Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
27
C. Otonomi daerah dan Formalisasi Syariat Islam
Menurut analisis Taylor, demokrasi masih dipandang sebagai suatu sistem pemerintahan terbaik karena sistem tersebut paling mampu merefleksikan sifat-sifat good
governance. Berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Taylor, konsep otonomi daerah pada hakikatnya merupakan bagian dari proses demokratisasi yang mengutamakan
tranparansi dan partisipasi aktif dari seluruh warga masyarakat. Tentu saja yang dimaksud dengan masyarakat di sini selalu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Otonomi daerah
yang terwujud melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah konsekuensi logis dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi yang kemudian diperbarui kembali untuk
terakhir kali dalam konsep kewenangan pemerintah daerah dengan mengacu kepada asas otonomi yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
10
. Selain itu juga harus dipahami bahwa otonomi daerah sebagai sebuah proses membuka ruang bagi lahirnya
kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan akomodatif terhadap
kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.
Otonomi daerah yang dilakukan pemerintah daerah saat ini juga mengacu kepada asas otonomi sebagai dasar prinsip pelayanan pemerintah daerah kepada warganya.
Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan, dimana dalam perumusan setiap kebijakan publik harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu,
siapa yang
diuntungkan, apa
resiko yang
harus ditanggung,
dan siapa yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan lokal di
daerah, membangun sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
Laode Ida, pakar politik, menjelaskan bahwa otonomi daerah akan berhasil
manakala terpenuhi minimal dua syarat. Pertama, implementasi otonomi daerah
sungguh-sungguh diikuti dengan pembenahan birokrasi pemerintah sehingga
mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap rakyat. Kedua, apabila otonomi daerah
dapat mewujudkan desentralisasi pengelolaan keuangan yang diorientasikan sepenuhnya kepada kebutuhan masyarakat di daerah.
11
Akan tetapi, yang terwujud bukanlah otonomi masyarakat daerah secara keseluruhan, melainkan otonomi dari aspek pemerintah daerah
saja. Artinya, pemerintah daerah berusaha semaksimal mungkin mengambil alih semua kewenangan pemerintah pusat dengan membuat berbagai kebijakan yang pada dasarnya
sama dengan watak kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik, otoriter, dan tidak melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Akibatnya, seperti yang tampak
sekarang dua elemen penting dalam proses otonomi daerah, yaitu transparansi dan partisipasi warga tidak muncul sama sekali. Hasil yang terwujud kemudian adalah
pemerintah daerah yang otoriter, tidak transparan dan tidak demokratis.
12
10
Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
11
Siti Musdah
Mulia, Perda
Syariat dan
Peminggiran Perempuan,
https:jarikjogja.wordpress.com20080118perda-syariat-perempuan diakses 7 Juni 2015 jam 11.44 WIB
12
Ibid
Vol. 8, Tahun 2015 ISSN: 1858-2818
28 Oleh karena itu, menjadi sangat problematik jika membakukan syariat
Islam ke dalam hukum positif. Kekhawatiran masyarakat, tak terkecuali kalangan Muslim sendiri terhadap upaya-upaya pemberlakuan syariat Islam bukan tanpa
alasan. Sebab, data-data historis sejarah Islam menunjukkan bahwa isu syariat Islam seringkali hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh sebagian elite
demi mengejar ambisi pribadi atau golongan. Agama hanya dijadikan sebagai
“alat” bagi kelompok tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya dengan dikamuflase dalam hal “kesucian” dari kebijakan yang dibuat agar terkesan
berlandaskan dari nilai-nilai agama. Tentu saja kondisi seperti ini bertentangan dengan idealitas agama karena
tidak sesuai dengan nilai dasar yang diperjuangkan agama itu sendiri, yakni mewujudkan masyarakat yang bermoral dan berkemanusiaan dalam arti seluas-
luasnya. Sehingaa perlu diwaspadai jika da gerakan-gerakan sebagiaman dijelaskan sebelumnya.
D. Hubungan Peraturan Daerah dengan Peraturan yang Lebih Tinggi