jombang, menunjukkan bahwa pembelajaran dengan melalui strategi problem solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa.

Berdasarkan uraian diatas, dilakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving pada Materi Laju Reaksi dalam Meningkatkan Keterampilan Menginduksi dan Mempertimbangkan Hasil Induksi”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar balakang masalah yang diuraikan di atas, rumusan masalah pe-nelitian ini adalah:

Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran Problem Solving pada materi laju reaksi dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:

Efektivitas model pembelajaran Problem Solving pada materi laju reaksi dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi?


(15)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, khususnya guru dan siswa yang langsung terlibat dalam proses pembelajaran di kelas. Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi siswa:

Pembelajaran Problem Solving memberikan pengalaman kepada siswa untuk melatih kemampuan berpikir kritis khususnya pada materi laju reaksi.

2. Bagi guru dan calon guru:

Memberi inspirasi dan pengalaman secara langsung bagi guru dalam kegiatan membelajarkan kimia dengan menerapkan model pembelajaran Problem Sol-ving sebagai model alternatif baik pada materi laju reaksi maupun materi lain yang memiliki karakteristik yang sama.

3. Bagi sekolah:

Dengan menerapkan pembelajaran Problem Solving di sekolah dapat mening-katkan mutu pembelajaran kimia.

E. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah :

1. Pembelajaran Problem solving yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Problem Solving menurut Depdiknas (2008). Model ini terdiri dari 5 tahap. Tahap 1 yaitu mengorientasikan siswa pada masalah, tahap 2 yaitu mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masa-lah, tahap 3 yaitu menetapkan jawaban sementara dari masamasa-lah, tahap 4 yaitu menguji kebenaran jawaban sementara, dan tahap 5 yaitu menarik kesimpulan.


(16)

2. Keterampilan berpikir kritis yang akan diteliti adalah keterampilan mengin-duksi dan mempertimbangkan hasil inmengin-duksi yang meliputi keterampilan menarik kesimpulann sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki.

3. Efektivitas model pembelajaran Problem Solving pada penelitian ini ditunjukan dengan adanya perbedaan n-Gain yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pe-ngalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemu-kan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus meng-konstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri (Trianto, 2007).

Pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengeta-huan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Setiap siswa membangun pengetahuannya sendiri, sehingga transfer pengetahuan akan sangat mustahil terjadi. Von Glasersfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001) menegaskan bahwa “konstruktivisme juga menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita


(18)

peroleh adalah hasil konstruksi sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain”.

Menurut Von Glasersfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001), agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan:

1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali penga-laman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pe-ngalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan inter-aksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut.

2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membanding-kan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaan-nya untuk selanjutperbedaan-nya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengeta-huannya.

3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pemben- tukan pengetahuannya.

Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut Suparno (1997), antara lain: 1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif;

2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa; 3. Mengajar adalah membantu siswa belajar;

4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir; 5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa;

6. Guru adalah fasilitator.

Secara keseluruhan pengertian atau maksud pembelajaran secara konstruktivisme adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Guru hanya berperan sebagai penghubung yang membantu siswa mengolah pengetahuan baru, menyelesaikan suatu masalah dan guru berperan sebagai pembimbing pada proses pembelajaran.

Ciri atau prinsip dalam belajar menurut Suparno (1997) sebagai berikut: 1. Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa

yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami,


(19)

3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pe- ngembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Belajar bukan- lah hasil perkembangan tetapi perkembangan itu sendiri,

4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya,

5. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, subjek belajar, tujuan, motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.

Perspektif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan pembelajaran Problem Solving, banyak meminjam pendapat Piaget (Dahar,1989). Perspektif ini menga-takan bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengonstruksikan pengetahuannya sendiri. Penge-tahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan selama pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya.

Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran awal se-orang anak dengan kegiatan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi ialah pemaduan data baru dengan stuktur kognitif yang ada. Akomodasi ialah penye-suaian stuktur kognitif terhadap situasi baru, dan equilibrasi ialah penyepenye-suaian kembali yang terus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Bell, 1994).

Selain teori belajar menurut Piaget, teori belajar yang juga berlandaskan kontruk-tivisme adalah teori belajar Ausubel. David Ausubel terkenal dengan teori belajar yang dibawanya yaitu teori belajar bermakna (meaningful learning). Menurut Ausubel belajar bermakna terjadi jika suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif sese-orang, selanjutnya bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengasimilasikan


(20)

pengertian baru pada konsep-konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, maka akan terjadi belajar hafalan. Ia juga menyebutkan bahwa proses belajar tersebut terdiri dari dua proses yaitu proses penerimaan dan dan proses penemuan (Dahar, 1989).

Belajar bermakna Ausubel erat kaitanya dengan model pembelajaran problem solving, karena pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi tetapi pemahaman konsep diperoleh siswa melalui penemuan dengan mengkaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Keaktivan siswa menemukan konsep baik sendiri maupun diskusi kelompok membuat proses belajar menjadi bermakna.

Teori belajar Vygotsky yang menekankan bahwa pada aspek sosial dari pembela-jaran Vygotsky mengkritik pendapat Piaget yang menyatakan bahwa faktor utama yang mendorong perkembangan kognitif seseorang adalah motivasi atau daya dari individu sendiri untuk mau belajar dan berinteraksi dengan ling-kungannya. Vygotsky justru berpendapat bahwa interaksi sosial, yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang mendorong adanya memicu perkembangan kognitif seseorang (Trianto, 2007).

B. Model Pembelajaran Problem Solving

Salah satu pembelajaran konstruktivisme adalah pembelajaran yang menggunakan model problem solving. Model problem solving adalah suatu penyajian materi pe-lajaran dengan menghadapkan siswa kepada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu dalam


(21)

pembelajaran siswa harus aktif agar dapat memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Proses problem solving memberikan kesempatan siswa berperan aktif dalam mempela-jari, mencari, dan menemukan sendiri informasi untuk diolah menjadi konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Dengan kata lain, problem solving menuntut kemampuan memproses informasi untuk membuat keputusan tertentu (Hidayati dalam Atika, 2011).

Menurut Nasution (2006) mempelajari aturan perlu terutama untuk memecahkan masalah. Pemecahan masalah merupakan perluasan yang wajar dari belajar atur-an. Dalam pemecahan masalah prosesnya terletak dalam diri siswa. Variabel dari luar hanya berupa instruksi verbal yang membantu atau membimbing siswa untuk memecahkan masalah itu. Namun memecahkan masalah tidak sekedar menerap-kan aturan-aturan yang diketahui, amenerap-kan tetapi juga menghasilmenerap-kan pelajaran baru.

Tahap-tahap model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi :

1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.

2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain.

3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada tahap kedua di atas.

4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam tahap ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan model-model lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain.


(22)

5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.

C. Keterampilan Berpikir Kritis

Keterampilan adalah kecakapan untuk melaksanakan tugas, dimana keterampilan tidak hanya meliputi gerakan motorik, tetapi juga melibatkan fungsi mental yang bersifat kognitif, yaitu suatu tindakan mental dalam usaha memperoleh pengeta-huan (Presseisen dalam Costa, 1985). Walaupun demikian, aspek kognitif ber-kaitan dengan cara-cara bagaimana mengenal sesuatu seperti persepsi, penalaran dan intuisi. Kemampuan berfikir menitikberatkan pada penalaran sebagai fokus utama dalam aspek kognitif.

Costa (1985) membagi keterampilan berpikir menjadi dua, yaitu keterampilan ber-pikir dasar dan keterampilan berber-pikir kompleks atau tingkat tinggi. Berber-pikir kom-pleks atau tingkat tinggi dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, pembuatan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Diantara proses berpikir tingkat tinggi, salah satu yang digunakan dalam pem-bentukan sistem konseptual IPA adalah berpikir kritis.

Menurut Ennis (1985) berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus diper-cayai atau tentang apa yang harus dilakukan. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah cara berpikir yang lebih kompleks dalam mengorganisasi, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dengan fokus untuk menentukan apa yang harus dipercayai atau apa yang harus dilakukan.


(23)

Menurut Ennis (1985) terdapat 12 indikator keterampilan berpikir kritis (KBKr) yang dikelompokkan dalam lima kelompok keterampilan berpikir. Kelima kelompok keterampilan tersebut adalah:

Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), membangun keterampilan dasar (basic support), menyimpulkan (interfence), membuat penjelasan lebih lanjut (advance clarification), serta strategi dan taktik (strategy and tactics).

Adapun kedua belas indikator tersebut adalah: 1. Memfokuskan pertanyaan. 2. Menganalisis argumen.

3. Bertanya dan menjawab pertanyaan. 4. Mempertimbangkan kredibilitas sumber.

5. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi. 6. Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi. 7. Membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi. 8. Membuat dan mempertimbangkan hasil keputusan. 9. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi. 10. Mengidentifikasi asumsi.

11. Memutuskan suatu tindakan. 12. Berinteraksi dengan orang lain.

Pada penelitian ini, indikator yang dikembangkan adalah :

No Kelompok Indikator Sub Indikator

1 Menyimpulkan Menginduksi dan

mempertimbangkan hasil induksi

Menarik

kesimpulan sesuai fakta

2 Menyimpulkan Menginduksi dan

mempertimbangkan hasil induksi Menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki

D. Keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi

Dari indikator ini, dipilih dua sub indikator yaitu menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiiki. Menurut Ennis ( 1989) sub indikator menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki dipilih karena menarik kesimpulan merupakan tujuan utama dalam penelitian. Begitu juga sub indikator


(24)

menarik kesimpulan sesuai fakta dari sub indikator ini diharapkan siswa dapat membuat sebuah kesimpulan dari fakta-fakta yang ada, seperti dalam praktikum laju reaksi, siswa diharapkan dapat menyimpulkan hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi dengan alasan kenapa faktor-faktor itu dapat mempe-ngaruhi laju reaksi.

E. Kerangka Pemikiran

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa model problem solving adalah suatu penya-jian materi pelajaran dengan menghadapkan siswa kepada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Problem solving terdiri atas lima tahap. Pada tahap pertama, siswa diorientasikan pada masalah. Misalnya pada pertemuan pertama guru mengajukan fenomena untuk memunculkan masalah dan mengembangkan rasa ingin tahu siswa dalam rangka memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah tesebut. Pada tahap ini terjadi proses asimilasi yaitu terjadi perpaduan data baru dengan struktur kog-nitif yang ada. Siswa akan mengalami kebingungan dan mempunyai rasa ke-ingintahuan yang tinggi terhadap fakta baru yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Lalu pada tahap dua siswa diminta mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, siswa akan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang masalah yang sedang dihadapi. Seperti pada per-temuan keempat, siswa diminta untuk mencari pengaruh tekanan dan volume terhadap laju reaksi. Pada tahap ini terjadi proses akomodasi yaitu terjadi penye-suaian stuktur kognitif siswa terhadap situasi baru. Siswa ingin memahami


(25)

konsep baru atau permasalahan yang timbul melalui kegiatan akomodasi ini. Pada tahap tiga siswa diminta menetapkan jawaban sementara dari masalah. Pada tahap ini, setelah melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi siswa akan mengalami ketidakseimbangan struktur kognitif (coqnitive disequilibrium) yaitu ada fakta-fakta yang telah dimiliki siswa sebelumnya (pengetahuan lama siswa) yang tidak sesuai dengan pengetahuan baru siswa. Seperti pada pertemuan kedua, siswa di-minta untuk membuat hipotesis pengaruh konsentrasi pereaksi terhadap laju reaksi. Pada tahap empat siswa diminta menguji kebenaran jawaban sementara. Pada tahap ini siswa akan mencari tahu jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana dengan cara membuktikannya melalui praktikum dan menjawab per-tanyaan yang ada pada LKS. Sehingga terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep-konsep yang baru dipelajari, begitu seterusnya sehingga terjadi kesetimbangan antara struktur kog-nitif dengan pengetahuan yang baru (ekuilibrasi). Seperti pada pertemuan ketiga, siswa melakukan praktikum tentang pengaruh luas permukaan terhadap laju reaksi. Pada tahap lima siswa diminta untuk menarik kesimpulan dari peme-cahan masalah. Seperti pada pertemuan kelima, siswa diminta untuk menyimpul-kan pengaruh suhu terhadap laju reaksi berdasarmenyimpul-kan teori tumbumenyimpul-kan. Pada tahap ini terlihat apakah siswa sudah mencapai proses ekuilibrasi atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa siswa harus berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sehingga dapat disimpulkan model pembelajaran problem solving dapat mengingkatkan keterampilan berpikir kritis siswa khususnya keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.


(26)

F. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:

1. Semua siswa-siswi kelas XI IPA semester ganjil SMA N 7 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang menjadi subyek penelitian mempunyai ke-mampuan dasar yang sama.

2. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki pada materi laju reaksi siswa kelas XI IPA semester ganjil SMA N 7 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 diabaikan.

3. Perbedaan n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki pada materi laju reaksi semata-mata terjadi karena perbedaan perlakuan dalam proses pembelajaran.

G. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Model pembelajaran problem solving pada materi laju reaksi efektif dalam me-ningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi yang meliputi menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil me-nyelidiki.


(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri 7 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 200 siswa dan tersebar dalam lima kelas. Selanjutnya dari populasi tersebut diambil dua kelas untuk dijadikan sampel penelitian. Oleh karena peneliti ingin mendapatkan kelas yang akan dijadi-kan sampel memiliki kemampuan kognitif yang sama, maka pengambilan sampel dilakukan dengan melihat data nilai siswa dan dengan menggunakan teknik purposive sampling.

Purposive sampling akan baik hasilnya jika dipilih oleh seorang ahli yang telah mengenal populasi dan dapat segera mengetahui masalah-masalah yang khas (Sudjana, 2002). Maka dari itu, peneliti dalam melakukan pengambilan sampel dibantu oleh seorang ahli yang mengenal populasi, yakni guru kimia kelas XI IPA dan mendapatkan kelas XI IPA 1 dan XI IPA 3 sebagai sampel penelitian. Selan-jutnya dua kelas sampel tersebut dibagi menjadi kelas kontrol yang akan diterapkan model pembelajaran konvensional yakni kelas XI IPA 1, dan kelas eksperimen yang akan diterapkan pembelajaran model pembelajaran problem solving yakni kelas XI IPA 3.


(28)

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang bersifat kuantitatif yaitu data hasil tes sebelum belajar (pretest) dan hasil tes setelah belajar (posttest) siswa.

Data penelitian ini bersumber dari seluruh siswa kelas eksperimen dan seluruh siswa kelas kontrol.

C. Metode Penelitian dan Desain

Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen. Di dalam penelitian ini tes dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum dan sesudah perlakuan diberikan. Tes yang dilakukan sebelum perlakuan disebut pretest dan sesudah perlakuan disebut posttest.

Penelitian ini menggunakan Nonequivalent Control Group Design menurut Sugiyono (2012). Di dalamnya terdapat langkah-langkah yang menunjukkan suatu urutan kegiatan penelitian yaitu:

Tabel 2. Desain penelitian

Kelas Pretest Perlakuan Postest

Kelas eksperimen O1 X O2

Kelas kontrol O1 - O2

Sebelum diterapkan perlakuan kedua kelompok sampel diberikan pretest (O1) yang

terdiri dari 6 soal esay terlebih dahulu. Kemudian pada kelas eksperimen diterapkan perlakuan model pembelajaran problem solving (X) dan pada kelas kontrol


(29)

diterapkan pembelajaran konvensional. Selanjutnya, kedua kelompok sampel diberikan postest (O2) yang terdiri dari 6 soal esay.

D. Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2010), variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga di-peroleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam pe-nelitian ini yang bertindak sebagai variabel bebas adalah model pembelajaran yang digunakan, sedangkan yang bertindak sebagai variabel terikat adalah keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi yang meliputi kemampun menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki pada materi laju reaksi kelas XI IPA SMA Negeri 7 Bandar Lampung.

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya

Instrumen adalah alat yang berfungsi mempermudah pelaksanaan sesuatu. Instrumen pengumpulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul data untuk me-laksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 1997). Pada penelitian ini, ins-trumen yang digunakan antara lain adalah silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelaja-ran (RPP), LKS kimia yang menggunakan metode problem solving pada materi laju reaksi sejumlah 7 LKS, soal pretest, dan soal postes yang berupa soal uraian yang mewakili keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki.

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat


(30)

mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrumen ini menggu-nakan validitas isi. Validitas isi adalah kesesuaian antara instrumen dengan ranah atau domain yang diukur (Ali, M. 1992). Adapun pengujian kevalidan isi ini dila-kukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian diladila-kukan dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpul-kan data sesuai kepentingan penelitian yang bersangkutan.

Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini dilakukan oleh Ibu Dra. Chansyanah Diawati, M. Si sebagai dosen pembimbing penelitian untuk mengujinya.

F. Langkah-langkah Penelitian 1. Observasi Pendahuluan

Mengadakan observasi ke sekolah tempat penelitian untuk mendapatkan informasi tentang data siswa, karakteristik siswa, jadwal dan sarana-prasarana yang ada di sekolah yang dapat digunakan sebagai sarana pendukung pelaksanaan penelitian. Tujuan observasi pendahuluan adalah untuk menentukan populasi dan sampel penelitian.

2. Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu: a. Pembuatan perangkat pembelajaran dan instrumen


(31)

(1) melakukan pretes dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan kelas kontrol; (2) melaksanakan kegiatan pembelajaran pada materi laju reaksi sesuai dengan pembelajaran yang telah ditetapkan di masing-masing kelas, pembelajaran problem solving diterapkan di kelas eksperimen serta pembelajaran konvensional diterapkan di kelas kontrol; (3) melakukan postes dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan kelas kontrol; dan (4) melakukan tabulasi dan analisis data. Langkah-langkah penelitian tersebut dapat digambarkan dalam bentuk bagan di bawah ini:

Gambar 1. Alur penelitian Observasi pendahuluan

Penetapan populasi dan sampel

Pretest

Analisis data

Kesimpulan

Kelas eksperimen dengan model pembelajaran

problem solving Kelas kontrol

dengan pembelajaran konvensional

Pembuatan perangkat pembelajaran dan instrumen

penelitian Validitas instrumen


(32)

G. Teknik Analisis Data

Tujuan analisis data yang dikumpulkan adalah untuk memberikan makna atau arti yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah, tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.

Nilai pretest dan postest dirumuskan sebagai berikut: 1. Penentuan nilai akhir siswa

...(1)

2. Gain ternormalisasi (n-Gain)

Gain ternormalisasi (n-Gain) merupakan perbandingan antara selisih nilai pretest dan nilai posttest dengan selisih nilai maksimum dan nilai pretest. n-Gain diguna-kan untuk mengukur efektivitas suatu pembelajaran. Melalui perhitungan ini di-dapatkan data n-Gain sejumlah siswa yang mengikuti tes tersebut. Dalam hal ini 40 data pada kelas XI IPA 3 (kelas eksperimen) dan 40 data pada kelas XI IPA 1 (kelas kontrol). n-Gain dirumuskan sebagai berikut:

Rumus − = ( )

( ) ...(2)

Data gain ternormalisasi yang diperoleh kemudian diuji homogenitasnya yang kemudian digunakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian.

3. Pengujian hipotesis

a. Uji normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini adalah berdasarkan pendapat yang dikemukakan Sudjana (2005), untuk ukuran

100 x maksimal skor benar yang jawaban skor Siswa Nilai


(33)

sampel yang relatif besar dimana jumlah sampel 30, maka distribusi selisih nilai dari data akan mendekati distribusi normal.

b. Uji homogenitas dua varians

Uji homogenitas dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa sampel penelitian homogen, yang selanjutnya untuk menentukan statistik t yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis. Uji homogenitas dilakukan dengan menyelidiki apakah kedua sampel mempunyai varians yang sama atau tidak. Hipotesis yang digunakan dalam uji homogenitas adalah sebagai berikut:

H0 = 12 22 (data penelitian mempunyai variansi yang homogen) H1 = 12 22 (data penelitian mempunyai variansi yang tidak homogen) Untuk uji homogenitas dua peubah terikat digunakan rumus yang terdapat dalam Sudjana (2005) :

kecil Varian ter

terbesar Varians

F ...(3)

Keterangan : F = Kesamaan dua varians

Kriteria : Pada taraf 0,05, tolak H0 hanya jika F hitung F ½ ( 1, 2)

Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima. Yang berarti kedua kelompok tersebut

mempunyai varians yang sama atau dikatakan homogen.

c. Uji perbedaan dua rata-rata

Untuk data sampel yang berasal dari populasi berdistribusi normal, maka uji hipo-tesis yang digunakan adalah uji parametik (Sudjana, 2005). Pengujian hipohipo-tesis


(34)

dalam penelitian ini menggunakan analisis memberikan, hipotesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1).

1. Hipotesis pertama (keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta)

H0 µ1x µ2x : Rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta

pada materi laju reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving lebih rendah atau sama dengan rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta pada kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.

H1 µ1x> µ2x : Rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta

pada materi laju reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta pada kelas yang diterapkan pem-belajaran konvensional.

2. Hipotesis kedua (keterampilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki) H0 µ1x µ2x : Rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan dari hasil

menyelidiki pada materi laju reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving lebih rendah atau sama dengan rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan dari hasil

menyelidiki pada kelas yang diterapkan pembelajaran konven-sional.

H1 µ1x> µ2x : Rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan dari hasil

menyelidiki pada materi laju reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving lebih tinggi daripada rata-rata


(35)

n-Gain keterampilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki pada kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.

Keterangan:

µ1 : Rata-rata n-Gain (x) pada materi pokok laju reaksi pada kelas yang

diterapkan pembelajaran problem solving

µ2 : Rata-rata n-Gain (x) pada materi pokok laju reaksi pada kelas yang

diterapkan pembelajaran konvensional

x: keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta/ keterampilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki

Uji statistik ini sangatlah bergantung pada homogenitas kedua varians data, karena kedua varians kelas sampel homogen ( = ), uji yang dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut : (Sudjana, 2005):

t! " #$ = %'''' %& ''''(

)*+, && -,(& dengan S$ =

(#& ))&(-(#( ))((

#&-#( ...(4)

Keterangan :

thitung = perbedaan dua rata-rata

4''' = Rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta/ keteram-pilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki pada materi laju reaksi yang diterapkan model pembelajaran problem solving.

4''' = Rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta/ keteram-pilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki pada materi laju reaksi yang diterapkan model pembelajaran konvensional.


(36)

= Jumlah siswa pada kelas yang diterapkan problem solving = Jumlah siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. 5 = Simpangan baku siswa yang diterapkan problem solving

5 = Simpangan baku siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Dengan kriteria uji : Terima H0 jika thitung < t (1- ) dan tolak sebaliknya.


(37)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: Penerapan model pembelajaran problem solving pada materi laju reaksi efektif dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, karena pada tahap pembelajarannya dapat melatih dan mengembangkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi yang meliputi keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:

1. Pembelajaran problem solving hendaknya diterapkan dalam pembelajaran kimia, terutama pada materi laju reaksi karena terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki.

2. Agar penerapan pembelajaran problem solving berjalan efektif, hendaknya guru menguasai materi yang akan dibelajarkan dan langkah-langkah model pembelajaran problem solving, serta guru harus memiliki kreativitas dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran.


(38)

3. Agar penerapan pembelajaran problem solving berjalan maksimal, hendaknya guru lebih memperhatikan pengelolaan waktu dalam proses pembelajaran.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Atika, Y. 2011. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving pada Materi Kesetimbangan Kimia dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis. Skripsi. FKIP. Unila. Bandar Lampung.

Bell, G. M. E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.

Choiriawati, F.D. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Pada Materi Asam-Basa dalam Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan Mengkomunikasikan. (Skripsi). FKIP Unila. Bandarlampung.

Costa, A.L. and Presseisen, B.Z., 1985. Glossary of Thinking Skill, in A.L. Costa (ed). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking,. Alexandria: ASCD.

Depdiknas. 2008. Rambu – Rambu Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB). Depdiknas. Jakarta.

Djamarah, S.B. dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Ennis, R. 1985. Critical Thinking. Prentice Hall, Inc. New Jersey.

Nasution, S. 2006. Berbagai Pendekatan dalam proses Belajar dan Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.

Panen, P.D. Mustafa, dan M. Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.

Pirdana, Ralek. 2012. Efektivitas Pembelajaran Learning Cycle 3e Pada Materi Pokok Kesetimbangan KimiaDalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis. Skripsi. FKIP. Unila. Bandar Lampung.


(40)

Setiawan, A.Pury. 2011. Efektivitas Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Mengelompokkan pada Materi Pokok Asam-Basa. Skripsi. FKIP. Unila. Bandar Lampung.

Saputra, A. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving dalam Meningkatkan Keterampilan Prediksi Siswa SMA Kelas XI IPA Pada Materi Pokok Asam-Basa. (Skripsi). FKIP Unila. Bandarlampung.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta. Bandung

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta. Tim Penyusun. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. UNILA. Bandar

Lampung.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran inovatif Berorientasi konstruktivisme. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.


(1)

Gain keterampilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki pada kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.

Keterangan:

µ1 : Rata-rata n-Gain (x) pada materi pokok laju reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving

µ2 : Rata-rata n-Gain (x) pada materi pokok laju reaksi pada kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional

x: keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta/ keterampilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki

Uji statistik ini sangatlah bergantung pada homogenitas kedua varians data, karena kedua varians kelas sampel homogen ( = ), uji yang dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut : (Sudjana, 2005):

t! " #$ = %'''' %& ''''(

)*+, && -,(& dengan S$ =

(#& ))&(-(#( ))((

#&-#( ...(4)

Keterangan :

thitung = perbedaan dua rata-rata

4''' = Rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta/

keteram-pilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki pada materi laju reaksi yang diterapkan model pembelajaran problem solving.

4''' = Rata-rata n-Gain keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta/

keteram-pilan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki pada materi laju reaksi yang diterapkan model pembelajaran konvensional.


(2)

28

= Jumlah siswa pada kelas yang diterapkan problem solving = Jumlah siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

5 = Simpangan baku siswa yang diterapkan problem solving

5 = Simpangan baku siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Dengan kriteria uji : Terima H0 jika thitung < t (1- ) dan tolak sebaliknya.


(3)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: Penerapan model pembelajaran problem solving pada materi laju reaksi efektif dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, karena pada tahap pembelajarannya dapat melatih dan mengembangkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi yang meliputi keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:

1. Pembelajaran problem solving hendaknya diterapkan dalam pembelajaran kimia, terutama pada materi laju reaksi karena terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan menarik kesimpulan sesuai fakta dan menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki.

2. Agar penerapan pembelajaran problem solving berjalan efektif, hendaknya guru menguasai materi yang akan dibelajarkan dan langkah-langkah model pembelajaran problem solving, serta guru harus memiliki kreativitas dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran.


(4)

46

3. Agar penerapan pembelajaran problem solving berjalan maksimal, hendaknya guru lebih memperhatikan pengelolaan waktu dalam proses pembelajaran.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Atika, Y. 2011. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving pada Materi Kesetimbangan Kimia dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis. Skripsi. FKIP. Unila. Bandar Lampung.

Bell, G. M. E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.

Choiriawati, F.D. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Pada Materi Asam-Basa dalam Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan Mengkomunikasikan. (Skripsi). FKIP Unila. Bandarlampung.

Costa, A.L. and Presseisen, B.Z., 1985. Glossary of Thinking Skill, in A.L. Costa (ed). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking,. Alexandria: ASCD.

Depdiknas. 2008. Rambu – Rambu Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB). Depdiknas. Jakarta.

Djamarah, S.B. dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Ennis, R. 1985. Critical Thinking. Prentice Hall, Inc. New Jersey.

Nasution, S. 2006. Berbagai Pendekatan dalam proses Belajar dan Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.

Panen, P.D. Mustafa, dan M. Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.

Pirdana, Ralek. 2012. Efektivitas Pembelajaran Learning Cycle 3e Pada Materi Pokok Kesetimbangan KimiaDalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis. Skripsi. FKIP. Unila. Bandar Lampung.


(6)

48

Setiawan, A.Pury. 2011. Efektivitas Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Mengelompokkan pada Materi Pokok Asam-Basa. Skripsi. FKIP. Unila. Bandar Lampung.

Saputra, A. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving dalam Meningkatkan Keterampilan Prediksi Siswa SMA Kelas XI IPA Pada Materi Pokok Asam-Basa. (Skripsi). FKIP Unila. Bandarlampung.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta. Bandung

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta. Tim Penyusun. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. UNILA. Bandar

Lampung.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran inovatif Berorientasi konstruktivisme. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.