ANALISIS PENGARUH INSTRUMEN FUNDAMENTAL EKONOMI TERHADAP PINJAMAN LUAR NEGERI INDONESIA

(1)

ANALISIS PENGARUH INSTRUMEN FUNDAMENTAL EKONOMI TERHADAP PINJAMAN LUAR NEGERI INDONESIA

Oleh

DIAN AYU FATMAWATI

ABSTRAK

Sejak krisis ekonomi, Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk melakukan pinjaman luar negeri dengan tujuan untuk memperbaiki perekonomian tetapi sampai saat ini pinjaman luar negeri pembiayaan yang dilakukan justru untuk menutupi pinjaman masalalu yang belum habis. Dalam jangka pendek pinjaman luar negeri dapat menutup defisit anggaran dan hal ini jauh lebih baik di bandingkan dengan mengeluarkan kebijakan pencetakan uang baru yang beredar yang akan mengeluarkan biaya yang cukup tinggi sehingga pengeluaran

pemerintah akan berlebih karena membutuhkan banyaknya modal tanpa di sertai dengan efek peningkatan tingkat harga umum. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengaruh inflasi, PDB, keseimbangan fiscal dan neraca berjalan terhadap pinjaman luar negeri Indonesia.

Hasil regresi menggunakan Ordinary Least Squares (OLS) menunjukkan setiap kenaikan inflasi satu persen maka pinjaman luar negeri Indonesia juga mendorong


(2)

juga mendorong peningkatan sebesar 1.908099 persen dengan syarat variabel lain tetap. Setiap kenaikan keseimbangan fiskal sebesar satu milyar maka pinjaman luar negeri Indonesia mendorong penurunan sebesar 0.233860 milyar atau sebesar 0.233860 persen dengan syarat variabel lain tetap. Setiap kenaikan neraca berjalan sebesar satu milyar maka pinjaman luar negeri Indonesia mendorong penurunan sebesar 0.042389 milyar atau sebesar 0.042 persen dengan syarat variabel lain tetap. Keempat varibel tersebut mampu menjelaskan variable pinjaman luar negeri sebesar 86.19 persen dan sisanya 13.81 persen dipengaruhi oleh variabel lain diluar model penelitian.

Kata Kunci : Inflasi, Produk Domestik Bruto, Keseimbangan Fiskal, Neraca Berjalan, Pinjaman Luar Negeri, Ordinary Least Squares (OLS).


(3)

FUNDAMENTAL ANALYSIS OF ECONOMIC EFFECT INSTRUMENTS FOREIGN LOANS TO INDONESIA

By

DIAN AYU FATMAWATI

ABSTRACT

Since the economic crisis, Indonesia is one country which include foreign borrowing with the aim to improve the economy but until now foreign loan financing is done precisely to cover loans that have not been exhausted. In the short-term foreign loans to cover the budget deficit and it is much better in comparison with a policy of printing new money in circulation which will cost a pretty high that excessive government spending because it requires a number of capital without accompanied with the effect of increasing the price level general. The purpose of this study was to analyze how the effects of inflation, GDP, fiscal balance and current account balance of the foreign debt of Indonesia.

Results of regression using Ordinary Least Squares (OLS) show any increase in inflation one percent, the Indonesian foreign loans also encourage an increase of 0.008513 per cent on condition that other variables remain. Each of the increase in GDP of one billion, the Indonesian foreign loans also encourage an increase of 1.908099 per cent on condition that other variables remain. Each increase of one


(4)

other variables remain. Any increase in the current account amounted to one billion, the foreign debt of Indonesia is encouraging a decrease of 0.042389 billion or equivalent to 0.042 per cent on condition that other variables remain. The fourth variable can explain the variable of foreign loans amounted to 86.19 percent and the remaining 13.81 percent is influenced by other variables outside the research model.

Keywords: Inflation, GDP, Fiscal Balance, Current account, Foreign Loan, Ordinary Least Squares (OLS).


(5)

ANALISIS PENGARUH INSTRUMEN FUNDAMENTAL EKONOMI TERHADAP PINJAMAN LUAR NEGERI INDONESIA

Oleh

Dian Ayu Fatmawati

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA EKONOMI

pada

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandarlampung pada tanggal 23 September 1993, sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Buah hati dari pasangan Bapak Amirullah Sidiq dan Ibu Haryati.

Penulis memulai pendidikan formal di TK Fransiskus Tanjungkarang Bandarlampung pada tahun 1998, dilanjutkan Sekolah Dasar (SD) Fransiskus Tanjungkarang Bandarlampung pada tahun 1999. Kemudian Sekolah Menengah Pertama (SMP) Fransiskus Tanjungkarang

Bandarlampung diselesaikan pada tahun 2008 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Perintis 1 Bandarlampung diselesaikan pada tahun 2011.

Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung Jurusan Ekonomi Pembangunan. Penulis pernah mengikuti Kuliah Kerja Lapang (KKL) pada tahun 2013 di Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Bank Indonesia, dan Kementerian Koperasi Republik Indonesia. Penulis aktif di Radio Kampus Universitas Lampung (RAKANILA) sejak tahun 2011/2012 sebagai anggota magang, tahun 2012/2013 sebagai Program Director dan tahun 2013/2014 sebagai Manajer Sumber Daya Manusia. Hingga saat ini penulis masih aktif sebagai Sterring Commite di organisasi Radio Kampus Universitas Lampung.


(10)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini Saya persembahkan untuk Allah SWT. Sebagai rasa syukur atas ridho serta karunia-Nya sehingga skripsi ini telah terselesaikan dengan baik.

Alhamdulillahirabbil’alamiin

Untuk Ayah dan Ibu, terimakasih atas doa yang selama ini diberikan untuk kelancaran skripsi ini sampai dengan tahap akhir.

Adik-adiku yang luar biasa, Novia, Malik, Muluk, Uci, terimakasih atas doa dan dukungannya.

Dosen-dosen serta sahabat-sahabat terbaik yang turut memberikan arahan, dukungan, juga doa yang menambahkan semangat atas selesainya skripsi ini.

Juga almamater tercinta. Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung


(11)

MOTO

“Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu yang cerdas akan

menghasilkan anak yang cerdas” (Dian Sastro Wadhoyo)

“Risk comes from not knowing what you’re doing” (Warren Buffet)

“Orang sukses adalah orang hebat yang mampu bersabar dalam segala hal” (Dian Ayu Fatmawati)


(12)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Instrumen Fundamental Ekonomi Terhadap Pinjaman Luar Negeri Indonesia” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian skripsi ini. Secara khusus, penulis ucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Satria Bangsawan, S.E., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi

dan Bisnis Universitas Lampung.

2. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.E.P., dan Ibu Asih Murwiati, S.E., M.E. sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Ambya, S.E., M.Si selaku dosen pembimbing atas bimbingan, saran, serta motivasi luar biasanya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Ibu Asih Murwiati, S.E., M.E selaku dosen penguji skripsi atas saran serta motivasi yang sangat luar biasa sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(13)

Universitas Lampung.

7. Keluargaku tercinta, ayah yang tiada hentinya mendukung, ibu yang tak pernah lelah mendoakan, adik-adikku Novia, Malik, Muluk, Uci yang selalu

memberikan senyuman penyemangat dan doa yang tulus dan ikhlas.

8. Staff dan karyawan di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Ibu Hudaiyah, Bang Fery, Bang Ma’ruf, Ibu Yati, Pakde, serta pegawai lainnya yang telah banyak membantu kelancaran proses penyelesaian skripsi ini.

9. Sastra Alfira Ryan yang telah memberikan semangat dan mendengarkan segala keluh kesah.

10.Sahabat tercinta, teman susah, senang dan segalanya, Irma Yunita, Duwi Setiana, Yessi Novita, Devi Evita, Firsty Husega pemberi semangat, doa dan warna di kehidupan saya.

11.Keluarga kedua sekaligus sahabat paling terbaik selama empat tahun yang susah senang selalu berbagi Dyanti Mahrunnisya, S.Pd., Ade Saputra, Yunita Dalimunthe terimakasih semuanya.

12.Keluarga cemara Rakanila Angkatan 11 Gomgom, Bayu, Sakti, Annisa, Clara, Diah, Narmo, Mba Dwi, Mba Son, Fajri, Mba Farah, Indah, Yessi, Nur. Adik-adik Rakanila Pajrin, Ika, Puji, Maya, Cita, Sovi, Ridha, Suci, Arienda, Tika, 13.Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2011 dan teman-teman konsentrasi

ekonomi publik dan fiskal Agilta, Amri, Ahmad Yudi, Aming, Annisa, Anton, Ari, Ayuni, Caca, Cella, Tingut, Defti, Desi, Mba Dewi, Dedew, Acil, Dianita, Edo, Fadhil, Nenek, Peby, Gella, Gile, Gino, Yoga, Syahid, Mega, Mustaqim,


(14)

14.Teman-teman KKN Desa Tajimalela, Kalianda Januari 2014 yang selalu ada di hati Kak Pendi, Endah, Kak Angga, Mba Dina,Wulan, Destry, Faris, Vianna dan Dewi yang telah memberikan pengalaman yang sangat luar biasa. 15.Dan almamaterku tercinta,Universitas Lampung.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Bandarlampung, 21 Mei 2015 Penulis,


(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 11

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

1. Tujuan Penelitian ... 13

2. Manfaat Penelitian ... 13

D.Kerangka Pemikiran ... 14

E. Hipotesis ... 18

F. Sistematika Penulisan ... 19

II.TINJAUAN PUSTAKA A.APBN ... 21

1. Pendapatan Negara dan Hibah ... 22

2. Belanja Negara ... 22

3. Defisit dan Surplus ... 23

4. Pembiayaan ... 23

B.Defisit Anggaran ... 23

1. Pencetakan Uang Baru ... 25

2. Pinjaman Dalam Negeri ... 25


(16)

4. Pinjaman Luar Negeri ... 26

C.Pinjaman Luar Negeri ... 26

1. Definisi Pinjaman Luar Negeri ... 26

2. Kelebihan dan Kekurangan Pinjaman Luar Negeri ... 31

3. Risiko Pinjaman Luar Negeri ... 32

a. Fiscal Sustainability Risk ... 32

b. Refinancing Risk ... 32

c. Market Risk ... 33

d. Operational Risk ... 33

4. Pembayaran Pinjaman ... 38

5. Overlapping Generations Model ... 42

6. Model Neoklasik ... 43

7. Model Ricardian ... 44

8. Krisis Pinjaman dan Pembayaran Cicilan Pinjaman ... 45

D.Teori Dual Analysis Gap ... 47

E. Kurva Laffer ... 51

F. Teori Debt Overching ... 52

G.Fundamental Ekonomi dan Faktor Memperngaruhi Risiko ... 53

1. Produk Domestik Bruto ... 54

2. Inflasi ... 55

3. Keseimbangan Fiskal ... 56

4. Neraca Berjalan ... 57

H.Penelitan Terdahulu ... 59

III.METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian ... 62

B.Ruang Lingkup Penelitian ... 62

C.Jenis Data ... 63

D.Sumber Data ... 63

E. Variabel Penelitian ... 65

F. Definisi Variabel ... 65


(17)

2. PDB ... 67

3. Inflasi ... 67

4. Keseimbangan Fiskal ... 68

5. Neraca Berjalan ... 69

G.Metode Analisis ... 69

1. Uji Stasioneritas Data ... 69

2. Analisis Linier Berganda ... 71

3. Uji Asumsi Klasik ... 73

a. Uji Normalitas ... 73

b. Uji Multikolienaritas ... 74

c. Uji Autokorelasi ... 74

d. Uji Heteroskodasitas ... 75

4. Uji Hipotesis ... 76

a. Uji Pengaruh Simultan (F-test) ... 76

b. Uji Parsial (T-test) ... 77

c. Uji Koefesien determinasi (R2) ... 77

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Metode Analisis ... 78

1. Hasil Uji Stasionaritas (Unit Root Test) ... 78

B.Hasil Estimasi ... 79

C.Hasil Uji Asumsi Klasik ... 80

1. Uji Autokorelasi ... 80

2. Uji Heteroskodasitas ... 81

3. Uji Multikolienaritas ... 81

4. Uji Normalitas ... 82

D.Uji Hipotesis ... 83

1. Uji Parsial (T-test) ... 83

2. Uji Pengaruh Simultan (F-test) ... 85

3. Uji Koefesien determinasi (R2) ... 86

E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 86


(18)

2. Pengaruh PDB Terhadap Pinjaman Luar Negeri Indonesia ... 88

3. Pengaruh Rasio Keseimbangan Fiskal Terhadap Pinjaman Luar Negeri Indonesia ... 90

4. Pengaruh Rasio Neraca Berjalan Terhadap Pinjaman Luar Negeri Indonesia ... 91

F. Implementasi ... 92

1. Implementasi Inflasi Terhadap Pinjaman Luar Negeri ... 93

2. Implementasi PDB Terhadap Pinjaman Luar Negeri ... 94

3. Implementasi Rasio Keseimbangan Fiskal Terhadap Pinjaman Luar Negeri ... 96

4. Implementasi Rasio Neraca Berjalan Terhadap Pinjaman Luar Negeri ... 99

V.KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 101

B.Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Ringkasan APBN tahun 2007-2013 (miliar rupiah) ... 2

2. Posisi pinjaman luar negeri pemerintah (juta US$) ... 8

3. Instrumen Pinjaman Luar Negeri (External Debt Instrument) ... 28

4. Kelebihan dan Kekurangan Pinjaman Luar Negeri ... 30

5. Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 61

6. Deskripsi Data Input ... 67

7. Kriteria Durbin Watson ... 76

8. Hasil Pengujian Stasioneritas ... 80

9. Hasil Estimasi Regresi OLS ... 82

10. Hasil Pengujian Multikolienaritas ... 84

11. Hasil Uji t-statistik Variabel Inflasi ... 88

12. Hasil Uji t-statistik Variabel PDB ... 89

13. Hasil Uji t-statistik Variabel Keseimbangan Fiskal ... 91


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Variabel Terikat dan Bebas ……… .L1 2. Data Variabel Sudah Logaritma Natural ………..L2 3. Hasil Regresi Eviews ………....L3 4. Hasil Uji Unit Root Variabel Pinjaman Luar Negeri ………L4 5. Hasil Uji Unit Root Variabel Inflasi ……….L5 6. Hasil Uji Unit Root Variabel PDB ………....L6 7. Hasil Uji Unit Root Variabel Keseimbangan Fiskal ……….L7 8. Hasil Uji Unit Root Variabel Neraca Berjalan ……….L8 9. Hasil Uji Autokorelasi ………..L9 10. Hasil Uji Heteroskodasitas ………..L10 11. Hasil Uji Normalitas ………L11 12. Hasil Uji Multikolienaritas ………..L12


(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Perkembangan Defisit Anggaran Tahun 2008-2013 ... 5 2. Rasio Pinjaman Terhadap PDB Yang Mendorong CDS ... 10 3. Pos APBN Pemerintah Indonesia ... 17 4. Kerangka Pemikiran Pengaruh Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Rasio Neraca

Berjalan dan Rasio Keseimbangan Fiskal terhadap Pinjaman Luar Negeri Indonesia ... 18 5. Kurva Laffer Utang ... 52


(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut UU No. 17 Tahun 2003, anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang–undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945, rancangan undang–undang angaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Sumber pembiayaan suatu negara terlihat dari sisi pendapatan yang diperoleh dari pemasukan negara tersebut. Dalam hal ini dimana ada pembiayaan pasti berhubungan dengan pengeluaran pemerintah mengenai belanja negara. Seperti halnya kebutuhan sehari hari di dalam belanja negara juga memiliki kebutuhan yang bersifat primer ada juga yang bersifat sekunder serta kebutuhan yang tidak terduga. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut agar antara pemasukan dengan pengeluaran dapat seimbang di


(23)

buat suatu kebijakan penyusunan rancangan anggaran yang kemudian di realisasikan menjadi anggaran.

Tabel 1. Ringkasan APBN, 2007-2013 (miliar rupiah)

Sumber : Data Pokok APBN, Kementerian Keuangan RI

Ringkasan APBN dari tahun 2007-2013 terdapat kekurangan pembiayaan ditahun 2007 sebesar 7387,2 dan kelebihan pembiayaan ditahun 2008-2011, sedangkan untuk ditahun 2012 dan 2013 APBN Indonesia tidak ada sisa lebih maupun kekurangan pembiayaan sehingga antara pendapatan dan pengeluaran mengalami balance atau seimbang.

Secara teoretis, ada empat cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penerimaan yaitu meningkatkan pajak dan harga sektor publik, mengurangi pengeluaran

pemerintah, mencetak uang, dan utang baru pemerintah (Dornbucsh, 1993). Namun, ada beberapa kendala saran teoretis tersebut. Kendala yang dihadapi dalam


(24)

dan sulitnya meningkatkan intensifikasi pemungutan. Meningkatkan harga sektor publik selain dapat meningkatkan penerimaan juga mengurangi subsidi sehingga dapat mengurangi distorsi pasar. Kebijakan penurunan subsidi sering menuai penentangan yang besar dari masyarakat dan menstimulasi inflasi. Pencetakan uang selain akan menstimulasi hiperinflasi juga tidak dapat dilakukan karena undang-undang menempatkan bank sentral independen dari intervensi pemerintah. Pilihan kebijakan pinjaman juga dihadapkan pada pilihan yang sulit diantaranya :

1. Pinjaman luar negeri menjadi tidak mudah, terutama setelah Indonesia memilih tidak memperpanjang kontrak kerja sama dengan IMF dan itu berarti utang ditumpukan pada sumber dalam negeri.

2. Pasar dalam negeri mungkin memiliki keterbatasan untuk menyerap kebutuhan utang pemerintah.

(Abimanyu, 2004).

Sehubungan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah yang terdapat pada tabel 1 mengenai ringkasan APBN, hal ini dilakukan pemerintah dikarenakan ekspansi fiskal dimana dengan menaikkan belanja negara dengan menurunkan pajak netto untuk meningkatkan daya beli masyarakat disaat perekonomian mengalami depresi dan pengangguran yang tinggi. Paham Keynesian (1936), menyarankan ekspansi fiskal untuk mendorong perekonomian. Keynes memandang ekspansi fiskal melalui proses angka pengganda akan meningkatkan pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil.


(25)

Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif kepada investor.

Pada sisi lain, paham Neo Klasik memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran langsung dalam perekonomian. Pada masa sebelum krisis, elemen penting dari kebijakan fiskal pada saat itu adalah pengeluaran rutin dibelanjakan dengan penerimaan dalam negeri, baik berupa pajak maupun bukan pajakyang utamanya bersumber dari penerimaan sumber daya alam. Sedangkan pengeluaran pembangunan sebagian dibelanjakan dengan utang luar negeri (utang dalam negeri pemerintah belum ada) yang berupa pinjaman bilateral dan multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.

Pada tahun 1996, APBN menunjukkan surplus 1,9 persen dari produk domestik bruto, utang pemerintah terhadap luar negeri sebesar US$55,3 miliar atau sekitar 24 persen dari PDB. Pada saat itu, pemerintah belum memiliki utang dalam negeri. Realisasi APBN tahun 1997 Semester I mencatat surplus 1,8 persen dari PDB dan utang pemerintah tidak banyak berubah. Rasio utang luar negeri terhadap PDB sebelum krisis terbilang relatif kecil. Sebagai perbandingan, rasio utang tersebut sedikit lebih rendah dari rata-rata di Asia dan negara sedang berkembang (Boediono, 2004).

Situasi saat ini sangat memerlukan fiskal yang berkesinambungan dimana


(26)

Persoalan defisit anggaran pada dasarnya selalu berkutat pada sumber dana apa yang bisa digunakan untuk menutupi. Dari sisi pengeluaran, pemerintah bisa melakukan efisiensi dengan jalan melakukan penghematan di luar belanja rutin. Sementara itu, dari sisi penerimaan ada dua opsi yang bisa diambil yaitu apakah menggenjot penerimaan dari pajak ataukah menambah utang baru (Nota Keuangan, 2013).

Gambar 1. Perkembangan Defisit Anggaran 2008-2013 Indonesia Sumber: Kementrian Keuangan

Perkembangan realisasi defisit anggaran Indonesia dalam periode 2008-2012 selalu lebih rendah dari defisit yang ditetapkan dalam APBNP. Perkembangan defisit anggaran tahun 2008-2012 dan targetnya dalam APBNP 2013 terlihat dalam gambar 1 mengenai perkembangan defisit anggaran tahun 2008-2013. Dalam periode

tersebut, beberapa faktor yang menjadi penyebab dari kondisi tersebut antara lain realisasi pendapatan negara lebih besar dari target yang ditetapkan, sedangkan realisasi belanja negara lebih rendah bila dibandingkan dengan alokasi anggaran atau realisasi pendapatan negara dan realisasi belanja negara lebih rendah dari

target/alokasi yang ditetapkan, namun persentase realisasi pendapatan negara lebih

2.1 2.4 2.1 2.1 2.2 2.4

0.1

1.6

0.7 1.1

1.9 0 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00

2008 2009 2010 2011 2012 2013*

Defisit Anggaran

% Defisit LKPP % Defisit APBNP


(27)

tinggi dibandingkan dengan persentase realisasi belanja Negara (Nota Keuangan, 2014).

Defisit yang terjadi pada neraca keuangan Indonesia salah satunya diakibatkan oleh utang luar negeri yang masih menumpuk dari tahun ke tahun. Penanggulangan keuangan pemerintah Indonesia ialah dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah yaitu melaksanakan defisit pembiayaan anggaran. Kebijakan ini bertujuan untuk menutupi keuangan pemerintah yang defisit, walaupun pada kenyataannya banyak menimbulkan kontroversi. Menurut Kartika (2006), pemerintah mempunyai tiga pilihan untuk menutup defisit anggaran APBN, yaitu dari hasil privatisasi BUMN, pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri.

Pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri ini merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dalam pembangunan ekonomi suatu negara, walaupun sudah banyak upaya pemerintah dalam mengatasi hal ini tetap saja defisit anggaran terjadi dan pinjaman ini harus tetap dilakukan sebagai suatu kebijakan. Seluruh negara maju dan berkembang sudah pasti “lebih besar pasak dari pada tiang” dimana pengeluaran lebih banyak di bandingkan dengan pemasukan dari sumber dana suatu negara sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Pinjaman dalam negeri Indonesia dilakukan untuk membiayai pembangunan dari berbagai sektor sehingga dapat memajukan perekonomian Indonesia. Sesuai dengan UU no 54 tahun 2008 tentang tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh pemerintah maka pemberi PDN ini antara lain : BUMN, pemerintah


(28)

daerah dan perusahaan daerah yang memberi pinjaman kepada pemerintah dalam bentuk surat berharga negara dan surat berharga syariah negara. Pinjaman dalam negeri Indonesia terdiri dari 2 jenis yaitu obligasi suku bunga tetap (fixed rate) dan obligasi dengan suku bunga yang selalu berubah (variable rate).

Pinjaman luar negeri dilakukan untuk menutupi saving investment gap dan dilakukan dengan cara melakukan pinjaman luar negeri. Apabila kebijakan pinjaman luar negeri ini diterapkan maka anggaran mengalami defisit, hal ini terjadi untuk menjaga

momentum pertumbuhan ekonomi dengan pemberian stimulus fiskal untuk menjaga kesinambungan fiskal. Pemerintah tetap akan memprioritaskan dan mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan utang dari dalam negeri, yang dilaksanakan bersamaan dengan upaya untuk mengoptimalkan peran serta dari masyarakat, mengembangkan pasar keuangan domestik, dan meningkatkan efek multiplier perekonomian nasional. Kebijakan tersebut ditempuh sejalan dengan terdapatnya risiko utang dalam negeri yang relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan risiko utang luar negeri. Pinjaman luar negeri digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu utang di pasar obligasi atau bond market debt (berupa obligasi RI0014) dan utang luar negeri pemerintah (official debt).


(29)

Tabel 2. Posisi Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Indonesia Periode 2007-2013 (dalam juta US$)

Periode Pemerintah Jumlah

Komersial Bukan Komersial

ODA Non ODA

2007 18418 47663 14528 80609

2008 19952 56093 10555 86600

2009 31415 58342 9508 99265

2010 46032 61796 8775 116603

2011 48424 62120 8098 118642

2012 50365 60533 7428 118326

2013 62527 54660 6322 123509

Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia

Perkembangan posisi pinjaman luar negeri dari tahun 2007-2013 dapat dilihat bahwa Indonesia adalah salah satu negara pengutang, masalah utang baik peranannya dalam pembangunan implikasi dan kemauan pembayaran bunga dan cicilan utang

merupakan hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Dengan mencermati ketahanan ekonomi Indonesia saat ini, sangat sulit mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri akan berkurang untuk setidak-tidaknya 10 tahun kedepan.

Hal ini disebabkan karena masalah utang luar negeri yang dihadapi Indonesia telah mencapai tahap yang demikian kompleks sehingga sulit untuk diupayakan pemecahan dalam waktu yang definitive. Sebagai negara berkembang yang tetap konsisten dalam politik pembangunannya, Indonesia untuk masa mendatang masih bergantung pada komponen ini. Seberapa besar tingkat ketergantungannya, tentu banyak faktor yang mempengaruhinya.


(30)

Di sisi kebijakan moneter menurut Dennis (2004), bahwa portofolio utang yang optimal adalah portofolio utang yang terdiri dari utang luar negeri 100 persen.Namun, pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan bahwa pinjaman luar negeri

menimbulkan biaya kondisionalitas yang cukup besar. Hal ini di sebabkan adanya persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman dari negara kreditur.

Selain itu, pinjaman luar negeri yang cukup besar dapat menimbulkan kesulitan di masa yang akan datang jika nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi yang besar. Dalam jangka pendek, pinjaman luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja Negara akibat pembiayaan rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Tetapi dalam jangka panjang, ternyata pinjaman luar negeri pemerintah tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan perekonomian Indonesia. Dalam hal ini,apabila negara Indonesia dapat mengalokasikan pinjaman ini dengan baik maka dampak jangka panjang tersebut dapat di minimalisir.

Pinjaman luar negeri atau penerimaan pembangunan hanya disebut sebagai pelengkap dalam pengeluaran pembangunan maupun total APBN, namun semua utang luar negeri Indonesia itu tetap dan terus semakin besar setiap tahun dan setiap pelitanya. Mengenai ketergantungan Indonesia, khususnya dalam APBN pemerintah terhadap pinjaman luar negeri itu utamanya dalam hal pembangunan maupun dalam total APBN pemerintah. Pinjaman luar negeri tersebut tidak semuanya diberikan dalam bentuk rupiah (atau tepatnya mata uang asing tertentu), tetapi dalam bentuk bantuan


(31)

proyek dan bantuan program. Bantuan proyek diberikan dalam bentuk paket pinjaman berupa peralatan-peralatan, barang-barang ataupun jasa (konsultan asing)sedangkan bantuan program diberikan dalam bentuk uang tunai (Nota Keuangan, 2014).

Gambar 2.Rasio pinjaman terhadap PDB yang mendorong Credit Default Swap Sumber : Bloomberg 2013

Rasio pinjaman yang rendah terhadap PDB mendorong nilai Credit Default Swap atau perlindungan proteksi atas risiko kredit untuk turun. Faktor fundamental diantaranya inflasi, PDB, keseimbangan fiskal dan neraca berjalan sangat dominan dalam mendorong pergerakan CDS karena kemampuan suatu negara dalam

membayar pinjamannya tidak hanya menandakan bahwa negara tersebut cukup sehat secara fiskal, namun juga memiliki manajemen anggaran yang baik serta menjadi informasi yang diperhitungkan oleh pelaku bisnis. Faktor ini sesuai dengan laporan IMF (2013), yang mengkonfirmasi pergerakan spread CDS dipengaruhi oleh faktor-faktor fundamental ekonomi salah satunya adalah rasio utang terhadap PDB.


(32)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia belum mampu untuk melepaskan diri dari ketergantungan pinjaman luar negeri untuk pembangunan nasional. Kebijakan mengambil pinjaman baru untuk menutup pinjaman lama telah membawa Indonesia masuk pada perangkap utang (debt-trap) dan berpotensi mengalami debt-crises atau krisis utang.

B. Permasalahan

Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi artinya pendapatan nasional juga

meningkat dan memungkinkan pendapatan perkapita juga meningkat dan berujung pada kesejahteraan masyarakat yang meningkat pula. Sejak krisis ekonomi, Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk melakukan pinjaman luar negeri dengan tujuan untuk memperbaiki perekonomian tetapi sampai saat ini pinjaman luar negeri pembiayaan yang dilakukan justru untuk menutupi pinjaman masalalu yang belum habis.

Setiap tindakan ekonomi pasti mengandung berbagai konsekuensi, begitu pula halnya dengan tindakan pemerintah dalam menarik pinjaman, baik pinjaman dalam negeri dan luar negeri. Dalam jangka pendek pinjaman luar negeri dapat menutup defisit anggaran dan hal ini jauh lebih baik di bandingkan dengan mengeluarkan kebijakan pencetakan uang baru yang beredar yang akan mengeluarkan biaya yang cukup tinggi sehingga pengeluaran pemerintah akan berlebih karena membutuhkan banyaknya modal tanpa di sertai dengan efek peningkatan tingkat harga umum.


(33)

Besar kecilnya pinjaman yang dilakukan oleh negara berkembang disebabkan karena adanya deficit current account, kekurangan dana investasi pembangunan yang tidak dapat ditutup dengan sumber dana dalam negeri, angka inflasi yang tinggi dan tidak efesien struktur dalam perekonomian. Beban pinjaman luar negeri dapat diukur salah satunya dengan melihat proporsi penerimaan devisa pada neraca berjalan yang berasal dari ekspor yang diserap oleh seluruh debt service yang berupa bunga dan cicilan utang. Jika rasio antara penerimaan ekspor dan debt service menjadi semakin kecil, atau debt service ratio (jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjangdi bagi dengan jumlah penerimaan ekspor) semakin besar, maka beban pinjaman luar negeri semakin berat dan serius.

Penelitian ini akan menguji secara empiris instrumen fundamental diantaranya :

1. Apakah inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap pinjaman luar negeri Indonesia ?

2. Apakah PDB berpengaruh secara signifikan terhadap pinjaman luar negeri Indonesia ?

3. Apakah keseimbangan fiskal berpengaruh secara signifikan terhadap pinjaman luar negeri Indonesia ?

4. Apakah neraca berjalan berpengaruh secara signifikan terhadap pinjaman luar negeri Indonesia?


(34)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pada penulisan skripsi ini adalah :

a. Menganalisis pengaruh inflasi terhadap pinjaman luar negeri Indonesia. b. Menganalisis pengaruh PDB terhadap pinjaman luar negeri Indonesia. c. Menganalisis pengaruh keseimbangan fiscal terhadap pinjaman luar negeri

Indonesia.

d. Menganalisis pengaruh neraca berjalan terhadap pinjaman luar negeri Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

a. Manfaat penelitian, sebagai salah satu syarat kelulusan penulis untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung. b. Manfaat ilmiah, untuk memahami dan mendalami masalah-masalah di bidang

ilmu ekonomi khususnya yang berkaitan dengan kebijakan fiskal dan pinjaman luar negeri serta defisit anggaran Indonesia.

c. Manfaat praktis, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah serupa.

d. Manfaat kebijakan,diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, khususnya kebijakan fiskal agar dapat menekan pinjaman luar negeri yang berlebih.


(35)

D. Kerangka Pemikiran

Pinjaman luar negeri merupakan konsekuesi biaya yang harus dibayar sebagi akibat pengelolaan perekonomian yang tidak seimbang, ditambah lagi proses pemulihan ekonomi yang tidak komperhensif dan konsisten. Pada masa krisis ekonomi, pinjaman luar negeri Indonesia termasuk pinjaman luar negeri pemerintah telah meningkat drastis. Sehingga, pemerintah Indonesia harus menambah pinjaman luar negeri yang baru untuk membayar pinjaman luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo (Kartika, 2006).

Akumulasi pinjaman luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melalui APBN dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kesejahteraan masyarakat dimasa yang akan datang, sehingga akan membebani wajib pajak di Indonesia. Untuk memaksimalkan pemanfaatan

kelimpahan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia, maka diperlukan modal dan teknologi untuk mengekplorasinya agar kegiatan pembiayaan kegiatan ekonomi dalam negeri tidak hanya tergantung pada pinjaman luar negeri saja. Maka dari itu, pemerintah harus gencar dalam melakukan investasi secara maksimal.

Terdapat beberapa indikator pasar keuangan yang digunakan pasar keuangan yang sering digunakan oleh analisis pasar keuangan atau investor dalam menilai pinjaman luar negeri suatu negara penerbit utang. Indikator-indikator tersebut secara umum memberikan gambaran atas pengelolaan pinjaman luar negeri suatu negara. Dalam hal ini, menunjukkan dengan baik tinggi rendahnya risiko gagal bayar. Beberapa


(36)

indikator yang sering digunakan dalam lingkup Internasional antara lain yield dari obligasi global pemerintah, yield dari obligasi global korporasi, yield komposit, spread atau penyebaran Credit Default Swap (CDS), credit rating, credit worthiness, dan rasio keuangan. Yield dari suatu obligasi menggambarkan risiko gagal bayar dari pemerintah atau negara penerbit utang dalam melakukan pembayaran bunga serta utang pokok pada waktu yang telah ditetapkan.

Hasil penelitian Reinhart, Rogoff, dan Savastano (2003) membuktikan bahwa batas aman rasio pinjaman luar negeri (pemerintah dan swasta) terhadap PDB negara berkembang adalah 15-20 persen. Apabila portofolio pinjaman pemerintah Indonesia keseluruhannya (100 persen) dikonversi menjadi pinjaman luar negeri, maka rasio pinjaman luar negeri pemerintah terhadap PDB Indonesia tahun 2004 sebesar 52,2 persen. Angka ini cukup tinggi, sehingga menyebabkan risiko default Indonesia menjadi cukup besar. Kenyataannya rasio pinjaman luar negeri pemerintah terhadap PDB Indonesia saat ini sebesar 24,58 persen.

Apabila dibandingkan dengan batas aman rasio utang terhadap PDB menurut

Reinhart, Rogoff dan Savastano (2003), angka 24,58 persen ini masih cukup berisiko. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk mengkonversi utang luar negeri ke dalam utang dalam negeri untuk menghindari terjadinya risiko krisis pinjaman luar negeri.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Goldman Sach diperoleh instrumen yang signifikan diantaranya PDB, amortisasi eksternal cadangan luar negeri, rasio hutang luar negeri, tingkat suku bunga internasional dan rasio ekspor terhadap PDB. APBN


(37)

tahun 1996 menunjukkan surplus 1,9 persen dari PDB pinjaman luar negeri

pemerintah sebesar US$ 55,3 milyar atau sekitar 24 persen dari PDB. Pada saat itu, pemerintah belum memiliki pinjaman dalam negeri.Realisasi APBN tahun 1997 Semester I mencatat surplus 1,8 persen dari PDB dan utang pemerintah tidak banyak berubah (Boediono, 2004).

Rasio pinjaman luar negeri pemerintah terhadap PDB sebelum krisis relative kecil. Sebagai perbandingan, rasio utang tersebut sedikit lebih rendah dari rata-rata di Asia dan negara sedang berkembang. Angka pencapaian Indonesia pada waktu itu jauh lebih baik daripada Afrika, Asia tanpa China dan India dan negara-negara pengutang parah (Heavily Indebted Poor Countries).


(38)

Gambar 3. Pos APBN Pemerintah Indonesia Sumber : Nota Keuangan 2014

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

A. Penerimaan Negara dan Hibah

B. Belanja Negara C. Keseimbangan Primer

D. Surplus / Defisit Anggaran (A-B)

E. Pembiayaan I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam

Negeri

b. Pajak Perdagangan Internasional 2. Penerimaan Negara

Bukan Pajak II. Hibah

I. Belanja Pemerintah Pusat II. Transfer Ke Daerah

1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus

dan Penyesuaian III. Suspen

I. Pembiayaan Dalam Negeri

II. Pembiayaan Luar Negeri (netto)


(39)

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Pengaruh Inflasi, PDB, Keseimbangan Fiskal dan Neraca Berjalan terhadap Pinjaman Luar Negeri Indonesia

E. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu pernyataan mengenai konsep-konsep yang dapat dinilai benar atau salah untuk di uji secara empiris (Cooper dan Emory, 1996). Jadi, dapat diartikan bahwa hipotesis merupakan rumusan mengani hubungan antar variabel independen dengan variabel dependen yang masih belum teruji kebenarannya dan bersifat sementara.

Berdasarkan pada landasan teori, penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran teoritis maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H1 (+)

INFLASI

H2 (+)

PDB

PINJAMAN LUAR NEGERI INDONESIA H3 (-)

KESEIMBANGAN FISKAL

H4 (-)


(40)

1. Diduga tingkat inflasi signifikan dan berpengaruh positif terhadap pinjaman luar negeri Indonesia.

2. Diduga PDB signifikan dan berpengaruh positif terhadap pinjaman luar negeri Indonesia.

3. Diduga keseimbangan fiskal signifikan dan berpengaruh negatif terhadap pinjaman luar negeri Indonesia.

4. Diduga neraca berjalan signifikan dan berpengaruh negatif terhadap pinjaman luar negeri Indonesia.

F. Sistematika Penulisan

Sebagaimana gambaran umum dalam penyusunan skripsi ini sesuai dengan judul, penulis menyusun ringkasan setiap isi, dan bab per bab yang dibagi dalam lima bab yang diawali dari :

1. BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,kerangka pemikiran,dan hipotesis dari masalah yang muncul dan sistematika penulisan.

2. BAB II : Tinjauan Pustaka


(41)

3. BAB III : Metode Penelitian

Dalam bab ini berisi deskripsi tentang bagaimana penelitian akan dilaksanakan secara operasional, yang kemudian diuraiakan menjadi variabel penelitian dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis.

4. BAB IV : Hasil dan Analisis

Dalam bab ini diuraikan mengenai deskripsi objek penelitian, analisis data, dan interpretasi hasil dan argumentasi terhadap hasil penelitian.

5. BAB V : Penutup

Pada bagian ini merupakan bab terakhir yang berisi simpulan dari pembahasan yang diuraikan diatas, keterbatasan penelitian, dan saran yang disampaikan kepada pihak yang berkepentingan terhadap penelitian ini.


(42)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Dalam rangka menerapkan kebijakan fiskal, pemerintah menyusun anggaran yang merangkum penerimaan dan pengeluaranya. Di Indonesia, anggaran tersebut adalah anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN). Penjelsan secara lengkap terdapat dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selain itu, peraturan

mengenai APBN diatur oleh perundang-undangan lainnya.

Menurut UU No. 17 Tahun 2003, anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945, anggaran

pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang–undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945, rancangan undang–undang angaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.


(43)

Struktur APBN terdiri dari pendapatan Negara dan hibah, belanja Negara,

keseimbangan primer, surplus deficit dan pembiayaan. Sejak tahun anggaran 2000, Indonesia telah mengubah komposisi APBN dari T-account menjadi I-account sesuai dengan standar statistic keuangan pemerintah (Government Finance Statistics).

a. Pendapatan Negara dan Hibah

Penerimaan APBN yang diperoleh dari berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari sumber alam, setoran laba BUMN,dan penerimaan bukan pajak lainnya, walaupun

memberikan konmtribusi yang lebih kecil terhadap total penerimaan anggaran, jumlahnya semakin meninkat secara signifikan setiap tahunnya.

b. Belanja Negara

Belanja Negara terdiri atas anggaran pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana penyimbang. Sebelum adanya UU No. 17 tahun 2003, anggaran belanja pemerintah pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No. 17 tahun 2003 memperkenalkan format unified budget


(44)

pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil dan dana alokasi umum serta dana alokasi khusus.

c. Defisit dan Surplus

Defisit atau surplus merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran.

Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut deficit, sebaliknya penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus.

d. Pembiayaan

Pembiayaan diperlukan untuk menutup deficit anggaran. Beberapa sumber

pembiayaan yang penting saat ini adalah : pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar negeri (netto) yang merupakan selisih antara penarikan pinjaman luar negeri (bruto) dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.

B. Defisit Anggaran

Menurut Rahardja dan Manurung (2004) defisit anggaran adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (G > T). Anggaran yang defisit ini biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi.

Definisi dari defisit anggaran menurut Samuelson dan Nordhaus (2001) adalah suatu anggaran dimana terjadi pengeluaran lebih besar dari pajak. Sedangkan menurut


(45)

Dornbusch, Fischer dan Startz defisit anggaran adalah selisih antara jumlah uang yang dibelanjakan pemerintah dan penerimaan dari pajak.

Kombinasi dari besaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah terangkum dalam suatu anggaran pemerintah. Telah diuraikan sebelumnya bahwa untuk menghadapi kondisi perekonomian tertentu, salah satu yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal tersebut dapat dilihat dalam anggaran pemerintah, dan defisit anggaran adalah salah satu kebijakan fiscal pemerintah yaitu kebijakan fiscal ekspansif.

Algifari (2009) melakukan penelitian terhadap perekonomian Indonesia berdasarkan data deficit anggaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi tahun 1990-2007 dengan partial adjusment model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa defisit anggaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode

berikutnya. Pada saat perekonomian mengalami krisis, defisit anggaran pemerintah merupakan kebijakan yang dipilih oleh banyak negara untuk menggairahkan perekonomian.

Menurut Abimanyu (2005), defisit anggaran pemerintah merupakan stimulus fiskal yang bersifat ekspansif. Perekonomian yang berada pada kondisi lemah yang

ditunjukkan oleh menurunnya kebijakan fiskal memerlukan kebijakan fiscal ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.


(46)

Ada beberapa cara pembiayaan deficit anggaran yang mungkin dilakukan pemerintah, antara lain (Salvatore dalam Tesamaris dan Nurhayati, 2005) :

1. Pencetakan Uang Baru

Pemerintah dapat membiayai deficit anggaran dengan mencetak uang baru. Dengan demikian sumber-sumber riil yang disebut seigniorage. Seigniorage termasuk dalam komponen pemerintah karena hak eksklusif pemerintah untuk mencetak uang. Seigniorage didefinisikan sebagai perubahan uang nominal yang dipegang oleh masyarakat yang dinyatakan dalam tingkat harga atau sama dengan presentase pertumbuhan uang nominal dikalikan stok uang riil.

2. Pinjaman Dalam Negeri

Penggunaan pinjaman dalam negeri untuk membiayai deficit anggaran tidak akan menimbulkan efek moneter apabila pembiayaan tersebut tidak dibiayai oleh rediskon bank sentral. Hal ini disebabkan karena secara umum pinjaman pemerintah akan menurunkan kredit yang seharusnya tersedia untuk sector swasta. Akibatnya akan menimbulkan tekanan bagi tingkat bunga dalam negeri.

3. Menggunakan Cadangan Devisa

Penggunaan cadangan devisa untuk membiayai deficit anggaran akan menyebabkan penawaran mata uang asing meningkat sehingga mata uang dalam negeri mengalami apresiasi.


(47)

4. Pinjaman Luar Negeri

Dilihat dari fungsinya, pinjaman luar negeri atau dalam negeri tidak berbeda asalkan dapat dialokasikan secara efesien dan produktif sehingga mampu memberikan kesejahteraan masyarakat. Hal ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah

berkaitan dengan pengembalian atau amortisasinya. Pinjaman yang berasal dari luar negeri, pembayaran pinjaman dan bunga akan dinikmati oleh pihak debitur luar negeri. Akibatnya terjadilah transfer pendapatan negative ke luar negeri.

Untuk menyesuaikan anggaran dengan kondisi perekonomian yang sedang berlangsung, pemerintah Indonesia melakukan beberapa kali perubahan system anggaran. Sejak orde lama hingga sekarang, Indonesia telah mengalami empat kali perubahan system anggaran. Berikut perubahan system anggaran Indonesia dari masa ke masa :

 Orde lama (1952-1960) system anggaran deficit  Orde baru (1960-1997) system anggaran berimbang

 Reformasi (1997-2000) system anggaran berimbang dinamis  2001 – sekarang system anggaran surplus/deficit

C. Pinjaman Luar Negeri

1. Definisi Pinjaman Luar Negeri

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pinjaman berarti pinjaman yang dipinjam dari pihak lain dengan kewajiban membayar kembali. Sedangkan pinjaman luar


(48)

negeri merupakan sejumlah dana yang diperoleh dari Negara lain (bilateral) atau multilateral yang tercermin dalam neraca pembayaran untuk kegiatan investasi, menutup saving investment gap dan foreign exchange gap yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta.

Selain itu menurut SKB No. 185/KMK.03/1995 dan No KEP.031/KET/5/1995 antara menteri keuangan dan kepala Bappenas pinjaman luar negeri merupakan penerimaan Negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau jasa yang diperoleh dari pemberian pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Pengertian pinjaman atau pinjaman luar negeri berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan atau penerimaan hibah serta penerusan pinjaman dan atau hibah luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Pinjaman luar negeri bank sentral adalah pinjaman yang dimiliki oleh Bank Indonesia yang diperuntukkan dalam rangka mendukung neraca pembayaran dan cadangan devisa. Selain itu juga, terdapat pinjaman kepada pihak bukan penduduk yang telah menempatkan dana pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan pinjaman dalam bentuk kas dan simpanan serta kewajiban lainnya kepada bukan penduduk.


(49)

Pinjaman luar negeri swasta adalah pinjaman luar negeri penduduk kepada bukan penduduk dalam valuta asing dan atau rupiah berdasarkan perjanjian pinjaman atau perjanjian lainnya, kas dan simpanan milik bukan penduduk, dan kewajiban lainnya kepada bukan penduduk. Pinjaman luar negeri swasta meliputi pinjaman bank dan bukan bank. Pinjaman luar negeri bukan bank terdiri dari pinjaman luar negeri lembaga keuangan bukan bank dan perusahaan bukan lembaga keuangan termasuk perorangan kepada pihak bukan penduduk. Termasuk dalam komponen pinjaman luar negeri swasta adalah pinjaman luar negeri yang berasal dari penerbitan surat berharga di dalam negeri yang dimiliki oleh bukan penduduk.

UU No. 22 tahun 1999 pasal 81 ayat 3 menyebutkan bahwa pinjaman daerah dari luar negeri harus mendapatkan persetujuan pemerintah pusat. Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada realisasi pinjaman luar negeri oleh pemerintah daerah.

Tabel 3. Instrumen Pinjaman Luar Negeri (External Debt Instrument) 1 Pemerintah

Surat berharga Negara

a. Surat Utang Negara yang dimiliki bukan penduduk b. Surat Berharga Syariah yang dimiliki bukan penduduk 2 Bank Sentral

 Surat Utang a. Obligasi

b. Surat – surat berharga lainnya

c. Surat berharga domestic yang dimiliki bukan penduduk

 Perjanjian Pinjaman

 Kas dan Simpanan

 Kewajiban lainnya 3 Swasta


(50)

a. Surat Utang

 Obligasi

 Surat – surat berharga lainnya

 Surat berharga domestic yang dimiliki bukan penduduk b. Perjanjian Pinjaman

c. Kas dan Simpanan d. Kewajiban lainnya 2. Bukan Bank

a. Surat Utang

 Obligasi

 Surat – surat berharga lainnya

 Surat berharga domestic yang dimiliki bukan penduduk b. Perjanjian Pinjaman

c. Utang Dagang d. Kewajiban lainnya Sumber : Bank Indonesia

Konsep dan terminologi pinjaman luar negeri mengacu pada IMF External Debt Statistics: Guide for Compilers and Users (2003), beberapa ketentuan pemerintah Republik Indonesia antara lain :

a. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat PinjamanNegara

b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara c. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2011 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman

Luar Negeri dan Penerimaan Hibah

d. Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Pinjaman No. PER04/PU/2009 tentang Klasifikasi Pinjaman Luar Negeri Pemerintah dan ketentuan Bank Indonesia.

Pinjaman luar negeri bagi Negara berkembang diperlukan sesuai dengan teori pembangunan dan teori pertumbuhan yaitu untuk melakukan industrialisasi dan mempercepat laju pertumbuhan. Pembahasan tentang pinjaman luar negeri dapat


(51)

dijelaskan dengan kerangka teori bahwa defisit pembiayaan investasi swasta terjadi karena tabungan lebih kecil dari investasi (investasi – saving = resource gap) dan deficit perdagangan disebabkan karena ekspor lebih kecil dari impornya (ekspor – impor = tradegap). Disamping itu, masih ada defisit investasi dalam anggaran pemerintah karena penerimaan pemerintah dari pajak lebih kecil dari pengeluaran pemerintah (Tax – Government = fiscal gap).

Todaro (1998), berpendapat bahwa akumulasi pinjaman luar negeri merupakan suatu gejala umum yang wajar. Rendahnya tabungan dalam negeri tidak memungkinkan dilakukannya investasi secara memadai sehingga pemerintah negara-negara

berkembang harus menarik dana pinjaman dan investasi dari luar negeri. Bantuan luar negeri dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam usaha Negara yang bersangkutan guna mengurangi kendala utamanya yang berupa kekurangan devisa serta untuk mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonominya.


(52)

2. Kelebihan dan Kelemahan Pinjaman Luar Negeri

Tabel 4. Kelebihan dan Kelemahan Pinjaman Luar Negeri

No Kelebihan Kelemahan

1. Pembiayaan pembangunan (pengeluaran

pemerintah) melalui pinjaman luar lebih baik daripada melalui penarikan pajak atau pencetakan uang. Pembiayaan pengeluaran pemeritah yang dibiayai pinjaman luar negeri akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Sedangkan jika pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak, maka pendapatan masyarakat yang siap dibelanjakan akan berkuarang dan konsumsi juga menurun selanjutnya akan memeperkecil permintaan agregat/ masyarakat dan mengekang laju

pertumbuhan pendapatan.

Apabila pinjaman luar negeri harus ditempuh dengan menekan konsumsi dan investasi, maka permintaan

agregat/masyarakat akan menurun selanjutnya akan menghambat dan mengurangi tingkat pendapatan nasional.

2. Negara-negara kreditur sering

mempergunakan hasil pembayaran bunga dan pinjaman itu untuk membeli (impor) barang-barang dan jasa-jasa dari negara debitur, sehingga ekspor negara debitur meningkat.

Pemerintah akan terkena beban langsung dari pinjaman luar negeri. Selama jangka waktu tertentu, beban pinjaman langsung dapat diukur dengan jumlah pembayaran bunga dan cicilan pinjaman terhadap kreditur.

3. Meskipun beban pinjaman langsung itu

tetap besarnya, beban riil langsung akan berbeda-beda sesuai dengan proporsi sumbangan angggota masyarakat terhadap pembayaran pinjaman luar negeri tersebut. Jika pembayaran itu dibebankan terutama kepada golongan kaya, beban riil langsung itu akan lebih ringan daripada kalau pembayaran itu dibebankan pada golongan miskin.

Adanya beban riil langsung yang di derita pemerintah berupa kerugian dalam bentuk kesejahteraan ekonomi (guna/utility) yang hilang karena adanya pembiayaan cicilan pinjamandan bunga.

4. Dengan berakhirnya program IMF

pemerintah Indonesia telah menyusun program stabilisasi makro ekonomi secara komprehensif yang dituangkan dalam white paper sebagai salah satu bentuk penerapan unsur transparansi atas komitmen dan akuntabilitas dalam melaksanakan program pembangunan.

Dari aspek pinjaman luar negeri, keluarnya pemerintah Indonesia dari program IMF membawa konsekuensi berupa tertutupnya peluang pemerintah terhadap akses penjadwalan kembali pinjaman luar negeri bilateral yang jatuh tempo melaui forum Paris Club.


(53)

3. Risiko Pinjaman Luar Negeri

Risiko merupakan kerugian yang mungkin timbul akibat dari suatu kondisi dan dapat menimbulkan kerugian. Risiko sulit untuk dihindari dalam pengelolaan pinjaman. Risiko dapat muncul akibat lebih besarnya biaya aktual yang terjadi dalam

pengelolaan pinjaman dibandingkan dengan biaya yang semula diperkirakan. Risiko disebut juga sebagai tingkat ketidakpastian return yang akan diterima investor atas asetnya. Dalam manajemen debt portfolio, risiko sebenarnya adalah peluang

terjadinya kerugian yang dapat ditoleransi oleh pembuat kebijakan untuk

memformulasikan portfolio yang optimal yaitu portofolio yang memberikan risiko paling kecil pada tingkat return yang diharapkan atau yang memberikan return paling tinggi pada tingkat risiko tertentu.

Dalam pelaksanaan strategi pinjaman luar negeri tersebut, pemerintah menemukan berbagai permasalahan pinjaman terutama karena adanya beberapa risiko seperti dibawah ini :

a. Fiscal Sustainability Risk

Merupakan risiko terhadap kesinambungan fiskal. Dalam hal ini dikhawatirkan pinjaman Indonesia yang besar dapat memberatkan beban APBN sehingga memperburuk kondisi perekonomian.

b. Refinancing Risk

Merupakan risiko terkait proses refinancing pinjaman. Risiko yang paling dominan dalam hal ini adalah risiko karena terjadinya pergerakan nilai tukar. Di


(54)

Indonesia yang umum terjadi adalah sepanjang APBN masih defisit maka pinjaman yang jatuh tempo harus dibiayai dengan penerbitan pinjaman baru. Disamping itu, masalah lain adalah Indonesia belum belum mampunyai pasar domestic yang dapat menyerap surat pinjaman pemerintah dalam jumlah yang sangat besar karena pasar domestic sendiri belum likuid dan masih rentan terhadap perubahan tingkat suku bunga.

c. Market Risk

Market risk yang besarnya tergantung dari komposisi pinjaman. Dengan komposisi besarnya pinjaman dalam mata uang asing yang cukup besar (48%), Indonesia dianggap sangat riskan terhadap apresiasi mata uang asing. Disamping itu, berdasarkan komposisi pinjaman diketahui bahwa 68% dari pinjaman

pemerintah adalah dalam bentuk fixed rate dan 32% dalam bentuk variabel rate.

d. Operational Risk

Merupakan risiko yang terjadi disebabkan masalah operasional sehingga dapat menurunkan kepercayaan investor dan pada gilirannya akan meningkatkan cost of borrowing.

Pinjaman sangat rentan terhadap berbagai risiko yaitu tambahan beban atau biaya pinjaman atau pinjaman dalam APBN secara signifikan baik berupa risiko

pembiayaan kembali akibat struktur jatuh tempo yang tidak seimbang maupun risiko pasar akibat perubahan suku bunga dan nilai tukar. Risiko- risiko tersebut secara terus-menerus harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar krisis fiscal dapat dihindari,


(55)

dengan menerapkan praktik-praktik pengelolaan pinjaman negara terbaik sesuai standar yang berlaku secara internasional.

IMF dan Bank Dunia secara sederhana mendefinisikan kesinambungan pinjaman luar negeri suatu negara sebagai kemampuannya dalam memenuhi kewajiban berjalan dan yang akan datang secara penuh tanpa perlu adanya penjadwalan kembali atau

tunggakan. Sementara itu, Uni Eropa memiliki fiscal-financial programme sebagai panduan stabilitas fiskal financial negara-negara anggotanya. Kesinambungan fiscal-financial programme suatu negara didefinisikan sebagai ketiadaan risiko gagal bayar, yaitu tingkat pinjaman harus lebih kecil dibandingkan nilai sekarang semua surplus anggaran primer di masa yang akan datang.

Pengelolaan pinjaman pemerintah merupakan strategi dan taktik yang diterapkan untuk mengelola portofolio pinjaman pemerintah berdasarkan risiko dan biaya yang timbul secara efektif dan efisien dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dan untuk mencapai tujuan pengelolaan pinjaman pemerintah. Dilihat dari persperktif tujuan pengelolaan, berbagai teori mengenai pengelolaan pinjaman

pemerintah secara optimal telah menekankan bermacam-macam tujuan. Menurut Wolswijk dan de Haan (2005), tujuan pengelolaan pinjaman pemerintah mencakup stabilitas makroekonomi, pengembangan pasar keuangan domestik, mendukung kebijakan moneter, dan meminimasi biaya dan risiko yang timbul.

Cakupan tujuan kestabilan makroekonomi tersebut membedakan pengelolaan pinjaman pemerintah dengan pengelolaan pinjaman swasta dimana pertimbangan


(56)

akan biaya yang menjadi faktor dominan. Bahkan Tobin (1963), menyebutkan bahwa pengelolaan pinjaman pemerintah utamanya digunakan sebagai sarana menuju

stabilitas makroekonomi dengan minimasi biaya bunga serta risiko yang melekat. Dengan demikian, menurut Tobin demi kemajuan ekonomi penerbitan surat

pinjaman yang baru seharusnya dikonsentrasikan kepada jangka waktu yang panjang.

Sementara itu dalam pedoman pengelolaan pinjaman yang disusun oleh World Bank dan IMF (2003), dinyatakan bahwa tujuan utama dari pengelolaan pinjaman adalah memastikan bahwa kebutuhan pembiayaan pemerintah dan kewajiban

pembayarannya dapat dipenuhi dengan biaya yang seminimal mungkin dalam jangka menengah sampai jangka panjang pada tingkat risiko yang aman. Tujuan tersebut jelas sangat penting untuk mengurangi ketidakpastian yang akan dialami pemerintah terkait dengan adanya trade off antara biaya yang dikeluarkan dan risiko yang dapat ditolerir.

Harinowo (2004), mengajukan tiga rekomendasi dalam pengelolaan pinjaman kontemporer Indonesia. Salah satunya adalah jika dilihat asalnya pinjaman

pemerintah berkembang dari hanya pinjaman luar negeri menjadi campuran antara pinjaman luar negeri dan domestik. Oleh karena itu, pengelolaannya harus mempertimbangkan berbagai variabel makro dan internasional seperti tingkat bunga, nilai tukar dan inflasi.

Berdasarkan kajian Direktorat Internasional BI 2009, pengelolaan pinjaman yang dilakukan secara tidak tepat berisiko meningkatkan biaya atas perekonomian. Para


(57)

investor cenderung akan membebankan biaya tambahan atas ketidakpastian dalam kerangka kerja kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi dalam bentuk risk

premium. Dengan demikian, pengelolaan pinjaman pemerintah secara tepat akan dapat menurunkan risk premium pinjaman luar negeri pemerintah. Risiko peningkatan risk premium tercermin dari sentiment negatif dari investor.

Sentimen tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan instabilitas pasar keuangan domestik dan meningkatkan kerentanan terhadap gangguan sector keuangan. Walaupun dalam kondisi yang buruk, gangguan tersebut dapat memaksa pemerintah untuk memotong pengeluaran atas alokasi kebijakan pembangunan dan melakukan kebijakan peningkatan pajak. Pengelolaan pinjaman tak hanya mencakup pinjaman dan alokasi.

Dalam pemanfaatan sumber pembiayaan negara, perlu diperhatikan aspek-aspek manajemen risiko. Hal ini berkaitan dengan perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh setiap negara debitur. Perbedaan karakteristik antara lain tingkat stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, tata kelola (corporate governance) menyangkut akuntabilitas dan transparansi, dan risiko konflik internal yang berbeda.

Secara garis besar, pengelolaan pinjaman yang buruk dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu buruknya analisa biaya dan buruknya analisa risiko. Dengan demikian, yang perlu dilakukan dalam pengelolaan pinjaman pada dasarnya adalah bagaimana melakukan analisa risiko dan tentunya juga analisa biaya dengan baik. Dalam rangka mencapai tujuan minimalisasi biaya tersebut, pengelola pinjaman perlu melakukan


(58)

inovasi, terutama dalam hal penggunaan instrumen dan teknik penjualan.

Sedangkan untuk mencapai tingkat risiko yang aman, manajemen risiko yang bersifat prudensial juga dirasakan penting sekali bagi pengelola pinjaman (debt manager) mengingat portofolio pinjaman pemerintah umumnya merupakan portofolio keuangan terbesar disuatu negara dengan struktur keuangan dan risiko yang kompleks dan berisiko yang dapat menimbulkan risiko substansial terhadap balance sheet milik pemerintah dan stabilitas keuangan Negara (Storkey, 2001).

Disamping itu, menurut IMF danWorld Bank 2003, portofolio pinjaman pemerintah juga rentan terhadap kemungkinan gagal bayar dan besarnya kerugian yang mungkin akan ditanggung pemerintah. Pengalaman selama beberapa tahun terakhir

menunjukkan bahwa terjadinya krisis pasar pinjaman telah menggambarkan betapa pentingnya praktek manajemen risiko yang sehat serta perlunya pasar modal domestik yang efisien dan berkembang dengan baik karena hal ini dapat mengurangi

kerentanan kondisi ekonomi terhadap tekanan dan gangguan keuangan.

Dengan demikian, pengelolaan pinjaman memerlukan kerangka manajemen risiko untuk memudahkan dalam mengidentifikasi dan mengatur trade-off antara biaya serendah mungkin yang diinginkan pada tingkat risiko yang aman dalam portofolio pinjaman pemerintah. Dalam konteks makroekonomi untuk kebijakan publik, pemerintah harus memastikan bahwa level dan tingkat pertumbuhan pinjaman pemerintah berada dalam kondisi yang berkesinambungan. Selain itu, strategi pengelolaan pinjaman yang tepat perlu dilakukan untuk mengatasi risiko yang


(59)

mungkin timbul dari tingginya level pinjaman.

Menurut kajian direktorat internasional Bank Indonesia pada tahun 2009, beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai alat ukur kinerja pinjaman luar negeri antara lain indikator yang bias menunjukkan tingkat solvabilitas, indikator kekuatan devisa, dan indikator likuiditas. Indikator-indikator tersebut ditunjukkan dengan rasio antara persentase Produk Domestik Bruto (PDB) yang disisihkan untuk membayar pinjaman (rasio pinjaman terhadap PDB), rasio devisa yang harus disisihkan dari ekspor untuk pelunasan pinjaman (rasio pinjaman terhadap ekspor) serta rasio pembayaran

pinjaman terhadap ekspor (Debt Service Ratio atau DSR). Selain itu, terdapat rasio sustainabilitas pinjaman lainnya seperti rasio pinjaman sektor publik, rasio pinjaman publik terhadap PDB dan rasio pinjaman publik terhadap pajak.

4. Pembayaran Pinjaman

Idealnya, pinjaman pemerintah segera diselesaikan sesuai persyaratan sebagaimana layaknya sebuah kewajiban. Rose (2002), menyebutkan tiga alasan mengapa suatu negara sebaiknya membayar pinjamannya terutama pinjaman luar negeri yaitu adanya risiko penyitaan asset menghindari reputasi yang buruk dan mencegah penurunan keuntungan dalam perdagangan internasional. Negara yang menderita defisit dalam neraca pembayarannya akan mengalami posisi yang kurang menguntungkan dalam perdagangan internasional.


(60)

Beberapa faktor yang seharusnya jadi bahan pertimbangan dalam membuat keputusan pinjaman antara lain:

a. Proyek yang didanai dengan pinjaman harus sejalan dengan strategi dan prioritas nasional serta berhubungan dengan rencana investasi publik.

a. Efisiensi sumber dana yang digunakan berhubungan dengan keuntungan yang didapat dari perbedaan inflow dan biaya pinjaman. Berarti tingkat return dari program investasi diharapkan lebih banyak daripada bunga yang harus dibayarkan.

b. Pertumbuhan output dan ekspor secara riil diharapkan lebih besar dibandingkan biaya pinjaman.

Jika dilihat dari sudut pandang peminjam, pinjaman eksternal dibedakan berdasarkan jangka waktunya yaitu pinjaman jangka panjang, jangka menengah atau jangka pendek. Pinjaman eksternal sektor publik dan publicly guaranteed dapat dibedakan menjadi berbagai kategori sebagai berikut :

a. Pinjaman langsung pemerintah pusat, yaitu pinjaman yang dibuat oleh

pemerintahpusat atau pemerintah lokal yang penyediaan dananya didapat dari anggaran pemerintah pusat.

b. Pinjaman pemerintah pusat yang dijamin yaitu pinjaman yang dibuat oleh perusahaan publik atau swasta dan dijamin oleh pemerintah pusat. Pemerintah lokal dan perusahaan publik membayar pinjaman obligasi namun obligasi ini mungkin adalah contingent liability yang berasal dari anggaran pemerintah pusat dan merupakan kasus pinjaman yang gagal.


(61)

c. Pinjaman langsung dari perusahaan publik yang tidak dijamin yaitu pinjaman dibuat secara langsung oleh perusahaan publik dibayar oleh perusahaan publik dan tidak dijamin oleh pemerintah pusat. Hal tersebut meliputi pinjaman langsung oleh pemerintah lokal dan tidak dijamin oleh pemerintah pusat. Walaupun

nantinya apabila pinjaman tersebut gagal maka akan diurus oleh pemerintah pusat.

Hubungan antara pinjaman luar negeri dengan posisi tawar dalam perdagangan internasional sangat jelas. Hal ini menjadi serius ketika mitra dagang adalah negara kreditur itu sendiri. Negara kreditur dapat menjatuhkan sanksi berupa embargo atau pengalihan impornya dari negara debitur. Selain itu, kreditur juga dapat menolak perluasan kredit perdagangan kepada debitur. Rose (2002), menunjukkan bahwa renegosiasi pinjaman merupakan solusi tepat menghindari penurunan volume perdagangan dengan negara kreditur jika keadaan ilikuid terjadi.

Eaton dan Fernandez (1995), mengidentifikasi faktor biaya reputasi sebagai penyebab utama mengapa pemerintah merasa harus memenuhi semua kewajibannya. Keduanya menyoroti biaya repudiasi yang ditanggung oleh rakyat, potensi melakukan pinjaman berlebih dan restrukturisasi sebagai jalan keluar. Berat atau tidaknya beban pinjaman tergantung pada ukuran pinjaman. Jika pemerintah tidak mampu memenuhi

kewajibannya, maka harus dilakukan negosiasi ulang. Secara normatif, sanksi adalah alternatif final. Prinsipnya adalah tanggung jawab publik suatu rezim. Baik debitur maupun kreditur harus memikirkan bagaimana caranya menanggung beban suatu sanksi pinjaman tanpa merugikan rakyat.


(62)

Kraay dan Nehru (2004), menunjukkan adanya periode kesulitan pinjaman dimana suatu negara terpaksa mengambil exceptional financing melalui beberapa

kemungkinan yaitu:

1. Melakukan tunggakan substansial pada hpinjaman luar negerinya 2. Menerima pengampunan hpinjaman dari Paris Club

3. Menerima non-consessional BOP support dari IMF dengan non-concessional Standby Arrangements atau Extended Fund Facilities (SBA/EFF). Sementara non-distress episode adalah periode dimana tidak ada dari 3 indikator di atas yang terjadi.

Menurut Kraay dan Nehru (2004), tiga faktor yang menjadi penyebab kesulitan pinjaman adalah beban pinjaman kualitas institusi dan kebijakan serta shocks yang mempengaruhi pertumbuhan PDB riil. Untuk negara dengan pertumbuhan rendah dan kebijakan yang lemah tingkat pinjaman 200 persen dari ekspor konsisten dengan debt distress 25 persen. Sementara negara dengan pertumbuhan tinggi bisa mentolerir 300 persen rasio pinjaman terhadap ekspor dengan probabilitas distress yang sama.

Risiko debt distress seharusnya diperhitungkan ketika menentukan terms dan

modalitas transfer sumber daya pada negara berpendapatan rendah. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa sumber daya tersedia untuk menjaga probabilitas debt distress yang dapat dikelola. Pada saat yang sama juga memastikan bahwa bantuan ditujukan kepada negara dengan kebijakan dan institusi yang baik. Di negara-negara berkembang, kemauan membayar pinjaman (willingness to repay)akan terjadi jika


(63)

nilai yang diharapkan (expected value)dari meminjam kepada kreditur lebih besar daripada jika debitur mengambil alternatif pendanaan yang lain (Belloc dan Vertova, 2001).

5. Overlapping Generations Model

Analisis dari sebuah overlapping generation model menunjukkan bagaimana beban dari sebuah pinjaman dapat ditransfer lintas generasi (Rossen, 2002). Dalam model Lerner, suatu generasi terdiri dari setiap orang yang hidup pada suatu waktu serta diasumsikan bahwa populasi terdiri dari suatu jumlah yang sama dari anak muda, usia pertengahan, dan orang tua. Lerner beranggapan bahwa ketika pemerintah meminjam dari warga negaranya sendiri, maka kewajiban yang ada adalah sebuah pinjaman internal.

Menurut Lerner (1948), adanya pinjaman internal tidak menciptakan beban bagi generasi di masa depan. Para anggota generasi masa depan meminjamnya ke orang lain. Ketika pinjaman dibayar, ada sebuah transfer pendapatan dari satu kelompok warga negara. Bagaimanapun juga generasi masa depan secara keseluruhan tidak lebih buruk dalam hal di mana tingkat konsumsinya adalah sama seperti yang telah ada. Seperti yang dikatakan oleh penulis abad ke-18 Melon „tangan kanan

meminjamkan ke tangan kiri‟ (Musgrave 1985 dalam Rossen, 2002).

Hal ini cukup berbeda ketika sebuah negara meminjam dari luar negeri untuk mendanai pengeluaran saat ini. Ini disebut sebagai pinjaman eksternal. Dengan beranggapan bahwa uang yang dipinjam dari luar negeri digunakan untuk mendanai


(64)

konsumsi saat ini, maka generasi masa depan tentu menanggung sebuah beban, karena tingkat konsumsinya dikurangi oleh satu jumlah yang sama dengan pinjaman ditambah dengan bunga yang ditambahkan yang harus dikirimkan ke penyedia dana dari luar negri.

Jika di sisi lain, pinjaman digunakan untuk mendanai akumulasi modal hasilnya tergantung pada pro-duktivitas proyek. Jika pendapatan marginal dari investasi adalah lebih besar biaya marginaldana yang diperoleh dari luar kombinasi pinjaman dan pengeluaran modal benar-benar membuat generasi masa depan menjadi lebih baik. Namun, ketika pendapatan proyek lebih kecil daripada biaya marginal generasi masa depan adalah lebih buruk (Rossen, 2002).

6. Model Neoklasik

Rossen (2002), mengemukakan bahwa model-model antar generasi yang dibahas sejauh ini tidak mengindikasikan adanya fakta bahwa keputusan-keputusan ekonomi dapat dipengaruhi oleh kebijakan pinjaman pemerintah dan perubahan-perubahan dalam keputusan-keputusan ini memiliki akibat-akibat bagi mereka yang

menanggung beban pinjaman. Namun, ada anggapan bahwa pajak-pajak yang dibebankan untuk membayar pinjaman tidak mempengaruhi perilaku kerja ataupun tabungan. Model neoklasik tentang pinjaman menekankan bahwa ketika pemerintah memulai sebuah proyek baik didanai oleh pajak-pajak atau pinjaman sumber

dayadipindahkan dari sektor swasta. Seseorang biasanya menganggap bahwa ketika pendanaan pajak digunakan, sebagian besar sumber-sumber yang berpindah masuk


(65)

pada pengeluaran konsumsi. Di sisi lain, ketika pemerintah meminjam maka akanbersaing untuk dana-dana tersebut dengan individu-individu dan perusahaan-perusahaan yang menginginkan uang bagi proyek-proyek investasi pribadi mereka. Oleh karena itu, pada umumnya ada anggapan bahwa pinjaman memiliki efek paling besar pada investasi pribadi. Dalam kaitan di mana asumsi-asumsi ini adalah benar pendanaan pinjaman meninggalkan generasi masa depan dengan sebuah stok modal yang lebih kecil, ceteris paribus (Rossen, 2002).

Dengan demikian, para anggota dari generasi ini kurang produktif dan cenderung memiliki pendapatan-pendapatan riil yang lebih kecil daripada yang telah ada

sekarang ini. Maka pinjaman memberikan sebuah beban bagi generasi-generasi masa depan melalui dampaknya pada pembentukan modal. Adanya asumsi bahwa

pinjaman pemerintah mengurangi investasi pribadi memainkan sebuah peran penting dalam analisis neoklasik. Ketika pemerintah meningkatkan permintaannya untuk kredit, tingkat suku bunga yang merupakan harga dari kredi meningkat. Tetapi jika tingkat suku bunga meningkat, investasi pribadi menjadi lebih mahal dan efek selanjutnya akan menyebabkan turunnya tingkat investasi tersebut.

7. Model Ricardian

Barro (1974), mengemukakan bahwa ketika pemerintah meminjam, para anggota dari

generasi „tua‟ menyadari, bahwa keturunannya akan semakin buruk. Anggapan lebih

lanjut bahwa generasi tua akan peduli terhadap kesejahteraan dari keturunan-keturunannya dan oleh karena itu tidak ingin tingkat konsumsi keturunan-keturunannya akan


(66)

berkurang di masa datang. Hipotesis provokatif Barro tentang ketidakrelevanan kebijakan fiskal pemerintah telah menjadi subyek dari banyak perdebatan. Beberapa menolak pemikiran yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang luar biasa ini.

Informasi tentang implikasi-implikasi dari defisit anggaran saat ini terhadap akan adanya beban-beban pajak di masa depan tidaklah mudah diperoleh. Oleh karena dalam kenyataannya, bahkan tidaklah mudah dan jelas berapa besar pinjaman yang sebenarnya. Kritikan lain yang cukup mendasar adalah bahwa orang tidak

berpandangan jauh dan akan melakukan antisipasi seperti yang diperkirakan dalam model ini.

Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa ujian terakhir dari teori ini bukanlah logika dari asumsi-asumsinya tetapi apakah ini mengarahkan pada prediksi-prediksi yang dipastikan oleh data atau tidak. Menurut pandangan kaum yang cenderung skeptis bahwa pada awal tahun 1980-an, ada banyak peningkatan dalam defisit anggaran negara. Jika model Ricardian adalah benar, maka dapat diharapkan tabungan pribadi atau swasta meningkat secara sepadan. Pada waktu yang bersamaan pula, defisit anggaran federal meningkat bagaimanapun juga tabungan / penghematan swasta / pribadi (relatif terhadap produk rata-rata nasional) akan turun pula (Rossen, 2002).

8. Krisis Pinjaman dan Pembayaran Cicilan Pinjaman serta bunga

Berdasarkan teori three gap model, hubungan antara besarnya pembayaran data runtun waktu (time series) periode cicilan serta bunga pinjaman adalah positif.


(67)

Semakin tinggi jumlah pinjaman luar negeri maka jumlah cicilan dan bunga yang harus dibayar juga akan meningkat (Supriyanto, 1999).

Krisis pembayaran pinjaman luar negeri suatu negara terjadi jika memenuhi tiga persyaratan berikut ini (Eaton dan Taylor, 1986):

1. Tidak sanggup membayar (insolvent) atau tidak mampu membayar pinjaman dalam jangka panjang.

2. Tidak likuid (illiquid), yakni mereka tidak mempunyai cukup uang untuk membayar kewajiban saat jatuh tempo.

3. Tidak punya keinginan untuk membayar.

Pada kondisi pertama dan kedua sangat berhubungan dengan kemampuan suatu negara dalam memenuhi kewajiban-nya, dalam arti suatu negara mempunyai

keinginan untuk membayar tetapi tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut karena menghadapi masalah kekurangan devisa luar negeri sedangkan masalah terakhir lebih disebabkan oleh tidak adanya keinginan untuk membayar (unwillingness to pay)yang bisa saja dikarenakan adanya keuntungan-keuntungan ekonomis yang akan diraih atau karena alasan politis lainnya.

Krisis pinjaman dapat terjadi dalam berbagai bentuk :

1. Negara atau kreditur menerima penundaan pembayaran cicilan namun tetap menerima pembayaran bunga pada jadwal yang telah disepakati.


(1)

Barro, R.1997. Optimal Management of Indexed and Nominal Debt. Jurnal NBER No. 6197.

Bawono, Anton S.E,M.Si. Seputar Utang Luar Negeri. Modul Ekonomi Indonesia. Belton, Willie and Cebula, Richard. 1994. International Capital Flows, Federal

Budget Deficits and Interest Rates 1971-1984. Journal of Sonville University. Boediono. 1995. Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya dalam Heru

Subiyantoro dan Singgih Riphat (Editor). Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Kompas.

Boediono. 2009. Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?. Kumpulan Esai Ekonomi, KPG & Freedom Institute. Jakarta.

Budiana, Nina (World Bank) and Mantchev, Tzvetan (State Saving Bank). Journal : Determinants of Bulgarian Brady Bond Prices An Empirical Assessment. The World Bank. Washington D.C.

Budiyanti, Eka dan Lisnawati. 2010. Analisis Faktor Fundamental Ekonomi yang Mempengaruhi Risiko Pinjaman Luar Negeri Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010 129-152.

Buiter, W. H. 1993. Public Debt in the USA : How Much, How Bad, and Who Pays?. Journal of NBER No. 4362.

Bloomberg 2003 dan 2004. Akses internet ke www.bloomberg.com. Salah Satu Penyedia dan Pengelola Informasi Pasar Uang dan Modal International. USA. Chowdhury, Anup and Chowdhury, Suman Paul. 2001. Impact of Capital Structure

on Firm’s Value: Evidence from Bangladesh, Business and Economic

Horizons 3. Journal of Bussines and Economic Bangladesh University. Data pokok APBN, Kementerian Keuangan Republik Indonesia tahun 2007-2013. Didik j. Rachbini. 2004. Ekonomi Politik : Kebijakan dan Strategi Pembangunan.

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia.

Direktorat Internasional Bank Indonesia. 2009. Indikator Pasar Keuangan Sebagai Alat Ukur Performa Pembiayaan Luar Negeri Indonesia. Kajian Direktorat Internasional Bank Indonesia.

Drs. Umar, Husein, S.E.,M.M.,MBA. 2005. Metodologi Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Penerbit : Rajawali Pers.


(2)

Djamin, Zulkarnain. 1993. Sumber Luar Negeri bagi Pembangunan Indonesia : Sejak IGGI Hingga CGI Serta Permasalahannya. UI-Press. Jakarta.

Djamin, Zulkarnain. 1996. Masalah ULN bagi Negara Berkembang. Ringkasan Lembaga FE UI. Jakarta.

Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga

Eaton, J. dan R. Fernandez. 1995. Sovereign Debt. Journal of NBER, No. 5131. Edwards, Sebastian. 1983. LDC’s Foreign Borrowing and Default Risk : An

Empirical Investigation 1976-1980. Working Paper No. 298. Departement Of Economics. University of California. Los Angeles.

Elbadawi, Ibrahim, Benno Ndulu, and Njuguna Ndung’u. 1997. Debt Overhang and

Economic Growth in Sub-Saharan Africa. External Finance for Low Income, IMF Institute. Washington DC.

Endah, Agustina Wahyuningtias. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Defisit Anggaran terhadap Investasi Indonesia. Jurnal Universitas

Diponegoro. Semarang.

Fairuz. 2010. Analisis Kemampuan Pembayaran Kembali Pinjaman Luar Negeri di Indonesia Periode 1998-2008. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Lampung. Lampung.

Gujarati, Damonar N. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika Jilid 1 Edisi 3. Penerbit : Erlangga. Jakarta.

Hanni, U. 2006. Sustainabilitas Fiskal Indonesia dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhinya. Jurnal Keuangan Publik, 4(2), September: 19-3.

Hariwono, C. 2004. The Making of a Comperhensive Government Finance and Debt Management. Journal of The United Nations Support Facility for the

Indonesian Recovery (UNSFIR).

Hyman, D. N. 2005. Public Finance : A Contemporary Application of Theory to Policy. Journal of Public Finance. United States.

Ika, Syahrir, Subiyanto, Heru, dkk. 2013. Risiko Fiskal Daerah : Menjaga Kesehatan Fiskal dan Kesinambungan Pembangunan. Cetakan kedua. Penerbit : PT Era Adicitra Intermedia. Solo.

IMF and World Bank. 2003. Guidline for Public Debt Management. IMF Publication on Public Debt.


(3)

Jha, S. 2009. Macroeconomic Uncertainties, Oil Subsidies and Fiscal Sustainability in Asia. ADB Research Paper.

Kartika, D.S.S. 2006. Analisis Kausalitas dan Kointegrasi Antara Surat Utang Negara (SUN) Dengan Nilai Tukar Rupiah di Indonesia. Jurnal Universitas Sumatera Utara.

Kementrian Keuangan. 2013. Buku Saku Perkembangan ULN Pemerintah Indonesia. Edisi September. Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad. 1989. Dampak Arus Modal Asing Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Tabungan Domestik. Prisma No. 9 Tahun XVIII. Jakarta. Kuncoro, H. 1999. Dampak Kebijaksanaan Pengeluaran Pemerintah terhadap

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Tesis Universitas Gajah Mada.

Kuncoro, Mudrajad. 2001. Manajemen Keuangan Internasional : Pengatur Ekonomi dan Bisnis Global. Edisi 2. Yogyakarta : BPFE UGM.

Kraay, A. dan V. Nehru. 2004. When is External Debt Sustainable?. World Bank Working Paper, No. 3200.

Lerner, Abba. Functional Finance and the Federal Debt. Journal of Social Research, 1943, 10, 38–58.

Majid, M.Kairin. Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri dan Penanaman Modal Asing terhadap Pertumbuhan Ekonomi tahun 1986-2011. Jurnal Publik dan Fiskal Universitas Gajah Mada.

Mankiw, N. Gregory (alih bahasa oleh Chriswan Sungkono). 2006. Pengantar Ekonomi Makro. Edisi Ketiga. Jakarta : Salemba Empat

Mendoza, Enrique dan P. Marcelo Oviedo. 2004. Public Debt, Fiscal Solvency and Macroeconomic Uncertainty in Latin America: The Cases of Brazil,

Columbia, Costa Rica and Mexico. Journal of NBER, No. 10637.

Min, Hong G. 1998. Determinants of Emerging Market Bond Spread : Do Economic Fundamentals Matter?. The World Bank Working Paper series 1998.

Nizar, M.Afdi. Pengaruh Defisit Anggaran Terhadap Transaksi Berjalan di Indonesia. Pusat Kebijakan Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan RI. Jakarta.


(4)

Nogues, Julio, and Martin Grandes. 2001. Country Risk : Economic Policy, Contagion Effect or Political Noise?. Journal of Applied Economics Vol. 4 No.1 May pp. 125-162.

Pattilo, Catherine. 2002. External Debt and Growth. IMF Working Paper.

Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. Teori Ekonomi Makro : Suatu Pengantar. Jakarta : Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Rahmadi, Arif Lukman. Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap

PDB Studi Kasus tahun 2001-2011. Jurnal Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.

Rahmany, F.A. 2004. Profil Surat Utang Negara dan Kebijakan Pengelolaan (material tidak dipublikasikan). Departemen Keuangan R. I.

Rahmany, F.A. 2004. Ketangguhan Fiskal dan Manajemen Utang Dalam Negeri Pemerintah dalam Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan

Implementasinya. Kompas. Jakarta.

Ramadhani, Muhammad Adib. Pengaruh Defisit Anggaran, Pengeluaran

Pemerintah dan Hutang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi Kasus Negara ASEAN tahun 2003-2012. Jurnal Universitas Brawijaya. Malang.

Rose, A., 2002,. One Reason Countries Pay Their Debts: Renegotiation and International Trade. Journal of NBER, No. 8853.

Rossen, H. S. 2002. Public Finance. Omega Publishing Services. United States. Rowland, Peter, and Torres, Jose.L. 2004. Determinant of Spread and

Creditworthiness for Emerging Market Sovereign Debt : A Panel Data Study. Journal of Borradores de Economia. Banco de la Republica Bogota.

Sachs, J. 1988. Conditionality, Debt Relief, and Developing Country Debt Crisis. Journal of NBER, No. 2644.

Saleh, S. 2002. Pengaruh Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah terhadap Perekonomian Indonesia. Tesis Universitas Gajah Mada.Yogyakarta. Samsubar, Saleh. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pinjaman Luar Negeri. Jurnal


(5)

Setiawan dan Dwi Endah Kusrini. 2010. Ekonometrika. Penerbit : ANDI Yogya. Yogyakarta.

Soelistijaningsih, L. 2002. Model Portofolio dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri sebagai Alternatif mengurangi Gejolak Eksternal: Kasus Indonesia. Tesis Universitas Indonesia.

Storkey, Ian. 2001. Sovereign Debt Management : A Risk Management Focus. Paper The Finance and Treasury Profesional.

Sugema. 2003. Monetary and Banking Outlook: Beyond Stabilization and

Consolidatin. International Center for Applied Finance and Economics (Inter CAFE), Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Supriyanto, S.E dan Sampurna, Agung F, S.E., M.Si. 1999. Utang Luar Negeri Indonesia Argumen Relevansi dan Implikasi Bagi Pembangunan. Penerbit : Djambatan. Jakarta.

Tesamaris, Andiarma dan Siti Fatimah Nurhayati. 2005. Analisis Kausalitas Antara ULN dengan Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1973-2003 : Pendekatan ECM. Jurnal Ekonomi Pembangunan 6(2) Desember :109-128.

Tobin, J. 1963. An Essay on Principles of Debt Management Fiscal and Debt Management Policies. Journal of Englewood Cliffs, pp.143-218.

Todaro, Michael P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid 2. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Ulfa, A. dan R. Zulfadin. 2004. Seberapa Seriuskah Perhatian Indonesia terhadap Isu-isu Kontingensi Fiskal?. Kajian Ekonomi dan Keuangan.

Wilcox, D. 1989. The Sustainability of Government Deficits: Implications of the Present-Value Borrowing Constrain. Journal of Money, Credit and Banking, 3: 291-306.

Wolswijk, G dan de Haan, J. 2005. Government Debt Management in Euro Area : Recent Theoretical Development and Changes in Practice. Occasional Paper Series, No.25.

Zainulbasri, Yuswar dan Subri, Mulyadi. April 2003. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang LuarNegeri. Penerbit : PT Rajagrafindo. Jakarta.


(6)

Zainulbasri, Yuswar. 2000. Utang Luar Negeri, Investasi dan Tabungan Domestik: Sebuah Survey Literatur. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 15, No. 3, 280-293.

www.djpu.kemenkeu.go.id www.bi.go.id

www.bps.go.id www.djp.go.id