67
a. Tidak ada permusuhan antara wali dengan perempuan, yang ia sendiri menjadi walinya calon pengantin wanita
b. Calon suaminya sekufu dengan calon istrinya, atau ayah lebih tinggi c. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad
nikah. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka hak ijbar
gugur, ijbar tidak harus diartikan sebagai paksaan melainkan diartikan sebagai pengarajhan.
e. Wali „Adol
Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang sudah baligh dengan pria yang sekufu.
103
Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian langsung berpindah kepada wali hakim. Bukan kepada wali
ab‟ad, karena adlal adalah zalim, sedangkan yang menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Lain halnya kalau adlal-nya karena sebab nyata
yang dibenarkan oleh syarak, maka tidak sisebut adlal, seperti wanita yang menikah dengan pria yang tidak
kufu‟, atau menikah maharnya dibawah mitsli, atau wanita yang dipinang oleh pria lain yang lebih pantas
kufu‟ dari peminang pertamanya.
104
5. Orang Yang Berhak Menjadi Wali Nikah
Status wali dalam pernikahan merupakan rukun yang menentukan sahnya akad nikah, dalam pelaksanaan akad nikah atau yang sering
disebut dengan kata ijab qabul serah terima wali sangat berperan karena penyerahannya dilakukan oleh wali mempelai perempuan atau yang
103
Ibid., hlm. 97
104
Al Hamdani, Op.Cit., hlm. 121
68
mewakilinya, dan qabul penerimaan dilakukan oleh mempelai laki-laki. Dalam hal ini orang yang berhak menjadi wali menurut Imam Asy-
Syafi‟i adalah ayah dan keluarga pihak laki-laki.
105
Telah dipaparkan sebelumnya mengenai macam-macam wali dalam pembahasan ini tidak jauh berbeda mengenai siapa orang yang
berhak menjadi wali dalam pernikahan. Dalam Kompilasi Hukum Islam persoalan wali yang terdapat dalam pasal 19-23 yaitu:
106
pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Pasal 20
1 Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
2 Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab;
b. Wali hakim. Pasal 21
1 Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah,
kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
105
Dedi Supriyadi, Op.Cit, hlm 45
106
Pasal 19-23 Kompilasi Hukum Islam
69
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki- laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
2 Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak
menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
3 Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat
yang seayah. 4 Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni
sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan
yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara,
tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya.
Pasal 23
70
1 Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. 2 Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa orang yang berhak menjadi wali nikah yang utama adalah :
1. Ayah 2. kakek bapak dari bapak dan seterusnya keatas
3. Saudara laki-laki kandung seibu sebapak 4. Saudara laki-laki sebapak
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke bawah.
7. Paman saudara dari bapak kandung 8. Paman saudara dari bapak sebapak
9. Anak laki-laki paman kandung 10. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya kebawah.
107
Urutan wali tersebut wajib di jaga dengan baik. Apabila wali-wali yang diatas tidak ada maka boleh menggunakan wali hakim dan apabila
tidak dapat menggunakan wali hakim maka dapat menggunakan wali muhakkam dengan catatan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya. Tapi alangkah baiknya
107
M. Yunus, Loc.Cit, hlm. 53
71
apabila seorang wanita yang ingin menikah di walikan oleh wali nasabnya sendiri karna itu lebih baik bagi wanita itu.
72
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46PUU-VIII2010
A. Profil Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah Mahkamah Konstitusi
Konstitusi menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.
Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang- Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Tidak semua negara memiliki
konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, Undang- Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma-
norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktik penyelenggaraan Negara sehari-hari,
termasuk kedalam pengertian konstitusi atau hukum dasar suatu negara.
108
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di
abad ke-20 oleh Hans Kelsen, seorang sarjana hukum. Hans Kalsen diminta menyusun sebuah konstitusi bagi republik Austria yang baru
muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungairan tahun 1919. Dia percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum
yang superior lebih tinggi dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian. Kelsen juga mengakui adanya ketidak
percayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan
108
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed-2. Cet-2, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2011, hlm. 29