a. Gejala Fisik
Gejala fisik yang muncul yaitu tampak lebih tua dibandingkan waktu bekerja, uban bertambah banyak, berkeriput, pemurung, layu, sayu, lemas, tidak bergairah dan
mudah sakit-sakitan.
b. Gejala Psikis
Gejala psikis yang sering muncul adalah tidak pernah merasa puas, sering merasa putus asa, apatis, depresi, serba salah, menarik diri, malu bertemu dengan
orang lain atau malah sebaliknya seperti cepat tersinggung, tidak toleran, mudah marah, eksplosif, gelisah, agresif dan suka menyerang dengan kata-kata ataupun
dengan benda-benda. Bahkan tidak jarang menjadi beringas dan setengah sadar.
2.1.3 Penyebab Post Power Syndrome
Individu usia 55 –65 tahun mengalami fase generativitas dengan stagnasi dan
fase integritas diri dengan putus asa dalam tahap perkembangan hidup. Pada individu yang mengalami post power syndrome, fase stagnasi dan putus asalah yang
mendominasi perilakunya. Fase stagnasi adalah fase dimana individu terpaku dan berhenti dalam beraktivitas atau berkarya, sementara pada fase putus asa, individu
merasakan kecemasan yang mendalam, merasa hidupnya sia-sia, tidak berarti Purwanti, 2009.
Menurut Kartono 2002 penyebab post power syndrome antara lain: a.
Individu merasa terpotong atau tersisih dari orbit resmi, yang sebenarnya ingin dimiliki dan dikuasai terus menerus
b. Individu merasa sangat kecewa, sedih, sengsara berkepanjangan, seolah-olah
dunianya merupakan lorong-lorong buntu yang tidak bisa ditembus lagi c.
Emosi-emosi negatif yang sangat kuat dari kecemasan-kecemasan hebat yang berkelanjutan itu langsung menjadi reaksi somatisme yang mengenai sitem
peredaran darah, jantung dan sistem syaraf yang sifatnya serius, yang bisa menyebabkan kematian
Rini 2001 mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi post power syndrome akibat pensiun, yaitu:
a. Kepuasan Kerja dan Pekerjaan
Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena disamping mendatangkan uang dan fasilitas, dapat juga memberikan kebanggan dan nilai pada diri sendiri. Pada
dasarnya orang yang mengalami permasalahan pada saat pensiun cenderung sudah memiliki kondisi mental yang tidak stabil, konsep diri yang negatif dan kurangnya
rasa pecaya diri terutama yang berkaitan dengan kompetensi diri dan keuanganpenghasilan. Orang dengan harga diri rendah saat masa produktifnya
cenderung akan overachiever memiliki obsesi yang tinggi hanya untuk membuktikan dirinya sehingga mereka bekerja habis-habisan dan mengabaikan
sosialisasi dengan sesamanya, sehingga ketika masa pensiun datang mereka akan
kehilangan harga diri dan ditambah kesepian karena tidak mempunyai teman-teman. Hal tersebut akan mulai menimbulkan depresi.
b. Usia
Pensiun sering diartikan sebagai tanda seseorang memasuki masa lansia. Banyak orang yang takut menghadapi masa lansia karena asumsinya jika sudah
lansia, maka fisik akan semakin lemah, semakin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan makin tidak menarik dan makin banyak hambatan lain yang membuat
hidup menjadi terbatas. Lansia yang telah memasuki masa pensiun biasanya sering sakit-sakitan. Masalah tersebut terjadi karena pemahaman negatif tentang pensiun
seperti menganggap bahwa pensiun itu merupakan pertanda bahwa dirinya sudah tidak berguna dan dibutuhkan lagi, sehingga persepsinya akan terganggu dan ia
menjadi sangat sensitif dan subyektif terhadap stimulus yang ditangkap. Jika masa tua tidak dihadapi secara realistis seperti tidak mau menerima kenyataan bahwa manusia
akan semakin tua dan harus pensiun akan dapat menimbulkan masalah serius seperti post power syndrome dan depresi.
c. Kesehatan
Penghasilan dan kesehatan cenderung menurun sehingga muncul rasa kurang mendapat penghargaan dari dunia sekitar yang disebut dengan post power syndrome.
Apabila tidak dipersiapkan dengan baik dapat menimbulkan berbagai penyakit fisik dan mental. Kesehatan mental dan fisik merupakan prekondisi yang mendukung
keberhasilan seseorang beradaptasi terhadap perubahan hidup yang disebabkan oleh pensiun. Sebenarnya pensiun tidak menyebabkan orang menjadi cepat tua dan sakit-
sakitan, malahan berpotensi meningkatkan kesehatan karena mereka semakin bisa mengatur waktu untuk memperhatikan kesehatannya. Permasalahan yang terjadi saat
masa pensiun lebih kepada persepsi orang tersebut terhadap penyakit atau kondisi fisiknya. Jika ia menganggap kondisi fisik atau penyakitnya itu sebagai hambatan
besar dan bersikap pesimis terhadap hidupnya, maka ia akan mengalami masa pensiun dengan penuh kesukaran.
d. Persepsi Seseorang Tentang Bagaimana Ia Akan Menyesuaikan Diri Dengan
Masa Pensiun Orang yang kurang pecaya pada potensi diri sendiri dan kurang mempunyai
kompetensi sosial yang baik akan cenderung merasa pesimis dalam menghadapi masa pensiunnya karena merasa cemas dan ragu, akankah ia mampu menghadapi dan
mengatasi perubahan hidup dan membangun kehidupan yang baru. e.
Status Sosial Sebelum Pensiun Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tetentu sebagai hasil dari
prestasi dan kerja keras, maka akan cenderung lebih memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Namun jika status sosialnya didapatkan bukan murni karena jerih payah
dan prestasinya sendiri maka orang itu akan cenderung mengalami kesulitan saat menghadapi masa pensiun karena begitu pensiun, maka kebanggaan dirinya akan
lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel pada dirinya selama ia masih bekerja.
2.2 Dukungan Keluarga
2.2.1 Pengertian Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Seseorang yang tinggal dalam keluarga besar extended family
akan mendapat dukungan keluarga yang lebih besar daripada seseorang yang tinggal dalam keuarga inti nuclear family Friedman, 2010. Kaplan dan Sadock 2014
menambahkan, dukungan keluarga merupakan suatu bentuk hubungan interpersonal yang melindungi seseorang dari efek stress yang buruk.
Dukungan keluarga adalah sebagai bantuan yang diterima individu dari keluarga yang membuat si penerima merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai
Kuntjoro, 2002. Maka dapat disimpulkan dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga berupa hubungan interpersonal yang melindungi seseorang dari efek stress yang buruk sehingga ia merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai.
Tipe keluarga yang dianut oleh sebuah keluarga dapat mempengaruhi dukungan keluarga yang diterima oleh seseorang. Menurut Murwani 2009
masyarakat Indonesia masih menganut tipe keluarga traditional, diantaranya: 1
Keluarga Inti nuclear family Keluarga inti merupakan keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak
kandung atau angkat.
2 Keluarga Besar extended family
Keluarga besar merupakan keluarga inti ditambah dengan keluarga lain yang mempunyai hubungan darah.
3 Keluarga Dyad
Keluaraga dyad merupakan keluarga yang terdiri dari suami dan istri tanpa anak.
4 Single Parent
Single parent merupakan keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak kandung atau angkat.
5 Keluarga Lanjut Usia
Keluarga lansia merupakan keluarga yang terdiri dari suami istri yang telah lanjut usia.
2.2.2 Jenis-Jenis Dukungan Keluarga
Menurut Friedman 2010 keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan meliputi:
a. Dukungan Informasional
Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan disseminator penyebar informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat
digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat
menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
b. Dukungan Perhatian
Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah serta sebagai sumber dan validator identitas anggota
keluarga. Dukungan perhatian juga merupakan suatu bentuk penghargaan yang diberikan kepada seseorang, bisa berupa penghargaan positif kepada individu,
pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu, perbandingan yang positif dengan individu lain.
c. Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan kongkrit, diantaranya dalam hal pengawasan, keteraturan pengobatan, kebutuhan kesehatan
penderita seperti makan dan minum, istirahat dan tidur, fasilitator dalam mencari sarana kesehatan yang tepat sehingga individu merasa ada kepuasan dan perhatian
yang nyata dari lingkungannya. d.
Dukungan Emosional Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan
simpatik dan empati, kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi
masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati.
2.3 Pengaruh Dukungan Keluarga dengan Post Power Syndrome
Menurut Erikson 1978, menyatakan bahwa tahap lansia sebagai tahap integrity versus despair integritas melawan putus asa, yakni individu yang sukses
akan melampaui tahap ini dengan adaptasi yang baik, menerima berbagai perubahan dengan tulus, mampu berdamai dengan keterbatasannya dan bertambah bijak
menyikapi kehidupan. Sebaliknya mereka yang gagal, akan melewati tahap ini dengan penuh pemberontakan, putus asa dan ingkar terhadap kenyataan yang
dihadapinya yang akan mengarah pada gejala-gejala post power syndrome. Sukses tidaknya seseorang melewati tahap ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya
adalah dukungan dari lingkunagn terdekatnya, yaitu keluarga. Ketika individu tersebut mendapat dukungan dari keluarganya secara optimal maka akan muncul
konsep diri, rasa optimis dan self eficcasy pengaturan diri yang baik dari individu tersebut sehingga akan menurunkan resiko untuk mengalami post power syndrome.
Menurut Schmall Pratt 1993 keluarga memainkan suatu peranan yang signifikan dalam kehidupan pada hampir semua individu. Erawati 2001
menambahkan ketika keluarga tidak menjadi bagian kehidupan seseorang yang sedang mengalami masa transisi seperti masa pensiun, umumnya akan menyebabkan
individu tersebut merasa terabaikan. Santrock dalam Hidayati, 2009 mengemukakan bahwa seseorang yang berhubungan dekat dengan keluarganya mempunyai
kecenderungan lebih sedikit untuk stres dibandingkan dengan seseorang yang memiliki hubungan yang jauh dengan keluarganya. Campbell Kub dalam Lubis,
2009 menambahkan bahwa stres yang berlangsung setiap hari dapat membebani pikiran dan melemahkan daya tahan tubuh, sehingga ketika seseorang tidak dapat lagi
bertahan dengan stres yang ada, maka depresi akan muncul. Darmawan dalam Sutoyo, 2009 juga mengatakan putusnya hubungan
dengan orang-orang yang paling dekat dan disayangi seperti keluarga dapat menyebabkan terjadinya masalah psikologis seperti seseorang menjadi kesepian yang
akan berdampak pada keadaan depresi. Individu yang mengalami depresi akan kehilangan optimismenya dalam menjalani hidup sehingga kecenderungan untuk
mengalami post power syndrome akan meningkat.
2.4 Pensiun