Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Post Power Syndrome pada Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Anggota PWRI Denpasar.

(1)

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN

POST

POWER SYNDROME

PADA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

ANGGOTA PWRI DENPASAR

OLEH :

I PUTU AGUS MARTA OPANA

NIM. 1102105034

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2015


(2)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN

POST

POWER SYNDROME

PADA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

ANGGOTA PWRI DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH :

I PUTU AGUS MARTA OPANA

NIM. 1102105034

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2015


(3)

LEMBAR PESETUJUAN

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN

POST POWER SYNDROME

PADA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

ANGGOTA PWRI DENPASAR

Untuk memenuhi persyaratan Memperoleh gelar sarjana keperawatan

OLEH :

I PUTU AGUS MARTA OPANA NIM. 1102105034

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Ns. Ni Made Dian S. S. Kep. M.Kep, Sp.Kep.J Made Diah Lestari S.Psi, M.Psi NIP. 198408132012122001 NIP. 198104292012122001


(4)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN

POST POWER SYNDROME

PADA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

ANGGOTA PWRI DENPASAR

OLEH :

I PUTU AGUS MARTA OPANA NIM. 1102105034

TELAH DIUJIKAN DIHADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI : ……… TANGGAL : ………

TIM PENGUJI :

1. Ns. Ni Made Dian S. Kep, M.Kep, Sp.Kep.J (Ketua) ……… .

2. Made Diah Lestari S.Psi, M.Psi (Anggota) ……….

3. Ns. Wayan Suardana M.Kep (Pembahas) ……….

MENGETAHUI :

DEKAN

FK UNIVERSITAS UDAYANA

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp. OT (K), M. Kes NIP. 195301311980031004

KETUA

PSIK FK UNIVERSITAS UDAYANA

Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF NIP. 195012311980031015


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan Antara Dukungan

Keluarga Dengan Post Power Syndrome Pada Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Anggota PWRI Denpasar

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu

menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis berikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M. Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF sebagai Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana.

3. Ns. Ni Made Dian S. S. Kep., M. Kep. Sp. Kep. J sebagai pembimbing utama yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Ibu Made Diah Lestari S. Psi, M. Psi sebagai pembimbing pendamping yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun.

Denpasar, Juni 2015


(6)

ABSTRAK

Opana, I Putu Agus Marta. 2015. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Post Power Syndrome Pada Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Anggota PWRI Denpasar. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Pembimbing (1) Ns. Ni Made Dian S. S. Kep., M. Kep. Sp. Kep. J; (2) Made Diah Lestari S. Psi, M. Psi.

Individu yang memasuki masa pensiun sering dianggap sebagai individu yang tuna karya. Individu yang memasuki usia pensiun akan mengalami beberapa penyesuaian seperti psychological adjustments, financial adjustment, marital adjustment, berkurangnya kontak sosial, hilangnya kelompok referensi yang bisa mempengaruhi self image, hilangnya tugas yang berarti dan hilangnya rutinitas. Masalah dalam penyesuaian diri dalam masa pensiun akan menyebabkan seseorang mengalami post power syndrome. Dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya fase post power syndrome. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah dukungan keluarga menurunkan post power syndrome pada pensiunan PNS. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan rancangan penelitian deskriptif korelasional. Sampel dari penelitian ini terdiri dari 135 orang yang dipilih dengan teknik simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemberian kuisioner penelitian berupa instrumen post power syndrome dan instrumen dukungan keluarga. Hasil penelitian berdasarkan uji statistik korelasi Spearman’s-Rho pada

tingkat kemaknaan α=0,05 menunjukan nilai p=0,000(p<α), yang berarti ada hubungan antara dukungan keluarga dengan post power syndrome pada pensiunan PNS. Nilai koefisien korelasi menunjukan angka -0,0828, sehingga dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga dan post power syndrome memiliki hubungan negatif yang kuat.

Kata Kunci: Dukungan keluarga, post power syndrome, pensiun


(7)

ABSTRACT

Opana, I Putu Agus Marta. 2015. The Correlation Between Family Support With Post Power Syndrome On Pensioner Of Civil Servant In PWRI Denpasar. Undergraduate thesis, Nursing Departement, Faculty of Medicine, Udayana University. Supervisors (1) Ns. Ni Made Dian S. S. Kep., M. Kep. Sp. Kep. J; (2) Made Diah Lestari S. Psi, M. Psi.

Someone who is retired often regarded as an unemployed individual. The individual who is retired will have some adjustments such as psychological adjustments, financial adjustment, marital adjustment, reducing of social contact, losing of reference group which could affect self image. Losing the tasks and daily routines. The problems in adjustments of retired people will cause that people suffered post power syndrome. Support the immediate environment, in this case the family, and emotional maturity of someone is very influential on passed of post power syndrome phase. This study aimed to see whether family support could reduce the post power syndrome on pensioner of civil servants. The type of this research is quantitative descriptive with correlational design. Samples of this study consisted of 135 people was selected by simple random sampling technique. Data collection was done by providing instruments such research questionnaires post power syndrome and family support instruments. The result of this study based on correlation test Spearman's-Rho at significance level α= 0.05, showed p value= 0.000(p<α), which means that there is a relationship between family support with post power syndrome on retired civil servants. The correlation coefficient shows the number -0.0828, so it can be concluded that family support and post power syndrome has a strong negative relationship.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 10

1.3Tujuan Penelitian ... 11

1.4Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Post Power Syndrome ... 13

2.1.1 Pengertian Post Power Syndrome ... 13

2.1.2 Gejala-Gejala Post Power Syndrome ... 14

2.1.3 Penyebab Post Power Syndrome ... 15

2.2Dukungan Keluarga ... 19

2.2.1 Pengertian Dukungan Keluarga ... 19

2.2.2 Jenis-Jenis Dukungan Keluarga ... 20

2.3Pengaruh Dukungan Keluarga Dengan Post Power Syndrome ... 22

2.4Pensiun ... 23

2.4.1 Pengertian Pensiun ... 23

2.4.2 Jenis-Jenis Pensiun... 24

2.4.3 Fase Penyesuaian Diri Saat Pensiun ... 25

2.4.4 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Masa Pensiun ... 27

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1Kerangka Konsep ... 30


(9)

3.2.2 Definisi Operasional Variabel ... 32

3.3Hipotesis ... 33

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1Jenis Penelitian... 34

4.2Kerangka Kerja ... 35

4.3Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

4.3.1 Tempat Penelitian ... 36

4.3.2 Waktu Penelitian ... 36

4.4Populasi, Sampel, Teknik Sampling dan Etika Penelitian ... 36

4.4.1 Populasi Penelitian ... 36

4.4.2 Teknik Sampling ... 37

4.4.3 Sampel Penelitian... 37

4.4.4 Etika Penelitian ... 38

4.5Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 40

4.5.1 Jenis Data ... 40

4.5.2 Cara Pengumpulan Data ... 40

4.5.3 Instrumen Pengumpulan Data ... 41

4.6Pengolahan dan Analisa Data ... 48

4.6.1 Pengolahan Data ... 48

4.6.2 Teknik Analisa Data ... 48

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1Hasil Penelitian ... 49

5.1.1 Kondisi Lokasi Penelitian ... 49

5.1.2 Karakteristik Responden ... 49

5.1.3 Hasil Pengamatan Terhadap Objek Penelitian Sesuai Variabel Penelitian ... 53

5.1.4 Hasil Analisis Data ... 58

5.2Pembahasan Hasil Penelitian ... 60

5.2.1 Analisis Tingkat Post Power Syndrome Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ... 60

5.2.2 Analisis Tingkat Dukungan Keluarga Yang Diterima Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ... 64

5.2.3 Analisis Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Post Power Syndrome Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ... 66


(10)

BAB VI PENUTUP

6.1Kesimpulan ... 69 6.2Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Definisi Operasinal Variabel Penelitian ...31

Tabel 2 Penskoran Item Post Power Syndrome ...42

Tabel 3 Blue-Print Instrumen Post Power Syndrome ...43

Tabel 4 Penggolongan Kriteria Analisis berdasarkan Mean Teoritik ...44

Tabel 5Pengkodingan Pada Data Dukungan Keluarga Dan Post Power Syndrome ...47

Tabel 6 Penggolongan Kriteria Analisis ...50

Tabel 7 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia di PWRI Denpasar ...51

Tabel 8 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di PWRI Denpasar ...51

Tabel 9 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Pensiun di PWRI Denpasar ...52

Tabel 10 Distribusi Tingkat Post Power Syndrome Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...53

Tabel 11 Distribusi Tingkat Dukungan Keluarga Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...54

Tabel 12 Distribusi Tingkat Post Power Syndrome Berdasarkan Umur Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...54

Tabel 13 Distribusi Tingkat Post Power Syndrome Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...55

Tabel 14 Distribusi Tingkat Post Power Syndrome Berdasarkan Lama Pensiun Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...56

Tabel 15 Distribusi Tingkat Dukungan Keluarga Berdasarkan Umur Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...56

Tabel 16 Distribusi Tingkat Dukungan Keluarga Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...57

Tabel 17 Distribusi Tingkat Dukungan Keluarga Berdasarkan Lama Pensiun Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...58


(12)

Tabel 18 Distribusi Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Post Power Syndrome Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...59

Tabel 19 Hasil Uji Statistik Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Post Power Syndrome Pada Pensiunan PNS Anggota PWRI Denpasar ...60


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian ... 29


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pernyataan Keaslian Penelitian

Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Penelitian

Lampiran 3 Rencana Anggaran Penelitian

Lampiran 4 Lembar Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 6 Kuisioner Penelitian

Lampiran 7 Master Tabel Uji Validitas dan Reliabilitas

Lampiran 8 Master Tabel

Lampiran 9 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Lampiran 10Hasil Analisa Data

Lampiran 11Surat Izin Melakukan Studi Pendahuluan

Lampiran 12Surat Izin Melakukan Uji Instrumen

Lampiran 13Surat Izin Melakukan Pengumpulan Data

Lampiran 14Surat Rekomendasi Penelitian

Lampiran 15Lembar Konsultasi


(15)

DAFTAR SINGKATAN

BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BPS : Badan Pusat Statistik

DEPSOS : Departemen Sosial

IEA : Institute Of Economic Affairs

IMR : Infant Mortality Rate

LANSIA : Lanjut Usia

MENPAN : Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

PHK : Pemutusan Hubungan Kerja

PNS : Pegawai Negeri Sipil

PP : Peraturan Pemerintah

PWRI : Persatuan Wredatama Republik Indonesia

RSDS : Rumah Sakit Dr. Suyoto

TFR : Total Fertility Rate

UU : Undang-Undang


(16)

\BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bekerja tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seseorang, dengan bekerja

individu tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Hutapea (2005)

dengan bekerja individu dapat menunjukan produktivitas untuk membuktikan

dirinya. Bekerja merupakan suatu aktivitas yang dilakukan individu untuk

mencapai suatu tujuan tertentu. Seseorang dapat memperoleh kepuasan tersendiri

dengan bekerja, disamping mendatangkan uang dan fasilitas, juga dapat

memberikan nilai dan kebanggaan tersendiri. Kondisi sebaliknya akan dialami

oleh individu yang tidak bekerja, individu tersebut akan mengalami kesukaran

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Individu yang bekerja, terutama pekerjaan yang bersifat formal seperti

menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan mendapatkan penghasilan yang cukup,

jaminan di hari tua, tunjangan diluar gaji pokok, minim ancaman untuk terkena

pemutusan hubungan kerja (PHK), dan strata yang tinggi dalam masyarakat.

Menurut perencana keuangan Freddy Pieloor (dalam Hasanah, 2014) PNS akan

mendapatkan pekerjaan yang tetap dan berkesinambungan, tetapi PNS akan

dibatasi oleh ruang dan waktu, berkaitan dengan kapan individu tersebut diangkat,

kewajiban menjalankan tugas kedinasan, dipromosikan maupun berbagai hal

sesuai dengan peraturan yang berlaku misalnya, karena kesalahan, dipindahkan,


(17)

2

individu tersebuat akan memasuki periode yang biasa disebut dengan pensiun

(Ermayanti & Abdullah, 2007).

Pensiun merupakan berakhirnya masa kerja yang formal dan memulai

peran baru dalam kehidupan (Turner, 1997).Schwart (dalam Hurlock, 2009)

menyatakan pensiun merupakan akhir dari pola hidup. Pensiun dapat diartikan

sebagai keadaan individu yang telah berhenti bekerja yang merupakan kebiasaan

atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan sehari-hari.Individu yang sudah tidak

bekerja lagi disebut dengan pensiunan. Normalnya seseorang akan pensiun bila

telah mencapai usia tertentu.

Usia pensiun di Amerika Serikat ditetapkan menjadi 70 tahun untuk

perusahaan, industri, dan pemerintah federal (Santrock, 2002). Di Indonesia

terdapat kebijakan sendiri dalam hal usia pensiun. Dalam Undang-Undang

Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 90

menyatakan batas usia pensiun adalah 58 tahun bagi Pejabat Administrasi dan 60

tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi (Kopertis12.or.id,2014). Usia pensiun guru

dan PNS diatur dalam PP nomor 65 tahun 2008, disana tertulis usia pensiun untuk

PNS umum adalah 56 tahun dan guru adalah 60 tahun(WageIndicator.org, 2014).

Tahun 2014 pemerintah akan mempensiunkan 80.000 PNS

(cpnsindonesia.com, 2014). Deputi Menpan untuk Sumber Daya Manusia dan

Aparatur Negara Tasdik Kinanto (dalam Siregar, 2010) mengatakan bahwa setiap

tahunnya ada sekitar 110 ribu sampai 120 ribu orang PNS yang akan memasuki

masa pensiun. Tahun 2015 diprediksi akan terdapat sekitar 4,9 juta pensiunan


(18)

3

Individu yang memasuki masa pensiun sering dianggap sebagai individu

yang tuna karya(tidak dibutuhkan lagi tenaga dan pikirannya). Anggapan

semacam ini membuat individu tersebut tidak bisa lagi menikmati masa pensiun

dengan hidup santai dan ikhlas. Ketakutan menghadapi masa pensiun membuat

banyak individu mengalami masalah serius baik dari segi kejiwaan maupun fisik,

terlebih individu yang memiliki ambisi yang besar serta sangat menginginkan

posisi yang tinggi dalam pekerjaannya. Memasuki tahapan tanpa kerja itu akan

dirasakan sebagai pukulan batin. Muncullah perasaan sedih, takut, cemas, putus

asa, bingung, yang semuanya jelas mengganggu fungsi-fungsi kejiwaan dan

organiknya (Achmad, 2013).

Menurut Turner & Helms (1997), seseorang yang memasuki usia pensiun

akan mengalami beberapa penyesuaian seperti psychological adjustments meliputi

berkurangnya harga diri, financial adjustment meliputi berkurangnya sumber

penghasilan, marital adjustment meliputi ketidakharmonisan pasangan dan

kepergian pasangan, berkurangnya kontak sosial, hilangnya kelompok referensi

yang bisa mempengaruhi self image, hilangnya tugas yang berarti dan hilangnya

rutinitas. Mercola (2013) dalam laporan terbaru dari Institute of Economic Affairs

(IEA) menyatakan bahwa pensiun juga dapat meningkatkan resiko depresi sebesar 40 %.

Masalah penyesuaian diri dalam masa pensiun tersebut akan menyebabkan

seseorang mengalami fenomena yang disebut dengan post power syndrome.

Menurut Hartati (2002) post power syndrome merupakan sindrom yang


(19)

4

menambahkan post power syndrome merupakan bentuk dari reaksi negatif yang

muncul dalam menghadapi masa pensiun seperti merasa tidak berdaya, minder

bahkan muncul gejala stress seperti mudah marah, susah tidur, malas bekerja,

sering pusing atau muncul kecemasan bahkan berbagai penyakit dan tidak jarang

pula individu merasa powerless.

Menurut Kartono (2002) post power syndrome adalah gejala yang terjadi

dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya,

kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal-hal lain), dan seakan– akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Gejala post power syndrome

tersebut dapat terjadi pada semua individu yang telah pensiun. Unit Psikologi

Rehab Medik Rumah Sakit Dr. Suyoto (RSDS) (2010) juga menyatakan post

power syndrome hampir selalu dialami oleh orang yang sudah lanjut usia (lansia) dan pensiun dari pekerjaannya. Permasalahan ini disebabkan karena ketika

pensiun banyak yang berubah pada individu tersebut karena dirinya tidak lagi

bekerja seperti kehilangan harga diri atau hilangnya jabatan, menyebabkan

hilangnya perasaan atas pengakuan diri, kehilangan fungsi eksekutifnya yang

memberikan kebanggaan diri, kehilangan perasaan sebagai individu yang

memiliki arti dalam kelompok tertentu, kehilangan orientasi kerja, dan kehilangan

sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu (Pitaloka, 2008).

Achmad (2013) menemukan bahwa dari 30 sampel subjek penelitian yang

diberi skala post power syndrome, semuanya tergolong mengalami post power

syndrome dalam kategori tinggi. Purwanti (2009) dalam penelitiannya juga


(20)

5

post power syndrome dalam kategori sangat tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Nofita (2011) menemukan bahwa individu yang terkena post power syndrome

akan malu dengan lingkungannya karena kondisi sosial dan ekonominya sehingga

cenderung mengalami kecemasan setelah pensiun.

Menurut Murwani (2009) post power syndrome terjadi karena tidak

adanya persiapan dan tidak adanya penyesuaian terhadap peran saat pensiun.

Menurut Achmad (2013) individu yang mengalami post power syndrome dapat

dilihat dari gejala-gejalanya yaitu ditandai dengan rasa kecewa, bingung,

kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa, ketergantungan, kekosongan, dan

kerinduan. Harga diri juga menurun, merasa tidak lagi dihormati dan terpisah dari

kelompok. Perubahan ini biasanya tidak begitu disadari oleh yang bersangkutan.

Semua berujung kepada sikap marah-marah yang tidak menentu. Sudah terbiasa

memerintah siapapun kini tak ada lagi yang mau diperintah. Keluarga terdekat,

istri, anak, dan bisa jadi malah pembantu yang biasanya menjadi korban dan

sasaran marah-marah. Gejala-gejala tersebut menunjukan bahwa individu yang

mengalami post power syndrome juga berisiko mengalami depresi. Semiun (2010)

menyatakan post power syndrome terjadi bukanlah karena situasi pensiun atau

menganggur tersebut, melainkan bagaimana cara individu menghayati dan

merasakan keadaan baru tersebut.

Individu yang memasuki usia pensiun juga akan memasuki fase lansia.

Menurut UU no. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa

lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Sutarti, 2014).


(21)

6

tercepat dibanding kelompok usia lainnya. Tahun 2025 diperkirakan akan terdapat

1,2 milyar lansia dan ditahun 2050 akan menjadi 2 milyar (21% total penduduk).

Sekitar 80% lansia hidup di negara berkembang dan wilayah Asia-Pasifik

merupakan bagian dunia yang tercepat pertumbuhan lansianya. Indonesia

merupakan salah satu negara Asia yang tergolong cepat pertumbuhan penduduk

lansianya. Dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Menurut data

World Health Organisation (WHO), sejak tahun 2000 penduduk Indonesia sudah tergolong berstruktur tua, dimana jumlah lansia lebih dari 7% jumlah total

penduduk. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2000 menunjukan

penduduk lansia sudah berjumlah 14,4 juta (7,18%) dan pada tahun 2020

diperkirakan akan menjadi dua kali lipat. Bali merupakan salah satu provinsi yang

penduduknya telah memasuki struktur tua yaitu jumlah lansia telah mencapai

11,02 % dari total jumlah penduduk. (Rettyirawasir, 2009).

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),

diperkirakan penduduk Indonesia akan mencapai 273,65 juta jiwa pada tahun

2025. Pada tahun yang sama angka harapan hidup diperkirakan mencapai 73

tahun. Tahun 2012 angka harapan hidup di Indonesia sudah mencapai 70 tahun.

Indonesia diperkirakan akan mampu menekan angka kelahiran total (Total

Fertility Rate–TFR) dan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate–IMR) serta meningkatkan proporsi penduduk lansia (Bappenas, 2005).

Peningkatan usia harapan hidup menjadi salah satu indikator keberhasilan

pembangunan sekaligus sebagai tantangan dalam pembangunan karena akan


(22)

7

berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi dan kesehatan.

Dukungan dari lingkungan terdekat terutama keluarga akan sangat membantu

lansia dalam melewati masa sulit dalam hidupnya, seperti dalam melewati masa

pensiun, sehingga terhindar dari keadaan post power syndrome (Lestari &

Santoso, 2008). Jika masa pensiun terlewati dengan baik maka hal ini merupakan

modal bagi masa lansia yang lebih baik.

Unit Psikologi Rehab Medik RSDS (2010) menyatakan dukungan

lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang

sangat berpengaruh pada terlewatinya fase post power syndrome. Musadi (2013)

dalam penelitiannya menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara

dukungan sosial dan religiusitas secara bersama-sama terhadap kecenderungan

post power syndrome sehingga semakin tinggi dukungan sosial dan religiusitas maka semakin rendah kecenderungan post power syndrome. Safitri (2010) juga

menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan dukungan sosial dan

kepribadian secara bersama-sama terhadap penyesuaian diri pada masa pensiun

sebesar 57,3%. Ermayanti & Abdullah (2007) menambahkan bahwa ada

hubungan positif antara persepsi terhadap dukungan sosial dengan penyesuaian

diri pada masa pensiun.

Individu yang memperoleh dukungan yang baik dari lingkungannya

khususnya keluarga terdekatnya akan lebih mampu menghadapi permasalahan

yang muncul, terutama individu yang sedang menghadapi masa pensiun.

Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta sangat membantu individu


(23)

orang-8

orang yang dicintainya memahami dan mengerti tentang keadaan dirinya, atau

ketidakmampuannya mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaannya

dan lebih mampu berpikir dengan tenang. Hal itu akan mengembalikan kreativitas

dan produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu. Hasilnyaakan sangat berbeda

jika keluarga malah mengejek dan selalu menyindirnya, menggerutu, bahkan

mengolok-oloknya (Ermayanti & Abdullah, 2007).

Menurut Setiadi (2006) keluarga adalah bagian dari masyarakat yang

perannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat. Dari dalam

keluarga pendidikan kepada individu dimulai, untuk membangun suatu

kebudayaan maka seyogyanya di mulai dari keluarga, sehingga akan tercipta

tatanan masyarakat yang baik. Dukungan keluarga merupakan hal yang penting,

karena keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat, baik secara fisik

maupun sosial. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama ditemui oleh

individu dan menjadi tempat yang paling penting dalam perkembangan hidup

manusia. Utami (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa ada pengaruh

yang sangat signifikan antara gaya dukungan keluarga terhadap kecenderungan

post power syndrome. Safitri (2010) menambahkan bahwa secara parsial dukungan sosial (keluarga) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

penyesuaian diri terhadap masa pensiun yaitu sebesar 48,6%. Jika penyesuaian

diri pada individu yang pensiun tersebut baik maka resiko untuk terkena post

power syndrome akan menurun. Individu yang memiliki dukungan keluarga baik, maka akan memiliki konsep diri yang positif dan meningkatkan rasa optimisme


(24)

9

Purwanti (2009) menyatakan ada hubungan negatif antara konsep diri dan

post power syndrome. Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala

sesuatu sehingga akan terhindar dari post power syndrome. Achmad (2013) juga

menemukan bahwa ada pengaruh negatif yang signifikan antara optimisme

menghadapi masa pensiun terhadap post power syndrome. Dukungan keluarga

berfungsi untuk meyakinkan individu yang sudah pensiun bahwa dia harus tetap

yakin dan memiliki rasa yang kuat tentang kemampuan dirinya (self efficacy).

Andardini & Ingarianti (2012) menemukanbahwa semakin tinggi self efficacy

yang ada maka akan diikuti dengan semakin rendahnya post power syndrome.

Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) merupakan lembaga

suadaya yang beranggotakan pensiunan PNS. Lembaga ini bertujuan untuk

memfasilitasi para pensiunan untuk tetap memiliki kegiatan yang positif dalam

masa tuanya. Berdasarkan laporan semester II PWRI kota Denpasar pada tahun

2013 jumlah anggotanya adalah 1.486 orang, dimana anggota yang aktif dengan

tetap membayar uang iuran keanggotaan sebanyak 1.253 orang. Anggota yang

tetap aktif mengikuti kegiatan dari PWRI Denpasar, berdasarkan dari keterangan

staf dan sekretarisnya yaitu sekitar 300 orang, namun dari hasil survei yang

dilakukan setiap ada kegiatan di PWRI didapatkan jumlah anggota yang rutin

hadir sekitar 200 orang.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan dengan mewawancarai lima

anggota PWRI Denpasar menunjukan tiga orang pensiunan memandang pensiun


(25)

10

bebas dari tugas-tugas yang memberatkan semasa kerjanya. Menurut mereka hal

yang mempengaruhi kenyamanannya dalam menghadapi masa pensiun adalah

perhatian dari keluarganya, saat pensiun mereka memiliki waktu luang yang

banyak untuk bersama keluarganya. Dua orang pensiunan lainnya memiliki

pendapat yang berbeda, yang satu mengatakan pensiun akan mengurangi

penghasilannya, sementara yang lagi satu mengatakan saat pensiun

kemampuannya ketika masih muda sudah menurun sehingga tidak bisa leluasa

beraktivitas seperti dulu kala. Perhatian dari keluarga tidak begitu mereka rasakan

karena saat mereka sudah pension, memiliki waktu luang yang banyak, justru

malah anak dan cucunya yang sibuk bekerja dan memiliki aktivitas

masing-masing sehingga mereka sering diam sendiri di rumah. Hal ini menunjukan bahwa

dukungan keluarga berpengaruh terhadap penyesuaian diri pada individu yang

memasuki usia pensiun dan terlihat bahwa ada kecenderungan terjadi post power

syndrome pada pensiunan dengan dukungan keluarga kurang.

Berdasarkan paparan di atas maka peneliti tertarik untuk mengungkap

apakah dukungan keluarga menurunkan post power syndrome pada pensiunan

PNS anggota PWRI Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah dukungan keluarga menurunkan post power syndrome pada


(26)

11

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk melihat apakah dukungan keluarga menurunkan post power

syndrome pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin

dan lama pensiun

2. Mengidentifikasi tingkat post power syndrome pada pensiunan PNS anggota

PWRI Denpasar

3. Mengidentifikasi tingkat dukungan keluarga pada pensiunan PNS anggota

PWRI Denpasar

4. Mengidentifikasi tingkat post power syndrome berdasarkan jenis kelamin,

umur dan lama pensiun pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar

5. Mengidentifikasi tingkat dukungan keluarga berdasarkan jenis kelamin,

umur dan lama pensiun pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar

6. Menganalisis hubungan antara dukungan keluarga dengan post power

syndrome pada pensiunan PNS anggota PWRI Denpasar

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Dapat digunakan dalam mengembangkan ilmu keperawatan di bidang jiwa,

keperawatan gerontik dan komunitas khususnya pada masalah hubungan


(27)

12

2. Dapat digunakan sebagai referensi untuk melaksanakan penelitian

selanjutnya mengenai hubungan antara dukungan keluarga dengan post

power syndrome pada pensiunan PNS atau faktor-faktor lain yang

mempengaruhipost power syndrome pada pensiunan PNS yang lebih

sempurna.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dengan mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan post

power syndrome pada pensiunan PNS maka akan bermanfaat untuk;

1. Individu yang akan atau yang sudah memasuki usia pensiun dapat mencegah

dan menanggulangi gejala post power syndrome.

2. Keluarga dapat mengetahui perannya dalam membantu individu yang

mengalami atau menunjukan gejala post power syndrome.

3. PWRI Denpasar akan mampu menyusun program untuk mencegah dan


(28)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Post Power Syndrome

2.1.1 Pengertian Post Power Syndrome

Post power syndrome merupakan bentuk dari reaksi negatif yang muncul dalam menghadapi masa pensiun seperti merasa tidak berdaya, minder bahkan

muncul gejala stress seperti mudah marah, susah tidur, malas bekerja, sering pusing

atau muncul kecemasan bahkan berbagai penyakit dan tidak jarang pula individu

merasa powerless (Helmi, 2000).

Menurut Kartono (2002) post power syndrome adalah gejala yang terjadi

dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya,

kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal-hal lain), dan seakan–akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Gejala post power syndrome tersebut

dapat terjadi pada semua individu yang telah pensiun.

Post power syndrome adalah reaksi somatik dalam bentuk sekumpulan simptom penyakit, luka-luka, serta kerusakan fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah

yang bersifat progresif, dan penyebabnya adalah pensiun atau karena sudah tidak

mempunyai jabatan dan kekuasaan lagi (Semiun, 2006).

Simptom-simptom penyakit ini disebabkan oleh banyaknya stress

(ketegangan, tekanan batin), rasa kecewa dan ketakutan yang mengganggu


(29)

luka-14

luka dan kerusakan yang progresif (terus berkembang atau meluas). Post power

syndrome tersebut banyak dialami oleh para pensiunan, mantan purnawirawan, mantan karyawan dan mereka yang tidak mampu melakukan adaptasi yang sehat

terhadap tuntutan kondisi hidup baru (Achmad, 2013). Menurut Setiati dkk. (2006)

syndrome adalah kumpulan gejala sedangkan power adalah kekuasaan, maka post

power syndrome adalah gejala pasca kekuasaan yang muncul berupa

gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil dan biasanya gejala-gejala itu bersifat

negatif.

Berdasarkan berbagai definisi di atas maka dapat disimpulkan post power

syndrome adalah reaksi somatik dalam bentuk sekumpulan simtom penyakit, luka-luka, serta kerusakan fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang bersifat progresif

pasca kekuasaan (pensiun) berupa reaksi negatif seperti merasa tidak berdaya, minder

bahkan muncul gejala stress seperti mudah marah, susah tidur, malas bekerja, sering

pusing atau muncul kecemasan, terbayang dalam kebesaran masa lalunya (karirnya,

kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal-hal lain), dan seakan–akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini.

2.1.2 Gejala-Gejala Post Power Syndrome

Menurut Kartono (2002) gejala post power syndrome dapat dibedakan


(30)

15

a. Gejala Fisik

Gejala fisik yang muncul yaitu tampak lebih tua dibandingkan waktu bekerja,

uban bertambah banyak, berkeriput, pemurung, layu, sayu, lemas, tidak bergairah dan

mudah sakit-sakitan.

b. Gejala Psikis

Gejala psikis yang sering muncul adalah tidak pernah merasa puas, sering

merasa putus asa, apatis, depresi, serba salah, menarik diri, malu bertemu dengan

orang lain atau malah sebaliknya seperti cepat tersinggung, tidak toleran, mudah

marah, eksplosif, gelisah, agresif dan suka menyerang dengan kata-kata ataupun

dengan benda-benda. Bahkan tidak jarang menjadi beringas dan setengah sadar.

2.1.3 Penyebab Post Power Syndrome

Individu usia 55–65 tahun mengalami fase generativitas dengan stagnasi dan fase integritas diri dengan putus asa dalam tahap perkembangan hidup. Pada individu

yang mengalami post power syndrome, fase stagnasi dan putus asalah yang

mendominasi perilakunya. Fase stagnasi adalah fase dimana individu terpaku dan

berhenti dalam beraktivitas atau berkarya, sementara pada fase putus asa, individu

merasakan kecemasan yang mendalam, merasa hidupnya sia-sia, tidak berarti


(31)

16

Menurut Kartono (2002) penyebab post power syndrome antara lain:

a. Individu merasa terpotong atau tersisih dari orbit resmi, yang sebenarnya ingin

dimiliki dan dikuasai terus menerus

b. Individu merasa sangat kecewa, sedih, sengsara berkepanjangan, seolah-olah

dunianya merupakan lorong-lorong buntu yang tidak bisa ditembus lagi

c. Emosi-emosi negatif yang sangat kuat dari kecemasan-kecemasan hebat yang

berkelanjutan itu langsung menjadi reaksi somatisme yang mengenai sitem

peredaran darah, jantung dan sistem syaraf yang sifatnya serius, yang bisa

menyebabkan kematian

Rini (2001) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi post power

syndrome akibat pensiun, yaitu: a. Kepuasan Kerja dan Pekerjaan

Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena disamping mendatangkan

uang dan fasilitas, dapat juga memberikan kebanggan dan nilai pada diri sendiri. Pada

dasarnya orang yang mengalami permasalahan pada saat pensiun cenderung sudah

memiliki kondisi mental yang tidak stabil, konsep diri yang negatif dan kurangnya

rasa pecaya diri terutama yang berkaitan dengan kompetensi diri dan

keuangan/penghasilan. Orang dengan harga diri rendah saat masa produktifnya

cenderung akan overachiever (memiliki obsesi yang tinggi) hanya untuk

membuktikan dirinya sehingga mereka bekerja habis-habisan dan mengabaikan


(32)

17

kehilangan harga diri dan ditambah kesepian karena tidak mempunyai teman-teman.

Hal tersebut akan mulai menimbulkan depresi.

b. Usia

Pensiun sering diartikan sebagai tanda seseorang memasuki masa lansia.

Banyak orang yang takut menghadapi masa lansia karena asumsinya jika sudah

lansia, maka fisik akan semakin lemah, semakin banyak penyakit, cepat lupa,

penampilan makin tidak menarik dan makin banyak hambatan lain yang membuat

hidup menjadi terbatas. Lansia yang telah memasuki masa pensiun biasanya sering

sakit-sakitan. Masalah tersebut terjadi karena pemahaman negatif tentang pensiun

seperti menganggap bahwa pensiun itu merupakan pertanda bahwa dirinya sudah

tidak berguna dan dibutuhkan lagi, sehingga persepsinya akan terganggu dan ia

menjadi sangat sensitif dan subyektif terhadap stimulus yang ditangkap. Jika masa tua

tidak dihadapi secara realistis seperti tidak mau menerima kenyataan bahwa manusia

akan semakin tua dan harus pensiun akan dapat menimbulkan masalah serius seperti

post power syndrome dan depresi. c. Kesehatan

Penghasilan dan kesehatan cenderung menurun sehingga muncul rasa kurang

mendapat penghargaan dari dunia sekitar yang disebut dengan post power syndrome.

Apabila tidak dipersiapkan dengan baik dapat menimbulkan berbagai penyakit fisik

dan mental. Kesehatan mental dan fisik merupakan prekondisi yang mendukung


(33)

18

sakitan, malahan berpotensi meningkatkan kesehatan karena mereka semakin bisa

mengatur waktu untuk memperhatikan kesehatannya. Permasalahan yang terjadi saat

masa pensiun lebih kepada persepsi orang tersebut terhadap penyakit atau kondisi

fisiknya. Jika ia menganggap kondisi fisik atau penyakitnya itu sebagai hambatan

besar dan bersikap pesimis terhadap hidupnya, maka ia akan mengalami masa

pensiun dengan penuh kesukaran.

d. Persepsi Seseorang Tentang Bagaimana Ia Akan Menyesuaikan Diri Dengan

Masa Pensiun

Orang yang kurang pecaya pada potensi diri sendiri dan kurang mempunyai

kompetensi sosial yang baik akan cenderung merasa pesimis dalam menghadapi masa

pensiunnya karena merasa cemas dan ragu, akankah ia mampu menghadapi dan

mengatasi perubahan hidup dan membangun kehidupan yang baru.

e. Status Sosial Sebelum Pensiun

Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tetentu sebagai hasil dari

prestasi dan kerja keras, maka akan cenderung lebih memiliki kemampuan adaptasi

yang baik. Namun jika status sosialnya didapatkan bukan murni karena jerih payah

dan prestasinya sendiri maka orang itu akan cenderung mengalami kesulitan saat

menghadapi masa pensiun karena begitu pensiun, maka kebanggaan dirinya akan

lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel pada dirinya


(34)

19

2.2 Dukungan Keluarga

2.2.1 Pengertian Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap

penderita yang sakit. Seseorang yang tinggal dalam keluarga besar (extended family)

akan mendapat dukungan keluarga yang lebih besar daripada seseorang yang tinggal

dalam keuarga inti (nuclear family) (Friedman, 2010). Kaplan dan Sadock (2014)

menambahkan, dukungan keluarga merupakan suatu bentuk hubungan interpersonal

yang melindungi seseorang dari efek stress yang buruk.

Dukungan keluarga adalah sebagai bantuan yang diterima individu dari

keluarga yang membuat si penerima merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai

(Kuntjoro, 2002).

Maka dapat disimpulkan dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan

penerimaan keluarga berupa hubungan interpersonal yang melindungi seseorang dari

efek stress yang buruk sehingga ia merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai.

Tipe keluarga yang dianut oleh sebuah keluarga dapat mempengaruhi

dukungan keluarga yang diterima oleh seseorang. Menurut Murwani (2009)

masyarakat Indonesia masih menganut tipe keluarga traditional, diantaranya:

1) Keluarga Inti (nuclear family)

Keluarga inti merupakan keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak


(35)

20

2) Keluarga Besar (extended family)

Keluarga besar merupakan keluarga inti ditambah dengan keluarga lain yang

mempunyai hubungan darah.

3) Keluarga Dyad

Keluaraga dyad merupakan keluarga yang terdiri dari suami dan istri tanpa

anak.

4) Single Parent

Single parent merupakan keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak (kandung atau angkat).

5) Keluarga Lanjut Usia

Keluarga lansia merupakan keluarga yang terdiri dari suami istri yang telah

lanjut usia.

2.2.2 Jenis-Jenis Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (2010) keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan

meliputi:

a. Dukungan Informasional

Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan disseminator (penyebar) informasi

tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat

digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah


(36)

21

menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam

dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.

b. Dukungan Perhatian

Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing dan

menengahi pemecahan masalah serta sebagai sumber dan validator identitas anggota

keluarga. Dukungan perhatian juga merupakan suatu bentuk penghargaan yang

diberikan kepada seseorang, bisa berupa penghargaan positif kepada individu,

pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu, perbandingan yang positif

dengan individu lain.

c. Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan kongkrit,

diantaranya dalam hal pengawasan, keteraturan pengobatan, kebutuhan kesehatan

penderita seperti makan dan minum, istirahat dan tidur, fasilitator dalam mencari

sarana kesehatan yang tepat sehingga individu merasa ada kepuasan dan perhatian

yang nyata dari lingkungannya.

d. Dukungan Emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Setiap orang pasti

membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan

simpatik dan empati, kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian seseorang


(37)

22

masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya,

bersimpati dan empati.

2.3 Pengaruh Dukungan Keluarga dengan Post Power Syndrome

Menurut Erikson (1978), menyatakan bahwa tahap lansia sebagai tahap

integrity versus despair (integritas melawan putus asa), yakni individu yang sukses

akan melampaui tahap ini dengan adaptasi yang baik, menerima berbagai perubahan

dengan tulus, mampu berdamai dengan keterbatasannya dan bertambah bijak

menyikapi kehidupan. Sebaliknya mereka yang gagal, akan melewati tahap ini

dengan penuh pemberontakan, putus asa dan ingkar terhadap kenyataan yang

dihadapinya yang akan mengarah pada gejala-gejala post power syndrome. Sukses

tidaknya seseorang melewati tahap ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya

adalah dukungan dari lingkunagn terdekatnya, yaitu keluarga. Ketika individu

tersebut mendapat dukungan dari keluarganya secara optimal maka akan muncul

konsep diri, rasa optimis dan self eficcasy (pengaturan diri) yang baik dari individu

tersebut sehingga akan menurunkan resiko untuk mengalami post power syndrome.

Menurut Schmall & Pratt (1993) keluarga memainkan suatu peranan yang

signifikan dalam kehidupan pada hampir semua individu. Erawati (2001)

menambahkan ketika keluarga tidak menjadi bagian kehidupan seseorang yang

sedang mengalami masa transisi seperti masa pensiun, umumnya akan menyebabkan

individu tersebut merasa terabaikan. Santrock (dalam Hidayati, 2009) mengemukakan


(38)

23

kecenderungan lebih sedikit untuk stres dibandingkan dengan seseorang yang

memiliki hubungan yang jauh dengan keluarganya. Campbell & Kub (dalam Lubis,

2009) menambahkan bahwa stres yang berlangsung setiap hari dapat membebani

pikiran dan melemahkan daya tahan tubuh, sehingga ketika seseorang tidak dapat lagi

bertahan dengan stres yang ada, maka depresi akan muncul.

Darmawan (dalam Sutoyo, 2009) juga mengatakan putusnya hubungan

dengan orang-orang yang paling dekat dan disayangi seperti keluarga dapat

menyebabkan terjadinya masalah psikologis seperti seseorang menjadi kesepian yang

akan berdampak pada keadaan depresi. Individu yang mengalami depresi akan

kehilangan optimismenya dalam menjalani hidup sehingga kecenderungan untuk

mengalami post power syndrome akan meningkat.

2.4 Pensiun

2.4.1 Pengertian Pensiun

Pengertian pensiun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) adalah tidak

bekerja lagi karena telah selesai masa dinasnya. Kimmel (1989) menambahkan,

pensiun merupakan suatu isyarat sosial bahwa seseorang telah memasuki fase lansia

yang juga berarti berakhirnya masa kerja seseorang dan mulainya periode waktu

luang yang panjang tanpa aktivitas rutin.

Dapat disimpulkan pensiun merupakan suatu keadaan ketika seseorang telah


(39)

24

maupun perusahaan swasta dimana individu tersebut memasuki periode waktu luang

yang panjang tanpa aktivitas rutin.

2.4.2 Jenis-Jenis Pensiun

Menurut WageIndicator.org (2014) dilihat dari penyebabnya, istilah pensiun

dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut.

a. Pensiun Normal

Pensiun normal merupakan pensiun yang dilakukan karena karyawan/pegawai

sudah memasuki masa pensiun.

b. Pensiun Dini

Pensiun dini sering diistilahkan dengan pensiun dipercepat. Sebelum

memasuki usia pensiun, anda dapat mengajukan untuk pensiun dini. Normalnya,

pensiun dini dapat diajukan 10 tahun lebih awal dari usia pensiun.

c. Pensiun Karena Cacat

Pensiun karena cacat terjadi karena karyawan/pegawai mengalami cacat

permanen. Cacat permanen ini menyebabkan karyawan/pegawai kehilangan anggota

badannya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan sehari-harinya.

d. Pensiun Karena Meninggal


(40)

25

2.4.3 Fase Penyesuaian Diri Saat Pensiun

Robert Atchley (2000) mengembangkan enam fase deskriptif pensiun yang

merepresentasikan proses transisi dari seseorang yang akan berhenti dari dunia kerja

secara permanen, yaitu;

a. Pre-Retirement Phase (fase sebelum pensiun)

Fase sebelum memasuki masa pensiun yang melibatkan tahap pelepasan dari

tempat kerja dan tahap perencanaan dalam menyiapkan apa saja yang dibutuhkan saat

sudah memasuki masa pensiun.

b. Retirement Phase (fase pensiun)

Ketika seseorang pensiun, maka mereka tidak lagi berpartisipasi dalam sebuah

pekerjaan, berikut adalah 3 hal yang sering dialami oleh orang yang sedang pensiun;

1) The Honeymoon, adalah tahapan ini ditandai dengan perasaan seperti sedang

dalam keadaan liburan tanpa batas, individu yang memasuki tahapan ini akan

sangat sibuk melakukan banyak kegiatan rekreasi yang jarang mereka lakukan

saat masih bekerja.

2) The immediate retirement routine, orang-orang yang ketika masih bekerja

memiliki kegitan aktif di luar pekerjaannya akan lebih mampu membangun rasa

nyaman, namun jadwal yang padat telah menanti setelah pensiun.

3) The rest and relaxation, sering digambarkan sebagai periode yang ditandai


(41)

26

memiliki kesibukan yang sangat tinggi dan waktu yang sedikit untuk dirinya

biasanya akan memilih untuk melakukan sedikit aktivitas saat periode awal

pensiunnya. Aktivitas akan meningkat setelah beberapa tahun dari fase istirahat

dan relaksasi.

c. Disenchantment Phase (fase kekecewaan)

Pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa kosong. Untuk

beberapa orang pada fase ini, ada rasa kehilangan baik itu kehilangan kekuasaan,

martabat, status, penghasilan, teman kerja, dan aturan tertentu. Peran serta dari orang

terdekat khususnya keluarga sangat berkontribusi untuk membantu melewati tahapan

ini.

d. Reorientation Phase (fase reorientasi)

Fase dimana seseorang mulai mengembangkan pandangan yang lebih realistik

mengenai alternatif hidup dan mereka akan mulai mencari aktivitas baru. Dychtwald

(2006) menyatakan bahwa tahapan ini berlangsung sekitar 2-15 tahun sesudah

pensiun. Pada tahap ini seseorang akan mulai mengubah prioritasnya, aktivitas,

hubungan, dan hidupnya. Para pensiunan umumnya menyatakan bahwa tahap

reorientasi ini merupakan tahap yang penuh dengan tantangan.

e. Retirement Routine Phase

Masa peniun yang nyaman dan bermanfaat adalah tujuan semua orang yang

pensiun. Beberapa individu biasanya mampu mendapatkannya segera setelah mereka


(42)

27

mereka hanya berkutat dalam periode kekecewaan. Individu yang telah memasuki

fase ini biasanya akan bertahan selama bertahun-tahun.

f. Termination Of Retirement Phase (fase akhir)

Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti

seseorang, ketidak-mampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan yang sangat

merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran orang sakit yang

membutuhkan orang lain untuk tempat bergantung.

2.4.4 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Masa Pensiun

Menurut Turner & Helms (1997) ada beberapa hal penyesuaian yang dialami

seseorang pada masa pensiunnya, yaitu;

1. Psychology Adjustments

Psychology adjustments meliputi berkurangnya harga diri. Bekerja bukan hanya berkaitan dengan kebutuhan materi saja melainkan juga merupakan kebutuhan

psikologis seseorang. Secara psikologis, bekerja menimbulkan rasa identitas, status,

maupun fungsi sosial.

2. Financial Adjustments

Financial adjustment meliputi berkurangnya sumber penghasilan. Penurunan penghasilan merupakan dampak paling nyata dari fenomena pensiun. Sebagai kepala

keluarga tentunya hal ini dapat menimbulkan stress, terlebih jika kebutuhan tidak bisa


(43)

28

3. Marital Adjustments

Marital adjustment meliputi ketidakharmonisan pasangan dan kepergian pasangan. Waktu yang dihabiskan bersama pasangan ketika sebelum dan sesudah

pensiun jelas akan berbeda. Kuantitas bersama pasangan akan lebih banyak dan akan

memungkinkan untuk terjadinya kesalah pahaman atau ketidakcocokan akan sering

terjadi pada masa pensiun.

4. Berkurangnya Kontak Sosial

Seseorang bisa mendapatkan penghargaan sosial ketika mereka meraih

kepuasan dari kontak sosialnya. Ketika memasuki masa pensiun, waktu untuk

bertemu dengan rekan seprofesi akan berkurang.

5. Hilangnya Kelompok Referensi Yang Bisa Mempengaruhi Self Image

Biasanya seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok organisasi atau

bisnis tertentu ketika dia masih aktif bekerja. Tetapi ketika dia pensiun, secara

langsung keanggotaan pada suatu kelompok akan hilang. Hal ini akan mempengaruhi

seseorang untuk kembali menilai dirinya lagi.

6. Hilangnya Tugas Yang Berarti

Hal ini dapat dikarenakan pekerjaan yang dikerjakan seseorang mungkin

sangat berarti bagi dirinya dan hal ini tidak bisa dikerjakan saat seseorang itu mulai

memasuki masa pensiun.

7. Hilangnya Rutinitas

Hampir separuh dari harinya dihabiskan untuk bekerja. Tidak semua orang


(44)

29

selama ini memberikan sense of purpose (merasa memiliki tujuan), memberikan rasa

aman, dan pengertian bahwa ternyata kita berguna. Ketika menghadapi masa pensiun,


(1)

maupun perusahaan swasta dimana individu tersebut memasuki periode waktu luang yang panjang tanpa aktivitas rutin.

2.4.2 Jenis-Jenis Pensiun

Menurut WageIndicator.org (2014) dilihat dari penyebabnya, istilah pensiun dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut.

a. Pensiun Normal

Pensiun normal merupakan pensiun yang dilakukan karena karyawan/pegawai sudah memasuki masa pensiun.

b. Pensiun Dini

Pensiun dini sering diistilahkan dengan pensiun dipercepat. Sebelum memasuki usia pensiun, anda dapat mengajukan untuk pensiun dini. Normalnya, pensiun dini dapat diajukan 10 tahun lebih awal dari usia pensiun.

c. Pensiun Karena Cacat

Pensiun karena cacat terjadi karena karyawan/pegawai mengalami cacat permanen. Cacat permanen ini menyebabkan karyawan/pegawai kehilangan anggota badannya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan sehari-harinya.

d. Pensiun Karena Meninggal


(2)

2.4.3 Fase Penyesuaian Diri Saat Pensiun

Robert Atchley (2000) mengembangkan enam fase deskriptif pensiun yang merepresentasikan proses transisi dari seseorang yang akan berhenti dari dunia kerja secara permanen, yaitu;

a. Pre-Retirement Phase (fase sebelum pensiun)

Fase sebelum memasuki masa pensiun yang melibatkan tahap pelepasan dari tempat kerja dan tahap perencanaan dalam menyiapkan apa saja yang dibutuhkan saat sudah memasuki masa pensiun.

b. Retirement Phase (fase pensiun)

Ketika seseorang pensiun, maka mereka tidak lagi berpartisipasi dalam sebuah pekerjaan, berikut adalah 3 hal yang sering dialami oleh orang yang sedang pensiun; 1) The Honeymoon, adalah tahapan ini ditandai dengan perasaan seperti sedang

dalam keadaan liburan tanpa batas, individu yang memasuki tahapan ini akan sangat sibuk melakukan banyak kegiatan rekreasi yang jarang mereka lakukan saat masih bekerja.

2) The immediate retirement routine, orang-orang yang ketika masih bekerja memiliki kegitan aktif di luar pekerjaannya akan lebih mampu membangun rasa nyaman, namun jadwal yang padat telah menanti setelah pensiun.

3) The rest and relaxation, sering digambarkan sebagai periode yang ditandai aktivitas yang sangat rendah dibandingkan dengan the honeymoon. Individu yang


(3)

memiliki kesibukan yang sangat tinggi dan waktu yang sedikit untuk dirinya biasanya akan memilih untuk melakukan sedikit aktivitas saat periode awal pensiunnya. Aktivitas akan meningkat setelah beberapa tahun dari fase istirahat dan relaksasi.

c. Disenchantment Phase (fase kekecewaan)

Pada fase ini pensiunan mulai merasa depresi, merasa kosong. Untuk beberapa orang pada fase ini, ada rasa kehilangan baik itu kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman kerja, dan aturan tertentu. Peran serta dari orang terdekat khususnya keluarga sangat berkontribusi untuk membantu melewati tahapan ini.

d. Reorientation Phase (fase reorientasi)

Fase dimana seseorang mulai mengembangkan pandangan yang lebih realistik mengenai alternatif hidup dan mereka akan mulai mencari aktivitas baru. Dychtwald (2006) menyatakan bahwa tahapan ini berlangsung sekitar 2-15 tahun sesudah pensiun. Pada tahap ini seseorang akan mulai mengubah prioritasnya, aktivitas, hubungan, dan hidupnya. Para pensiunan umumnya menyatakan bahwa tahap reorientasi ini merupakan tahap yang penuh dengan tantangan.

e. Retirement Routine Phase

Masa peniun yang nyaman dan bermanfaat adalah tujuan semua orang yang pensiun. Beberapa individu biasanya mampu mendapatkannya segera setelah mereka berhenti bekerja, sementara yang lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama,


(4)

mereka hanya berkutat dalam periode kekecewaan. Individu yang telah memasuki fase ini biasanya akan bertahan selama bertahun-tahun.

f. Termination Of Retirement Phase (fase akhir)

Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti seseorang, ketidak-mampuan dalam mengurus diri sendiri dan keuangan yang sangat merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran orang sakit yang membutuhkan orang lain untuk tempat bergantung.

2.4.4 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Masa Pensiun

Menurut Turner & Helms (1997) ada beberapa hal penyesuaian yang dialami seseorang pada masa pensiunnya, yaitu;

1. Psychology Adjustments

Psychology adjustments meliputi berkurangnya harga diri. Bekerja bukan hanya berkaitan dengan kebutuhan materi saja melainkan juga merupakan kebutuhan psikologis seseorang. Secara psikologis, bekerja menimbulkan rasa identitas, status, maupun fungsi sosial.

2. Financial Adjustments

Financial adjustment meliputi berkurangnya sumber penghasilan. Penurunan penghasilan merupakan dampak paling nyata dari fenomena pensiun. Sebagai kepala keluarga tentunya hal ini dapat menimbulkan stress, terlebih jika kebutuhan tidak bisa ditekan dan malah mengalami peningkatan.


(5)

3. Marital Adjustments

Marital adjustment meliputi ketidakharmonisan pasangan dan kepergian pasangan. Waktu yang dihabiskan bersama pasangan ketika sebelum dan sesudah pensiun jelas akan berbeda. Kuantitas bersama pasangan akan lebih banyak dan akan memungkinkan untuk terjadinya kesalah pahaman atau ketidakcocokan akan sering terjadi pada masa pensiun.

4. Berkurangnya Kontak Sosial

Seseorang bisa mendapatkan penghargaan sosial ketika mereka meraih kepuasan dari kontak sosialnya. Ketika memasuki masa pensiun, waktu untuk bertemu dengan rekan seprofesi akan berkurang.

5. Hilangnya Kelompok Referensi Yang Bisa Mempengaruhi Self Image

Biasanya seseorang menjadi anggota dari suatu kelompok organisasi atau bisnis tertentu ketika dia masih aktif bekerja. Tetapi ketika dia pensiun, secara langsung keanggotaan pada suatu kelompok akan hilang. Hal ini akan mempengaruhi seseorang untuk kembali menilai dirinya lagi.

6. Hilangnya Tugas Yang Berarti

Hal ini dapat dikarenakan pekerjaan yang dikerjakan seseorang mungkin sangat berarti bagi dirinya dan hal ini tidak bisa dikerjakan saat seseorang itu mulai memasuki masa pensiun.

7. Hilangnya Rutinitas

Hampir separuh dari harinya dihabiskan untuk bekerja. Tidak semua orang menikmati jam kerja yang panjang seperti ini, tapi tanpa disadari kegiatan panjang


(6)

selama ini memberikan sense of purpose (merasa memiliki tujuan), memberikan rasa aman, dan pengertian bahwa ternyata kita berguna. Ketika menghadapi masa pensiun, waktu ini hilang, sehingga mereka mulai merasakan diri tidak produktif lagi.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Gaya Dukungan Keluarga Terhadap Kecenderungan Post Power Syndrome Pada Pensiunan Pertamina

0 15 2

PENGARUH OPTIMISME MENGHADAPI MASA PENSIUN TERHADAP POST POWER SYNDROME PADA ANGGOTA BADAN PEMBINA PENSIUNAN PEGAWAI (BP3) PELINDO SEMARANG

4 24 187

HUBUNGAN ANTARA IKLIM ORGANISASI DENGAN SEMANGAT KERJA PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL Hubungan Antara Iklim Organisasi Dengan Semangat Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil.

0 2 16

HUBUNGAN ANTARA IKLIM ORGANISASI DENGAN SEMANGAT KERJA PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL Hubungan Antara Iklim Organisasi Dengan Semangat Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil.

0 4 13

HUBUNGAN ANTARA IKLIM ORGANISASI DENGAN KEDISIPLINAN KERJA PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL Hubungan Antara Iklim Organisasi Dengan Kedisiplinan Kerja Pada Pegawai Negeri Sipil.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN BABY BLUES SYNDROME PADA IBU POST SECTIO CAESARIA.

0 0 16

PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN BABY BLUES SYNDROME PADA IBU POST SECTIO CAESARIA.

0 2 8

KONTRIBUSI DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP TINGKAT DEPRESI PADA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Kontribusi Dukungan Sosial terhadap Tingkat depresi Pada Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Di Kecamatan Sukoharjo.

0 2 15

POST POWER SYNDROME DITINJAU DARI KEBERMAKNAAN HIDUP PADA PENSIUNAN YANG Post Power Syndrome Ditinjau Dari Kebermaknaan Hidup Pada Pensiunan Yang Tegabung Dalam PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia).

0 1 15

PENDAHULUAN Post Power Syndrome Ditinjau Dari Kebermaknaan Hidup Pada Pensiunan Yang Tegabung Dalam PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia).

0 1 7