Dampak Krisis Ekonomi Mangkunegaran

commit to user 108 managemen keuangan maupun managemen kerja Praja Mangkunegaran, membangun keuangan yang lebih sehat dan membaik. Mangkunegara VI dikenal sebagai raja yang sangat hemat karena hematnya sering dipandang musuh-musuhnya sebagai orang yang kikir. Ia berusaha menekan sekecil mungkin pengeluaran keprajan yang dipandang kurang mendesak. Akibat tindakan penghematan ini semua hutang Mangkunegaran dapat dilunasi. Sejak tahun 1899 atas permintaannya, pabrik gula Mangkunegaran dikembalikan pengelolaannya kepada pihak Praja Mangkunegaran Wasino, 2008 : 75. Sejak tanggal 1 Juni 1899 kepengurusan perusahaan-perusahaan Mangkunegaran, termasuk industri gula diserahkan kembali kepada Mangkunegaran. penyerahan kembali ini secara teoritis memiliki konsekuensi wewenang otonom dalam bidang keuangan praja oleh pemerintah Praja Mangkunegaran. Demikian pula dengan perusahaan-perusahaan Mangkunegaran, pengelolaannya kembali di bawah komando pimpinan Praja Mangkunegaran, yang pada waktu itu dipegang oleh Mangkunegara VI.

D. Dampak Krisis Ekonomi Mangkunegaran

1. Bagi Praja Mangkunegaran Kemunduran perekonomian dunia mempengaruhi kondisi keuangan kerajaan-kerajaan di Jawa termasuk Praja Mangkunegaran. Mengenai bidang perekonomian dan keuangan ada saling keterkaitan antara keduanya. Krisis ekonomi di keprajan sendiri masih ditambah kurangnya keseriusan penangan bidang administrasi keprajan. Dikatakan demikian karena tidak ada pemisahan antara keuangan raja, keuangan Praja Mangkunegaran dan keuangan perusahaan. Selain itu urusan keuangan Praja Mangkunegaran tidak terawasi dan tidak terkontrol. Misalnya mengenai laporan keuangan penerimaan di tahun 1883 yaitu f. 2.762.348,58, sedangkan pengeluarannya f. 221.885,24. Pengeluaran demikian diduga fiktif karena tidak jelas penggunaannya dan di awal tahun 1884 tercatat masih ada saldo f. 543.823,34. Saldo sejumlah itu diragukan karena pengeluaran commit to user 109 dianggap fiktif dan tidak ada pengawasan keuangan S. Ilmi Albiladiyah, 2009 : 843. Pada tahun 1885 harga hasil tanaman seperti gula dan kopi mengalami kejatuhan sehingga laju perdagangan tersendat. Jatuhnya harga gula disebabkan oleh adanya penanaman gula bit beet sugar di negara-negara Eropa, sehingga di negara tersebut menggunakan gula bit dan tidak mengimport gula tebu dari Jawa. Dalam daftar penerimaan dan pengeluaran Praja Mangkunegaran dan perusahaan- perusahaan di tahun 1882 dan 1889 sering menunjukkan berkurangnya pemasukan. Misalnya pada tahun 1882 keuangan keprajan mempunyai catatan minus 187.755 gulden, sedangkan perusahaan Mangkunegaran pada tahun tersebut mempunyai saldo 247.113 gulden, sehingga jika penerimaan keduanya digabungkan masih mempunyai kelebihan 59.358 gulden. Pada tahun 1889 keadaan keuangan setelah penggabungan antara uang perusahaan dan keprajan berkurang penerimaannya, yaitu minus 132.608 gulden. Kondisi demikian masih berlanjut pada tahun 1891 yang juga menimpa pada harga jual hasil tanaman perkebunan lainnya Suhartono, 1991 : 39. Keadaan tersebut terjadi sampai berlarut-larut yang tentu saja penghasilan dari penjualan berkurang. Hal ini makin menambah menipisnya keuangan perusahaan yang dapat menopang keuangan Praja Mangkunegaran. Krisis ekonomi yang melanda Praja Mangkunegaran pada masa Mangkunegara V membuat keuangan keprajan mengalami defisit dan mengarah menuju kehancuran Praja Mangkunegaran. Dampak krisis tersebut tidak hanya terjadi di dalam keprajan saja tetapi juga berdampak pada kehidupan masyarakat di Praja Mangkunegaran serta Pemerintah Hindia Belanda. Pada awal masa pemerintahan Mangkunegara V, keuangan Praja Mangkunegaran masih dikatakan stabil karena masih mempunyai beberapa warisan dari Mangkunegara IV yang mencapai puncak keemasan Praja Mangkunegaran. Namun keuangan keprajan yang melimpah tersebut tidak dapat digunakan secara hemat dan tidak dilakukan pembukuan. Mangkunegara V hanya meneruskan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya, Mangkunegara IV. Pengeluaran keprajan masih tetap seperti pada keadaan sebelumnya yang commit to user 110 memerlukan dana tidak sedikit. Mangkunegara V sebagai raja pengganti tidak berusaha menguranginya, tetapi masih tetap menggaji para punggawa dari uang kas keprajan. Keuangan keprajan selain berasal dari hasil perusahaan, juga dari pajak, sewa tanah, dan hasil perkebunan. Namun jika penghasilan berkurang, dapat dipastikan berdampak pada keuangan, terutama bagi kas Praja Mangkunegaran. Dalam menjalankan perusahaan, Mangkunegara V menghadapi kesulitan di bidang produksi dan keuangan, padahal anggaran keprajan dan keluarga raja dibebankan pada perusahaan ini. Perekonomian yang menurun sangat mempengaruhi keuangan Mangkunegaran. Jika dibandingkan dengan hasil produksi kopi semasa Mangkunegara IV yang tiap tahun dapat memperoleh hasil sampai 80.000 an per pikul harganya 25 gulden, namun pada masa sesudahnya hasilnya berkurang sekali, karena produksi kopi jatuh. Pada tahun 1871-1881 dari tanaman kopi memperoleh hasil 32.925 kuintal kualitas baik dan buruk. Di tahun- tahun berikutnya penurunan terus terjadi dan pada tahun 1887 produksinya sangat anjlok yakni 5.409 kuintal kualitas campuran. Hasil kopi hanya sekali naik di tahun 1883 yaitu 55.265 kuintal. Menurut catatan perolehan kopi di tahun 1882- 1888 rata-rata 18.228 kuintal. Jika dibandingkan sebelumnya, maka perolehan penjualan kopi berkurang sekitar 700.000 gulden A.K pringgokusumo, 1987 : 2. Oleh karena berat beban perusahaan, maka terjadi defisit keuangan. Pengeluaran-pengeluaran keprajan yang harus dibiayai tidak dapat dibayar dengan semestinya. Banyak pegawai-pegawai Praja Mangkunegaran yang tidak menerima gaji selama berbulan-bulan. Masyarakat juga diharuskan bekerja lebih pada perkebunan-perkebunan milik Praja Mangkunegaran. Pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri pun juga mengalami penurunan pemasukan dari Praja Mangkunegaran akibat hasil dari pekebunan kopi yang menurun. Tabel berikut merupakan sejumlah pinjaman yang belum terbayar kepada faktorij tanggal 1 Maret 1888. Tabel 19. Pinjaman yang Belum terbayar kepada Faktorij No Uraian yang belum dibayar Jumlah dalam gulden 1. Hipotik atas tanah-tanah Semarang 400.000 commit to user 111 2. 3. 4. 5. Gaji yang belum dibayar Hutang pada warisan Mangkunegara IV yang belum dibagi Pada beberapa toko Sewa tanah pada Kasunanan yang masih menunggak hutang 333.080 331.167 132.532 51.283 Jumlah 1.248.062 Sumber : Ilmi Albiladiyah, S. 2009. “Krisis Ekonomi Praja Mangkunagaran pada Akhir Abad ke-19 ”. ”. Yogyakarta : Patrawidya, hal.844 Selain daftar diatas masih ada catatan mengenai daftar pinjaman Mangkunegaran ditulis dalam tulisan dan bahasa Jawa termasuk pengeluaran belanja rutin yang belum dapat dibayar yaitu hutang pada toko, gaji abdi dalem, pada perorangan : keluarga Gondoatmajan, Mangunwastra, Gondosiswayan, Tuan Konas tahun 1889, Tuan Mahilse, langganan jamu tradisional, pajak Surtomijayan, pabrik, tanah di Semarang, Budhel semuanya berjumlah f.1.332.533 terbaca dalam satuan rupiah putih Arsip MN V kode 66. Tabel 20. Daftar Pinjaman Mangkunegaran Tahun 1890-1896 No Tahun Jumlah dalam gulden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1890 1891 1892 1893 1894 1895 1896 1.536.884,59 1.346.955,20 1.357.866,065 1.402.837,215 1.314.984,640 1.186.467,505 861.300,145 Sumber : Ilmi Albiladiyah, S. 2009. “Krisis Ekonomi Praja Mangkunagaran pada Akhir Abad ke-19 ”. ”. Yogyakarta : Patrawidya, hal.845 commit to user 112 Tunggakan gaji yang belum dibayar terutama pada pegawai kepolisian dan pengadilan yang sejak tanggal 1 April 1886 tidak menerima gaji sampai sebesar f.79.830 dan itu berlangsung selama sembilan bulan. Akibat tidak menerima gaji akhirnya banyak pegawai yang telah menjual hak miliknya atau menggadaikan barang-barang berharganya. Meskipun tidak digaji, para pegawai tetap bekerja, hanya untuk tetap dapat menyandang gelar dan jabatan yang sangat dihargai oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Akibat kesulitan ekonomi Mangkunegaran, Mangkunegara V menggadaikan 290 saham Javasche Bank dan 100 saham Nederlandsche Handelmaatschappij, sehingga memperoleh pinjaman sebesar f 200.000 dari faktorij. Pinjaman tersebut akhirnya membawa masalah bagi Mangkunegara V karena ternyata nilai kurs surat-surat berharga tersebut sedang mengalami penurunan. Akhirnya Faktorij menghentikan peminjamannya akibat kurs yang menurun dan Mangkunegara V tidak mau menambah jaminannya berupa 40 saham Javasche Bank dan 25 saham Nederlandsche Handelmaatschappij yang masih berada di tangan Prangwedana. Lebih menyedihkan lagi ternyata surat-surat berharga yang digadaikan oleh Mangkunegara V ternyata sebagian besar merupakan warisan dari Mangkunegara IV yang belum dibagi-bagikan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Mangkenegara V untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Praja Mangkunegaran mengalami kegagalan. Akibatnya, keuangan keprajan yang digunakan menjadi kurang bermanfaat dan tidak menghasilkan keuntungan melainkan kerugian. Hutang Praja Mangkunegaran semakin banyak dan tidak dapat membayar pelunasannya. Bahkan barang-barang kekayaan milik keprajan banyak yang dihipotikkan atau digadaikan. Manajemen keuangan keprajan semakin memburuk, terbukti dengan mulai tidak dibayarnya gaji para pegawai istana. Krisis ekonomi yang melanda Praja Mangkunegaran diperparah dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan Mangkunegara V untuk mengatasinya. Hal ini karena kebijakan-kebijakan yang diambil tidak diperhitungkan dengan kondisi keuangan keprajan . commit to user 113 2. Bagi Kehidupan Masyarakat di Praja Mangkunegaran Kesengsaran akibat krisis ekonomi tidak hanya terjadi di kalangan istana Praja Mangkunegaran saja, tetapi dampaknya juga sangat dirasakan oleh masyarakat di wilayah Praja Mangkunegaran. Mangkunegara V mengambil tindakan atau kebijakan ekonomi yang justru membawa dampak negatif bagi keprajan maupun bagi masyarakat. Dengan kebijakannya membudidayakan lagi tanaman tembakau yang menggunakan tenaga kerja masyarakat Jatisrono, maka masyarakat sekitar perkebunan menjadi lebih sengsara karena tidak dapat menggarap lahan pertaniannya sendiri secara maksimal karena sebagian besar masyarakat di daerah Vorstenlanden bekerja sebagai petani. Dampak krisis ekonomi yang melanda Praja Mangkunegaran sangat dirasakan terutama di kalangan masyarakat rendahan, terutama petani. Hal ini karena petani merupakan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan selain menggarap tanahnya sendiri. Para petani yang merupakan masyarakat pedesaan masih diberlakukan kerja wajib. Kerja wajib dibedakan menjadi tiga macam yaitu antara lain adalah sebagai berikut : a. Kerigan desa diensten untuk perbaikan jalan, pematang, jembatan, dll. Kerigan dilakukan lima hari sekali selama lima jam, sedangkan dines kemit yaitu menjaga rumah penyewa tanah yang dilakukan dua minggu sekali. b. Gugur gunung yaitu berupa perbaikan infrastruktur desa akibat banjir dan gangguan alam. Gugur gunung tidak dapat dipastikan dilakukan, tetapi sekurang-kurangnya dilakukan sebulan sekali. c. Kerigaji heerendiensten yaitu kerja wajib untuk raja dan patuh. d. Kerja wajib di perkebunan atau interen cultuurdiensten. Kerja wajib ini biasanya dilakukan pada perkebunan tebu dan kopi. Sebagai contoh kerja wajib di pabrik gula yaitu jaga malam di gudang, jaga di kebun-kebun tebu Suhartono, 1991 : 41. Akibat dari kerja wajib tersebut maka banyak petani yang menelantarkan tanah garapannya sendiri. Apalagi setelah terjadi krisis ekonomi yang melanda commit to user 114 Praja Mangkunegaran, banyak masyarakat yang dipekerjakan di daerah-daerah perkebunan. Hal itu karena sektor perkebunan merupakan pemasukan terbesar dari kas keuangan Praja Mangkunegaran. Masyarakat semakin diberatkan lagi dengan adanya penambahan jumlah perkebunan-perkebuann baru pada masa Mangkunegara V untuk memperbaiki kondisi keuangan keprajan. Masyarakat juga semakin menderita karena harus bekerja ekstra pada perkebunan-perkebunan yang terkena hama penyakit tanaman yang meyerang tanaman perkebunan pada waktu itu. Selain itu akibat dari terserangnya hama penyakit tanaman yang menyerang perkebunan terutama perkebunan kopi dan tebu, maka membuat upah yang diterima petani menjadi berkurang. Hal ini dikarenakan para pengusaha perkebunan terpaksa memangkas upah pekerja dan mengurangi biaya-biaya yang dipersiapkan untuk membayar sewa tanah akibat harga gula di pasar dunia yang terus merosot karena bersaing dengan gula bit Robert van Niel, 2003 : 274. Secara umum penghasilan petani di daerah Vorstenlanden pada tahun 1888, setiap hari 1 cacah memerlukan 3 cangkir beras 1 cangkir = 150 gr 1,5 sen, trasi 2 sen, gula aren 2,5 sen, gambir 1,5 sen, oncom 1,5 sen, tembakau 5 sen, cabe 1 sen dan untuk pakaian dihitung 20 sen. Jadi seluruhnya berjumlah 34 sen. Jika upah yang diterimanya berkisar antara 30 sampai 40 sen sehari, maka dapat dipastikan bahwa penghasilannya tidak pernah ada sisa. Selain itu seorang petani tidak setiap hari mendapat upah sebesar itu. Dampak krisis ekonomi yang dialami oleh Praja mangkunegaran pada awal kepemimpinan Mangkunegara V pada dasarnya dibedakan menjadi dua golongan sosial masyarakat. Golongan tersebut adalah golongan yang hidup di dalam istana dan di luar istana. Berdasarkan kedudukan dalam hierarki masyarakat Jawa, masyarakat Mangkunegaran terdiri atas dua golongan, yaitu : a. Para sentana dan nara praja, terdiri atas para anggota keluarga Mangkunegaran, para sentana dan para pegawai yang mengabdi pada raja. b. Golongan kawulo yang terdiri atas para anggota masyarakat lain yang tidak termasuk golongan para sentana dan nara praja. commit to user 115 Adanya perbedaan golongan tersebut, juga mengakibatkan adanya perbedaan kondisi ekonomi. Golongan sentana dan nara praja yang bekerja dan hidup di dalam istana tidak begitu merasakan dampak dari krisis ekonomi secara finansial karena mereka masih mendapatkan kehidupan yang layak dan masih dapat mencukupi kebutuhan dari para anggota keluarga raja. Masyarakat yang paling merasakan dampak dari krisis ekonomi adalah golongan bawah di luar istana. Mereka kebanyakan berprofesi sebagai petani. Dalam konteks lokal di Praja Mangkunegaran, kehidupan sosial dan ekonomi penduduk terutama golongan petani tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Vorstenlanden. Pada tahun 1888 di Surakarta pendapatan petani kelas I adalah 64 gulden, petani kelas II adalah 48 gulden, petani kelas III adalah 24 gulden dan masing-masinmg terkena beban pajak tanah sebesar 12 gulden 8,75 , 10 gulden 20,80 , 8 gulden 33,50 Suhartono, 1991 : 46. Selain itu para buruh pabrik perkebunan juga merasakan dampak atas krisis keuangan yang terjadi di keprajan. Para buruh perkebunan tebu rata-rata memperoleh penghasilan antara 20 sampai 35 sen per hari dan bila kerja lembur akan memperoleh upah sebesar 22 sampai 40 sen, serta pekerja berat sebesar 50 sen. Kuli perkebunan rata-rata mendapat upah antara 25 sampai 35 sen per hari dan kuli tebang tebu memperoleh 8 sen Mawardi dan Yuliani, 1993 : 41. Besarnya upah lebih rendah apabila pada tahun 1880 sebelum terjadinya krisis. Penurunan jumlah upah masing-masing sebesar 0,05 gulden. Dengan ikut campurnya Pemerintah Kolonial di dalam menangani keuangan Praja Mangkunegaran juga turut membawa berbagai dampak bagi masyarakat keprajan sendiri. Dampak dari kepengurusan residen di Praja Mangkunegaran dirasakan oleh masyarakat di luar istana. Kesejahteraan masyarakat semakin terabaikan karena kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Residen cenderung mengalami kegagalan yang semakin menyengsarakan rakyat. Kemakmuran rakyat terancam, dan keamanan pun terganggu yang diakibatkan oleh adanya perampokan, pembunuhan bahkan pemberontakan. Kesemuanya tersebut akhirnya dapat mengakibatkan suatu gerakan sosial dalam masyarakat. Gerakan sosial tersebut akibat dari kesengsaraan rakyat yang semakin commit to user 116 memprihatinkan karena ketidakpuasan terhadap suatu pemerintahan yang akhirnya memicu adanya pemberontakan untuk menggulingkan pemerintahan. Kasus gerakan-gerakan sosial merupakan ideologi yang tidak dapat dipisahkan dengan milenarisme yang menggambarkan suatu masyarakat yang mengalami jaman keemasan dengan penuh kesejahteraan. Peredaran jaman akan terjadi, dan krisis akan berakhir, lalu diganti oleh suatu millennium atau jaman keemasan. Mesianisme dan milenarisme ingin merealisasikan harapannya, sehingga tidak sekedar sebagai mitos tetapi dilaksanakan dengan cara magis Suhartono, 1991 : 141. Pada tahun 1886 telah ditangkap seorang yang bernama Tirtowiat alias Raden Joko yang tinggal di desa Bakalan, Ketitang distrik Kartosuro. Ia mengakui utusan Imam Mahdi atau Ratu Adil dan mengatakan bahwa setelah perkawinan Ratu Adil dengan Ratu Kedaton akan terjadi huru-hara. Gerakan ini terjadi pada masa depresi pertanian tahun 1884 bersamaan dengan meluasnya penyakit sereh yang menyerang daun kopi dan tebu. Akibatnya, tanah-tanah yang sudah disewa kemudian dibatalkan kontrak penyewaannya, dan dikembalikan pada pemiliknya. Selain itu ada beberapa perkebunan yang menutup usahanya. Di Praja Mangkunegaran sendiri muncul gerakan mesianisme yang dapat dikatakan besar yaitu Gerakan Srikaton di Girilayu Kecamatan Matesih, Karanganyar. Kasus gerakan sosial keagamaan ini dapat dikategorikan sebagai gerakan mesianisme tetapi di dalamnya terdapat unsur-unsur milenarisme, nativisme dan perang sabil. Oleh karena itu gerakan ini dipandang memiliki unsur-unsur yang sangat kompleks dan dianggap sebagai gejala perubahan sosial. Pola Gerakan Srikaton ini diawali dari sosok pemimipin yang bernama Imam Rejo, seorang juru kunci makam kerajaan Mangkunegaran di Girilayu. Faktor keturunan seringkali digunakan sebagai daya dukung bagi keberadaan seorang pemimpin untuk memantabkan kedudukanya. Imam Rejo merupakan keturunan dari priyayi desa. Imam rejo dilahirkan di desa Kadipiro dan memiliki nama kecil Samiran. Ayahnya seorang bekel gede di desa Klangan, yang bernama Ki Hiromenggolo. Imam Rejo mengaku dirinya merupakan keturunan dari Resowidjojo, seorang Kamituwa di desa Klangon. Dilihat dari garis keturunan ibu, commit to user 117 Imam Rejo adalah keturunan dari demang Poncogagatan dari desa Gedangan. Kakek buyutnya adalah seorang bekel dari desa Gandekan Mailrapport, 1888 : 799. Menurut Imam Rejo, pralambang Joyoboyo akan menjadi kenyataan, langit akan runtuh dan kerajaan akan berdiri. Orang-orang harus rajin menjalankan ibadat agar kemakmuran lekas tercapai seperti yang ditunjukkan oleh para wali dan disebutkan dalam babad akan menjadi kenyataan. Dapat dipastikan bahwa gerakan ini memang terbatas di beberapa desa Girilayu, tetapi tidak dapat dielakkan gerakan ini mempunyai jaringan luas dengan gerakan-gerakan di daerah lain. Jaringan kerja sama antara desa diwakili oleh para bekel. Mereka dianggap mewakili kepentingan desa, dan kepentingan petani dalam hubungan keluar desa. Di dalam gerakan ini, Imam Rejo mendapat dukungan dari para bekel desa-desa sekitarnya. Hal ini terbukti dengan diajukannya Dipokerto, seorang bekel tuwa dan termasuk salah seorang pemimpin gerakan yang pertama di pengadilan. Selanjutnya masih ada beberapa bekel yang terlibat dalam gerakan itu, yaitu Bekel Wongsodiwiryo, Bekel Kertodrono, Bekel Gendon dan Bekel Sariman. Rupanya peranan bekel yang paternalistik sebagai pelindung petani masih kuat sehingga tidak mengherankan kalau mereka berpihak pada gerakan itu. Solidaritas antar bekel juga menunjukkan usaha bersama dalam menghadapi tekanan dari luar desa Suhartono, 1991 : 145. Gerakan Srikaton muncul karena beban pajak dan kerja wajib yang berat. Gerakan ini terjadi pada waktu krisis ekonomi sedang berlangsung di Praja Mangkunegaran. Gambaran masa kacau terjadi pada pemerintahan Mangkunegara V. Sepeninggal Magkunegara IV, pemerintahan dipegang oleh Mangkunegara V. Keadaan pemerintahan sedang mengalami krisis. Hasil-hasil perkebunan kopi banyak mengalami penurunan, pangsa pasar Eropa melakukan proteksi yang ketat. Kaitannya dengan pertumbuhan negara kerajaan kondisi ini memberi indikasi semakin menguatnya kedudukan kerajaan di hadapan petani. Bagi Praja Mangkunegaran indikasi tersebut dapat dilihat dari benturan kepentingan antara raja dengan bekel, raja dengan petani, maupun kepentingan patuh dengan petani. Bentuk kepentingan antara raja dengan bekel dirasakan oleh masyarakat Girilayu commit to user 118 terutama pada saat kebijakan penarikan tanah apanage yang dilakukan oleh Mangkunegara IV. Fenomena ini di satu sisi raja mempunyai kepentingan untuk meningkatkan hasil perkebunan dengan perluasan lahan yang dilakukan dengan penarikan apanage, sedang di sisi lain ditariknya tanah apanage berdampak pada putusnya hubungan simbiosis mutualisme antara patuh dan bekel, sehingga menyebabkan ketidakjelasan kedudukan bekel dalam masyarakat atas kebijakan Mangkunegara IV James C. Scoot, 1981 : 300. Benturan kepentingan antara raja dengan petani di Praja Mangkunegaran dirasakan sekali pada masa Mangkunegara V, akibat krisis pertanian mengakibatkan adanya beban hutang yang besar, banyak tenaga kerja dari petani untuk penanaman kopi yang seharusnya dibayar dengan uang terpaksa dijalani dengan kerja rodi. Sistem rodi terpaksa dilakukan oleh petani karena kondisi keuangan keprajan dipasarkan ke Eropa untuk melunasi hutang Mangkunegaran. Raja menuntut hasil perkebunan kopi dijalankan terus, sedangkan kontribusi baliknya untuk kepentingan petani sama sekali tidak ada. Sistem rodi yang diterapkan oleh Mangkunegara V dalam budidaya kopi dipandang sebagai bentuk penekanan yang dilakukan oleh raja terhadap petani. Dalam kerja rodi tersebut, petani diperas tenaganya untuk memenuhi target bagi penghasilan kopi keprajan, sedangkan keuntungan kopi digunakan untuk menutup hutang Mangkunegaran kepada pihak kolonial. Petani tidak mendapat upah sedikitpun , karena dalam sistem apanage, raja berhak memiliki tanah sedangkan petani bekerja untuk keperluan keprajan. Kerja rodi bagi keprajan merupakan sebuah bentuk bekti rakyat terhadap penguasa. Petani dalam hal ini merupakan pihak yang paling dirugikan. Para petani sangat merasakan dampak kerja rodi tersebut. Pada tahun 1888 di perkebunan kopi, petani bekerja selama 135 hari selama satu tahun, sisanya para petani diwajibkan menjaga makam Mangkunegaran yang berada di daerah Girilayu, sebagai bentuk bekti kepada raja, sehingga waktu petani habis untuk memenuhi kewajiban dan bekti kepada penguasa, akibatnya kehidupan mereka sangat menderita karena hanya mampu hidup secara subsistensi Suhartono, 1991 : 110. commit to user 119 Benturan kepentingan yang sudah dialami petani diperburuk lagi dengan motivasi para bekel yang cenderung untuk memanfaatkan tanah lungguhnya secara eksploitatif. Hal ini dilatarbelakangi rasa tidak puas atas kebijakan Mangkunegara IV. Kondisi demikian dirasakan sekali oleh masyarakat Girilayu. Patuh menuntut hasil yang lebih kepada para bekel. Sebagai penguasa desa, bekel berhak atas tenaga kerja petani. Bentuk eksploitasi yang dilakukan para patuh dan bekel tersebut sangat memberatkan petani, karena tuntutan pajak yang tinggi bagi penggarap apanage , akibatnya kehidupan petani semakin menderita. Kondisi yang demikian mendorong petani kopi di Girilayu untuk melakukan perlawanan. Dengan keyakinan dari sosok pemimpin yang mampu mendorong masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik serta melawan penguasa. Dengan munculnya sosok Imam Rejo sebagai sang juru selamat bagi masyarakat Girilayu menyebabkan masyarakat semakin gentar melakukan pemberontakan. Bentuk pencarian kekuasaan yang dilakukan Imam Rejo adalah melalui tirakat dan nyepi yang dilakukan selama 5 bulan secara berturut-turut setiap hari Kamis malam di makam Mangkunegara IV. Imam Rejo memakai gelar Imam Sampoerno Djainal Ngabidin dan mewajibkan setiap orang untuk mengikuti ajarannya dan bagi orang-orang yang menolaknya akan menemui kematian. Fenomena tersebut berpengaruh pada bentuk pelegitimasian kepemimpinan Imam Rejo. Restu dari Mangkunegara IV dipercayai Imam Rejo telah membawa dampak munculnya sugesti pribadi pada dirinya, sehingga segala hal yang dilakukan oleh Imam Rejo dipandang sah dan legal dari dirinya sendiri dan para pengikutnya. Puncak Gerakan Srikaton adalah pendudukan pesanggrahan Srikaton oleh Imam Rejo dan para pengikutnya. Tanggal 11 Oktober 1888, Residen Spaan menerima laporan dari pihak Mangkunegeran yaitu Patih Mangkunegara V melaporkan bahwa ada sekitar 30 orang pribumi telah meduduki pesanggrahan Srikaton, milik Praja Mangkunegaran yang terletak di Tawangmangu. Dilaporkan juga, polisi pribumi tidak mampu mengatasi gerakan yang terjadi di pesanggrahan Srikaton, laporan tersebut diperkuat oleh penjelasan Asisten Residen yang membawahi daerah Tawangmangu. commit to user 120 Pada tanggal 11 Oktober, sekitar pukul 15.00 Ede van der Pals, administrator perkebunan kopi di Tawangmangu yang sedang berburu di hutan secara kebetulan bertemu dengan iring-iringan rombongan Imam Rejo di desa Kramen. Melihat kejadian yang mencurigakan itu ia memerintahkan agar segera dilaporkan kepada Kepala Distrik Karangpandan. Menjelang tengah malam berita pendudukan pesanggrahan itu sudah diterima oleh Residen Surakarta dan Mangkunegara V. Pagi harinya tanggal 12 Oktober, pasukan tentara yang terdiri dari 30 orang dragonder bergerak menuju pesanggrahan Srikaton Suhartono, 1991 : 147. Setibanya di Srikaton pukul 12.00 siang, pasukan gabungan segera mengepung pesanggrahan dan menjaga semua pintu. Sementara itu, pengikut gerakan sedang asyik membaca zikir. Pintu-pintu dikunci kuat dari dalam untuk mencegah masuknya pasukan gabungan. Suasana menjadi hening. Imam Rejo mengayunkan pedangnya. Ia tidak menghiraukan himbauan untuk menyerah dari seorang sersan Ambon yang lancar berbahasa Jawa. Oleh karena itu, maka pasukan gabungan masuk ke pesanggrahan dengan merusak pintu dan jendela. Tembakan terpaksa dilepaskan pada pengikut gerakan yang tidak mau menyerah itu. Sebagian dari mereka berusaha menyelamatkan diri dengan meloncat melalui pintu dan jendela, tetapi mereka tidak dapat lolos karena telah dikepung. Dalam penanganan gerakan sosial tersebut, ada beberapa solusi yang dilakukan antara lain sebagai berikut : 1. Peristiwa perlawanan terhadap raja kurun waktu akhir abad XIX, kebanyakan para pemimpin dan pengikut gerakan tersebut akan mendapat hukuman di buang ke luar Jawa. 2. Perluasan perkebunan tampaknya mengundang meningkatya kerusuhan, sehingga penjaga keamanan yang sudah ada jumlahnya tidak memadai. Residen menggunakan cara ronda malam untuk mengatasi masalah tersebut, namun hal ini juga tidak berhasil Suhartono, 1991 : 92. 3. Cara yang dilakukan residen adalah dengan membentuk sebuah asisten residen di beberapa wilayah kekuasaan residen. Hal ini dilakukan commit to user 121 untuk mempermudah pengawasan oleh residen melalui kepanjangan tangan asisten residen. 4. Dalam solusi terakhir, Pemerintah Kolonial maupun kerajaan selalu menggunakan cara kekerasan dalam penyelesaian tiap gerakan sosial Gerakan Srikaton hanya berlangsung dua hari yang berakhir dengan tertembaknya Imam Rejo, sedangkan pengikut yang masih hidup ditangkap dan dibuang ke luar Jawa. Pengikut-pengikut itu sebagian besar adalah juru kunci atau penjaga makam Girilayu. Timbulnya gerakan ini rupanya didasari oleh ketidakpuasan dan kesengsaraan. Mereka berusaha membebaskan diri dari tekanan ekonomi dengan mendirikan gerakan mesianistik-milenaristik. Jaringan gerakan ini ternyata melibatkan elite birokrat Mangkunegaran. Selain itu juga muncul gerakan keagamaan di Surakarta yang bercorak nativisme. Timbulnya gerakan ini tidak dapat dipisahkan dari besarnya kekuasaan asing, sehingga menciptakan reaksi kuat untuk melenyapkannya. Meluasnya kekuasaan asing berarti merosotnya ketertiban di berbagai kehidupan dan di Praja Mangkunegaran sendiri, kebijakan ekonomi diambil alih oleh Pemerintah Kolonial. Selain Gerakan Srikaton, juga terdapat Gerakan Samin, Gerakan Alisuwongso di desa Jatinom pada tahun 1881 dan Titisan Prabu Anom atau Pangeran Kadilangu. Campur tangan Pemerintah Kolonial terhadap Praja Mangkunegaran berdampak pada wibawa dan kekuasaan Mangkunegara V yang sudah tidak dapat menjalankan kekuasannya secara bebas. Selain itu campur tangan Pemerintah Kolonial juga menimbulkan kesengsaran di kehidupan masyarakat yang berdampak munculnya gerakan-gerakan sosial di masyarakat. Tidak dapat ditolak bahwa gerakan-gerakan sosial tersebut muncul sebagai suatu reaksi terhadap situasi kolonial dan dominasi asing. Praktek Pemerintah Kolonial dengan ekstrasinya telah meluas di masyarakat. Jadi gerakan sosial timbul dalam rangka perubahan sosio-kultural sebagai reaksi terhadap westernisasi Suhartono, 1991 : 165. commit to user 122

BAB V PENUTUP