EFEKTIVITAS MODEL SBEI PADA MATERI ASAM BASA DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGINDUKSI DAN MEMPERTIMBANGKAN HASIL INDUKSI

(1)

EFEKTIVITAS MODEL SBEI PADA MATERI ASAM BASA DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGINDUKSI

DAN MEMPERTIMBANGKAN HASIL INDUKSI

Oleh

LULU DAMAYANTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Kimia

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS MODEL SBEI PADA MATERI ASAM BASA DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGINDUKSI

DAN MEMPERTIMBANGKAN HASIL INDUKSI

Oleh

LULU DAMAYANTI

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model Siklus Belajar Empiris Induktif (SBEI) pada materi asam basa dalam meningkatkan keteram-pilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi. Model pembelajaran ini terdiri dari tiga fase, yaitu fase eksplorasi, fase pengenalan konsep dan fase aplikasi konsep. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent (Pretest and Posttest) Control Group Design. Populasi peneliti-an ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMAN 3 Kotabumi. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling dan diperoleh kelas XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen dan XI IPA 3 sebagai kelas kontrol. Efektivitas model SBEI diukur berdasarkan perbedaan rata- rata nilai n-Gain yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata nilai n-Gain keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi untuk kelas kontrol dan eksperimen


(3)

masing masing 0,38 dan 0,61. Berdasarkan uji perbedaan dua rata-rata, diketa-hui bahwa kelas eksperimen dengan model SBEI memiliki keterampilan meng-induksi dan mempertimbangkan hasil meng-induksi yang lebih tinggi daripada kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa model SBEI efektif untuk meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertim-bangkan hasil induksi.

Kata kunci : Model SBEI, keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.


(4)

(5)

(6)

vii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme ... 8

1. Teori perkembangan kognitif Jean Piaget ... 9

2. Teori penemuan Jerome Bruner ... 11

3. Teori pembelajaran sosial Vygotsky ... 11

B. Siklus Belajar ... 12

C. Siklus Belajar Empiris Induktif ... 15

D. Keterampilan Berpikir Kritis ... 18

E. Kerangka Pemikiran... 23

F. Anggapan Dasar ... 24


(7)

viii III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel ... 26

B. Metode dan Desain Penelitian ... 26

C. Jenis dan Sumber Data ... 27

D. Variabel Penelitian ... 27

E. Instrumen Penelitian ... 27

F. Pelaksanaan Penelitian ... 28

G. Hipotesis Kerja ... 29

H. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ... 29

1. Teknik analisis data ... 29

a. Perhitungan nilai pretes dan postes ... 29

b. Gain ternormalisasi ... 30

2. Pengujian hipotesis ... 30

a. Uji normalitas ... 30

b. Uji homogenitas dua varians ... 31

c. Uji perbedaan dua rata-rata ... 32

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 34

B. Pembahasan ... 37

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 50

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Analisis Konsep Asam Basa ... 54


(8)

ix

3. RPP Kelas Eksperimen ... 66

4. Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen ... 97

5. Soal Pretes ... 128

6. Soal Postes ... 130

7. Kisi-kisi Pretes ... 132

8. Kisi-kisi Postes ... 135

9. Rubrik Pretes ... 138

10.Rubrik Postes ... 143

11.Perhitungan dan Analisis Data ... 152


(9)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pendidikan adalah salah satu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sua-sana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembang-kan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan di-rinya dan masyarakat (UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003). Dalam pasal 3 UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, dapat dikatakan bahwa dengan pendidikan, peserta didik tidak hanya mendapatkan ilmu pengetahuan semata na-mun pendidikan juga diharapkan dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri peserta didik sehingga memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik dan menjadikan mereka sebagai manusia yang mampu berpikir secara logis, kritis dan kreatif. Kemampuan berpikir tersebut nantinya diharapkan dapat mereka


(10)

2

aplikasikan di kehidupan nyata sehingga dapat memecahkan permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Dewasa ini perkembangan sains dan teknologi mengendalikan dunia secara glo-bal. Kenyataan tersebut menjadi tantangan bagi dunia pendidikan. Pendidikan mempunyai peran yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara, maka pendidikan yang diberikan kepada peserta didik harus berkualitas (Munandar,1999). Pendidi-kan sains sebagai bagian dari proses pendidiPendidi-kan memberiPendidi-kan kontribusi besar da-lam menentukan kualitas peserta didik sebagai sumber daya manusia di Indonesia. Adanya tuntutan era globalisasi yang semakin maju tersebut, proses pendidikan sains harus mempersiapkan peserta didik yang berkualitas yaitu peserta didik yang sadar sains (scientific literacy), memiliki nilai, sikap dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) sehingga akan muncul sumber daya manusia yang dapat berpikir logis, kritis, kreatif membuat keputusan dan meme-cahkan masalah (Liliasari, 2005).

Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu modal yang harus dimiliki un-tuk mengahadapi era globalisasi. Menurut Angelo (Saputra, 2012), berpikir kritis adalah mengapilkasikan rasional kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi ke-giatan menganalisis, mensisntesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan dan mengevaluasi. Berpikir kritis dalam menyelesaikan perma-salahan tidak bisa muncul begitu saja. Keterampilan berpikir kritis perserta didik dapat dikembangkan dengan melatih kebiasaan berpikir di sekolah. Salah satu mata pelajaran yang dapat melatih kebiasaan berpikir kritis siswa adalah kimia.


(11)

Hal ini sesuai dengan karakteristik ilmu kimia yang tidak hanya menekankan pada produk, tetapi juga proses dan sikap. Ilmu kimia sebagai produk adalah pengeta-huan yang berupa fakta, teori, prinsip dan hukum. Sedangkan proses ilmu kimia berupa kerja ilmiah dimana peserta didik mengamati secara langsung fenomena yang terjadi di sekitarnya sehingga tumbuh sikap ilmiah pada diri peserta didik. Dengan mengalami proses pembelajaran yang demikian keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa akan terlatih, termasuk keterampilan berpikir kritis.

Namun pada umumnya, pembelajaran kimia di sekolah kurang mendukung ber-kembanganya proses berpikir kritis siswa. Hal ini disebabkan karena pembela-jaran kimia di sekolah cenderung hanya menghadirkan konsep, teori, prinsip dan hukum secara verbal saja tanpa memberikan pengalaman bagaimana proses di-temukannya konsep, teori, prinsip dan hukum tersebut sehingga tidak tumbuh sikap ilmiah dalam diri siswa.

Hal ini diperkuat dengan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan dengan guru kimia SMA Negeri 3 Kotabumi. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi tersebut diperoleh informasi bahwa selama ini di sekolah belum pernah dilakukan pembelajaran kimia yang menumbuhkan keterampilan berpikir kritis siswa, khususnya keterampilan berpikir kritis siswa menginduksi dan mempertim-bangkan hasil induksi. Sebenarnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan di SMAN 3 Kotabumi selama ini sudah cukup baik yaitu dengan melakukan prakti-kum pada materi tertentu, misalnya materi asam basa. Namun, dalam pelaksa-naannya hanya sebatas membuktikan teori, siswa tidak dilibatkan dalam mem-bangun keterampilan berpikir kritis. Siswa lebih banyak mendengar dan mencatat


(12)

4

penjelasan yang disampaikan oleh guru. Padahal, beberapa kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa kelas XI IPA semester genap dapat diarahkan untuk melatih berpikir kritis kritis siswa, misalnya mendeskripsikan teori-teori asam basa dengan menentukan sifat larutan dan menghitung pH larutan. Untuk itu pengalaman belajar harus relevan yaitu dengan mengajak siswa untuk melihat keeratan hubungan antara konsep yang dipelajari dengan fakta-fakta dalam kehi-dupan sehari-hari sehingga dalam proses pembelajaran, siswa terlatih berpikir kritisnya.

Salah satu model yang dipandang dapat membantu mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa adalah model siklus belajar empiris induktif (SBEI). Model pembelajaran ini terdiri dari tiga fase pembelajaran, yaitu fase eksplorasi, fase pengenalan konsep dan fase aplikasi konsep. Fase eksplorasi, pada fase ini siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan pengetahuan awalnya, dalam penelitian ini guru memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa, dari jawaban yang di-berikan siswa tersebut guru akan mengetahui seberapa jauh pegetahuan awal sis-wa. Fase Eksplorasi pada model SBEI ini yaitu dengan mencari fakta-fakta empi-rik yang akan siswa temukan dalam kegiatan praktikum selama proses pembela-jaran berlangsung. Kemudian guru mengarahkan siswa untuk mengamati lang-sung fenomena yang terjadi melalui kegiatan selama fase eksplorasi tersebut, se-hingga siswa memperoleh pengalaman konkret, melakukan keterampilan ilmiah dan menemukan konsep-konsep penting. Pada fase pengenalan konsep, pengena-lan istilah baru untuk menanamkan pola yang ditemukan selama eksplorasi. Pada penelitian ini untuk mengenalkan konsep baru guru membimbing siswa untuk menjawab pertayaan yang ada di LKS yang telah diberikan sebelumnya pada fase


(13)

eksplorasi. LKS yang diberikan tersebut dirancang untuk mengarahkan siswa pada indikator menggeneralisasi. Pada fase aplikasi konsep, siswa diharapkan dapat menggunakan apa yang telah mereka pelajari untuk menyelidiki dan memecahkan masalah-masalah baru yang berhubungan, baik dengan yang sama tingkatannya atau yang lebih tinggi. Pada penelitian ini fase aplikasi konsep dibuat agar siswa mampu menyimpulkan penjelasan konklusi atau menyimpulkan penjelasan hipo-tesis yang juga merupakan indikator tercapainya keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi yang merupakan salah satu keterampilan berpikir kritis.

Menurut Renner (1998) “The learning cycle has been effective in helping to deve-lope reasoning skills”. Selain itu, penelitian yang dilakukan Yasin (2007) me-nyimpulkan bahwa model pembelajaran empiris induktif dapat meningkatkan pe-mahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran kimia.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian yang berjudul

“Efektivitas Model SBEI pada Materi Asam Basa dalam Meningkatkan

Keterampilan Menginduksi dan Mempertimbangkan Hasil Induksi” .

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana efektivitas model SBEI pada materi asam basa dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi kelas XI IPA SMA Negeri 3 Kotabumi ?


(14)

6

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan efektivitas model SBEI pada materi asam basa yang efektif dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.

D.Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Bagi siswa

Melalui penerapan model SBEI dalam kegiatan belajar mengajar diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa khususnya pada materi asam basa.

2. Bagi Guru

Model SBEI merupakan salah satu alternatif model pembelajaran untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa.

3. Bagi sekolah

Penerapan model SBEI dalam pembelajaran kimia untuk meningkatkan mutu pembelajaran kimia di sekolah.

E.Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah :

1. Model SBEI dikatakan efektif meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi apabila secara statistik menunjukkan perbe-daan rata-rata nilai n-Gain yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen.


(15)

2. Materi pokok pada penelitian ini adalah materi asam basa yang terdiri dari sub pokok materi asam basa Arrhenius, konsep pH, pOH, dan pKw, kekuatan asam basa dan indikator asam basa.

3. Model Siklus Belajar Empiris Induktif (SBEI) menurut Lawson (Dahar,1989) terdiri dari 3 fase yaitu: (1) fase eksplorasi, (2) fase pengenalan konsep, dan (3) fase aplikasi konsep.

4. Keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi dengan indikator menggeneralisasi dan menyimpulkan penjelasan konklusi atau menyimpulkan penjelasan hipotesis.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pembelajaran Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekan-kan bahwa pengetahuan kita merupamenekan-kan hasil konstruksi (bentumenekan-kan) kita sendiri. Menurut Slavin (Trianto, 2010) teori konstruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek in-formasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala se-suatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.

Menurut Von Glasersfeld (Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu, 2001) konstruk-tivisme juga menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah hasil konstruksi sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer penge-tahuan dari seseorang kepada yang lain. Agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan:

1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali laman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali penga-laman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut.

2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan menge-nai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membandingkan sangat


(17)

penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk selanjut-nya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuanselanjut-nya.

3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul pe -nilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pembentukan pengetahuannya.

Filsafat konstruktivisme ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Nur dalam Trianto, 2010).

1. Teori perkembangan kognitif Jean Piaget

Menurut Piaget (Trianto, 2010), perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi anak dengan lingkungannya. Teori perkembangan Piaget memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengala-man dan interaksi mereka. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangan-nya menjadi obyektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut skema atau pola tingkah laku.

Menurut Piaget (Dahar, 1989), perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme


(18)

10

kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan, sedangkan adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Lebih lanjut, Piaget mengemukakan bahwa dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya sedangkan dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungannya.

Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi.

Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rang-sangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequi-librium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.


(19)

2. Teori penemuan Jerome Bruner

Bruner (Trianto, 2010) menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pen-carian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prisip-prinsip, agar mereka memperoleh pengalaman dan melalui eksperimen-eksperimen yang meng-izinkan mereka untuk menemukan prisip-prinsip itu sendiri.

3. Teori pembelajaran sosial Vygotsky

Vigotsky berpendapat bahwa siswa membentuk pengetahauan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vigotsky berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung baik pada faktor biologis yang menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi, dan stimulasi respons, faktor sangat penting bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan (Trianto, 2010).

Teori Vigotsky lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Vigostsky (Suparno, 1997) mengungkapkan bahwa penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Vigotsky mem-perhatikan adanya akibat dari interaksi sosial terlebih bahasa dan budaya dalam proses belajar anak. Lebih lanjut Vigotsky (Trianto, 2010) mengungkapkan bah-wa belajar adalah proses sosial kontruksi yang dihubungkan oleh bahasa dan in-teraksi sosial.


(20)

12

Suparno (Trianto, 2010) mengungkapkan prinsip-prinsip dasar pandangan kons-truktivis adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial;

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar, siswa aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah; dan

3. Guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pengetahuan siswa berjalan mulus.

B. Siklus Belajar

Sesuai dengan prinsip mengajar menurut konstruktivis bahwa mengajar bukan sebagai proses dimana gagasan-gagasan guru diteruskan pada siswa, melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan siswa yang sudah ada yang mungkin salah. Nur (Trianto,2010) mengungkapkan bahwa :

Menurut teori konstruktivis, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benak-nya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi-kan kesempatan siswa untuk menemumemberi-kan atau menerapmemberi-kan ide-ide mereka sen-diri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.

Salah satu cara untuk menerapkan model konstruktivis adalah penggunaan siklus belajar. Karplus dan Their (Fajaroh dan Dasna, 2007) mengungkapkan bahwa :

Siklus belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pembelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif. LC pada mulanya ter-diri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept indro-duction) dan aplikasi konsep (concept application).

Kaplus dan Their (Fajaroh dan Dasna, 2007) juga mengungkapkan pada tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya se-maksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui


(21)

kegiatan-kegiatan seperti melakukan eksperimen, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam dan perilaku sosial dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkam timbul ketidaksinambungan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan berkembangnya yang mengarah pada daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase pengenalan konsep.

Pada fase pengenalan konsep, diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti me-nelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, siswa diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui berbagai kegiatan misalnya melakukan percobaan lebih lanjut.

Dalam siklus belajar dikembangkan lima aspek pemahaman belajar (Mahmudin, 2007), yaitu :

1. Exploring, seperti merespon informasi baru, mengeksplorasi fakta-fakta melakukan sharing pengetahuan dengan orang lain atau menggali infor-masi dari guru, ahli/pakar atau sumber-sumber lainnya.

2. Planning, seperti menyusun rencana kerja, mengidentifikasi alat dan bahan yang diperlukan, menentukan langkah-langkah, mendesain karya dan ren-cana lainnya,


(22)

14

3. Doing/ acting, seperti melakukan percobaan, pengamatan, menemukan,

membuat karya dan melaporkan hasil dan meyelesaikan masalah.

4. Communicating, yaitu mengkomunikasikan/mempresentasikan hasil

per-cobaan, pengamatan, penemuan atau hasil karya, sharing dan diskusi. 5. Reflecting, yaitu mengevaluasi proses dan hasil yang telah dicapai,

men-cari kelemahan-kelemahan guna meningkatkan efektivitas perencanaan.

Lawson (Dahar, 1989) mengemukakan ada tiga macam siklus belajar, yaitu : deskriptif, empiris induktif dan hipotesis deduktif. Ketiga siklus belajar ini dapat dijelaskan bagai berikut.

1. Siklus Belajar Deskriptif

Siklus belajar tipe deskriptif ini menghendaki hanya pola-pola deskriptif (misalnya klasifikasi). Dalam siklus ini siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam sautu konteks khusus (eksplorasi), kemudian guru memberikan nama pada pola itu (pengenalan konsep) lalu pola itu ditentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi konsep). Bentuk ini dinamakan deskrip-tif, sebab siswa dan guru hanya memberikan apa yang diamati tanpa adanya hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatan mereka.

2. Siklus Belajar Empiris Induktif

Dalam siklus ini, selain menemukan dan memberikan suatu pola empiris dan suatu konteks khusus (eksplorasi), siswa juga dituntut untuk mengemukakan sebab sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaan penalaran analogi untuk memindahkan atau mentransfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru


(23)

(pengenalan konsep). Dengan bimbingan guru, siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk melihat kesesuaian antara sebab-sebab yang dihipotesiskan dengan data dan fenomena lain yang dikenal (aplikasi konsep).

3. Siklus Belajar Hipotesis Deduktif

Siklus belajar hipotesis deduktif dimulai dengan pernyataan berupa suatu pernyataan sebab. Siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban

(hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pernyataan itu. Selanjutnya siswa diminta untuk menemukan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis tersebut dan merencanakan serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji hipotesis-hipotesis itu (eksplorasi). Analisis hasil-hasil eksperi-men eksperi-menyebabkan beberapa hipotesis ditolak dan hipotesis lain diterima, se-hingga konsep-konsep dapat diperkenalkan (pengenalan konsep). Akhirnya konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dapat di-terapkan pada situasi-situasi lain dikemudian hari (aplikasi konsep). Jadi, siklus belajar hipotesis deduktif menghendaki pola-pola tingkat tinggi misalnya mengendalikan variabel, penalaran korelasional, penalaran hipotesis deduktif.

Siklus belajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah siklus belajar empiris induktif (SBEI).

C. Siklus Belajar Empiris Induktif

Siklus belajar empiris induktif merupakan proses yang sistematis dalam pembe-lajaran dengan tahap atau langkah-langkah yang diperoleh berdasarkan observasi


(24)

16

atau pengamatan langsung berupa fakta-fakta. Siswa dituntut untuk menjelaskan fenomena dan memberikan kesempatan untuk dialog dan diskusi. Fase-fase pem-belajaran pada model pempem-belajaran empiris induktif ini, yaitu fase eksplorasi, fase pengenalan konsep, dan fase aplikasi konsep.

Lawson (Dahar, 1989) menjelaskan ketiga fase tersebut sebagai berikut. 1. Fase Eksplorasi

Dahar (1989) mengungkapkan bahwa :

Dalam fase ini siswa menyelidiki suatu fenomena. Fenomena baru itu seharus-nya menimbulkan pertaseharus-nyaan-pertaseharus-nyaan atau kekomplekskan yang tidak dapat mereka pecahkan dengan gagasan-gagasan mereka yang ada atau dengan pola-pola penalaran yang biasa mereka gunakan. Dengan kata lain, fase ini menye-diakan kesempatan bagi siswa untuk mengemukakan gagasan-gagasan mereka. Eksplorasi juga membawa siswa pada identifikasi suatu pola keteraturan dalam fenomena yang diselidiki.

Jadi, pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan pengeta-huan awalnya, menghubungkan pengetapengeta-huan baru dan menjelaskan fenomena yang mereka alami, sehingga siswa memperoleh pengalaman konkret, melaku-kan keterampilan ilmiah dan menemumelaku-kan konsep-konsep penting. Guru se-bagai fasilitator guna membantu siswa dalam usaha mencari dan mengumpul-kan fakta-fakta.

2. Fase Pengenalan Konsep

Fase ini biasanya dimulai dengan memperkenalkan suatu konsep atau konsep-konsep yang ada hubungannya dengan fenomena yang diselidiki, dan didisku-sikan selama fase eksplorasi (Dahar, 1989). Peran guru yang dibutuhkan untuk membantu siswa dalam mengidentifikasi konsep, prinsip dan hubungan- hubungan. Pada bagian ini guru mengenalkan konsep istilah kalimat dan


(25)

penjelasan yang lebih membantu pengkomunikasian dan pengalaman konkret siswa.

3. Fase Aplikasi Konsep

Fase ini menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menggunakan konsep-konsep yang sudah diperkenalkan dan menyelidiki masalah-masalah yang baru berhubungan (Dahar, 1989).

Menurut Yasin (2007) keunggulan dan kelemahan siklus belajar empiris induktif adalah sebagai berikut :

a. Keunggulan siklus belajar empiris induktif 1. Bagi siswa, yaitu :

a) Pembelajaran berpusat pada siswa sehingga lebih terkondisi belajar-nya.

b) Siswa mengeksplorasi pengetahuan atau konsep-konsep yang mereka temukan selama melakukan praktikum.

c) Siswa lebih berani mengemukakan pendapat, ide atau gagasan baik ke sesama siswa maupun langsung ke gurunya

d) Pemahaman konsep siswa akan lebih baik dengan cara melakukan percobaan, sehingga siswa bisa mengkonstruksi konsep sendiri e) Siswa mendapatkan pengalaman belajar

f) Membiasakan siswa untuk menuliskan data, membaca data, me-ngolah data dan melaporkannya.

2. Bagi guru, yaitu :

a) Guru berfungsi sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran b) Untuk mengenalkan konsep yang baru, guru hanya mengarahkan

saja berdasarkan konsep yang dieksplorasi oleh siswa

c) Memudahkan pengkonstruksian suatu konsep sehingga terjadi proses asimilasi pada siswanya berdasarkan hasil praktikum. d) Selama proses pembelajaran terjadi dialog interaktif antara siswa

dengan siswa dan antara siswa dengan guru, sehingga semua terlibat langsung dan aktif.

b. Kelemahan siklus belajar empiris induktif 1. Bagi siswa, yaitu :

a) Memerlukan waktu yang lama untuk mempelajari atau menemukan suatu konsep baru jika siswa belum terbiasa melakukan praktikum b) Siswa belum terbiasa untuk mengeksplorasi konsep yang

didapatkan selama melaksanakan praktikum

c) Siswa belum terbiasa untuk mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data yang dihasilkan pada praktikum


(26)

18

2. Bagi guru, yaitu :

a) Diperlukan membuat petunjuk (LKS) yang jelas sehingga

memudahkan siswa untuk mendapatkan data yang diinginkan untuk mempelajari konsep yang akan dipelajari,

b) Diperlukan kesabaran untuk mendengarkan pendapat, ide atau gagasan dari siswa pada saat mengeksplorasi konsep yang diperoleh selama melaksanakan praktikum, sehingga siswa merasa dihargai dan penting selama proses belajar berlangsung

c) Guru perlu mengarahkan siswanya dalam hal pengkonstruksian konsep yang baru.

D. Keterampilan Berpikir Kritis

Proses belajar diperlukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi yang dipelajari. Dalam proses belajar terdapat pengaruh perkembangan mental yang digunakan dalam berpikir atau perkembangan kognitif dan konsep yang diguna-kan dalam belajar. Berpikir merupadiguna-kan kegiatan penggabungan antar presepsi dan unsur-unsur yang ada dalam pikiran untuk menghasilkan pengetahuan. Menurut Presseisen (Costa, 1985) berpikir dianggap suatu proses kognitif, suatu aktifitas mental untuk memperoleh pengetahauan. Berpikir dapat terjadi pada seseorang apabila ia mendapatkan rangsangan dari luar dan memalui berpikr inilah sese-orang mengatasi masalah yang dihadapinya.

Salah satu berpikir tingkat kompleks yang digunakan dalam pembentukan konsep-tual IPA adalah berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan kegiatan mengevaluasi mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan bebe-rapa faktor pendukung unuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga bisa di-sebut directed thingking, sebab berpikir langsung pada fokus yang akan dituju. Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan yang melibatkan proses kognitif yang mengajak siswa untuk berpikir reflektif terhadap permasalahan.


(27)

Karakteristik berpikir kritis adalah adanya evaluasi saat berpikir, senantiasa re-flektif, menggunakan logika dan sistematis. Tujuan dari berpikir kritis adalah menjauhkan seseorang dari keputusan yang keliru dan tergesa-gesa.

Menurut Ennis (Costa, 1985) berpikir kritis ialah kemampuan memberi alasan (reasonable) dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan dikerja-kan. Pada dasarnya Ennis mengembangkan berpikir kritis ke dalam dua aspek besar yaitu aspek disposisi/kecenderungan (dipositions) dan aspek kemampuan (ability). Secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Aspek kecenderungan (diposition), yang terdiri dari komponen: 1. Mencari sebuah pernyataan yang benar dari pernyataan 2. Mencari alasan

3. Mecoba memperoleh informasi yang baik

4. Menggunakan sumber yang dapat dipercaya dan menyebutkannya 5. Memasukkan informasi/sumber ke dalam laporan

6. Mencoba mempertahankan pemikiran yang relevan 7. Menjaga pikiran tetap fokus perhatian

8. Melihat beberapa alternatif 9. Menjadi berpikir terbuka

 Mempertimbangkan secara serius tujuan yang lain selain tinjauan yang kita pandang

 Alasan dari sebuah dasar pemikiran dengan satu yang tidak disetujui

 Tidak memberi keputusan ketika fakta dan alasan kurang sesuai

10.Mengambil sebuah posisi (perubahan posisi) ketika fakta dan alasan sesuai 11.Mencari keakuratan subjek secara teratur

12.Mengikuti sebuah kebiasan yang teratur

13.Menjadi lebih respon dalam merasakan tingkatan pengetahuan dan ketidakpastian dari yang lainnnya.

b. Aspek keterampilan (ability)

Untuk aspek keterampilan terdiri dari 5 keterampilan dan 12 Indikator berpikir kritis.

Secara rinci dituliskan dalam tabel 1 sebagai berikut Tabel.1. Keterampilan berpikir kritis (Ability)

Kelompok Keterampilan Berpikir Kritis

Keterampilan

Berpikir Kritis Indikator yang diukur

(1) (2) (3)


(28)

20

(1) (2) (3)

penjelasan dasar pertanyaan memformulasikan suatu pertanyaan b. Mengidentifikasi atau

memformulasikan suatu pertanyaan c. Mengidentifikasi atau

memformulasikan kriteria jawaban yang mungkin

d. Menjaga pikiran terhadap situasi yang sedang dihadapi 2. Menganalisis argumen a. Mengidentifikasi kesimpulan b. Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan c. Mengidentifikasi

alasan yang tidak dinyatakan

d. Mencari persamaaan dan perbedaan e. Mengidentifikasi dan

menangani ketidakrelevanan f. Mencari struktur dari

sebuah

pendapat/argumen g. Meringkas

3. Bertanya dan menjawab pertanyaan klasifikasi yang menentang

a. Bertanya dan

menjawab pertanyaan mengapa?

b. Apa yang menjadi alasan utama? c. Apa yang kamu

maksud dengan d. Apa yang menjadi

contoh?

e. Apa yang bukan contoh

f. Bagaimana mengaplikasikan kasus tersebut

a. Apa yang menjadikan perbedaannya? b. Apa faktanya


(29)

(1) (2) (3)

c. Apa yang ingin kamu katakan

d. Apalagi yang kamu katakan tentang itu? 2. Membangun

keterampilan dasar

4. Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak?

a. Keahlian

b. Mengurangi konflik interest

c. Kesepakatan antar sumber

d. Reputasi e. Mengguanakan

prosedur yang ada f. Mengetahui resiko g. Kemampuan

memberikan alasan h. Kebiasaan berhati-hati 5. Mengobservasi dan

mempertimbangkan hasil observasi

a. Mengurangi

praduga/menyangka b. Mempersingkat waktu

antara observasi dengan laporan c. Laporan dilakukan

oleh pengamat sendiri d. Mencatat hal-hal yang

sangat diperlukan e. Penguatan

f. Kemungkinan dalam penguatan

g. Kondisi akses yang baik

h. Kompeten dalam menggunakan teknologi

i. Kepuasan pengamat atas kreedebilitas kreteria

3. Menyimpulkan 6. Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi

a. Kelas Logika b. Mengkondisikan

logika

c. Menginterpretasikan pernyataan

7. Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi a. Menggeralisasi b. Menyimpulkan penjelasan konklusi atau hipotesis


(30)

22

(1) (2) (3)

8. Membuat dan mengkaji nilai-nilai hasil pertimbangan

a. Latar belakang fakta b. Konsekuensi

c. Menerapkan konsep (prinsip-prinsip, hukum dan asas) d. Mempertimbangkan alternatif e. Menyeimbangkan, menimbang dan memutuskan 4. Membuat penjelasan lanjut 9. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi

Ada tiga dimensi: a. Bentuk : sinonim,

klasifikasi, rentang, ekspresi yang sama, operasional, contoh dan bukan contoh b. Strategi definisi c. Mendefinisikan istilah

dan

mempertimbangkan definisi konten (isi) 10. Mengidentifikasi

asumsi

a. Alasan yang tidak dinyatakan b. Asumsi yang

diperlukan :

rekonstruksi argumen 5. Strategi dan taktik 11. Memutuskan suatu

tindakan

a. Mendefinisikan masalah

b. Memilih kreteria yang mungkin sebagai solusi permasalahan c. Merumuskan

alternatif-alternatif untuk solusi

d. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan e. Mereview

f. Memonitor implementasi 12. Berinteraksi

dengan orang lain

a. Memberi label b. Strategi logis c. Strategi retorik d. Mempresentasikan

suatu posisi, baik lisan atau tulisan


(31)

Pada penelitian ini keterampilan berpikir kritis yang diteliti adalah indikator menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi. Sedangkan kemampuan yang diukur untuk mencapai indikator tesebut adalah kemapuan menggeneralisasi dan kemampuan menyimpulkan penjelasan konklusi atau hipotesis. Pemilihan indikator tersebut dikarenakan indikator tersebut diharapkan dapat digali dengan model siklus belajar empiris induktif.

E.Kerangka Pemikiran

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa model SBEI mempunyai tiga fase, yaitu fase eksplorasi, fase pengenalan konsep dan fase aplikasi konsep.

1. Fase eksplorasi ,pada fase ini siswa menyelidiki suatu fenomena. Fenomena baru itu seharusnya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat mereka pecahkan dengan gagasan-gagasan lama mereka. Dalam fase ini siswa diharapkan dapat mengemukakan gagasan yang telah mereka miliki

sebelumnya dan menghubungkan dengan fenomena yang mereka alami. Pada materi asam basa ini siswa akan menyelidiki fenomena mengenai sifat asam basa suatu larutan, mengukur pH dengan lakmus universal dan menentukan kisaran pH suatu larutan dengan beberapa indikator.

2. Fase pengenalan konsep, pada fase ini siswa diperkenalkan dengan konsep baru yang ada hubungannya dengan fenomena yang mereka selidiki selama fase eksplorasi. Pada fase ini siswa akan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang fenomena yang mereka. Misalnya pada pengenalan konsep sub materi konsep pH siswa akan diajak untuk menghubungkan harga pH yang mereka dapatkan pada fase eksplorasi dengan konsentrasi larutan


(32)

24

tersebut, kemudian mereka diminta untuk menggeneralisasikan apa yang mereka dapatkan dari menghubungkan pH dengan konsentrasi larutan sehingga pada fase ini siswa diharapkan mampu menggeneralisasikan suatu konsep.

3. Fase aplikasi konsep, dimaksudkan mengajak siswa untuk menerapkan konsep pada contoh kejadian yang lain, baik yang sama ataupun yang lebih tinggi tingkatannya. Pada fase ini siswa diberikan sebuah masalah yang berkaitan dengan konsep yang telah mereka peroleh dari fase pengenalan konsep. Pada fase ini siswa dilatih untuk dapat meyimpulkan penjelasan konklusi atau hipotesis dari masalah yang diberikan tersebut.

Pembelajaran kimia yang demikian memberikan pengalaman belajar pada siswa sebagai proses dengan menggunakan sikap ilmiah agar mampu memiliki pema-haman melalui fakta-fakta yang mereka temukan sendiri, sehingga mereka dapat melatih keterampilan berpikir kritisnya terutama keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, serta dapat mengaitkan dan menerapkan pada kehidupan. Pada akhirnya, berdasarkan uraian dan langkah-langkah di atas, diharapkan model pembelajaran SBEI dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa khususnya menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.

F. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah :

1. Siswa kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 semester genap SMA Negeri 3 Kotabumi tahun pelajaran 2012/2013 yang menjadi sampel penelitian mempunyai


(33)

ke-mampuan akademik yang dianggap sama dalam keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.

2. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan hasil belajar kimia siswa kelas XI IPA semester genap SMA Negeri 3 Kotabumi tahun pelajaran 2012/2013 diabaikan

3. Perbedaan n-Gain keterampilan menginduksi dan mempertim-bangkan hasil induksi semata-mata terjadi karena perbedaan perlakuan dalam proses belajar.

G.Hipotesis Umum

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Pembelajaran dengan menggunakan model SBEI efektif dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi daripada menggunakan pembelajaran konvensional.


(34)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa XI IPA SMAN 3 Kotabumi tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 170 orang siswa dan tersebar dalam lima kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 SMAN 3 Kotabumi, degan kelas XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran SBEI dan kelas XI IPA 3 sebagai kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional.

B. Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuasi eksperimen, desain penelitiannya adalah non equivalent control group design (Craswell, 1997). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu

pertimbangan tertentu. Berdasarkan pertimbangan dari peneliti dan guru mitra, maka diambil 2 kelas sampel yaitu kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 karena kedua kelas tersebut memiliki kemampuan akademik yang tidak jauh berbeda atau dianggap sama.


(35)

Tabel 2. Desain Penelitian

Kelas Pretes Perlakuan Postes

Eksperimen O1 X O2

Kontrol O1 - O2

Keterangan :

O1 : Pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol

X : Perlakuan dalam penelitian ini adalah pembelajaran model SBEI O2 : Postes kelas eksperimen dan kelas kontrol

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu data hasil tes sebelum pembelajaran (pretes) dan hasil tes setelah pembelajaran (pos-tes). Sedangkan sumber data adalah siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol.

D.Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat atau variabel yang di-teliti. Variabel bebas pada penelitian ini adalah model pembelajaran yang diguna-kan, yaitu model pembelajaran konvensional dan model pembelajaran SBEI. Sedangkan variabel yang diteliti adalah keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi pada materi asam basa.

E.Instrumen Penelitian

Instrumen tes yang digunakan berupa soal pretes dan postes. soal pretes dan pos-tes yang digunakan adalah soal uraian keterampilan menginduksi dan memper-timbangkan hasil induksi. Dalam pelaksanaannya, kelas eksperimen dan kelas


(36)

28

kontrol diberikan soal pretes dan postes yang sama. Soal pretes yang digunakan adalah materi sebelumnya yaitu materi kesetimbangan kimia. Sedangkan soal postes yang digunakan adalah materi asam basa.

Agar data yang diperoleh dapat dipercaya, maka instrumen yang digunakan harus valid. Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat digunakan serta dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti seca-ra tepat. Pada penelitian ini menggunakan validitas isi yang dilakukan dengan judgment. Validitas isi dengan cara judgment memerlukan ketelitian dan keahlian penilai, maka dalam hal ini validitas isi dilakukan oleh ahli. Dalam hal ini dilaku-kan oleh dosen pembimbing untuk memvalidasinya. Dalam hal ini pengujian di-lakukan dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator dan butir-butir pertanyaannya. Bila ternyata unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan yang

bersangkutan.

F. Pelaksanaan Penelitian

Langkah-langkah penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tahap persiapan. Pada tahap ini peneliti menyusun dan menyiapkan pe-rangkat pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran selama penelitian berlangsung. Perangkat pembelajaran tersebut adalah silabus, Rencana Pelaksanaaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS ) serta soal pretes dan postes.


(37)

2. Tahap Pelaksanaan.

a. Melakukan pretes di kedua kelas

b. Pelaksanaan pembelajaran. Pada kelas kontrol digunakan model pem-belajaran konvesional sedangkan pada kelas eksperimen digunakan model SBEI.

c. Pelaksanaan postes dikedua kelas 3. Tahap Analisis Data.

G.Hipotesis Kerja

Rata-rata n-Gain keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi pada materi asam basa yang diterapkan model SBEI lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain dengan pembelajaran konvensional

H.Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

1. Teknik analisis data

Data yang diolah dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi yang diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

a. Perhitungan nilai pretes dan postes

Nilai pretes atau postes dirumuskan sebagai berikut :


(38)

30

b. Gain ternormalisasi

Untuk mengetahui efektivitas keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi pada materi asam basa antara model SBEI dengan pembelajaran konvensional, maka dilakukan analisis nilai gain ternormalisasi. Perhitungan gain ternormalisasi bertujuan untuk mengetahui peningkatan nilai pretes dan postes kedua kelas. Menurut Meltzer (Nur, 2010) besarnya peningkatan dihitung dengan rumus n-Gain ( normalized gain), yaitu :

Rumus (2)

2. Pengujian hipotesis

a. Uji normalitas

Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak.

Rumusan hipotesis untuk uji normalitas adalah : H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal H1 : sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal

Uji ini biasanya menggunakan uji Chi-Kuadrat :

Rumus (3) Sudjana (2005 : 293)


(39)

dengan krieria uji : terima H0 jika 2hitung 2tabel dengan taraf nyata 5%

Keterangan :

Oi : frekuensi pengamatan Ei : frekuensi yang diharapkan

b. Uji homogenitas dua varians

Uji homogenitas dua varians digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel mempuyai varians yang homogen atau tidak.

H0 : data penelitian mempunyai varians yang homogen H1 : data penelitian mempunyai varians yang tidak homogen

a. Rumusan Hipotesis H0 : 22

2 1 

  = sampel mempunyai varians yang homogen

H1 :

2 2 2

1

 = sampel mempunyai varians yang tidak homogen

Keterangan :

: varians nilai kelompok 1 : varians nilai kelompok 2

b. Rumus statistik untuk uji homogenitas (F) :

Rumus (4) Keterangan :

= varians terbesar = varians terkecil


(40)

32

Kriteria uji : terima H0 jika FhitungFtabel, dengan taraf nyata 5%

c. Uji perbedaan dua rata-rata

Rumusan hipotesis :

H0 : µ1 ≤µ2 : Rata-rata n-Gain keterampilan menginduksi dan mempertim-bangkan hasil induksi pada matei asam basa dengan model SBEI lebih rendah atau sama dengan rata-rata n-Gain dengan pembe-lajaran konvensional.

H1 : µ1 >µ2 : Rata-rata n-Gain keterampilan menginduksi dan mempertim-bangkan hasil induksi pada materi asam basa dengan model SBEI lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain dengan

pembelajaran konvensional.

Langkah-langkah pengujian statistik :

Oleh karena data penelitian mempunyai varians yang tidak homogen 2 2 2 1 

  ,

maka statistik yang digunakan ialah uji-t’.

2 2 2 1 2 1 2 1 ' n S n S X X t  

 , dengan

1 n n x x n s i i 2 i 2 i i 2 i    

(Sudjana, 2005) Rumus (5)

Kriteria uji : tolak H0 jika

2 1 2 2 1 1 w w .t w .t w t'  

 dengan dk masing-masing

n1-1

dan

n2-1


(41)

Keterangan :

; n s w

1 2 1

1  ;

n s w

2 2 2


(42)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam pene-litian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Rata-rata n-Gain keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi pada materi asam basa yang dibelajarkan dengan Model SBEI lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain siswa dengan pembelajaran konvensional. 2. Model SBEI lebih efektif daripada pembelajaran konvensional pada materi

asam basa dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertim-bangkan hasil induksi karena pada setiap tahap pembelajarannya dapat melatih dan mengembangkan kemampuan siswa dalam menggeneralisasi pada tahap pengenalan konsep dan menyimpulkan penjelasan konklusi atau hipotesis pada tahap aplikasi konsep yang merupakan indikator tercapainya keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.


(43)

B.Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:

1. Agar penerapan model SBEI berjalan maksimal, guru harus mempersiapkan bahan-bahan dan alat-alat praktikum dengan maksimal, agar hasil pengamatan yang diharapkan sama dengan apa yang ditemukan siswa pada fase eksplorasi. 2. Hendaknya guru mempunyai banyak sumber buku, sehingga apabila terdapat

ketidaksesuain antara fakta dilapangan maka dapat menggunakan telaah literatur untuk mengenalkan konsep yang benar.


(44)

52

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R.I. 2008. Learning To Teach. Edisi VII. Pustaka pelajar. Yogyakarta. Costa. 1985. Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking.

Association for Supervision and Curriculum Development . Virginia

Craswell, J.W. 1997. Research Design Qualitative dan Quantitative Approaches. Thounsand Oaks-London New. New Delhi. Sage Publications.

Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Balajar. Erlangga. Jakarta

Ennis, R. H. 1985. Goals For a Critical Thingking Curriculum. Pensylvania. Franklin Institute.

Fajaroh, dan Dasna, I.W. 2007. Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (Learning Cycle). Universitas Negeri Malang. Malang.

Gusa, A. 2008. Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang Guru Dan Dosen. Asa Mandiri. Jakarta.

Liliasari. 2005. Membangun Keterampilan Berpikir Manusia Indonesia melalui Pendidikan Sains. http://liliasari.wordpress.com/2005/12/16/membangun-keterampilan-berpikir-manusia-indonesia-melalui-pendidikan-sains. Tanggal akses. 30 Januari 2013.

Mahmudin. 2007. Membentuk Karakter Kreatif dan Produktif melalui Siklus

Belajar.

http://mahmudin.wordpress.com/2007/11/09/membentuk-karaktek-kreatif-dan-produktif-melalui-siklus-belajar. Tanggal akses : 21 Desember 2012

Margono. 2010. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. Munandar, S. 1999. Krerativitas & Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi

Kreatif & Bakat. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Pannen, M. dan Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.


(45)

Renner, J.W. 1998. References For Youth Development Skills (learning Cycle).

http://www.uwex.edu/erc/pdf-files/uniqstrat/61-66. Tanggal akses 30 Januari 2013

Saputra, A. 2012. Model Pembelajran Problem Solving Pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Skripsi PS Kimia Unila. Tidak diterbitkkan.

Sudarmo, U. 2004. Kimia SMA 1 Untuk SMA Kelas X. Erlangga. Jakarta. Sudjana, N. 2005. Metode Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung. Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta. Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Prenada

Media Group. Jakarta.

Yasin, A. (2007). Model Pembelajaran Empiris-Induktif untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Pada

Pembelajaran Sel Elektrokimia. PMIPA UPI. Bandung. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA Vol.1 No.1, Maret 2007.


(1)

Kriteria uji : terima H0 jika FhitungFtabel, dengan taraf nyata 5%

c. Uji perbedaan dua rata-rata

Rumusan hipotesis :

H0 : µ1 ≤µ2 : Rata-rata n-Gain keterampilan menginduksi dan mempertim-bangkan hasil induksi pada matei asam basa dengan model SBEI lebih rendah atau sama dengan rata-rata n-Gain dengan pembe-lajaran konvensional.

H1 : µ1 >µ2 : Rata-rata n-Gain keterampilan menginduksi dan mempertim-bangkan hasil induksi pada materi asam basa dengan model SBEI lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain dengan

pembelajaran konvensional. Langkah-langkah pengujian statistik :

Oleh karena data penelitian mempunyai varians yang tidak homogen 2 2 2

1 

  ,

maka statistik yang digunakan ialah uji-t’.

2 2 2 1 2 1 2 1 ' n S n S X X t  

 , dengan

1 n n x x n s i i 2 i 2 i i 2 i    

(Sudjana, 2005) Rumus (5)

Kriteria uji : tolak H0 jika

2 1 2 2 1 1 w w .t w .t w t'  

 dengan dk masing-masing

n1-1


(2)

33

Keterangan : ; n s w

1 2 1

1  ;

n s w

2 2 2


(3)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam pene-litian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Rata-rata n-Gain keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi pada materi asam basa yang dibelajarkan dengan Model SBEI lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain siswa dengan pembelajaran konvensional. 2. Model SBEI lebih efektif daripada pembelajaran konvensional pada materi

asam basa dalam meningkatkan keterampilan menginduksi dan mempertim-bangkan hasil induksi karena pada setiap tahap pembelajarannya dapat melatih dan mengembangkan kemampuan siswa dalam menggeneralisasi pada tahap pengenalan konsep dan menyimpulkan penjelasan konklusi atau hipotesis pada tahap aplikasi konsep yang merupakan indikator tercapainya keterampilan menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.


(4)

51

B.Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:

1. Agar penerapan model SBEI berjalan maksimal, guru harus mempersiapkan bahan-bahan dan alat-alat praktikum dengan maksimal, agar hasil pengamatan yang diharapkan sama dengan apa yang ditemukan siswa pada fase eksplorasi. 2. Hendaknya guru mempunyai banyak sumber buku, sehingga apabila terdapat

ketidaksesuain antara fakta dilapangan maka dapat menggunakan telaah literatur untuk mengenalkan konsep yang benar.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R.I. 2008. Learning To Teach. Edisi VII. Pustaka pelajar. Yogyakarta. Costa. 1985. Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking.

Association for Supervision and Curriculum Development . Virginia

Craswell, J.W. 1997. Research Design Qualitative dan Quantitative Approaches. Thounsand Oaks-London New. New Delhi. Sage Publications.

Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Balajar. Erlangga. Jakarta

Ennis, R. H. 1985. Goals For a Critical Thingking Curriculum. Pensylvania. Franklin Institute.

Fajaroh, dan Dasna, I.W. 2007. Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (Learning Cycle). Universitas Negeri Malang. Malang.

Gusa, A. 2008. Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang Guru Dan Dosen. Asa Mandiri. Jakarta.

Liliasari. 2005. Membangun Keterampilan Berpikir Manusia Indonesia melalui Pendidikan Sains. http://liliasari.wordpress.com/2005/12/16/membangun-keterampilan-berpikir-manusia-indonesia-melalui-pendidikan-sains. Tanggal akses. 30 Januari 2013.

Mahmudin. 2007. Membentuk Karakter Kreatif dan Produktif melalui Siklus

Belajar.

http://mahmudin.wordpress.com/2007/11/09/membentuk-karaktek-kreatif-dan-produktif-melalui-siklus-belajar. Tanggal akses : 21 Desember 2012

Margono. 2010. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. Munandar, S. 1999. Krerativitas & Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi

Kreatif & Bakat. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Pannen, M. dan Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.


(6)

53

Renner, J.W. 1998. References For Youth Development Skills (learning Cycle).

http://www.uwex.edu/erc/pdf-files/uniqstrat/61-66. Tanggal akses 30 Januari 2013

Saputra, A. 2012. Model Pembelajran Problem Solving Pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Skripsi PS Kimia Unila. Tidak diterbitkkan.

Sudarmo, U. 2004. Kimia SMA 1 Untuk SMA Kelas X. Erlangga. Jakarta. Sudjana, N. 2005. Metode Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung. Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta. Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Prenada

Media Group. Jakarta.

Yasin, A. (2007). Model Pembelajaran Empiris-Induktif untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Pada

Pembelajaran Sel Elektrokimia. PMIPA UPI. Bandung. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA Vol.1 No.1, Maret 2007.