Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
28 Oleh karena itu, menjadi sangat problematik jika membakukan syariat
Islam ke dalam hukum positif. Kekhawatiran masyarakat, tak terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syariat Islam bukan tanpa
alasan. Sebab, data-data historis sejarah Islam menunjukkan bahwa isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian elite
demi mengejar ambisi pribadi atau golongan. Agama hanya dijadikan sebagai
“alat” bagi kelompok tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya dengan dikamuflase dalam hal “kesucian” dari kebijakan yang dibuat agar terkesan
berlandaskan dari nilai-nilai agama. Tentu saja kondisi seperti ini bertentangan dengan idealitas agama karena
tidak sesuai dengan nilai dasar yang diperjuangkan agama itu sendiri, yakni mewujudkan masyarakat yang bermoral dan berkemanusiaan dalam arti seluas-
luasnya. Sehingaa perlu diwaspadai jika da gerakan-gerakan sebagiaman dijelaskan sebelumnya.
D. Hubungan Peraturan Daerah dengan Peraturan yang Lebih Tinggi
Menurut Denny Indrayana, beberapa peraturan daerah perda berbasis syari’ah itu sengaja dibuat sedemikian rupa agar bisa lolos dan disahkan oleh
DPRD dan terhindar dari kemungkinan pembatalan oleh Departemen Dalam Negeri melalui proses eksekutif review peninjauan ulang. Pendekatan yang
paling kerap digunakan adalah dengan cara merujuk kepada Undang-Undang Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang memberi kewenangan mengatur pengelolaan daerah secara otonom dan beberapa sector tertentu.
13
Dengan demikian, walaupun urusan keagamaan sama sekali bukan kewenangan daerah, perda-perda berbasis syariah dianggap abash karena
merupakan peratura lokal yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah sosial dan memelihara ketertiban public disuatu wilayah pemerintahan daerah. Perda tersebut
berusaha agar secara penampilan tidak terlihat mencantumkan sedikitpun persoalan pelaksanaan syariat bagi umat islam, melainkan masalah social
kemasyarakatan, dengan cara seperti itu perda-
perda berbasis syari’ah dapat terhindar dari benturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi misalnya
Undang-Undang Pemerintah Daerah. Sungguhpun perda-perda tersebut telihat bersesuaian dengan peraturan
perUndang-Undangan yang lebih tinggi diatasnya, fakta dilapangan menunjukkan bahwa perda tersebut secara material bertentangan dengan hak-hak asasi manusia
yang secara tegas telah ditetapkan oleh konstitusi Republik Indonesia, seperti kebebasan beragama.
14
Peraturan daerah mestinya tidak bertentangan dengan kepentingan umum, tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tidak bertentangan
dengan perda dan seseuai dengan aspirasi masyarakat daerah setempat tetapi dalam kerangka negara kesatuan. Dalam perda mesti mentaati beberapa asas yaitu:
13
Arskal Salim, op.cit, hal. 15.
14
Ibid, hal. 16.
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
29 bias dilaksanakan, materinya tepat, jenis dan fungsi peraturannya juga tepat, asas
yang lain adalah kekeluargaan dan kebhinnekaan.
15
Apabila dilihat perda-perda diskriminatif tersebut menyalahi semangat keadilan dan kemanusiaan sebagaimana dinyatakan dalam pancasila, menyalahi
prinsip persamaan warga negara didepan hukum seperti yang terpateri dan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen IV. Peraturan daerah tersebut juga
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Pasal 3 ayat 1 yang
mewajibkan seluruh perundangan harus mengacu kepada ketentuan dasar konstitusi negara Republik Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sementara itu pada pasal 6 ayat 1 juga mensyaratkan agar materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, ketertiban dan kepastian hokum, danatau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.. Keteuan tersbut juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terutama berkenaan dengan Peraturan Daerah dimana dinyatakan, perda dalam asas pembentukan dan materi
muatanya tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
16
E. Bias gender dalam Perda berbasis Syariat