Leluhur sebagai rujukan identitas

perbincangan antara A Seng dengan Ai Lani. Ketika A Seng mengutarakan keinginannya ke Taiwan, Ai Lani malah menertawakannya sambil berkata “A Seng kamu gimana bisa ke Taiwan, kamu sehari-hari ngomong pake bahasa Ke, di sana itu pake bahasa Mandarin. Apa kamu bisa bahasa Mandarin?” A Seng yang ingin sekali ke Taiwan tidak mempermasalahkan bahasa meskipun dia benar-benar tidak bisa. Dia berusaha meyakinkan Ai Lani kalau dengan belajar dia akan bisa. Pada level konotasi, korpus ini menunjukkan kalau bahasa itu adalah masalah yang penting. A Seng belum mengetahui akan serumit itu jika dia ingin ke Taiwan. Di sini terlihat bahwa terdapat perbedaan sosial yaitu bahasa sangat memberikan pengaruh. Sedari kecil A Seng hanya mengenal bahasa Cina Ke dan bahasa Indonesia saja. Sebagai etnis Tionghoa peranakan maka A Seng tidak terbiasa dengan bahasa Mandarin. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan etnis Tionghoa bahwa mereka berkeinginan untuk tinggal di Tiongkok, Hong Kong, atau Taiwan yaitu tempat dimana mereka dapat secara leluasa melaksanakan kebebasan kebudayaan mereka. Akan tetapi mereka juga mengakui bahwa pada akhirnya memilih untuk tinggal di Indonesia karena tidak dapat berbicara bahasa Mandarin Dawis, 2010: 9. Di atas disebutkan tentang bahasa Ke dan bahasa Mandarin. Kedua bahasa tersebut merupakan bahasa yang umum digunakan oleh etnis Tionghoa. FTV Bakpao Ping Ping menceritakan tentang etnis Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat. Sehingga dapat dikatakan bahwa etnis Tionghoa di sini merupakan rumpun bahasa Melayu-Polinesia yaitu bahasa yang biasa digunakan di daerah Taiwan. Bahasa ini juga dipergunakan di Malaysia dan seluruh kepulauan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Yang kemudian membedakan antara bahasa Mandarin dengan bahasa Ke atau dikenal dengan bahasa Hakka adalah jika bahasa mandarin merupakan bahasa persatuannya sedangkan bahasa Ke Hakka adalah bahasa daerahnya Taniputera, 2008: 24.

C. Identitas Kultural Cultural Identity

Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan berikut ini. Pertama, pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan kultural, sebagai contoh adalah individualisme merupakan ciri khas masyarakat modern. Kedua, sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural, berkarakter sosial. Walhasil, apa yang dimaksud dengan perempuan, anak, orang Asia atau orang tua dibentuk secara berbeda pada konteks-konteks kultural yang berbeda pula Barker, 2010: 176. Identitas kultural atau identitas budaya merupakan elemen utama dalam komunikasi antarbudaya. Chuang mengatakan Samovar dkk, 2010:200 bahwa identitas budaya menjadi kabur di tengah-tengah integrasi budaya, interaksi bikultur, pernikahan antar ras, dan proses adaptasi yang saling menguntungkan. Kemudian hal ini diperkuat dengan pendapat Martin, Nekayama, dan Flores yang menyatakan kesetujuannya dengan berkata bahwa “orang yang hidup ‘diantara’ identitas budaya meningkat jumlahnya, yaitu orang yang memiliki lebih dari satu identitas etnis, ras, atau agama Samovar dkk, 2010:201. Dalam penelitian ini penulis mengkategorikan identitas kultural di dalam FTV Bakpao Ping Ping salah satunya yang berkaitan dengan masalah identitas adalah aspek religi. 12