Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS PENGARUH UTANG LUAR NEGERI TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

DESMAWATI SIHOMBING 060501048

EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan 2010


(2)

ABSTRACT

Economic conditions in one country can be changed in every time. The economic crisis has changed the economic conditions of Indonesia. Before the 1997 financial crisis, the economy has increased economic growth every year, because we are entering foreign debt in sufficient quantities. But after the financial crisis that occurred Indonesia's foreign debt increased to U.S. $ 25,125 paada in 1998. This condition makes Indonesia fall into the trap of debt and debt interest is very high.

In the short run, foreign debt is helping the Indonesian government in an effort to close the budget deficit and state budget revenues, due to routine financing and development

expenditures are quite large. Thus, the rate of economic growth can be stimulated in accordance with its predetermined yag. But in the long run, it turns out that foreign debt can cause a variety of economic problems in Indonesia.

In times of crisis, Indonesia's foreign debt including government and private debt has increased dramatically in a matter of dollars. Causing the Indonesian government to increase foreign debt just to pay the old foreign debt who was due. Accumulation of foreign debt and the interest will be paid melauli RI State Budget for the government debt by installments in each fiscal year. This causes reduction in the prosperity and welfare of the people in the future, so obviously it will burden the people, taxpayers, especially Indonesia. Estimation results show that economic growth before and after the crisis had R-squared of 0.79485, or 0.79, meaning that the independent variables (external debt) can explain the bound variable (economic growth) of 0.79%, while the other 21% is explained by other variables that is not in the model. T-statistics for foreign debt is bigger than the t-table (4.95> 2.89), meaning that the foreign debt variable has an obvious and significant impact on economic growth at α = 1%. T-statistics for the dummy variable is greater than t-table (5100> 2.89), which means the economic crisis variable (dummy) has a significant influence and economic growth at α = 1%.

Based on the Granger Causality analysis, both variables have a relationship with one another (reciprocal). While anailsis Kointegration based test, which the two variables of foreign debt and economic growth has a stationary relationship to the second distinction I (2), means there is a long-term relationship between foreign debt and economic growth.

Keywords: foreign debt, economic growth, financial crisis, dummy, kointegrasi tests, Granger Causality test.


(3)

ABSTRAK

Kondisi ekonomi dalam satu negara dapat berubah dalam setiap waktu. Krisis ekonomi sudah mengubah kondisi perekonomian Indonesia. Sebelum adanya krisis keuangan 1997 perekonomian memiliki pertumbuhan ekonomi yang meningkat setiap tahunnya, karena kita memasukkan utang luar negeri dalam jumlah yang cukup. Tetapi setelah krisis keuangan itu terjadi utang luar negeri Indonesia meningkat sampai US$ 25125 paada tahun 1998. Kondisi ini membuat Indonesia jatuh ke dalam perangkap utang dan bunga utang yang sangat tinggi.

Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiyaan rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yag telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi dalam jangka panjang, ternyata utang luar negeri tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di Indonesia.

Pada masa krisis, utang luar negeri Indonesia termasuk didalamnya utang pemerintah dan swasta telah meningkat drastis dalam hitungan rupiah. Sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk membayar urtang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melauli APBN RI untuk utang pemerintah dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya wajib pajak Indonesia

Hasil estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah krisis memiliki R-squared sebesar 0.79485 atau 0.79, artinya bahwa variabel independen ( utang lua negeri ) dapat menjelaskan variabel terikat ( pertumbuhan ekonomi) sebesar 0.79%, sedangkan 21% lainnya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat pada model. T-statistik untuk utang luar negeri lebih besar dari pada t-tabelnya ( 4.95>2.89), artinya bahwa variabel utang luar negeri memilki pengaruh nyata dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada α=1%. T-statistik untuk variabel dummy lebih besar daripada t-tabelnya ( 5.100>2.89), yang artinya variabel krisis ekonomi ( dummy ) memiliki pengaruh dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada α=1%.

Berdasarkan pada analisis Granger Causality, kedua variabel memiliki hubungan satu sama lain ( timbal balik). Sedangkan berdasarkan anailsis Kointegration test, kedua variabel yaitu utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan stasioner pada pembedaan kedua I (2), artinya ada hubungan jangka panjang antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi.

Kata kunci : utang luar negeri, pertumbuhan ekonomi, krisis keuangan, dummy, kointegrasi tes, uji kausalitas granger.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karunia dan pertolongan-Nya, yang selalu menyertai penulis dalam melakukan segala aktivitas penulis hingga sampai pada penyelesaian skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan semangat, materil, maupun sumbangan pemikiran. Oleh sebab itu pula pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan yang mendukung penyelesaian skripsi ini terutama kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, Selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, sebagai sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan FE USU.

4. Bapak Kasyful Mahalli, SE, MSi selaku Dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bantuan bimbingan, saran, masukan, kritikan dan petunjuk kepada penulis hingga terselesainya skripsi ini.

5. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis.


(5)

6. Bapak Wallad Altsani, MEc selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis.

7. Raina Linda Sari selaku Dosen wali yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan.

8. Serta seluruh Staff Pengajar dan Staff Administrasi Fakultas Ekonomi USU yang selama ini telah mendidik dan membimbing penulis dengan baik.

9. Kedua Orangtua tercinta penulis Ayahanda Leonard Sihombing ( alm ) dan Ibunda Timoria Siburian, beserta abang-abang penulis Jess Fernando Sihombing dan Jerry Monardi, Dengan penghargaan dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya, terimakasih buat dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik dukungan materil maupun semangat dan doa yang tak ternilai harganya.

13. Buat teman-teman terdekat penulis, Lenika Manurung, Imaniuri Silaban, Selani Sihotang dan Bethesda Simare-mare dan Krisman Gorat beserta seluruh teman-teman dari EP’06 selaku teman yang selaku mendukung penulis dalam keadaan apapun dan sangat berarti bagi penulis dalam pengerjaan skrisi ini. Terimakasih untuk kehadiran kalian sebagai teman-teman terbaik disetiap harinya yang begitu berkesan bagi penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan ataupun kelemahan dan keterbatasan dalam penyusunanya oleh sebab itu penulis menerima segala masukan yang konstruktif dari para pembaca guna penyempurnaan isi maupun teknik penulisan yang benar. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca, terimakasih.

Hormat Saya

( Desmawati Sihombing )


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

BAB II: URAIAN TEORITIS 2.1 Pertumbuhan Ekonomi ... 10

2.1.1 Pengertian dan Fungsi Uang ... 9

2.2 Krisis Moneter ... 15

2.2.1 Krisis Moneter dan Faktor-faktor Penyebabnya ... 17

2.3 Utang Luar Negeri ( foreign Debt) ... 24

2.3.1 Latar Belakang Timbulnya Utang Luar Negeri ... 28

2.3.2 Teori Utang Luar Negeri ... 31

2.3.3 Beban Cician dan Bunga Utang terhadap Perekonomian ... 35

2.4 Kerangka Konseptual dan Hipotesis ... 39

2.4.1 Hipotesis Penelitian ... 40

BAB III: METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian... 41

3.2 Jenis dan Sumber Data... 41

3.3 Metode Analisis ... 41

3.3.1 Uji Akar Unit (Unit Root-Test) ... 42

3.3.2 Uji Derajat Integrasi ... 43

3.3.3 Uji Granger Causalitas ( Granger Causality Test) ... 43

3.3.4 Uji Kointegrasi ( cointegration Test) ... 44

3.3.5 Uji OLS ( Ordinari Least Square)…...45

3.4 Test of Goodness of Fit (uji Kesesuaian) ... 46

3.4.1 Koefisien Determinasi (R-squre) ... 47

3.4.2 Uji t-Statistik (Uji Parsial) ... 47

3.5 Uji penyimpangan Asumsi Klasik ... 48


(7)

3.5.2 Autocorrelation (LM-Test) ... 49

3.7 Defenisi Variabel Operasional ... 51

BAB IV: ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif ... 52

4.1.1 Perkembangan Kondisi Makroekonomi Indonesia ... 52

4.2 Pertumbuhan ekonomi Indonesia ... 53

4.3 Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia ... 61

4.4 Hasil Evaluasi dan Interpretasi ... 67

4.4.1 Hasil Uji Akar-akar Unit dan Derajat Integrasi ... 67

4.4.2 Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger ... 68

4.4.3 Hasil Uji Kointegrasi ... 69

4.4.4 Hasil Uji OLS ... 70

4.4.5 Test og Goodnes of Fit ... 72

4.4.6 Koefisien Determinasi ... 72

4.4.7 Uji t-Statistik...73

4.4.8 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik...75

4.4.8.1 Multikolinearitas...75

4.4.8.2 Autokorelasi...76

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 79

5.2 Saran ...80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

SURAT PERNYATAAN


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

4.1 : Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ... 54

4.2 : Indikator Perekonomian Indonesia ... 57

4.3 : Utang Luar Negeri Indonesia ( US $ Juta ) ... 62

4.4 : Beban Utang Luar Negeri Indonesia (%) ... 66

4.5 : Hasil Estimasi ADF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Uni .... 67

4.6 : Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger ... 69

4.7 : Hasil Estimasi Uji Koiintegrasi ... 70

4.8 : Hasil Estimasi Uji OLS ... 71

4.9 : Hasil Regresi Multikoinearity ... 75


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

4.1 : Pertumbuhan Ekonomi Indonesia...59

4.2 : Grafik Utang Luar Negeri Indonesia ... 64

4.3 : Kurva Uji T-statistik Utang Luar Negeri ... 73

4.4 :Kurva Uji T-Statistik Variabel Dummy ... 74


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran

1 : Data variabel Regresi

2 : Hasil regres AdF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Pertumbuhan Ekonomi (Y)

3 : Hasil regres AdF Dan Derajat Integrasi

Untuk Uji Akar Unit pada Utang Luar Negeri (X1) 4 : Hasil Regres Granger Causality Test pada Lag 1

5 : Hasil regres Uji Kointegrasi

6 : Hasil Regres OLS

7 : Hasil Regres Multikolienaritas 8 : Hasil Regres LM-Test


(11)

ABSTRACT

Economic conditions in one country can be changed in every time. The economic crisis has changed the economic conditions of Indonesia. Before the 1997 financial crisis, the economy has increased economic growth every year, because we are entering foreign debt in sufficient quantities. But after the financial crisis that occurred Indonesia's foreign debt increased to U.S. $ 25,125 paada in 1998. This condition makes Indonesia fall into the trap of debt and debt interest is very high.

In the short run, foreign debt is helping the Indonesian government in an effort to close the budget deficit and state budget revenues, due to routine financing and development

expenditures are quite large. Thus, the rate of economic growth can be stimulated in accordance with its predetermined yag. But in the long run, it turns out that foreign debt can cause a variety of economic problems in Indonesia.

In times of crisis, Indonesia's foreign debt including government and private debt has increased dramatically in a matter of dollars. Causing the Indonesian government to increase foreign debt just to pay the old foreign debt who was due. Accumulation of foreign debt and the interest will be paid melauli RI State Budget for the government debt by installments in each fiscal year. This causes reduction in the prosperity and welfare of the people in the future, so obviously it will burden the people, taxpayers, especially Indonesia. Estimation results show that economic growth before and after the crisis had R-squared of 0.79485, or 0.79, meaning that the independent variables (external debt) can explain the bound variable (economic growth) of 0.79%, while the other 21% is explained by other variables that is not in the model. T-statistics for foreign debt is bigger than the t-table (4.95> 2.89), meaning that the foreign debt variable has an obvious and significant impact on economic growth at α = 1%. T-statistics for the dummy variable is greater than t-table (5100> 2.89), which means the economic crisis variable (dummy) has a significant influence and economic growth at α = 1%.

Based on the Granger Causality analysis, both variables have a relationship with one another (reciprocal). While anailsis Kointegration based test, which the two variables of foreign debt and economic growth has a stationary relationship to the second distinction I (2), means there is a long-term relationship between foreign debt and economic growth.

Keywords: foreign debt, economic growth, financial crisis, dummy, kointegrasi tests, Granger Causality test.


(12)

ABSTRAK

Kondisi ekonomi dalam satu negara dapat berubah dalam setiap waktu. Krisis ekonomi sudah mengubah kondisi perekonomian Indonesia. Sebelum adanya krisis keuangan 1997 perekonomian memiliki pertumbuhan ekonomi yang meningkat setiap tahunnya, karena kita memasukkan utang luar negeri dalam jumlah yang cukup. Tetapi setelah krisis keuangan itu terjadi utang luar negeri Indonesia meningkat sampai US$ 25125 paada tahun 1998. Kondisi ini membuat Indonesia jatuh ke dalam perangkap utang dan bunga utang yang sangat tinggi.

Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiyaan rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yag telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi dalam jangka panjang, ternyata utang luar negeri tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di Indonesia.

Pada masa krisis, utang luar negeri Indonesia termasuk didalamnya utang pemerintah dan swasta telah meningkat drastis dalam hitungan rupiah. Sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk membayar urtang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melauli APBN RI untuk utang pemerintah dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya wajib pajak Indonesia

Hasil estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah krisis memiliki R-squared sebesar 0.79485 atau 0.79, artinya bahwa variabel independen ( utang lua negeri ) dapat menjelaskan variabel terikat ( pertumbuhan ekonomi) sebesar 0.79%, sedangkan 21% lainnya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat pada model. T-statistik untuk utang luar negeri lebih besar dari pada t-tabelnya ( 4.95>2.89), artinya bahwa variabel utang luar negeri memilki pengaruh nyata dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada α=1%. T-statistik untuk variabel dummy lebih besar daripada t-tabelnya ( 5.100>2.89), yang artinya variabel krisis ekonomi ( dummy ) memiliki pengaruh dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada α=1%.

Berdasarkan pada analisis Granger Causality, kedua variabel memiliki hubungan satu sama lain ( timbal balik). Sedangkan berdasarkan anailsis Kointegration test, kedua variabel yaitu utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan stasioner pada pembedaan kedua I (2), artinya ada hubungan jangka panjang antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi.

Kata kunci : utang luar negeri, pertumbuhan ekonomi, krisis keuangan, dummy, kointegrasi tes, uji kausalitas granger.


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara membangun yang perekonomiannya masih bersifat terbuka, yang artinya masih rentan terhadap pengaruh dari luar. Oleh karena itu perlu adanya fundasi yang kokoh yang dapat membentengi suatu negara agar tidak sepenuhnya dapat terpengaruh dari dunia luar, Seperti apa yang terjadi pada 10 tahun yang silam Ketika negara Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand. Tetapi ternyata guncangan keuangan yang sangat hebat dari negara Thailand ini berimbas kepada perekonomian Indonesia, kekacauan dalam perekonomian ini menjadi awal dan salah satu faktor penyebab runtuhnya perekonomian Indonesia termasuk terjebaknya Indonesia ke dalam dilema utang luar negeri. Selain faktor dari luar, salah satu penyebab krisis yang terjadi di Indonesia juga berasal dari dalam negeri, yaitu proses integrasi perkonomian Indonesia ke dalam perekonomian global yang berlangsung dengan cepat dan kelemahan fundamental mikroekonomi yang tercermin dari kerentanan (fragility) sektor keuangan nasional, khususnya sektor perbankan, dan masih banyak faktor-faktor lainnya yang berperan menciptakan krisis di Indonesia (Syahril, 2003:4).

Krisis keuangan di Thailand menyebar secara cepat ke Negara-negara Asia, termasuk Indonesia, karena pasar keuangan global, maka pasar keuangan domestik juga dengan cepat telah ikut terpengaruh krisis keuangan global yang terjadi pada saat itu. Krisis ekonomi telah membawa dampak yang serius terhadap perekonomian Indonesia, yang menimbulkan stagflasi


(14)

tingginya ketergantungan produsen domestik terhadap barang dan jasa impor, laju inflasi yang tinggi, pemutusan hubungan tenaga kerja, menurunnya pendapatan masyarakat mengaibatkan turunnya daya beli masyarakat.

Awal-awal menjelang Krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang baik, yang artinya tidak ada tanda-tanda yang terlalu merisaukan atau memberi tanda krisis yang serius akan menerpa. Sejak akhir dasawarsa 1980-an pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar 8% per tahun pada pertengahan 1997 tumbuh dengan laju tahunan 7,4%, (Boediono, 2008:81). Justru kepanikan terjadi karena adanya peningkatan harga yang sangat tajam barang-barang dan jasa akibatnya melemahnya kurs rupiah terhadap dollar.

Salah satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus membengkak, Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir,utang luar negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan di Indonesia. Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar negeri (foreign debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya pembangunan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun persoalan pembayaran cicilan dan bunga menjadi beban yang terus


(15)

menerus harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah terhadap dollar cenderung tidak stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.

Pertengahan tahun 1997 Indonesia telah mengalami krisis moneter yang disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya besarnya jumlah hutang swasta jangka pendek dan menengah serta utang-utang pemerintah yang menyebabkan nilai tukar Rupiah tertekan, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak konsisten, membesarnya defisit neraca berjalan dan terdepresiasinya mata uang Bath dan berimbas pada nilai dollar. Di Indonesia hal ini juga membuat terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah sehingga masyarakat menyerbu Dollar untuk mengamankan kekayaanya.

Dengan adanya krisis ekonomi tersebut kinerja perbankan Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang memburuk. Hal ini ditandai dengan hilangnya kepercayaan masyarakat dengan terjadinya penarikan besar-besaran (Rush). Berdasarkan data Bank Indonesia, Jumlah pinjaman luar negeri pasca krisis pun meningkat yaitu pada tahun 2000 dalam juta dollar sebesar US$ 133.073,00 padahal sebelumnya pada tahun 1998 dan 1999 jumlah utang luar negeri Indonesia adalah US$ 20.567,00 dan US$ 110.934,00.

Pasca awal terjadinya krisis, yaitu tahun 1999 pemerintah sudah mengambil langkah seribu untuk menambah jumlah hutang atau pun pinjaman dari pihak asing. Meningkatnya jumlah pinjaman pada tahun 2000 yakni sebesar US$ 133.073,00 terjadi karena adanya tindakan pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah terhadap mata uang asing sehingga hal ini membutuhkan cadangan devisa yang sangat besar, sementara cadangan devisa sebelumnya sudah terkuras untuk menghadapi kepanikan masyarajat yang secara beramai-ramai membeli dollar secara besar-besaran dengan asumsi dollar akan naik lagi.


(16)

Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, yang didahului oleh krisis moneter di Asia Tenggara, telah banyak merusakkan sendi-sendi perekonomian negara yang telah banyak dibangun selama PJP I dan awal PJP II. Penyebab utama terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, juga sebagian negara-negara di ASEAN, adalah ketimpangan neraca pembayaran internasional. Defisit current account ditutup dengan surplus capital account, terutama dengan modal yang bersifat jangka pendek (portofolio invesment), yang relatif fluktuatif. Sehingga, apabila terjadi rush akan mengancam posisi cadangan devisa negara, akhirnya akan mengakibatkan terjadinya krisis nilai tukar mata uang nasional terhadap valuta asing. Hal inilah yang menyebabkan beban utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah, bertambah berat bila dihitung berdasarkan mata uang rupiah (Adwin Surya Atmadja, 2000:93).

Sebelum terjadinya krisis hampir semua indikator-indikator kinerja ekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang baik. Ada sementara hubungan terutama kalangan bank sentral yang mengkhawatirkan bahwa ekonomi mulai kepanasan (overheating),tetapi tidak ada tanda-tanda yang terlalu merisaukan tau pemberi tanda bahwa krisis yang serius akan menerpa.Salah satu indikatonya adalah pertumbuhan ekonomi yang mana sejak akhir dasawarsa 1980-an ekonomi tumbuh rata-rata sekitar 8% per tahun dan pada pertengahan 1997 tumbuh dengan laju tahunan 7,4%.(McLeod,1998 dalam Budiono 2008:81)

Menurut Boediono (1999:22), Indonesia sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi perekonomian yang cukup menjanjikan pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai tahun 1989 terus mengalami peningkatan, yakni masing-masing 5,9% di tahun 1986, kemudian 6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 dan 1991 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka yang sama


(17)

yakni sebesar 7,0%, kemudian tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996, masing-masing tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%. Angka inflasi yang stabil, jumlah pengangguran yang cukup rendah seiring dengan kondusifnya iklim investasi yang ditandai dengan kesempatan kerja yang terus meningkat, angka kemiskinan yang cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun, pada satu titik tertentu, perekonomian Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan krisis ekonomi yang melanda secara global di seluruh dunia. Ini ditandai dengan tingginya angka inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka pengangguran seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan semakin membesarnya jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang semakin melemah karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US Dollar. Adanya kerapuhan Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya dukungan mikro ekonomi yang kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat diselesaikan sampai saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terlalu tinggi di Indonesia, sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif, jiwa entrepreneurship yang kurang, dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut di atas tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai komponen dalam neraca pembayaran yang dalam hal ini adalah utang luar negeri (foreign debt) turut mempengaruhi keadaan perekonomian di suatu negara. Negara-negara yang umumnya merupakan negara yang sedang berkembang masih terus berusaha untuk menyempurnakan ekonomi internasionalnya.

Pertumbuhan ekonomi (growth) merupakan salah satu indikator perekonomian yang dipengaruh oleh berbagai macam variabel, salah satunya adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Hutang luar negeri (foreign debt) adalah variabel yang bisa saja mendorong perekonomian sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi. Mendorong perekonomian maksudnya,jika hutang-hutang tersebut digunakan untuk membuka lapangan kerja dan investasi dibidang


(18)

pembangunan yang pada akhirnya dapat mendorong suatu perekonomian,sedangkan menghambat pertumbuhan apabila utang-utang tersebut tidak dipergunakan secara maksimal karena masih kurangnya fungsi pengawasan dan integritas atas penanggung jawab utang-utang itu sendiri.Saat ini sudah banyak kasus penyalahgunaan dana pemerintah yang berasal dari utang luar negeri Indonesia seperti yang terjadi pada jaman orde baru.

Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai instrumen fiskal pemerintah senantiasa diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas ekonomi makro serta sekaligus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi di Indonesia ditopang dari sumber-sumber dana dari dalam negeri dan luar negeri. Sumber pembiayaan dalam negeri berasal dari tabungan pemerintah, tabungan masyarakat serta utang domestik. Sedangkan pembiayaan dari luar negeri berasal dari penanaman modal asing dan utang yang diperoleh dari lembaga-lembaga internasional dan negara-negara sahabat baik dalam rangka bilateral maupun multilateral.

Indonesia selama ini menempatkan utang sebagai salah satu tiang penyangga pembangunan, sebagai komponen penutup kekurangan. Saat Indonesia mendapat rejeki berlimpah dari oil boom, utang luar negeri tetap saja menjadi komponen utama pemasukan di dalam angaran belanja pemerintah. Bahkan saat Indonesia telah mulai menganut sistem anggaran defisit/surplus sejak tahun 2005, komponen pembiayaan utang luar negeri cukup besar. Padahal di dalam kebijakan ekonominya pemerintah selalu mengatakan bahwa utang luar negeri hanya menjadi pelengkap belaka (Boediono,2008:82). Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2005-2009 menyebutkan sampai saat ini, utang masih merupakan sumber utama pembiayaan APBN untuk menutup defisit


(19)

maupun untuk pembayaran kembali pokok utang yang telah jatuh tempo (refinancing).adanya utang luar negeri juga membuat pemerintah tidak serius mengumpulkan pendapatan dari dalam negeri. Beberapa kekurangan yang terjadi di dalam penyusunan RAPBN dianggap oleh pemerintah dapat ditutup dari perolehan pinjaman luar negeri.

Dampak utang luar negeri (foreign debt) pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi banyak dipertanyakan orang. Beberapa pengalaman dan bukti empiris juga telah menunjukkan bahwa sejumlah negara yang memanfaatkan pinjaman luar negeri untuk melaksanakan pembangunannya dapat berhasil dengan baik. Dalam berbagai model analisis regresi, jarang ditemukan dampak positif utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan dengan model tertentu, terlihat bahwa utang luar negeri justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk dapat mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (tercermin pada tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana untuk pembangunaan ekonomi sangat besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi itu adalah dengan berusaha meningkatkan investasi.Investasi ini tidak jarang berasal dari luar negeri maupun dari pemerintah dengan mengandalkan hutang-hutang. Tulisan-tulisan mengenai hutang luar negeri sudah banyak sebelumnya oleh para kalangan baik


(20)

sebagai ekonom,pengamat atau khususnya kalangan ilmuwan.Akan tetapi yang ditulis itu sudah tidak lagi relevan karena perkembangan ekonomi yang begitu cepat baik dalam keadaan semakin buruk maupun semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, Penulis mencoba untuk membahas masalah pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam hubungannya dengan utang luar negeri (foreign debt) dengan mengangkat judul “ Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri (Foreign Debt) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ”.

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat dijadikan sebagai dasar kajian dalam penelitian yang akan dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah penulisan skripsi ini. Selainitu, perumusan msalah ini diperlukan sebagai cara untuk mengambil keputusan di akhir penulisan skripsi. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah terdapat hubungan timbal balik antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia?

2. Apakah terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia?

3. Bagaimana hubungan antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi ?

1.3 Tujuan Penelitian


(21)

1. Untuk mengetahui hubungan timbal balik antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia

2. Untuk mengetahui hubungan keseimbangan jangka panjang antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia

3. Untuk mengetahui pengaruh Utang luar negeri (foreign debt) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi yang terkait.

2. Sebagai bahan studi dan literature bagi mahasiswa/i Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara terutama bagi mahasiswa/i Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnyan dalam cabang ilmu ekonomi makro.

3. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi penelitian selanjutnya,sekaligus untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis.

4. Sebagai bahan tambahan dan pelengkap terhadap penelitian yang sudah ada sebelumnya. 5. Sebagai masukan bagi masyarakat Indonesia agar dapat mengetahui kondisi

perekonomian Indonesia yang berhubungan dengan utang luar negeri dan kurs sebelum dan sesudah krisis.


(22)

BAB II

URAIAN TEORITIS 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang (Boediono, 1981:2).

Suatu perekonomian dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah barang dan jasa meningkat. Jumlah barang dan jasa dalam perekonomian suatu negara dapat diartikan sebagai nilai dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai PDB ini digunakan dalam mengukur persentase pertumbuhan ekonomi Suatu negara.

Perubahan nilai PDB akan menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan selama periode tertentu. Selain PDB, dalam suatu negara juga dikenal ukuran PNB (Produk Nasional Bruto ) serta Pendapatan Nasional (National Income).

Defenisi PDB yaitu seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu domestik atau agregat.

Salah satu kegunaan penting dari data-data pendapatan Nasional adalah untuk menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu negara dari tahun ke tahun. Dalam penghitungan pendapatan nasional berdasarkan pada harga-harga yang berlaku pada tahun tersebut.Apabila menggunakan harga berlaku ,maka nilai pendapatan nasional menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut dikarenakan oleh pertambahan barang dan jasa dalam perekonomian serta adanya kenaikan-kenaikan harga


(23)

yang berlaku dari waktu ke waktu. Pendapatan nasional berdasarkan harga tetap yakni perhitungan pendapatan nasional dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun (tahun dasar) yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun beriutnya. Nilai pendapatan nasional yang diperoleh secara harga tetap ini dinamakan pendapatan nasional riil.

Perhitungan pertumbuhan ekonomi biasanya menggunakan data PDB triwulan dan tahunan. Adapun konsep perhitungan pertumbuhan ekonomi dalam satu periode (Rahardja 2000:178), yaitu:

%

Di mana :

Gt = Pertumbuhan ekonomi periode t (triwulan atau tahunan)

PDBRt = Produk Domestik Bruto Riil periode t (berdasarkan harga konstan )

PDBRt-1 = PDBR satu periode sebelumnya

Jika interval waktu lebih dari satu periode maka perhitungan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan eksponensial :

PDBRt = PDBRo (1+r

Dimana :

PDBRt = PDBR periode t


(24)

t = Jarak periode

Perhitungan PDB dibagi menjadi dua bentuk,yaitu :

a) PDB menurut harga berlaku

Dimana PDB faktor inflasi yang masih terkandung di dalamnya.

b) PDB menurut harga konstan

Dimana PDB dengan meniadakan faktor inflasi.Artinya pengaruh perubahanharga telah dihilangkan.

Menurut Bodiono (1981), Teori pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor apa yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang,dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain,sehingga terjadi proses pertumbuhan.Jadi,teori pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah suatu “caritera” (yang logis) mengenai bagaimana proses pertumbuhan terjadi.

1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik

Teori ini dikembangkan oleh Abramovitz dan Solow yang mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada perkembangan faktor-faktor produksi. Teori ini pada hakekatnya menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi tergantung pada faktor-faktor berikut, yakni :

 Pertambahan modal dan produktifitas marginal

 Pertambahan tenaga kerja dan produktifitas tenaga kerja margina  Perkembangan tekhnologi


(25)

G = m.∂K + b. ∂L + ∂T

Dimana : g adalah tingkat pertumbuhan ekonomi, ∂K adalah pertambahan barang modal, ∂L adlah tingkat pertambahan tenaga kerja, ∂T dalah tingkat pertambahan tekhnologi, m adalah produktifitas modal tenaga kerja, b adalah produktifitas marginal tenaga kerja. Teori pertumbuhan ekonomi klasik di pelopori oleh beebrapa tokoh yaitu, Adam Smith, David Ricardo, dan Arthur Lewis.

2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

Pada bagian ini akan dijabarkan teori pertumbuhan yang diakui oleh ekonomikawan modern, atau lebih dikenal dengan teori pertumbuhan neo klasik. Kita akan melihat tahapan demi tahapan atas penjelasan terhadap teori pertumbuhan ekonomi tersebut. Teori ini juga merupakan teori yang mendasari penelitian ini yaitu teori Harrod-Domar dan Sollow-Swan yang membahas tentang bagaimana capital, output, dan tekhnologi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih jelasnya maka teori-teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

 TEORI HARROD-DOMAR

Teori Harrod – Domar adalah perkembangan langsung dari teori makro Keynes jangka pendek menjadi suatu teori makro jangka panjang. Aspek utama yang dikembangkan dari teori Keynes adalah aspek yang menyangkut peranan investasi (I) dalam jangka panjang. Dalam teori Keynes, pengeluaran investasi (I) mempengaruhi permintaan agregat (Z) tetapi tidak mempengaruhi penawaran agregat (S). Harrod-Domar melihat pengaruh investasi dalam perspektif waktu yang lebih panjang. Menurut kedua ekonom ini, pengeluaran investasi (I) tidak hanya mempunyai pengaruh (lewat proses multiplier) terhadap permintaan agregat (Z), tetapi juga terhadap penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang lebih panjang ini, I menambah stok kapital (misalnya, pabrik-pabrik,


(26)

jalan-jalan dan sebagainya). Jadi I = ∆K, dimana K adalah stok kapital dalam masyarakat. Ini berarti pula peningkatan kapasitas produksi masyarakat, dan selanjutnya berarti bergesernya kurva S ke kanan ( Boediono, 1981:7-47).

 TEORI SOLLOW – SWAN

Robert Sollow dari MIT da Treovor Swan dari Australian National University secara sendiri-sendiri mengembangkan model pertumbuhan ekonomi yang sekarang sering disebut dengan namanya Harrod – Domar, model Solow-Swan memusatkan perhatiannya pada bagaimana pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi dan output saling berinteraksi dalam proses pertumbuhan ekonomi.

Walaupun kerangka umum dari model Sollo-Swan mirip dengan model Harrod-Domar, tetapi model Sollow-Swan (dari satu segi) lebih “luwes” karena :

a. Menghindari masalah “ketidakstabilan” yang merupakan ciri warranted rate of growth dalam model Harrod-Domar,

b. Bisa lebih luwes digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah distribusi pendapatan. Keluwesan ini terutama disebabkan oleh karena Sollow dan Swan menggunakan bentuk fungsi yang lebih mudah dimanipulasi secara aljabar. Dalam model Harrod-Domar, output dan kapital serta tenaga kerja masing-masing dihubungkan oleh suatu “fungsi produksi” dengan koefisien yang tidak bisa berubah, yaitu QP = hK dan Qn = nN. Dalam model neo-klasik dari Sollow dan Swan dipergunakan suatu fungsi produksi yang lebih umum, yang bisa menampung berbagai kemungkinanan subtitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L) . Bentuk fungsi produksi ini adalah :


(27)

Q = F ( K,L )

Yang memungkinkan berbagai kombinasi penggunaan K dan L untuk mendapatkan suatu tin gkat output. Funfsi produksi semacam ini (yang sering dijumpai dalam teori ekonomi mikro) disebut fungsi produksi Neo-Klasik. Dengan menggunakan fungsi semacam nilah maka Sollow dan Swan bisa menghindari masalh “ketidakstabilan” dan mengambil kesimpulan-kesimpulan baru mengenai distribusi pendapatan dalam proses pertumbuhan (seperti halnya kaum klasik).

Dengan digunakannya funsi produksi Neo Klasik tersebut, ada satu konsekuensi lain yang penting. Konsekuensi ini adalah bahwa seluruh faktor yang tersedia, baik berupa K maupun berupa L akan selalu terpakai atau digunakan secara penuh dalam proses produksi. Ini disebabkan karena dengan fungsi produksi Neo Klasik tersebut, berapapun K dan L yang tersedia akan bisa dikombinasikan untuk proses produksi, sehingga tidak lagi ada kemungkinan “kelebihan” atau “kekurangan” faktor produksi seperti dalam model misalnya, Harrod-Domar atau Lewis. Posisi full employment ini membedakan model Neo klasik dengan model Keynesian (Harod-Domar) maupun model klasik. Jadi jelas bahwa penggunaan fungsi produksi Neo Klasik sehingga selalu terdapat fullemployment merupakan ciri utama yang membedakan model ini dengan model-model pertumbuhan lain.

2.2 Krisis Moneter

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal juli 1997 selama kurun waktu setahun telah berubah menjadi krisis ekonomi yakni melumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan


(28)

terparah sepanjang 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjuannya.

Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat yang tercermin dari pertumbuhan yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistem perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mempu ditampung oleh perekonomian nasional.

Sebagian konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar terhadap valuta asing, Khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistem managed floating yang dianut pemerintah sejak devaliasi oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehinggan nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan


(29)

cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir januari1998, namun kemudian menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.

2.2.1 Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental Indonesia yang selama ini lemah, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melakukan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar.Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain,walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang tidak ada dan todak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan.Analisis faktor-faktor penyebab ini penting, karena penembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa (Kristanto Wibisono, 1998).

Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial. Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan. Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir


(30)

utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan spada sistem perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidakpastian poltik menghadapi pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.

Penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satnya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menuru sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya :

1) Dianutnya sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel,sehingga membuka peluang yang sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.

2) Tingkat deoresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2.4% hingga 5.8% antara tahun 1988 hinggan 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara komulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan dan produk dalam negeri yang


(31)

semakin lama semakin kalah bersaing dengan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Niali rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata. 3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan

menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan berat karena tidak tersedianya devisa yang cukup untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistem perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (outstanding official debt). Ada tiga pihak yang bersalah yaitu pemerintah, kreditur da debitur. Kesalahan pmerintah adalah, karena memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah teru-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah mjenjadi relati mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif lebih murah. Sebalikya, tingkat bungan di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyaraka mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 64 milyar, sementara utang pemeritah US$ 53.5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge.Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri, misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran


(32)

utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah. Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya.

4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistem perbankan unyuk sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistem perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun paa awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli ripiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS. Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia Krisis Moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.


(33)

5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistem ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistem batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997. Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidakmampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat.

6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued,yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.

7) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda penguncuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda menguncurkan bantuannya menunggu sinal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Brunei Darusalam yang menjanjikan US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.


(34)

8) Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, dimana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidakstabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidakstabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu. Kerusuhan besar-basaran peda pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melakukan investasi baru.

Dalam menghadapi tekanan depresiatif yang kuat pada kurs rupiah sejak bulan Juli 1997, beberapa kebijakan bank sentral telah digulirkan seperti pelebaran kisaran intervensi dan pengetatan likuiditas perbankan dengan menaikkan tingkat diskonto SBI. Dengan semakin meningkatnya tekanan kepada kurs rupiah, pada pertengahan Agustus 1997, telah diambil kebijakan penentuan kurs berdasar pada sistem mengambang bebas.

Seiring dengan kebijaksanaan moneter yang ketat yang diarahkan untuk mengurangi tekanan permintaan terhadap devisa, ditempuh kebijaksanaan fiskal yang juga bersifa kontraktif. Sejumlah proyek-proyek pembangunan untuk TA 1997/98 dijadwalkan kembali pelaksanaanya. Di samping itu juga dilakukan penghematan terhadap pengeluaran yang bersifat non fisik.


(35)

Perlakuan khusus berupa bantuan keuangan dan fasilitas kredi untuk industri strategis tertentu juga ditiadakan. Namun nilai tukar rupiah terus merosot, demikian pula dengan kondisi keuangan dan perekonomian.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pada akhir Oktober 1997, disusun kebijaksanaan dan program penyehatan ekonomi dan keuangan, yang didukung oleh Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dan negara-negara sahabat. Program ini meliputi penyehatan sektor keuangan dan stabilitas moneter termasuk kurs mata uang. Penyehatan sektor/lembaga keuangan mencakup perbankan, lembaga pembiyaan, asuransi, dana pensiun dan lembaga-lembaga di pasar modal.

Program reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan diperkuat lagi pada pertengahan Januari 1998, dan dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPK-EKU) guna mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan program tersebut. Pada bulan Januari pula, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk untuk memperbaiki kepercayaan terhadap perbankan nasional.

Dengan terjadinya krisis politik pada bulan Mei 1998 dan meluasnya krisis ekonomi, Memorandum tambahan tersebut disempurnakan pada bulan Juni 1998. Untuk memperkuat pengendalian moneter, sistem penentuan suku bunga SBI diubah dari penentuan secara administratif menjadi sistem lelang mulai bulan Juli 1998.

Di bidang keuangan negara, sebagai akibat situasi perekonomian yang terus memburuk tersebut, pemerintah bersama-sama DPR pada bulan Juni 1998 melakukan revisi APBN 1998/1999 yang disesuaikan dengan perkembangan terakhir. Di tengah situasi perekonomian yang semakin memburuk, revisi APBN ini dititik beratkan pada pemanfaatan anggaran negara


(36)

untuk memperkuat jaring pengaman sosial (social safety net), memperbesar enyerapan tenaga kerfja dan meningkatkan produksi pangan.

2.3 Utang Luar Negeri (Foreign Debt)

Utang luar negeri merupakan bantuan luar negeri (loan) yang diberikan oleh pemerintah negara-negara maju atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan pinjaman semacam itu dengan kewajiban untuk membayar kembali dan membayar bunga pinjaman tersebut (Zulkarnain, 1996 : 19).

Adapun bentuk-bentuk bantuan luar negeri dapat dibedakan atas : 1. Pinjaman dengan syarat pengembalian

a. Hadiah/Grant: yaitu bantuan luar negeri yang tidak bersyarat pengembalian atau pelunasannya kembali.

b. Pinjaman Lunak : yaitu pinjaman dengan syarat yang sangat ringan, dimana jangka waktu pengembaliannya antara 20 tahun sampai dengan 30 tahun dan tingkat bunga antara 0 sampai dengan 4,5 persen per tahun.

c. Pinjaman/Kredit Ekspor : yaitu kredit yang diberikan oleh negara pengekspor dengan jaminan tertentu untuk meningkatkan ekspor. Jangka waktu pembayarannya adalah 7 tahun sampai dengan 15 tahun da tingkat bunga antara 4 persen sampai dengan 8,5 persen per tahun.

d. Kredit Komersial : yaitu kredit yang dipinjamkan oleh bank dengan tingkat bunga dan lain-lain sesuai perkembangan pasar internasional.


(37)

2. Pinjaman/Kredit Bilateral/Multilateral

a. Pinjaman/Kredit Bilateral: misalnya bantuan/kredit yang diperoleh dari negara CGI.

b. Pinjaman/Kredit Multilateral: misalnya bantuan/kreditndari peserta IBRD, IDA, UNDP, ADB, dan lain-lain. Jangka waktu dan syarat pengembalian bantuan/kredit bilateral/multilateral adalah berdasarkan perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan/kredit.

3. Pinjaman/Bantuan menurut kategori ekonomi, barang/jasa

a. Bantuan program: yaitu berupa pangan, misalnya dalam rangka PL 480 atau dalam bentuk devisa kredit.

b. Bantuan Proyek: yaitu bentuan yang diperoleh untuk pembiyaan dan pengadaan barang/jasa pada proyek-proyek pembangunan.

c. Bantuan Tekhnik: yaitu berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri atau tenaa-tenaga Indonesia yang dilatih di luar negeri.

Sumber-sumber pinjaman luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia dalam setiap tahun anggaran yang berupa pinjaman bersumber dari:

1. Pinjaman Multilateral

Pinjaman multilateral sebagian besar diberikan dalam satu paket pinjaman yang telah ditentukan, artinya satu naskah perjanjian luar negeri antara pemerintah dengan lembaga keuangan internasional untuk membina beberapa pembangunan proyek pinjaman multilateral ini kebanyakan diperoleh dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (BPD), Bank Pembangunan Islam (IDB), dan beberapa lembaga keuangan regional dan internasional.


(38)

2. Pinjaman Bilateral

Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang berasal dari pemerintah negara – negara yang tergabung dalam negara anggota Consultative Group On Indonesia (CGI) sebagai lembaga yang menggantikan kedudukan IGGI. Pinjaman bilateral ini diberikan kepada pemerintah Indonesia yang bersumber dari:

a. Pinjaman Lunak, yaitu suatu pinjaman yang diberikan berdasarkan hasil sidang CGI.

b. Pinjaman dalam bentuk Kredit Ekspor (Eksport Kredit) yaitu pinjaman yang diberikan oleh negara-negara pengekspor dengan jaminan tertentu dari pemerintah negara-negara tersebut untuk meningkatkan ekspornya. c. Pinjaman dalam bentuk Kredit Komersial, yaitu kredit yang diberikan oleh

bank-bank luar negeri dengan persyaratan sesuaib dengan perkembangan pasar internasional, misalnya LIBOR (London Interbank Offered Rate) dan SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate) untuk masing-masing jenis mata uang yang dipinjam.

d. Pinjaman dalam bentuk installment Sale Financing, yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan leasing suatu negara tertentu untuk membiayai kontrak-kontrak antara pemerintah dengan suplier luar negeri, karena kontrak-kontrak pembangunan tersebut tidak dapat dibiayai dari fasilitas kredit ekspor.

e. Pinjaman obligasi, yaitu pinjaman yang dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan surat tanda berhutang dari peminjam (borrower) dengan


(39)

tingkat bunga tetap, yang pembayaran bunganya dilaksanakan secara teratur dan pengembalian pinjaman (hutang pokok) pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Dalam melakukan pinjaman melalui obligasi dikenal 2 (dua) jenis obligasi yang dapat diterbitkan/dikeluarkan dalam pasar modal, yaitu :

1. Public issues (Penerbitan Obligasi Umum)

Penerbitan obligasi dilaksanakan melalui sekelompok bank-bank yang menjamin (underwriter) dan menjual obligasi tersebut kepada masyarakat di bursa (stock exchange).

2. Private Placement

Penerbitan obligasi secara private placement bersifat terbatas, tidak diumumkan kepada masyarakat. Dalam hal ini suatu penjualan obligasi dilaksanakan oleh emiten (issuer) kepada sejumlah bank dan investor institusional (perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana pensiun) dengan bantuan sejumlah bank dan investor institusional (perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana pensiun) dengan bantuan sejumlah penjamin emini (underwriter) yang terbatas.

f. Pinjaman dalam bentuk Stearling Acceptance Facility, yaitu suatu pinjaman yang penarikannya dengan Bill of Exchange.Sistem pinjaman ini terdapat di Inggris sejak abad ke-17. Pada tahap permulaan sistem ini digunakan ini digunakan untuk memperoleh kredit jangka pendek berdasarkan transaksi perdagangan yang dilakukan. Bill of Change ini


(40)

dapat diperjualbelikan di pasar stearling acceptance, dengan demikian dapat diperoleh dana sebelum Bill of Exchange jatuh tempo.

2.3.1 Latar Belakang Timbulnya Utang Luar Negeri

Dari perspektif negara donor setidaknya ada dua hal penting yang dianggap memotivasi dan melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara debitor. Kedua hal tersebut adalah motivasi politik (political motivation) dan motivasi ekonomi (economi motivation), dimana keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang satu dengan yang lainnya (Basri, 2003 : 101).

Motivasi pertama inilah yang kemudian menjadi acuan bagi AS untuk menguncurkan dana bantuan dalam merekonstruksi kembali perekonomian Eropa Barat setelah hancur saat PD II, dan program ini dikenal dengan nama Marshall Plan (Todaro,1985 : 89). Kesimpulan kita cukup sederhana, yaitu bahwa bantuan luar negeri pertama-tama harus dilihat sebagai tanga panjang kepentingan negara-negara donor. Motivasinya condong berbeda tergantung situasi nasional, dan bukan semata-mata dikaitkan dengan kebutuhan negara penerima yang secara potesial berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya.

Sedangkan motivasi ekonomi sebagai landasan kedua yang digunakan dalam memberikan bantuan, setidak-tidaknya tercermin dari 4 argumen penting :

• Argumen pertama didasari oleh two gap model dimana negara-negara penerima bantuan khususnya negara-negara berkembang mengalami kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik sehingga tabungan-tabungan yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan akan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam proses memicu pertumbuhan ekonomi. Dan pada sisi lain adalah kekurangan yang dialami oleh negara-negara yang bersangkutan dalam memenuhi nilai tukar asing (foreign exchange) untuk membiayai


(41)

kebutuhan impor. Dengan demikian untuk menutupi kedua kekurangan tersebut maka andalannya adalah bantuan luar negeri.

• Kedua adalah memfasilitasi dan mempercepat proses pembangunan dengan cara meningkatkan pertambahan tabungan domestik sebagai akibat dari pertumbuhan yang lebih tinggi (growth and saving). Karena tinggunya pertumbuhan di negara-negara berkembang akan turut meningkatlkan atau berkorelasi positif terhadap kenaikan keuntungan yang bisa dinikmati di negara-negara maju.

• Ketiga adalah technical assistance, yang merupakan pendamping dari bantuan keuangan yang bentuknya adalah transfer sumber daya manusia tingkat tinggi kepada negara-negara penerima bantuan. Hali ini harus dilakukan untuk menjamin bajhwa aliran dana yang masuk dapat digunakan dengan sangat efisien dalam proses memicu kenaikan pertum buhan ekonomi.

• Keempat adalah absorptive capacity, yakni dalam bentuk apa dana tersebut akan digunakan. Terlepas dari faktor-faktor yang dikemukakan di atas ada satu hal lagi yang perlu diingay bahwa faktor pendorong da faktor penarik (push and pull factor) adala dua kata yang menentukan terjadinya perpindahan modal ke negara-negara berkembang. Faktor-faktor ini tentu saja perpaduan antar motif ekonomi dan politik yang menjadi pertimbangan utama bagi investor yang rasional.

Sebagai negara berkembang yang tetap konsisten dalam mempergunakan utang luar negeri dalam politik pembangunannya, Indonesia untuk masa mendatang masih tergantung pada komponen ini. Seberapa besar ketergantungannya tentu banyak faktor yang mempengaruhinya. Apapun argumennya, untuk saat ini mengalirnya dana dari luar negeri merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indinesia untuk menginjeksi dana pembangunannya.


(42)

Di era globalisasi dam dengan tingkat persaingan yang begitu besar, di samping pemerintah, pihak swasta juga memerlukan dana, akan mengakibatkan perburuan pinjaman yang bersyarat lunak akan meningkat dan tentunya akan semakin sulit diperoleh. Melihat kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan dalam pinjaman komersial seiring dengan meningkatnya peran pohak swasta dan langkahnya pinjaman resmi yang bersyarat nlunak. Oleh karena itu, tidaklah heran untuk masa perspektif utang luar negeri Indonesia dicirikan pada meningkatnya pinjaman yang bersifat komersial.

Banyak pihak yang mengkhwatirkan kondisi pinjaman luar negeri pemerintah maupun pinjaman swata cukup beralasan. Angka statistik pinjaman luar negeri Indonesia, baik pemerintah maupun swasta memang masih menunjukkan tingginya kewajiban Indonesia dalam membayar kembali pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Beberapa indikator dalam mengukur beban utang, seperti :

• Debt service Ratio (DSR) yang merupakan perbandingan antara kewajiban membayar untang dan cicilan untang luar negeri dengan devisa hasil ekspor. Ambang batas aman angka DSR lazimnya menurut para ahli ekonomi adalah 20%. Lebih dari itu, utang sudah dianggap mengundang cukup banyak kerawanan.

• Debt to Export Ratio yang merupakan rasio utang terhadap ekspor. Bank dunia menetapkan bahwa suatu negara dikategorikan sebagai negara pengutang berat, jika negara yang bersangkutan memiliki Debt to Export Ratio yang lebih besar dari 220% • Debt to GDP Ratio yang merupakan rasio utang terhadap PDB. Rasio utang terhadap

PDB dapat dilihat sebagai kriteria mengecek kesehatan keuangan suatu negara, dimana rasio di atas 50% menunjukka bahwa pinjaman luar negeri Indonesia membenahi lebih dari 50% Pendapatan Nasional (Basri, 2003:201)


(43)

Pinjaman luar negeri tersebut tidak semua diberikan dalam bentuk rupiah atau tepatnya mata uang asing tertentu tetapi dalam bentuk bantuan proyek dan bantuan program. Bantuan proyek diberikan dalam bentuk pinjaman berupa peralatan-peralatan, barang-barang ataupun jasa (konsultan asing), sedangkan bantuan program diberikan dalam bentuk bantuan tunai.

2.3.2. Teori Utang Luar Negeri

Meskipun demikian perannan dana bantuan luar negeri dan modal asing terhadap kemajuan, pertumbuan dan pembangunan ekonomi negera berkembang telah lama menjadi perdebatan hangat diantara kelompok-kelompok perdagangan dunia. Sekelompok ekonom pada tahun 1950-an dan 1960-an berpendapat dan meyakini bahwa bantuan luar negeri mempunyai dampak yang positif terhadap pembangunan ekonomi suatu negera tanpa menimbulkan gangguan pada masa sesudahnya bagi negara-negara debitor tersebut. Pengalaman keberhasilan pembangunan kembali perekonomian negara-negara Eropa Barat melalui Marshal Plan seperti telah disinggung, menjadi dasar kelompok tersebut menganjurkannya diterapkan dinegara-negara berkembang. Asumsi yang mereka gunakan dalam proses penganjurannya adalah bantuan luar negeri akan menambah sumber-sumber produktif tanpa menimbulkan dampak substitusi terhadap hubunga domesti, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap alokasi dan efisiensi sumber daya terutama tingkat efisiensi dalam penggunaan modal.

Pengalaman seperti yang diuraikan di atas juga mengilhami teoriyang dikembangkan oleh Sir Roy Harrod (Inggris) dan kemudian dikenal dengan teori Harrod-Domar. Teori yang berbicara tentang penggunaan bantuan luar negeri dalam pembiayaan pembangunan selanjutnya dikembangkan oleh beberapa ekonom seperti Hollis Chenery, Alan Strout, dan lain-lain pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pemikiran mereka seperti yang diungkapkan oleh Chenery dan Carter (1973) dapat dikelompokkan ke dalam empat pemikiran mendasar.


(44)

Pertama, sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan oleh negara sedang berkembang sebagai suatu dasar yang signifikan untuk memacu kenaikan investasi serta pertumbuhan ekonomi. Kedua, untuk menjaga dan mempertahankan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi diperlukan perubahan dan perombakan yang subtansial dalam struktur produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting mobilisasi sumber dana dan transformasi struktural. Keempat, kebutuhan akan modal sing akan menjadi menurun setelah perubahan struktural terjadi.

Pemikiran di atas sedemikian kuatnya mempengaruhi proses perencanaan pembangunan di negara-negara sedang berkembang yang semata-mata hanya mengandalkan upaya proses pembangunannya pada sumber-sumber daya domestik. Malahan porsi bantuan luar negeri tidak lagi diperlakukan sebagai faktor pelengkap (complementary factor), tapi telah menjadi sumber utama dalam pembiyaan pembangunan (Basri, 2003:104).

Pertimbangan suatu negara atau perusahaan melakukan pinjaman luar negeri dipengaruhi oleh beberapa hal, yang dapat dikategorikan dalam 2 faktor pendorong masuknya dana ke dalam negeri (push factors) dan faktor internal yang menarik dana masuk (pull factors).

Yang merupakan push faktor antara lain adalah :

a. Perbedaan tingkat suku bunga US (Dollar Amerika Serikat dan negara-negara maju) pada pertengahan tahun 1990-an menyebabkan gap suku bunga dengan negara emerging market semkain besar sehingga mendorong para investor luar negeri mengalihkan investasi mereka dari negara-negara maju ke emerging countries. Tingkat suku bunga US (antara lain 3 month treasury bill) mengalami penurunan drastis dari 9% pada tahun 1989 dan mencapai titik terendah pada tahun 1992-1994 pada kisaran 2-3 %. Pada akhir tahun 1997 misalnya, suku bunga kredi bank domestik masih berada dalam kisaran


(45)

rata-rata 15-19 % sedangkan suku bunga pinjaman bank internasional mencapai rata-rata-rata-rata 5%. Dengan perbedaan yang sangat besar ini, meskipun sesudah ditambahkan dengan country risk premium Indonesia yang cukup tinggi dan biaya lindung nilai, meminjam dari bank di luar negeri masih dirasakan menguntungkan perusahaan Indonesia.

b. Capital market yang terintegrasi

Semakin terintegrasinya capital market dunia memberikan kemudahan apa akses pasar serta keleluasaan untuk memegang dan bertransaksi untuk memegang mata uang asing. Perekonomian tanpa batas, baik melalui perdagangan maupun melalui modus lainnya mendorong pergerakan modal secara lebih leluasa ke berbagai negara. Hal ini didukung pula dengan terbentuknya lembaga-lembaga keuangan internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank. Dua hal tersebut mendukung perkembangan terms of trade dan siklus bisnis internasional yang menjadi pemicu mengalirnya modal ke negara-negara emerging markets.

c. Kelebihan likuiditas di pasar internasional

Kreditur luar negeri yang pada masa itu berada dalam kondisi kelebihan likuiditas memberikan penilaian yang berlebihan terhadap kinerja fundamental perekonomian dan kemampuan mengembalikan pinjaman luar negeri Indonesia. Perilaku yang menunjukkan keyakinan terhadap kemampuan Indonesia tersebut berakibat pada meningkatnya keberanian dalam mengambil resiko yang berdampak meningkatnya jumlah pinjaman luar negeri swasta Indonesia.

d. Variasi produk financing


(46)

finansial perbankan di luar negeri memungkinkan mereka memberikan kredit dalam jangka waktu yang lebih panjang. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh kebanyakan bank domestik yang pendek. Dengan struktur jangka waktu sumber dana perbankan domestik yang pendek, maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan dana jangka menengah dan panjang dari berbagai perusahaan di dalam negeri.

e. Keterbatasan kemampuan bank untuk menyediakan kredit berjangka menengah penjang

sebabkan oleh masing sangat rendahnya sumber dana perbankan Indonesia yang berjangka panjang. Angka pada akhir 2007 menunjukkan bahwa sebagian besar atau sumber dana perbankan berjangka waktu satu (1) bulan. Hanya 0,6% sumber dana bank yang berjangka waktu antara 1-2 tahun. Dengan struktur pendanaan ini, kemampuan perbankan domestik dalam memberikan kredit dalam jangka panjang menjadi sangat terbatas. Akibatnya, industri perbankan lebih banyak memfokukan penyaluran dananya ke kredit konsumsi dengan jumlah yang relatif kecil.

f. Persyaratan dan prosedur pinjaman yang mudah

Salah satu hambatan swasta meminjam dari bank domestikadalah persyaratan yang dipandang berbelit-belit. Masalah agunan, misalnya, hingga saat ini masih menjadi syarat utama bagi pengusaha untuk mndapatkan pinjaman bank domestik. Terlalu beratnya persyaratan kredit dari perbankan domestik ini juga disebabkan karena adanya informasi yang asimetris. Kelemahan ini akhirnya direfleksikan pada keengganan perbankan domestik untuk membiayai banyak proyek perusahaan yang sesungguhnya sangat potensial.


(47)

Bank asing di luar negeri sering dinilai lebih kompeten dan memiliki reputasi yang lebih baik sehingga lebih dipercaya oleh pelaku bisnis Indonesia. Disamping itu, dengan jaringan yang luas internasional dan penguasaan teknologi yang lebih baik, bank-bank internasional dapat memenuhi kebutuhan para debitur lebih yang berorientasi ekspor.

2.3.3 Beban Cicilan dan Bunga Utang terhadap Perekonomian serta Peranan Pinjaman Luar Negeri Terhadap Pembiyaan Pembangunan

Beban pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah berdampak pada beban APBN yang semakin berat dan arus modal keluar semakin deras menurun, diimbangi peningkatan laju ekspor. Lebih jauh lagi, investasi pemerintah (belanja pembangunan) semakin tertekan karena alokasi dana untuk membayar cicilan utang dan bunganya.Beban cicilan dan bunga utang pemerintah yang semakin besar menggeser alokasi dana-dana untuk pengeluaran pos lain. Secara tidak langsung, masyarakat terkena dampaknya dengan berkurangnya proporsi pengeluaran untuk pos-spos yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat ( Faisal H.Basri, 2002:254).

Krisis yang terjadi sejak 1997 telah menyebabkan beban APBN dalam utang publik mencapai lebih dari 110 persen terhadap PDB. Beban utang politik ini separuhnya adalah utang dalam negeri (obligasi) yang nilainya mencapai RP 650 triliun untuk perbaikan sektor perbankan, serta utang luar negeri yang jumlahnya mencapai US$ 75 milyar ( Mulyani, 2001, dalam Eddy Suandi Hamid, 2001:154).

Walaupun perekonomian nasional terus menanggung beban pembayaran bunga dan cicilan utang masa lalu itu, pada saat yang sama pemerintah juga terus membuat utang-utang baru. Pemerintah terus meminjam dana dari luar negeri untuk menutupi defisit anggaran belanjanya (APBN). Pinjaman pemerintah tersebut bukan hanya untuk membiayai pengeluaran pembangunan, bahkan pernah digunakan untuk menutupi defisit pengeluaran rutinnya.


(48)

Pemerintah telah pula mengikatkan diri dengan IMF untuk mengatasi krisis yang terjadi dengan meminjam secara bertahap senilai US$ 43 milliar, disamping terus meminjam dari CGI dengan angka berkisar US$ 5 milyar per tahun. Sektor swasta yang sebelumnya secara tidak terkontrol utang luar negerinya, dan sangat terpuruk akibat krisis tersebut, telah pula mulai lagi “mendapat kepercayaan” dari luar negeri, dan kembali memuat komitmen dengan mitra bisnisnya di luar.

Masuknya arus utang luar negeri di tengah utang lama belum mampu di bayar, dan juga terus dinegosiasikan untuk menjadwalkan kembali (reschedulling) kontrak yang sudah dibuat sebelumnya, menjadi sesuatu hal yang tak terelakkan. Dari sisi pemerintah, dana segar berupa valuta asing dari luar negeri tersebut bukan saja sangat penting untuk menutup defisit fiskal yang terjadi dalam APBN-nya, melainkan juga untuk mencegah terus merosotnya nilai mata uang rupiah terhadap mata uang lainnya. Sementar itu, sektor swasta membutuhkan dana tersebut untuk dapat mempertahankan aktivitasnyam, baik itu meneruskan investasi yang sudah terlanjur dilakukan atau untuk menjaga pasarnya yang sudah dikuasainya. Dengan kata lain, di tengah krisis ekonomi dan usaha untuk krisis ini, Indonesia semakin terjerat dalam jebakan utang (debt trap). Hal ini bisa menimbulkan persoalan yang sama dalam jangka panjang, yaitu ekonomi mengalami krisis kembali, karena pada saat jatuh tempo nantinya semua kewajiban tersebut tetap harus dibayar. Oleh karena itu, walaupun Indonesia sangat membutuhkan valuta asing tersebut, manajemen utang harus sudah di desain dengan melihat kemampuan membayar jangka panjang.

Jika Investasi dari luar negeri ini benar-benar terarah pada sektor prodktif dan dapat menghasilkan devisa pada masa yang akan datang, maka masalah pembayaran utang tersebut akan dapat diatasi. Namun jika kita mengulangi kesalahan pada masa yang lalu, maka sejarah akan kembali terulang. Sebab, baik dari sisi manajemen utang luar negeri pemerintah maupun


(49)

swasta pada masa lalu sangat potensial melahirkan ketidakmampuan untuk membayar kembali kewajiban utangnya.

Pembangunan ekonomi pada dasarnya diartikan sebagai suatu proses di mana Produk Domestik Bruto (PDB) riil maupun pendapat riil per kapita meningkat dalam jangka waktu tertentu secara terus-menerus melalui kenaikan produktivitas per kapita (D. Salvatore dan E.T. Dowling, 1997). Sasaran yang berupa kenaikan tingkat produksi riil (pendapatan per kapita) tersebut merupakan tujuan utama yang perlu dicapai dengan menyediakan dan mengerahkan sumber-sumber produksi untuk itu. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan peningkatan output dan pendapatan riil per kapita itu bukanlah satu-satunya sasaran kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang.

Namun demikian kebijakan pembangunan ekonomi dalam upaya menaikkan tingkat pertumbuhan output itu merupakan bagian utama dari rencana pembangunan pda kebanyakan negara berkembang. Hal ini disebabkan karena: (1) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai suatu syarat yang sangat diperlukan untuk perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat, dan (2) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai prasyarat untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya, seperti: penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, redisribusi pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat, serta penyediaan fasilitas atau sarana sosial di bidang-bidang perumahan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas sosial lainnya.

Pertumbuhan ekonomi membutuhkan penyediaan atas pengalokasian sumber-sumber produksi untuk ditujukan pada proses produksi barang-barang modal yang tidak dipakai untuk konsumsi langsung, tetapi akan digunakan untuk proses produksi selanjutnya guna menghasilkan barang dan jasa. Dengan demikian perlu tersedia modal atau dana pembiyaan untuk pembangunan nasional yang pada dasarnya berasal dari: (1) sumber dana modal dari dalam


(50)

negeri dan (2) sumber daya modal dari luar negeri. Sumber modal dari dalam negeri adalah berupa tabungan yang diciptakan dan dihimpun dengan cara mengehmat atau menekan konsumsi sekarang, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta dan masyarakat. Sedangkan sumber modal dari luar negeri adalah berupa hibah (grant), bantuan atau pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing.

Untuk memperkirakan berapa besarnya kebutuhan modal atau dana yang diperlukan guna meningkatkan target pertumbuhan ekonomi tertentu, maka penyusunan rencana pembangunan sering kali mendasarkannya pada konsep Harrold-Domar tentang incremental capital output ratio atau ICOR. Dalam hubungan ini dipakai rumus k = s/g, di mana k = ICOR, s = saving ratio (S/Y) dan g = target pertumbuhan ekonomi (∆Y/Y). Dan rumus dasar ini dapat diubah menjadi g = s/k. Untuk memperoleh laju pertumbuhan pendapatan riil per kapita adalah d = s/k-r. Dengan menggunakan rumus ini dapat ditentukan atau diperkirakan secara makro berapa besarnya kebutuhan tabungan (saving) dan modal yang perlu diakumulasi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tertentu baik secara nasional total maupun secara rata-rata per kapita.

Karena bantuan luar negri itu diberikan dengan disertai pemberian konsesi (concessional) berupa tungkat bunga yang lebih rendah daripada bunga psar (bunga komersial), maka pada umumnya pinjaman itu disebut sebagai bantuan luar negeri. Jadi bantuan luar negeri itu mengandung unsur hibah (grant element), di mana nilai hibah dari bantuan grant yang tidak mengikat adalah sebesar harga nominalnya (face value), sedangkan nilai hibah dari pinjaman adalah selisih nilai nominal semula dari pinjaman dengan nilai diskonto sekarang dari pembayaran pinjaman sebagai presentase dari nilai nominal semula. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa unsur hiba suatu bantuan akan semakin besar bilamana tingkat bunga


(51)

bantuan itu semakin rendah serta masa tenggang waktu ataupun jangka waktu pelunasannya kembali lebih lama (Kamaluddin, 1998).

2.4. Kerangka Konseptual Penelitian dan Hipotesis

Pada penlisan skripsi ini, penulis menjelaskan variabel- variabel yang saling mempengaruhi dalam bentuk gambar kerangka konseptual dan variabel – variabel lain yang mempengaruhi variabel-variabel lain yang saling mempengaruhi tersebut.

Dimana gambar terlihat adanya hubungan satu arah antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi.

2.4.1 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji secara empiris. Berdasarkan permasalahan, maka hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut :

PERTUMBUHAN EKONOMI ( Y )

UTANG LUAR NEGERI ( x )


(52)

1. Utang luar negeri ( foreign debt ) memiliki hubungan satu arah yang signifikan dengan pertumbuhan ekonomi, ceteris paribus.

2. Utang luar negeri memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, ceteris paribus.

3. Utang luar negeri memilki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah krisis ekonomi, ceteris paribus.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang dilakukan dalam mengumpulkan informasi guna memecahkan masalah dan menguji hipotesis dari sebuah penelitian.


(53)

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series yang bersifat kuantitatif yaitu berupa data tahunan dalam bentuk angka dalam kurun waktu 1988-2008 (21 tahun).Sumber data diperoleh dari Bank Indonesia (BI),Badan Pusat Statistik (BPS),jurnal-jurnal dan hasil penelitian serta sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan variabel-variabel yang digunakan untuk keperluan penelitian ini.

3.3 Model Analisis Data

Metode analisis dalam penelitian ini adalah Cointegration Test dan Granger Causality Test. Analisis Cointegration test bertujuan untuk melihat hubungan antara utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang. Sedangkan analisis Granger test adalah untuk melihat hubungan timbal balik (kausal) antara utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dalam kaitannya dengan metode tersebut maka pengujian perilaku data runtun waktu (time series) dan integrasinya dapat dipandang sebagai uji prasyarat bagi digunakannya metode cointegrasi test dan Granger causality test. Sebelum dilakukan estimasi kedua model tersebut, maka terlebih dahulu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

3.3.1 Uji Akar Unit ( Unit Root Test )

Pengujian ini merupakan uji stasioneritas, Prinsip dari uji akar unit ini adalah untuk mengamati atau mendeteksi stasioneritas data Time series yang diteliti. Adapun formula dari uji Augmented Dickey Fuller (ADF) yang ditaksir dengan OLS seperti persamaan berikut :

DXt = BXt + bi Bi DXt...( 1 )


(1)

HASIL GRANGER LAG 1

Pairwise Granger Causality Tests Date: 03/03/10 Time: 16:32 Sample: 1988 2008

Lags: 1

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

Y does not Granger Cause ULN 20 11.8494 0.00311


(2)

HASIL REGRES KOINTEGRASI TES

Null Hypothesis: D(RESID01) has a unit root Exogenous: None

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=0)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.940951 0.0056 Test critical values: 1% level -2.692358

5% level -1.960171

10% level -1.607051

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20

observations and may not be accurate for a sample size of 19

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID01,2) Method: Least Squares

Date: 03/03/10 Time: 17:36 Sample (adjusted): 1990 2008

Included observations: 19 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(RESID01(-1)) -0.713339 0.242554 -2.940951 0.0087 R-squared 0.320821 Mean dependent var 329.3559 Adjusted R-squared 0.320821 S.D. dependent var 4549.532 S.E. of regression 3749.375 Akaike info criterion 19.34776 Sum squared resid 2.53E+08 Schwarz criterion 19.39747 Log likelihood -182.8037 Durbin-Watson stat 1.850406


(3)

Dependent Variable: LGROWTH Method: Least Squares

Date: 02/23/10 Time: 11:28 Sample: 1988 2008

Included observations: 21

Variable

Coefficie

nt Std. Error t-Statistic Prob.

C

8.53852

7 1.069807 7.981371 0.0000 LULN

0.55590

1 0.112196 4.954748 0.0001 DUMMY

0.60180

8 0.117992 5.100413 0.0001

R-squared

0.79481

5 Mean dependent var

14.2229 3 Adjusted

R-squared

0.77201

7 S.D. dependent var

0.54378 5 S.E. of regression

0.25964

4 Akaike info criterion

0.27255 3 Sum squared resid

1.21347

1 Schwarz criterion

0.42177 1 Log likelihood

0.13819

0 F-statistic

34.8628 9 Durbin-Watson stat

0.80301

1 Prob(F-statistic)

0.00000 1


(4)

HASIL REGRES MULTIKOLINEARITY

Variabel LX1 DUMMY

LX1 1.000000 0.075562


(5)

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic

5.07228

5 Probability

0.02203 7 Obs*R-squared

8.40318

7 Probability

0.01497 2

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 03/05/10 Time: 14:41

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable

Coefficie

nt Std. Error t-Statistic Prob.

C

362153.

6 119944.4 3.019345 0.0092

LULN

-0.01535

9 0.065266 -0.235331 0.8174

DUMMY

-0.02157

6 0.077376 -0.278850 0.7844 AR(1)

0.13016

5 0.043110 3.019383 0.0092

RESID(-1)

-0.62537

6 0.280129 -2.232453 0.0424

RESID(-2)

-0.29657

3 0.266346 -1.113488 0.2843

R-squared

0.42015

9 Mean dependent var

3.73E-05 Adjusted

R-squared

0.21307

3 S.D. dependent var

0.08273 6


(6)