bertuliskan aksara, lambang, dan gambar Tionghoa, yang dimainkan untuk
menyatukan orang dalam sebuah perayaan imlek Dawis, 2010: 146. Namun sesuai
dengan perkembangan jaman maka judi mah jong tidak hanya dimainkan pada hari-hari
tertentu saja tetapi bisa dalam kehidupan sehari-hari.
2. Leluhur sebagai rujukan identitas
Subkategori ini membahas keterkaitan kepercayaan terhadap leluhur
sebagai suatu hal yang memengaruhi pembentukan identitas sosial individu. Hal
yang demikian dilihat dari sisi individu yang begitu bangga akan identitasnya berkat
keikutsertaan leluhurnya. Dengan kebanggaan ini maka menimbulkan rasa
percaya diri bahwa seakan-akan individu tersebut benar-benar memiliki ikatan dengan
leluhur dengan segala sesuatu yang dipercayainya.
Hal ini ditunjukkan pada korpus 6, yang mana pada level denotasi terlihat
perdebatan antara A Seng dan Babah Apa tentang identitas mereka. A Seng merasa
bangga dengan Taiwan karena dia menganggap Taiwan sebagai tanah
leluhurnya. Sedang Babah Apa yang notabene yang lahir di Singkawang
menganggap bahwa Indonesia lah tanah leluhurnya. Hal ini terlihat pada dialog
berikut:
A Seng : “Taiwan bukan negeri orang Pa, itu tanah leluhur kita
.”
Babah Apa : “Dari lahir, Apa sudah bernafas dengan udara
Singkawang, minum dengan air Singkawang, dan belajar
berjalan di tanah Singkawang, anak cucu kita akan bilang
Indonesia adalah tanah leluhur kita.”
Namun, A Seng tetap saja bersikeras untuk menjunjung tinggi Taiwan sebagai
tanah leluhurnya. Pada level konotasi, korpus ini
menunjukkan bahwa terjadi silang pendapat antara A Seng dan Babah Apa. Perbedaan
pendapat antara ayah dan anak ini berada pada level kegelisahan dimana mereka
berada di dua budaya. Di sini tampak adanya transisi budaya sosial yang dialami oleh
kedua personal tersebut yaitu A Seng dan Babah Apa. A Seng sangat membangga-
banggakan Taiwan, sedangkan Babah Apa merasa bahwa dia adalah bagian dari leluhur
Indonesia. Pada penelitian-penelitian sebelumnya umumnya Tionghoa Indonesia
ingin berbaur menjadi seorang yang dikatakan Indonesia, tetapi lain halnya
dengan FTV ini A Seng lebih berat ke Taiwan dibandingkan di Singkawang.
Dari awal film Bakpao Ping Ping ini seringkali disebut kata Taiwan. Etnis
Tionghoa dalam film ini terus memandang ke Taiwan sebagai leluhur mereka. Pada
dasarnya etnis Tionghoa Singkawang dan Taiwan berasal dari tempat yang sama yaitu
Teluk Fujian salah satu provinsi di RRC. Seperti yang dikatakan dalam buku Orang
Cina Khek dari Singkawang 2005 dalam http:id.fjta.comIndonesiaintro.aspx?typei
d=10 diakses pada tanggal 21012013 pukul 21:29 yaitu tidak hanya yang kita
kenal yaitu ‘orang China’ saja. Orang Tionghoa di Indonesia datang dari dua
propinsi yaitu Fujian dan Guangdong.
3. Penggunaan Bahasa
Bahasa merupakan komponen dari identitas sosial itu sendiri. Bahasa digunakan
ketika satu individu berinteraksi dengan individu lainnya. Dalam FTV Bakpao Ping
Ping, terdapat permasalahan mengenai bahasa yang digunakan di Singkawang dan
bahasa yang digunakan di Taiwan. Keadaan ini mempengaruhi identitas sosial individu
yang dilema akan nasibnya di Indonesia dan di Taiwan.
Hal ini tampak pada korpus 5, pada korpus 5 di level denotasi menunjukkan
11
perbincangan antara A Seng dengan Ai Lani. Ketika A Seng mengutarakan
keinginannya ke Taiwan, Ai Lani malah menertawakannya sambil berkata
“A Seng kamu gimana bisa ke Taiwan, kamu sehari-hari
ngomong pake bahasa Ke, di sana itu pake bahasa Mandarin. Apa
kamu bisa bahasa Mandarin?”
A Seng yang ingin sekali ke Taiwan tidak mempermasalahkan bahasa meskipun
dia benar-benar tidak bisa. Dia berusaha meyakinkan Ai Lani kalau dengan belajar
dia akan bisa.
Pada level konotasi, korpus ini menunjukkan kalau bahasa itu adalah
masalah yang penting. A Seng belum mengetahui akan serumit itu jika dia ingin
ke Taiwan. Di sini terlihat bahwa terdapat perbedaan sosial yaitu bahasa sangat
memberikan pengaruh. Sedari kecil A Seng hanya mengenal bahasa Cina Ke dan bahasa
Indonesia saja. Sebagai etnis Tionghoa peranakan maka A Seng tidak terbiasa
dengan bahasa Mandarin. Sama halnya dengan apa yang diungkapkan etnis
Tionghoa bahwa mereka berkeinginan untuk tinggal di Tiongkok, Hong Kong, atau
Taiwan yaitu tempat dimana mereka dapat secara leluasa melaksanakan kebebasan
kebudayaan mereka. Akan tetapi mereka juga mengakui bahwa pada akhirnya
memilih untuk tinggal di Indonesia karena tidak dapat berbicara bahasa Mandarin
Dawis, 2010: 9.
Di atas disebutkan tentang bahasa Ke dan bahasa Mandarin. Kedua bahasa
tersebut merupakan bahasa yang umum digunakan oleh etnis Tionghoa. FTV
Bakpao Ping Ping menceritakan tentang etnis Tionghoa di Singkawang, Kalimantan
Barat. Sehingga dapat dikatakan bahwa etnis Tionghoa di sini merupakan rumpun bahasa
Melayu-Polinesia yaitu bahasa yang biasa digunakan di daerah Taiwan. Bahasa ini
juga dipergunakan di Malaysia dan seluruh kepulauan di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Yang kemudian membedakan antara bahasa Mandarin dengan bahasa Ke
atau dikenal dengan bahasa Hakka adalah jika bahasa mandarin merupakan bahasa
persatuannya sedangkan bahasa Ke Hakka adalah bahasa daerahnya Taniputera, 2008:
24.
C. Identitas Kultural Cultural Identity
Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, hal ini disebabkan oleh
beberapa alasan berikut ini. Pertama, pandangan tentang bagaimana seharusnya
menjadi seseorang adalah pertanyaan kultural, sebagai contoh adalah
individualisme merupakan ciri khas masyarakat modern. Kedua, sumber daya
yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural,
berkarakter sosial. Walhasil, apa yang dimaksud dengan perempuan, anak, orang
Asia atau orang tua dibentuk secara berbeda pada konteks-konteks kultural yang berbeda
pula Barker, 2010: 176.
Identitas kultural atau identitas budaya merupakan elemen utama dalam
komunikasi antarbudaya. Chuang mengatakan Samovar dkk, 2010:200
bahwa identitas budaya menjadi kabur di tengah-tengah integrasi budaya, interaksi
bikultur, pernikahan antar ras, dan proses adaptasi yang saling menguntungkan.
Kemudian hal ini diperkuat dengan pendapat Martin, Nekayama, dan Flores yang
menyatakan kesetujuannya dengan berkata bahwa “orang yang hidup ‘diantara’
identitas budaya meningkat jumlahnya, yaitu orang yang memiliki lebih dari satu identitas
etnis, ras, atau agama Samovar dkk, 2010:201. Dalam penelitian ini penulis
mengkategorikan identitas kultural di dalam FTV Bakpao Ping Ping salah satunya yang
berkaitan dengan masalah identitas adalah aspek religi.
12