38
Lampiran 6. Prosedur analisis produk deterjen
1. Derajat Keasaman pH SNI : 06-4085-1996
Kalibrasi pH- meter dengan larutan buffer pH setiap kali akan melakukan pengukuran. Elektroda yang telah dibersihkan dicelupkan dengan air suling
ke dalam contoh yang akan diperiksa direndam dalam air es pada suhu 25 °
C. Nilai pH pada skala pH- meter dibaca dan dicatat.
2. Stabilitas Emulsi
Kestabilan emulsi diukur antara air dan xylene. Xylene dan air dicampur dengan perbandingan 6 : 4. Campuran tersebut dikocok selama 5
menit menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antar xylene dan air diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa. Konsentrasi deterjen yang
Pengeringan Spray Dryer
T
inlet
=163-169 °
C T
outlet
= 70-80 °
C
Deterjen Sodium CMC 1-3
Parfum 1-3
39
ditambahkan adalah 10 persen dalam campuran xylene-air. Lamanya pemisahan antar fasa sebelum ditambahkan deterjen dibandingkan dengan
sesudah ditambahkan deterjen.
3. Daya Busa dan Stabilitas Busa MPOB, 2001
Larutan sabun 200 ml 0,1 deterjen dimasukkan ke dalam labu takar 500 ml. Kemudian dikocok-kocok dengan kuat sebanyak 30 kali. Volume busa
dicatat setelah 30 detik dan 5,5 menit. Stabilitas busa diekspresikan sebagai rasio volume busa pada 5,5 menit terhadap volume busa pada 30 detik.
4. Uji Deterjensi
Deterjensi dilakukan untuk mengetahui kemampuan deterjen dalam pembersihan kotoran berlemak dari suatu kain. Kain yang digunakan
berwarna putih yang dipotong seragam kemudian dicelupkan ke dalam kotoran berlemak. Setelah itu kain yang kotor tersebut direndam dalam
larutan deterjen 0,2 persen selama 30 menit. Kekeruhan air yang terjadi merupakan hasil kelarutan kotoran berlemak dalam air yang nilai
kekeruhannya dibaca menggunakan DR2000. Nilai yang terbaca merupakan nilai kekeruhan dengan satuan FTU Turbidity.
5. Bahan tidak larut dalam air SNI 06-4594-1998
Deterjen ditimbang sebanyak 1 gram dan dilarutkan dalam 250 ml air pada suhu kamar. Saring dengan penyaring, dan endapannya dicuci dengan air.
Keringkan sampai bobot tetap dalam oven pada suhu 105 °
C. Hitung jumlah persen bahan tidak larut dalam air yang terdapat dalam contoh uji.
40
26
Darnoko, D dan M. Cheryan. 2000. Continuous Production of Palm Methyl Ester. J. Am. Oil Chem. Soc. 77 12 : 1269 – 1272.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2002. Statistik Perkebunan Indonesia 1998- 2002; Kelapa Sawit. Ditjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, Jakarta. Gupta, S. Dan Wiese, D. 1992. Soap, Fatty Acid, and Synthetic Detergent. Di
dalam Riegel’s Handbook of Industrial Chemistrty. Ninth ed. James A ed, Van Nostrand Reinhold, New York.
Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Vol. 3. A Wiley- Interscience Publication. John Wiley Sons, Inc. United State.
INFORM. 1998. Additives to Improves Performance. INFORM 9 10: 925 – 935
Jungermann, E. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol I 4th edition. John Willey and Son, New York
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Krawczyk, T. 1998. Industrial and Institutional Cleaning. Inform 9 4: 274-291 Mac Arthur, B.W., B. Brooks, W. B. Sheats and N.C. Foster. 1998. Meeting
Challenge of Methylester Sulfonation. Chemithon Corp. USA. Matheson, K.L. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In :
Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. Ed. AOCS Press, Champaign, Illinois.
MPOPC. 2002. Uses of Palm Based Oleochemicals. http:www.mpopc.org.my
. [30 Maret 2002].
MPOPC. 2003. Fatty Acids. http:www.mpopc.org.my
. [ 5 September 2003] Noureddini, H.dan D. Zhu. 1997. Kinetics of Transesterification of Soybean Oil.
Journal of American Oil Chemistry Society. Vol. 74 11: 1457-1463. Noureddini, H., D. Harkey and V. Medikonduru. 1998. A Continuous Process
for the Conversion of Vegetable Oils into Methyl Esters of Fatty acids. J. of Am. Oil Chem. Soc. 75 12 : 1775 – 1783.
Pore, J. 1993. Oils and Fat Manual. Intercept Ltd, Andover, Uk, Paris, New York.
27
Porter, M.R. 1997. Anionic Detergent. Didalam Lipid Technologies and Applications. Frank D.G and Ferd B.P Ed. Marcel Dekker, Inc., New
York. Sheats,W B. and B.W. Mac Arthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. The
Chemithon Corporation. http:www.chemithon.com
. Sherry, A.E, B.E. Chapman, M.T. Creedon, J.M. Jordan and R.L. Moese. 1995.
Non Bleach Process for the Purufication of Palm C
16
– C
18
Methyl Ester Sulfonates. J. of Am. Oil Chem. Soc. 72 7 : 834 - 841.
Sitting, M. 1979. Detergent Manufacture Including Zeolit Builders and New Materials. Neyes Data Corporation Park Ridge. New Jersey. USA.
SNI. 1998. Metil Ester. Badan Standarisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia. 06-4594-1998.
Sontag, N.O.V. 1982. Fat Splitting, Esterrification and Interesterification. Didalam Daniel Swern. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 4t
h
ed. Vol 2. john Willey and Sons, New York.
Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th. Ed. John Willey and Sons, New York. P. 192-196
Yuliasari, R., P. Guritno dan T. Herawan. 1997. Asam Lemak Sawit Distilat Sebagai Bahan Baku Pembuatan Sabun Transparan. Indonesia J. Of Oil
Palm Research. 53 : 205-213 Watkins, C. 2001. All Eyes are on Texas. INFORM 12 : 1152-1159.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Sulfonasi Metil Ester Sulfonat MES
Dewasa ini upaya untuk pengaplikasian metil ester sulfonat MES dalam produk-produk personal care dan laundry semakin meningkat. MES sebagai
salah satu surfaktan anionik dihasilkan melalui proses sulfonasi. Proses sulfonasi untuk menghasilkan MES dapat dilakukan dengan mereaksikan natrium bisulfit
atau gas SO
3
dengan ester asam lemak Bernardini, 1983; Watkins, 2001. Ester asam lemak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester C-18 metil
ester dari PKO palm kernel oil. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan GC Gas Chromatography diketahui beberapa asam lemak yang
terkandung dalam metil ester PKO yaitu diantaranya adalah: asam oktanoat 0,1, asam stearat 4,0, asam elaidat 20,6, asam oleat 63,69 dan asam
linoleat 9,56. Grafik hasil pengujian metil ester PKO dengan menggunakan GC Gas Chromatography disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik hasil pengujian metil ester PKO dengan menggunakan GC Gas Chromatography
31
Pada penelitian ini sulfonasi dilakukan dengan cara mereaksikan metil ester dengan natrium bisulfit NaHSO
3
dengan perbandingan mol reaktan 1: 1,5. Natrium bisulfit NaHSO
3
dibuat berlebih dengan tujuan untuk menjamin berlangsungnya proses sulfonasi dengan baik. Sherry et al., 1995 telah
melakukan proses sulfonasi untuk menghasilkan C16-18 potassium methyl ester sulfonates KMES dengan melebihkan mol SO
3
. Ekses mol SO
3
diperlukan untuk menjamin terjadinya proses sulfonasi sesuai yang diharapkan karena
sulfonasi ini berlangsung melalui satu atau lebih tahap intermediate yang membutuhkan dua mol SO
3
untuk setiap mol metil ester. Oleh Karena itu di dalam industri SO
3
dibuat berlebih sekitar 15-30 yang dilakukan pada kondisi suhu 90
° C 195
° F untuk menjamin terjadinya laju reaksi dan hasil yields yang
baik. Sheats dan MacArthur 2002 juga telah melakukan proses sulfonasi untuk menghasilkan MES dari beberapa sumber bahan baku dan mol reaktan SO
3
dibuat berlebih dengan perbandingan mol reaktan metil ester dan SO
3
adalah 1: 1,25 hingga 1: 1,3.
Selain reaktan metil ester dan natrium bisulfit NaHSO
3
, pada proses sulfonasi juga ditambahkan katalis Al
2
O
3
sebesar 1,5 . Menurut Keenan et al., 1984, sebuah katalis adalah suatu zat yang dapat meningkatkan kecepatan suatu
reaksi kimia tetapi katalis itu sendiri tidak mengalami perubahan kimia yang permanen. Suatu katalis diduga mempengaruhi kecepatan reaksi dengan salah
satu jalan : 1 dengan pembentukan senyawa antara katalis homogen atau 2 dengan adsorpsi katalis heterogen.
Katalis alumunium oksida Al
2
O
3
merupakan katalis heterogen dengan cara kerjanya sebagai katalis adalah sebagai berikut: molekul reaktan bergerak
melewati struktur pori katalis untuk menjangkau semua permukaan internal katalis. Permukaan internal katalis Al
2
O
3
yaitu 10 – 40 m
2
gram. Setelah terbentuk molekul produk kemudian molekul tersebut dilepaskan kembali dari
permukaan internal katalis. Molekul produk menyebar kembali melalui pori struktur katalis untuk kembali berputar dalam reaksi Smith, 1981.
Pada penelitian ini proses sulfonasi dilakukan pada sebuah reaktor yang dihubungkan dengan kondensor untuk menjaga agar suhu reaksi tetap stabil
selama proses sulfonasi. Reaksi sulfonasi antara me til ester dengan natrium
32
bisulfit NaHSO
3
menurut Swern 1979 akan terjadi pada bagian α
-atom karbon atau pada bagian rantai tidak jenuh ikatan rangkap. Sedangkan menurut
Gervasio 1996, selama proses sulfonasi antara metil ester dengan SO
3,
gugus sulfonat dapat terikat di dua tempat pada molekul metil ester, yaitu pada posisi
alfa dan gugus ester. Bila-SO
3
terikat pada kedua tempat tersebut maka akan terbentuk disulfonat. Selama berjalannya reaksi, disulfonat bertindak sebagai
sulfonator bagi metil ester yang belum bereaksi. Hal ini dilakuan dengan cara melepaskan –SO
3
dari gugus ester untuk ditangkap oleh metil ester pada posisi alfa membentuk molekul metil ester sulfonat MES.
Setelah proses sulfonasi berakhir, metil ester sulfonat MES yang dihasilkan didiamkan selama 4 jam untuk mengendapkan sisa asam dan katalis.
Selanjutnya, MES yang sudah terpisah disentrifuse dengan kecepatan 1400 rpm. MES yang dihasilkan pada tahap ini adalah MES kasar unpurified MES yang
diduga masih banyak mengandung di-salt disodium karboksi sulfonat hasil reaksi samping selama proses sulfonasi. Neraca massa proses produksi MES
kasar unpurified MES disajikan pada Lampiran 9. Keberadaan di-salt diduga dapat menurunkan kinerja MES sebagai
surfaktan. Untuk mengetahui kinerja MES kasar unpurified MES maka dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi terhadap beberapa parameter surfaktan yaitu:
pH, tegangan permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi, stabilitas busa dan daya deterjensi. Karakterisasi MES kasar unpurified MES secara lebih
lengkap disajikan pada Tabel 6. Dari Tabel 6 terlihat bahwa MES kasar unpurified MES mampu
menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka berturut-turut sebesar 30,6 mNm atau 46,36 dan 31,1 mNm atau 87,99 . Tetapi, daya deterjensi dan
stabilitas emulsi yang dihasilkan oleh surfaktan MES kasar unpurified MES sangat rendah yaitu berturut-turut 25,84 dan 15,96 . Dari Tabel 6 juga
diketahui bahwa MES kasar unpurified MES memiliki nilai pH yang rendah atau bersifat asam. Sebenarnya MES dalam kondisi asam bersifat kurang stabil, tetapi
MES kasar unpurified MES ini tidak dinetralisasi karena diduga dengan dilakukannya netralisasi tanpa melalui proses pemurnian dengan penambahan
33
metanol akan menyebabkan terbentuknya di-salt bukan surfaktan metil ester sulfonat MES seperti yang diharapkan.
Tabel 6. Rekapitulasi data karakteristik MES kasar Unpurified MES
No. Parameter
Nilai
1. Tegangan permukaan air
Sebelum ditambah surfaktan MES = 65,9 mNm
Setelah ditambah surfaktan MES = 35,3 mNm
Penurunan tegangan Permukaan = 30,6 mNm
= 46,36
2. Tegangan antarmuka
air-xylen Sebelum ditambah
surfaktan MES = 35,4 mNm Setelah ditambah
surfaktan MES = 4,3 mNm Penurunan tegangan
Permukaan = 31,1mNm = 87,99
3. pH
4,98 4.
Daya deterjensi 25,84
5. Stabilitas emulsi
15,96 6.
Stabilitas busa 23 menit 0,38 jam
7. Densitas
0,87 gml
Dari data pada Tabel 6 tersebut terlihat bahwa secara umum kinerja MES kasar unpurified MES sebagai surfaktan masih rendah dan perlu diperbaiki
dengan dilakukannya proses pemurnian, karena diduga MES kasar unpurified MES yang dihasilkan tanpa melalui proses pemurnian masih banyak mengandung
di-salt sebagai hasil reaksi samping proses sulfonasi. Di-salt sebenarnya masih merupakan surfaktan tetapi memiliki beberapa karakteristik yang tidak diinginkan,
diantaranya adalah sensitif terhadap air sadah, menurunkan kelarutan dalam air dingin, daya deterjensinya 50 lebih rendah daripada surfaktan metil ester
sulfonat MES dan umur simpan dari produk sabun dan detergen yang mengandung di-salt menjadi lebih singkat MacArthur et al., 1998.
34
Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat MES
MES kasar unpurified MES yang dihasilkan dari proses sulfonasi metil ester dengan natrium bisulfit NaHSO
3
diduga masih mengandung bahan pengotor impurities. Bahan pengotor yang menjadi perhatian utama adalah
produk samping dari proses sulfonasi yang disebut di-salt. Kandungan di-salt ini bisa direduksi dengan jalan dilakukannya proses pemurnian. Pemurnian dapat
dilakukan baik melalui proses pemucatan maupun tanpa pemucatan tergantung dari warna produk yang dihasilkan selama proses sulfonasi. Menurut MacArthur
et al., 1998, produksi di-salt dapat diminimisasi dengan dua cara yaitu: 1 dengan pengadukan asam sulfonat pada suhu tinggi dan waktu yang lama tetapi
kelemahannya produk yang dihasilkan berwarna hitam, dan 2 dengan menambahkan sejumlah alkohol metanol untuk bereaksi dengan senyawa
intermediet III supaya membentuk MESA methyl ester sulfonic acid. Dalam penelitian ini pemurnian dilakukan tanpa melalui proses pemucatan
karena produk yang dihasilkan selama proses sulfonasi tidak berwarna hitam dark color. Oleh karena itu pemurnian dilakukan hanya dengan cara
penambahan metanol dengan konsentrasi berkisar antara 10 – 40 dan lama reaksi antara 30 – 120 menit pada suhu 50 - 55
° C. Proses pemurnian dilakukan
pada suhu dibawah suhu titik didih metanol sebagai reaktan yang digunakan dalam pemurnian untuk menghindari terjadinya ledakan karena metanol bersifat
toksik dan eksplosif Hui, 1996. Metanol yang dikenal sebagai metil alkohol atau wood alcohol adalah jenis alkohol sederhana dengan titik didih sekitar
64,8 °
C. Metanol bersifat volatile mudah menguap, mudah terbakar, dan toksik. Metanol dapat digunakan sebagai antifreeze, pelarut, bahan bakar, dan denaturan
untuk etil alkohol http:www.yotor.org
. Karakteristik metanol secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 10. Neraca massa proses pemurnian MES
disajikan pada Lampiran 11. Untuk mengetahui keberadaan atau kandungan disalt dalam MES yang telah dimurnikan MES murni, purified MES, maka
dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi terhadap beberapa parameter seperti halnya yang dilakukan terhadap MES kasar unpurified MES yaitu: pH, tegangan
35
permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi, stabilitas busa dan daya deterjensi.
Perubahan Nilai pH MES Murni Purified MES
Menurut Fessenden dan Fessenden 1995, pH merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen. Menurut Bodner dan Pardue 1989, umumnya
nilai pH berkisar antara 0-14. Kisaran nilai pH 0-6 menunjukkan bahwa suatu larutan adalah asam. Kisaran nilai pH 8-14 menunjukkan bahwa suatu larutan
adalah basa. Sedangkan pada nilai pH 7 maka larutan tersebut dikatakan netral. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran nilai pH untuk mengetahui derajat
keasaman produk yang dihasilkan. Pengukuran pH dilakukan sebelum netralisasi, pada saat netralisasi dan setelah proses evaporasi penguapan dengan oven
vakum. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai pH sebelum netralisasi diketahui bahwa pH MES murni purified MES sebelum netralisasi berkisar
antara 3,95 sampai 4,93. Nilai pH MES murni purified MES sebelum netralisasi terendah ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90
menit yaitu 3,95, sedangkan nilai pH MES murni purified MES sebelum netralisasi tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 10 dan
lama reaksi 30 menit yaitu 4,93. Hasil analisa keragaman Lampiran 12a dengan tingkat kepercayaan 95
menunjukkan bahwa faktor konsentrasi metanol K dan lama reaksi t serta interaksi antara konsentrasi metanol dan lama reaksi memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap nilai pH MES murni purified MES sebelum netralisasi. Hasil uji Duncan untuk pH MES murni purified MES sebelum netralisasi
Lampiran 12c menunjukkan bahwa setiap taraf pada faktor konsentrasi metanol 10 K1, 20 K2, 30 K3 dan 40K4 memberikan hasil yang berbeda
nyata satu sama lain. Hasil uji Duncan untuk faktor lama reaksi juga menunjukkan bahwa faktor lama reaksi 30 menit t1, 60 menit t2, 90 menit t3,
dan 120 menit t4 memberikan hasil yang berbeda nyata satu sama lain. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES
murni purified MES sebelum netralisasi disajikan pada Gambar 12.
36
3.00 3.50
4.00 4.50
5.00 5.50
30 60
90 120
Lama reaksi menit Nilai pH sebelum netralisasi
3.00 3.50
4.00 4.50
5.00 5.50
Konsentrasi metanol 10 Konsentrasi metanol 20
Konsentrasi metanol 30 Konsentrasi metanol 40
Gambar 12. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES murni purified MES sebelum netralisasi
Dari Gambar 12 terlihat bahwa seluruh perlakuan cenderung bersifat asam karena memiliki pH dibawah enam dengan derajat keasaman nilai pH yang
berbeda-beda untuk setiap perlakuan. Perbedaan derajat keasaman ini diduga terjadi karena adanya perbedaan kemampuan reaktan metil ester dan natrium
bisulfit NaHSO
3
yang bersifat asam untuk membentuk MESA methyl ester sulfonic acid ketika direaksikan dengan sejumlah metanol. Semakin tinggi
konsentrasi metanol yang ditambahkan pada campuran reaktan metil ester dan natrium bisulfit NaHSO
3
diduga akan semakin banyak gugus MESA yang terbentuk sehingga menyebabkan derajat keasaman pH yang dihasilkan menjadi
semakin tinggi pula yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya nilai pH MES murni purified MES sebelum netralisasi. Menurut MacArthur et al., 1998,
sebelum netralisasi absorpsi gugus SO
3
oleh metil ester akan menghasilkan intermediet II dan kemudian bereaksi lanjut untuk membentuk intermediet III.
Intermediet III ini ketika direaksikan dengan metanol akan membentuk MESA, methyl ester sulfonic acid yang bersifat asam.
37
MES murni purified MES sebelum netralisasi yang diduga masih dalam bentuk MESA kemudian dinetralisasi dengan menambahkan sejumlah NaOH
20 hingga pH MES murni purified MES sebelum netralisasi MESA mencapai nilai pH netral. Menurut Keena n et al., 1984, reaksi penetralan
netralisasi didefinisikan sebagai reaksi antara asam dan basa yang masing- masing dalam kuantitas yang ekuivalen secara kimiawi. Suatu larutan akan benar-
benar netral jika asam dan basa sama kuat. Bila tidak, maka yang akan diperoleh adalah asam lemah atau basa lemah. Suatu larutan dikatakan bersifat netral bila
konsentrasi H
+
sama dengan konsentrasi OH
-
. Pada penelitian ini proses netralisasi terhadap MESA methyl ester sulfonate
acid dilakukan dengan tujuan untuk mendorong terbentuknya MES murni Purified MES, meskipun dengan penetralan ini juga dihasilkan sejumlah air.
Menurut Keenan et al., 1984, pada umumnya dengan penetralan semua proton yang tersedia dari asamnya dan semua ion hidroksida dari basanya akan bereaksi
membentuk sejumlah air. Keberadaan air dalam MES murni purified MES bila dalam jumlah yang tinggi diduga akan mengganggu kinerja MES murni sebagai
surfaktan, oleh karena itu pada akhir proses pemurnian dilakukan penguapan evaporasi dengan oven vakum pada kondisi suhu 80
° C untuk menguapkan
sejumlah air yang terbentuk selama proses netralisasi. Pada proses evaporasi ini juga akan menguapkan sejumlah metanol sisa yang tidak bereaksi dengan
senyawa intermediet III pada saat pembentukan gugus MESA. Pengukuran pH MES murni purified MES kembali dilakukan setelah MES
murni purified MES dievaporasi dengan oven vakum. MES murni purified MES hasil evaporasi inilah yang kemudian akan dianalisa dan diaplikasikan lebih
lanjut pada detergen bubuk. Dari hasil analisa diketahui bahwa MES murni purified MES memiliki nilai pH dengan kisaran antara 6,92 hingga 7,67. Hasil
analisa keragaman Lampiran 13a dengan tingkat kepercayaan 95 diketahui bahwa faktor konsentrasi metanol K dan lama reaksi t serta interaksi antara
konsentrasi metanol dan lama reaksi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai pH MES murni purified MES setelah evaporasi Lampiran 13a.
38
Hasil uji Duncan untuk MES murni purified MES setelah evaporasi menunjukkan bahwa faktor konsentrasi metanol 10 K1 memberikan hasil yang
berbeda nyata dengan konsentrasi metanol 20 K2, 30 K3 dan 40 K4. Faktor konsentrasi metanol 20 K2 juga memberikan hasil yang berbeda nyata
dengan faktor konsentrasi metanol 30 K3 dan 40 K4. Hal ini juga terjadi pada taraf konsentrasi metanol 30 K3 dan 40 K4 yang menunjukkan hasil
yang berbeda nyata satu sama lain. Hasil uji Duncan untuk faktor lama reaksi menunjukkan bahwa setiap taraf
pada faktor lama reaksi 30 menit t1, 60 menit t2, 90 menit t3 dan 120 menit t4 juga memberikan hasil yang berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Dari
hasil analisa keragaman secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa setiap taraf baik pada faktor konsentrasi metanol maupun faktor lama reaksi memberikan
hasil yang berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya terhadap nilai pH MES murni purified MES setelah evaporasi. Grafik hubungan antara konsentrasi
metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES murni purified MES setelah evaporasi disajikan pada Gambar 13.
6.80 7.00
7.20 7.40
7.60 7.80
30 60
90 120
Lama reaksi menit Nilai pH setelah evaporasi
6.80 7.00
7.20 7.40
7.60 7.80
Konsentrasi metanol 10 Konsentrasi metanol 20
Konsentrasi metanol 30 Konsentrasi metanol 40
Gambar 13. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap nilai pH MES murni purified MES setelah evaporasi
39
Dari Gambar 13 terlihat bahwa pH MES murni purified MES setelah evaporasi memiliki nilai pH yang beragam tetapi secara umum semua perlakuan
masih ada dalam batas pH netral. Kondisi pH MES murni purified MES sebaiknya tetap berada pada kisaran pH netral karena sangat penting untuk
menjaga kestabilan MES murni purified MES yang telah terbentuk. Apabila nilai pH terlalu rendah bersifat asam maka diduga produk akan mudah
terdekomposisi dan jika pH terlalu tinggi bersifat basa maka akan banyak terdapat NaOH pada produk yang akan menyebabkan efek negatif untuk proses
selanjutnya. Selain itu, menurut Watkins 2001, metil ester sulfonat MES memiliki stabilitas hidrolitik yang kurang baik pada pH yang tinggi basa
dibandingkan dengan surfaktan anionik lainnya, sehingga sulit untuk memformulasi metil ester sulfonat ke dalam sistem alkalin yang mengandung air.
Kondisi pH netralisasi MES murni purified MES juga harus terkontrol dengan baik untuk menghindari terjadinya hidrolisis produk MES yang telah
terbentuk sebelumnya membentuk produk samping yang disebut di-salt disodium karboksi sulfonat dan metanol. Reaksi pembentukan di-salt dan metanol akibat
terjadinya hidrolisis produk MES disajikan pada Gambar 14.
O O
R CH C OCH
3
+ NaOH R CH C ONa + CH
3
OH SO
3
Na SO
3
Na
Metil ester sulfonat Basa Di-salt
Metanol MES
Gambar 14. Reaksi hidrolisis MES membentuk di-salt dan metanol MacArthur et al., 1998
40
Penurunan Tegangan Permukaan MES Murni Purified MES
Menurut Shaw 1980, tegangan permukaan didefinisikan sebagai usaha yang dibutuhkan untuk memperluas cairan per satuan luas. Umumnya tegangan
permukaan dinyatakan dalam dyne per cm atau mili Newton per meter. Tegangan permukaan suatu cairan merupakan fenomena dari adanya
ketidakseimbangan antara gaya-gaya yang dialami oleh molekul- molekul yang berada di permukaan. Akibat dari ketidakseimbangan gaya tersebut maka
molekul pada permukaan cenderung meninggalkan permukaan masuk ke dalam cairan sehingga permukaan cenderung menyusut. Apabila molekul dalam cairan
akan pindah ke permukaan untuk memperluas permukaan, maka dibutuhkan usaha untuk mengatasi gaya tarik menarik antar molekul tersebut Bird et al., 1983.
Pada penelitian ini nilai tegangan permukaan yang diukur adalah nilai tegangan permukaan air sebelum dan sesudah penambahan MES murni purified
MES. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tegangan permukaan air sebelum penambahan MES murni purified MES adalah sebesar 65,9 mNm, sedangkan
setelah penambahan MES murni purified MES berkisar antara 23,65 hingga 34,45 mNm. Ini berarti bahwa penambahan MES murni purified MES mampu
menurunkan tegangan permukaan air antara 31,45 hingga 42,25 mNm. Bila dipersentasekan maka nilai penurunan tegangan permukaan air setelah
penambahan MES murni purified MES berkisar antara 47,72 hingga 64,11. Menurut Pore 1976 di dalam Karlenskind 1993, surfaktan anionik MES dari
metil ester palmitat komersial dapat menurunkan tegangan permukaan air sampai 40 mNm, sedangkan surfaktan alkohol sulfat dapat menurunkan tegangan
permukaan air sampai 35 mNm Swern, 1979. MES merupakan salah satu jenis surfaktan anionik. Menurut Matheson
1996, surfaktan anionik yaitu sur faktan yang bermuatan negatif pada bagian hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan. Karakter hidrofilik berasal dari adanya
kepala ionik dalam jumlah besar. Pada surfaktan MES, gugus sulfonat merupakan kepala ionik yang bersifat hidrofilik. Gugus hidrofilik dari MES ini akan
menurunkan gaya kohesi dari molekul air sehingga akan menurunkan tegangan permukaan air.
41
Untuk mengetahui pengaruh berbagai perlakuan terhadap penurunan tegangan permukaan digunakan analisa secara statistik menggunakan rancangan
percobaan acak lengkap faktorial. Dari hasil analisa keragaman Lampiran 14a pada tingkat kepercayaan 95 diperoleh bahwa faktor konsentrasi metanol K
dan lama reaksi t memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penurunan tegangan permukaan air. Interaksi antara kedua faktor tersebut juga memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap penurunan tegangan permukaan air. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor konsentrasi metanol
untuk semua taraf 10 K1, 20 K2, 30 K3 dan 40 K4 menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap nilai penurunan tegangan permukaan air pada
tingkat kepercayaan 95. Uji lanjut Duncan untuk faktor lama reaksi proses pemurnian untuk semua taraf juga menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap
nilai penurunan tegangan permukaan air pada tingkat kepercayaan 95. Perlakukan konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90 menit memberikan rata-
rata nilai penurunan tegangan permukaan air tertinggi yaitu sebesar 42,25 mNm atau sebesar 64,11 . Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama
reaksi terhadap tegangan permukaan air setelah penambahan MES murni purified MES dtunjukkan pada Gambar 15. Sedangkan Grafik hubungan antara
konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunan tegangan permukaan air setelah penambahan MES murni purified MES disajikan pada Gambar 16.
Gambar 15 menunjukkan nilai tegangan permukaan air setelah penambahan surfaktan MES murni purified MES. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa setiap
perlakuan memiliki nilai tegangan permukaan yang berbeda. Perbedaan ini diduga merupakan indikasi jumlah surfaktan yang terbentuk. Semakin rendah
nilai tegangan permukaan yang dihasilkan berarti semakin banyak surfaktan MES yang terbentuk. Cara kerja surfaktan MES sebagai bahan pengemulsi dalam
menurunkan tegangan permukaan adalah dengan mengumpul pada daerah permukaan dan membentuk lapisan film teradsorpsi.
42
20.00 24.00
28.00 32.00
36.00 40.00
30 60
90 120
Lama reaksi menit Tegangan permukaan mNm
20.00 24.00
28.00 32.00
36.00 40.00
Konsentrasi metanol 10 Konsentrasi metanol 20
Konsentrasi metanol 30 Konsentrasi metanol 40
Gambar 15. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan permukaan air setelah penambahan MES murni
purified MES
28.00 32.00
36.00 40.00
44.00 48.00
30 60
90 120
Lama reaksi menit Penurunan tegangan
permukaan mNm 28.00
32.00 36.00
40.00 44.00
48.00
Konsentrasi metanol 10 Konsentrasi metanol 20
Konsentrasi metanol 30 Konsentrasi metanol 40
Gambar 16. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunan tegangan permukaan setelah penambahan
MES murni purified MES
43
Gambar 16 menunjukkan nilai penurunan tegangan permukaan air setelah penambahan MES murni purified MES. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa
dengan meningkatnya konsentrasi metanol yang digunakan dalam proses pemurnian cenderung menurunkan tegangan permukaan MES murni purified
MES. Hal ini diduga dengan semakin banyaknya metanol yang ditambahkan selama proses pemurnian maka semakin banyak gugus MESA yang terbentuk
sehingga juga akan menyebabkan semakin banyaknya jumlah bahan aktif yang terbentuk MES. Menurut Fessenden dan Fessenden 1982, surfaktan
menurunkan tegangan permukaan air dengan mematahkan ikatan- ikatan hidrogen pada permukaan. Surfaktan melakukan hal ini dengan menaruh kepala-kepala
hidrofiliknya pada permukaan air dengan ekor-ekor hidrofobiknya terentang menjauhi permukaan air.
Dari Gambar 16 juga terlihat bahwa penambahan lama reaksi pemurnian hingga 90 menit sangat berpengaruh terhadap penurunan nilai tegangan
permukaan MES murni purified MES. Tetapi ketika lama reaksi dinaikkan 30 menit lagi sehingga lama reaksi pemurnian menjadi 120 menit, penurunan nilai
tegangan permukaan MES murni purified MES menjadi kurang signifikan. Fenomena ini terjadi baik pada perlakuan penambahan konsentrasi metanol 10,
20, 30 maupun 40. Dari hasil ini diduga bahwa surfaktan MES murni purified MES efektif terbentuk pada rentang waktu pemurnian 90 menit 1,5 jam.
Penurunan Tegangan Antarmuka MES Murni Purified MES
Menurut Lapedes 1978, tegangan antarmuka merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya
kontak antar dua cairan yang berbeda fasa. Untuk menurunkan tegangan antarmuka diantara dua cairan yang berbeda fasa tersebut perlu ditambahkan suatu
surfaktan. Menurut Georgia et al., 1992, surfaktan tersusun atas gugus hidrofilik dan hidrofobik pada molekulnya dan memiliki kecenderungan untuk
berada pada bagian antar muka antara dua fasa yang berbeda polaritasnya, atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua
44
cairan yang berbeda fasa. Pembentukan film tersebut mengakibatkan turunnya tegangan permukaan kedua cairan yang berbeda fasa tersebut, sehingga
mengakibatkan turunnya tegangan antarmuka. Pada penelitian ini, pengukuran terhadap tegangan antarmuka dilakukan
pada dua cairan yang berbeda derajat polaritasnya. Tegangan antarmuka antara dua cairan yang berbeda derajat polaritasnya menunjukkan seberapa besar
kekuatan tarik antar molekul yang berbeda dari dua fasa cairan tersebut. Surfaktan yang memiliki gugus polar dan non polar akan bekerja diantara kedua
cairan tersebut. Surfaktan dalam hal ini akan membentuk suatu lapisan antara kedua cairan xylen dan air sehingga dapat menurunkan tegangan antarmuka
pada kedua cairan tersebut dan memberikan kestabilan pada sistem emulsi tersebut.
Hasil pengukuran tegangan antarmuka air-xylen memberikan nilai sebesar 35,4 mNm. Hasil pengukuran tegangan antarmuka air-xylen setelah penambahan
MES murni purified MES berada pada kisaran antara 0,70 hingga 3,55 mNm. Hal ini berarti penambahan MES murni purified MES mampu menurunkan
tegangan antarmuka air-xylen antara 31,85 hingga 34,70 mNm. Bila dipersentasekan maka nilai penurunan tegangan antar muka air- xylen setelah
penambahan MES murni purified MES berkisar antara 89,97 hingga 98,02 . Hasil analisa keragaman Lampiran 15a menunjukkan bahwa konsentrasi
metanol K, lama reaksi t dan interaksi antara konsentrasi metanol dan lama reaksi berpengaruh sangat nyata terhadap nilai tegangan antarmuka air-xylen
setelah penambahan MES murni purified MES. Pengujian lebih lanjut dengan uji Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi metanol 10, 20, 30 dan 40
memberikan hasil yang berbeda nyata satu sama lain Lampiran 15 c. Demikan pula halnya dengan lama reaksi 30, 60, 90 dan 120 menit memberikan hasil yang
berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya Lampiran 15d.. Berdasarkan kemampuan menurunkan nilai tegangan antarmuka tertinggi, hasil terbaik
ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90 menit yaitu 34,70 mNm atau sebesar 98,02.
Secara umum MES murni purified MES yang merupakan MES hasil pemurnian memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menurunkan tegangan
45
antarmuka antara air sebagai fasa polar dan xylen sebagai fasa non polar jika dibandingkan dengan MES kasar unpurified MES yang dihasilkan tanpa
pemurnian. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya nilai penurunan tegangan antarmuka air- xylene setelah penambahan MES murni purified MES.
Menurut Suryani et al., 2000, penurunan tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi
adalah gaya antarmolekul yang bekerja diantara molekul- molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antarmolekul yang bekerja diantara molekul-
molekul yang tidak sejenis. Gaya tolak-menolak bersifat menstabilkan emulsi karena gaya ini mempertahankan butiran droplet agar tetap terpisah. Pada Gambar
17 disajikan Grafik hubungan antara konsetrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan antarmuka xylen-air. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan
lama reaksi terhadap penurunan tegangan antarmuka xylen – air disajikan pada Gambar 18.
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
30 60
90 120
Lama reaksi menit Tegangan antarmuka mNm
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
Konsentrasi metanol 10 Konsentrasi metanol 20
Konsentrasi metanol 30 Konsentrasi metanol 40
Gambar 17. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap tegangan antarmuka air–xylene setelah penambahan MES
murni purified MES
46
31.00 32.00
33.00 34.00
35.00 36.00
30 60
90 120
Lama reaksi menit Penurunan tegangan
antarmuka mNm 31.00
32.00 33.00
34.00 35.00
36.00
Konsentrasi metanol 10 Konsentrasi metanol 20
Konsentrasi metanol 30 Konsentrasi metanol 40
Gambar 18. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap penurunanan tegangan antarmuka air –xylene setelah
penambahan MES murni purified MES
Dari Gambar 17 terlihat bahwa nilai tegangan antarmuka air-xylen terendah terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 40 dengan lama reaksi pemurnian 90
menit yaitu sebesar 0,77 mNm sedangkan nilai tegangan antarmuka air-xylen tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 10 dengan lama reaksi
pemurnian 30 menit yaitu sebesar 3,55 mNm. Gambar 18 disajikan untuk menjelaskan seberapa besar nilai penurunan tegangan antarmuka air-xylen untuk
setiap perlakuan setelah penambahan surfaktan MES murni purified MES. Dari Gambar 18 diketahui bahwa penurunan tegangan antarmuka tertinggi terjadi pada
perlakuan konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90 menit yaitu sebesar 34,70 mNm, dan penurunan tegangan antarmuka terendah terjadi pada perlakuan
konsentrasi metanol 10 dan lama reaksi 30 menit yaitu sebesar 3,85 mNm. Perlakuan terbaik adalah perlakuan yang menghasilkan nilai tegangan antarmuka
terendah atau nilai penurunan tegangan antarmuka tertinggi. Dari Gambar 17 dan 18 diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi metanol
yang ditambahkan selama proses pemurnian maka semakin rendah nilai tegangan antarmuka air-xylen Gambar 17 atau semakin tinggi nilai penurunan tegangan
antarmuka air- xylen Gambar 18. Dengan semakin rendah nilai tegangan antarmuka air- xylen atau semakin tinggi nilai penurunan tegangan antarmuka air-
47
xylen berarti semakin banyak gugus aktif surfaktan yang terbentuk. Gugus aktif permukaan pada surfaktan MES murni purified MES yang telah terbentuk akan
membuat lapisan film pada daerah interfase antara air-xylen sehingga tegangan antarmuka sepanjang garis permukaan kedua larutan tersebut menjadi semakin
rendah. Hal ini diperkirakan dengan semakin tinggi konsentrasi metanol yang
ditambahkan selama proses pemurnian maka semakin banyak MESA methyl ester sulfonic acid yang terbentuk sehingga pada saat netralisasi kemungkinan
akan semakin banyak MES yang terbentuk. Dengan semakin banyaknya MES yang terbentuk maka kemampuan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka
air-xylene menjadi lebih kuat. Keberadaan molekul MES pada air mengakibatkan terbentuknya ikatan polar antara air dan gugus hidrofilik MES sehingga daya
adhesi air meningkat. Sementara gugus hidrofobik MES akan berikatan dengan minyak xylen secara non polar. Kondisi ini mengakibatkan minyak xylen
terdispersi dalam air. Peningkatan lama reaksi pemurnian hingga 90 menit juga menyebabkan
penurunan nilai tegangan antarmuka semakin besar, namun ketika lama reaksi pemurnian dinaikkan menjadi 120 menit kemampuan MES murni purified MES
dalam menurunkan nilai tegangan antarmuka menjadi tidak berarti. Kecenderungan ini serupa dengan pola penurunan tegangan permukaan. Hal ini
kemungkinan dengan penambahan lama reaksi hingga 120 menit menyebabkan sebagian gugus aktif pada MES murni purified MES yang telah terbentuk
sebelumnya terhidrolisis kembali membentuk di-salt. Hidrolisis terjadi karena adanya interaksi sejumlah air pada larutan basa NaOH dengan surfaktan MES
murni purified MES sebelum MES murni purified MES dievaporasi. Menurut Sadi 1993, keberadaan garam ini di-salt dapat menyebabkan sisi aktif
permukaan menjadi lebih rendah sehingga kemampuan menurunkan tegangan antarmuka juga menjadi rendah.
48
Peningkatan Stabilitas Emulsi MES Murni Purified MES
Menurut Claesson et al., 2001, emulsi adalah dispersi suatu larutan dalam larutan lainnya, pada umumnya adalah water-in-oil wo atau oil-in water ow.
Total daerah interfase antarmuka dalam suatu emulsi sangat besar, dan karena daerah interfase bergabung dengan energi positif bebas tegangan antarmuka,
maka sistem emulsi menjadi tidak stabil secara termodinamika. Tetapi ada kemungkinan untuk membentuk emulsi dengan stabilitas yang lama. Hal ini
dapat dilakukan dengan penggunaan suatu emulsifier yang akan berakumulasi pada permukaan minyakair dan membentuk lapisan energi. Emulsifier dapat
berupa surfaktan anionik, zwitterionik, atau nonionik, protein, dan polimer. Kestabilan emulsi pada penelitian ini diukur dengan menggunakan metode
pencampuran air –xylen dengan perbandingan 3:2. Penambahan surfaktan MES sebesar 10 ke dalam sistem emulsi air- xylen tersebut diharapkan dapat
mempertahankan kestabilan emulsi. Menurut Bird et al 1983, dengan penambahan bahan pengemulsi yang cukup maka akan terbentuk lapisan utuh
antara kedua cairan tersebut yang dapat menurunkan tegangan permukaan, sehingga dapat menstabilkan emulsi. Menurut Suryani et al., 2000, prinsip dasar
tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik- menarik dan gaya tolak- menolak yang terjadi antar partikel dalam sistem emulsi. Apabila
kedua gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka globula- globula fasa terdispersi dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak
tergabung. Adapun faktor –faktor yang menentukan kestabilan suatu emulsi adalah ukuran partikel dan distribusi, jenis emulsifier yang digunakan, rasio antara
fasa terdispersi dan fasa pendispersi dan perbedaan tegangan antara dua fasa. Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa konsetrasi metanol K dan
lama reaksi t proses pemurnian memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan stabilitas emulsi. Interaksi antara konsentrasi metanol dan
lama reaksi juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan stabilitas emulsi Lampiran 16a.
Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa semua taraf pada faktor konsentrasi metanol 10, 20, 30 dan 40 berbeda nyata satu dengan yang lainnya Lampiran
49
16 c. Sedangkan hasil uji Duncan terhadap faktor lama reaksi menunjukkan bahwa taraf faktor lama reaksi 30 menit berbeda nyata dengan taraf faktor lama
reaksi 60, 90 dan 120 menit, taraf faktor lama reaksi 60 menit berbeda nyata dengan taraf faktor lama reaksi 90 menit, dan taraf faktor lama 90 menit berbeda
nyata dengan taraf faktor lama reaksi 120 menit Lampiran 16d. Persentase stabilitas emulsi dari hasil analisa berkisar antara 16,67 hingga
84,52. Persentase stabilitas emulsi tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90 menit yaitu sebesar 84,52, sedangkan
persentase stabilitas emulsi terendah terjadi pada perlakuan konsentrasi metanol 10 dan lama reaksi 30 menit yaitu sebesar 16,67. Kemampuan surfaktan MES
murni purified MES dalam mempertahankan kestabilan emulsi ditunjukkan pada Gambar 19.
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
30 60
90 120
Lama reaksi menit Stabilitas emulsi
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
Konsentrasi metanol 10 Konsentrasi metanol 20
Konsentrasi metanol 30 Konsentrasi metanol 40
Gambar 19. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap peningkatan stabilitas emulsi MES murni purified MES
Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa stabilitas emulsi dari masing- masing perlakuan memiliki tingkat kestabilan yang beragam. Pada sistem emulsi minyak
dalam air, molekul MES akan menyelimuti partikel minyak dengan mengikatnya pada gugus hidrofobik sehingga terbentuk globula. Globula-globula tersebut akan
50
terdispersi dalam air membentuk sistem emulsi. MES membuat globula terdispersi merata dengan ikatan hidrogen antara gugus polar pada MES dengan
air. Kondisi ini membuat sistem emulsi menjadi stabil. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa kenaikan konsentrasi metanol
cenderung meningkatkan stabilitas emulsi yang terbentuk. Kecenderungan ini serupa dengan pola pada nilai penurunan tegangan permukaan dan tegangan
antarmuka. Hal ini diduga dengan semakin banyak metanol yang ditambahkan pada saat proses pemurnian MES maka semakin banyak gugus MESA yang
terbentuk, sehingga ketika dilakukan netralisasi MESA tersebut akan membentuk MES bukan disalt. Menurut McArthur 1998, ekses metanol secara efektif dapat
membatasi produksi disalt, dan mengurangi viskositas campuran secara signifikan sehingga memperbaiki pencampuran.
Peningkatan Stabilitas Busa MES Murni Purified MES
Stabilitas busa merupakan aspek penting pada produk-produk detergen dan surfaktan memegang peranan paling penting dalam pembentukan busa tersebut.
Dua sifat penting yang dimiliki busa adalah kecepatan pembentukan busa dan stabilitas busa. Faktor- faktor yang mempengaruhi kedua sifat tersebut adalah
kotoran yang ada dalam air dan konsentrasi ion-ion sadah Piyali et al., 1999. Pada penelitian ini kemampuan surfaktan dala m membentuk busa diukur
melalui lamanya campuran surfaktan dengan air berada pada bentuk busa setelah diberikan perlakukan mekanik yaitu pengocokan yang dapat membantu dalam
pembentukan busa. Berdasarkan hasil pengukuran stabilitas busa diketahui hasil tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90
menit karena dapat mempertahankan busa selama 3,84 jam dan hasil terendah ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi metanol 10 dan lama reaksi 30 menit
yang hanya mampu mempertahankan busa selama 0,41 jam dimana nilai ini hampir sama dengan yang diperoleh MES kasar unpurified MES. Hal ini
menunjukkan bahwa pada konsentrasi rendah, metanol belum begitu berpengaruh dalam memperbaiki karakteristik surfaktan MES murni purified MES dan baru
berpengaruh setelah konsentrasi metanol ditingkatkan hingga 40.
51
Dari hasil analisa keragaman Lampiran 17c diketahui bahwa konsentrasi metanol K lama reaksi t proses pemurnian dan interaksi keduanya memberikan
pengaruh yang sangat nyata. Dari hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa semua taraf pada konsentrasi metanol 10,20, 30 dan 40 berbeda nyata satu dengan
yang lainnya. Dari hasil uji lanjut Duncan untuk lama reaksi juga diketahui bahwa semua taraf pada lama reaksi 30 60, 90 dan 120 menit berbeda satu
dengan yang lainnya. Pada Gambar 20 dapat dilihat Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap peningkatan stabilitas busa MES
murni purified MES.
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
30 60
90 120
Lama reaksi menit Stabilitas busa
0.00 0.50
1.00 1.50
2.00 2.50
3.00 3.50
4.00 4.50
Konsentrasi metanol 10 Konsentrasi metanol 20
Konsentrasi metanol 30 Konsentrasi metanol 40
Gambar 20. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap peningkatan stabilitas busa MES murni purified MES
Dari Gambar 20 di atas dapat dilihat bahwa surfaktan MES murni purified MES yang ditambahkan ke dalam air mampu mempertahankan kestabilan busa
hingga 3,84 jam. Kenaikan stabilitas busa dapat disebabkan oleh kenaikan kerapatan muatan negatif diantara molekul- molekul surfaktan, akibat kinerja MES
di dalam larutan deterjen. Kenaikan kerapatan ini membantu terbentuknya gaya tolak- menolak diantara lapisan busa sehingga penyatuan antar busa semakin
diperkecil. Nilai kerapatan muatan yang tinggi pada lapisan antarmuka busa dapat meningkatkan nilai stabilitas busa Stubenrauch et al., 2003.
52
Dari Gambar di atas dapat disimpulkan bahwa nilai stabilitas busa meningkat dengan meningkatnya konsentrasi metanol yang ditambahkan selama
proses pemurnian. Peningkatan lama reaksi hingga 90 menit juga memberikan pengaruh yang sama yaitu dapat meningkatkan nilai stabilitas busa, tetapi
kemudian nilai stabilitas busa menurun kembali dengan penambahan lama reaksi hingga 120 menit. Pola seperti ini juga terjadi pada parameter nilai stabilitas
emulsi. Menurut Hui 1996, mekanisme penggabungan dan pemisahan udara yang terjadi pada busa sama dengan yang terjadi pada emulsi. Demikian pula
dengan faktor penentu stabilitas busa sama dengan faktor yang menentukan stabilitas emulsi.
Menurut Swern 1979, pembentukan busa pada sebuah cairan disertai dengan perluasan permukaan cairan –udara yang besar. Dalam hal ini pembusaan
didukung oleh adanya bahan lain pada cairan yang memiliki tegangan antarmuka yang lebih rendah dan memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan
permukaan. Kemampuan cairan dalam pembentukan busa erat kaitannya dengan stabilitas busa. Efektivitas dari surfaktan dalam mempertahankan stabilitas busa
karena kecenderungan berkumpul pada lapisan antarmuka kedua bahan.
Daya Deterjensi MES Murni purified MES
Deterjensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dari suatu permukaan padat yang terbawa
ketika kontak dengan suatu cairan adanya proses pembilasan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penghilangan kotoran dari kain yaitu detergen,
aksi mekanik selama pencucian dan substrat. Deterjensi akan menurun dengan meningkatnya kesadahan air. Fenomena ini berlaku untuk semua surfaktan
Salmiah et al.,, 2001. MacArthur et al., 1998, telah melakukan penelitian mengenai daya
deterjensi pada tingkat kesadahan hingga 350 ppm pada beberapa surfaktan anionik seperti C16-18 MES, AOS Alpha Olefin Sulfonate, AS Alcohol
Sulfate dan LAS Linear Alkylbenzene sulfonate. Hasilnya menunjukkan bahwa C16-18 MES memiliki daya deterjensi tertinggi sedangkan LAS sebagai
53
surfaktan anionik yang telah luas penggunaannya, memiliki daya deterjensi terendah.
Pada penelitian ini, pengujian kemampuan deterjensi Metil Ester Sulfonat MES dilakukan dengan melihat kemampuan Metil Ester Sulfonat MES dalam
mencuci kotoran berlemak pada kain. Kecerahan lightness kain ya ng telah dicuci merupakan indikasi keberhasilan Metil Ester Sulfonat MES dalam
mencuci kain kotor. Semakin cerah kain yang telah dicuci maka semakin banyak kotoran yang dapat dihilangkandilepaskan oleh surfakan.
Hasil pengukuran daya deterjensi surfaktan MES murni purified MES menunjukkan kisaran antara 26,28 hingga 87,22. Daya deterjensi tertinggi
terjadi pada kombinasi perlakuan konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90 menit yaitu sebesar 87,22, sedangkan daya deterjensi terendah terjadi pada
perlakuan konsentrasi metanol 10 dan lama reaksi 30 menit yaitu sebesar 26,28. Bila dibandingkan dengan daya deterjensi MES kasar unpurified MES
yang memiliki daya deterjensi 25,84 maka hampir seluruh perlakuan mengalami peningkatan daya deterjensi.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi methanol K dan lama reaksi t berpengaruh sangat nyata terhadap nilai daya deterjensi MES
murni purified MES. Interaksi antara konsentrasi metanol dan lama reaksi juga diketahui berpengaruh sangat nyata terhadap nilai daya deterjensi MES murni
purified MES Lampiran 18. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa faktor konsentrasi metanol untuk semua taraf 10, 20, 30 dan 40 menghasilkan
pengaruh yang berbeda terhadap nilai daya deterjensi pada tingkat kepercayaan 95 Lampiran 18c. Hasil Uji lanjut Duncan untuk faktor lama reaksi proses
pemurnian untuk semua taraf juga menghasilkan pengaruh yang berbeda terhadap nilai daya deterjensi pada tingkat kepercayaan 95 Lampiran 18d. Grafik
hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap daya deterjensi MES murni purified MES disajikan pada Gambar 21.
54
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
30 60
90 120
Lama reaksi menit Daya deterjensi
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
Konsentrasi metanol 10 Konsentrasi metanol 20
Konsentrasi metanol 30 Konsentrasi metanol 40
Gambar 21. Grafik hubungan antara konsentrasi metanol dan lama reaksi terhadap daya deterjensi MES murni purified MES
Dari Gambar 21 di atas diketahui bahwa peningkatan konsentrasi metanol cenderung meningkatkan daya deterjensi MES murni purified MES. Hal ini
diduga karena semakin tinggi konsentrasi metanol maka semakin banyak disalt yang mampu diesterifikasi sehingga dapat meningkatkan kinerja MES murni
purified MES sebagai surfaktan yang salah satunya ditunjukkan dengan meningkatnya daya deterjensi. Lion Corporation Tokyo, Jepang telah
menggunakan metanol dalam proses pemurnian MES dengan tujuan untuk mengesterifikasi disalt. Hasilnya diperoleh MES dengan kandungan disalt yang
rendah Satsuki, 1992. Sementara Sherry et al 1995 telah melakukan pemurnian dengan menggunakan metanol pada konsentrasi 10-15 yang
dilakukan pada proses dingin 21 °
C dan pada proses panas 54 °
C dan hasilnya diketahui bahwa kandungan disalt dapat berkurang sampai dengan 50.
Nilai daya deterjensi MES murni purified MES yang dihasilkan menunjukkan kecenderungan yang sama dengan penurunan tegangan permukaan,
tega ngan antarmuka serta stabilitas emulsi. Semakin tinggi penurunan tegangan permukaan dan antarmuka, maka stabilitas emulsi dan daya deterjensi cenderung
akan semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah penurunan tegangan permukaan
55
dan antarmuka maka stabilitas emulsi dan daya deterjensi akan semakin rendah pula.
Menurut Bird et al., 1983 kerja dari bahan pengemulsi adalah membentuk suatu kulit pada batas antara kedua cairan sehingga akan mengurangi tegangan
antarmuka dan oleh karenanya memberikan kestabilan terhadap sistem emulsi tersebut. Sementara itu proses deterjensi terjadi melalui pembentukan misel- misel
oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan terjadi melalui penurunan tegangan antarmuka dan dibantu dengan adanya
interaksi elektrostatik antar muatan.
Penentuan Perlakuan Terbaik Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat MES Murni
Pada penelitian ini perlakuan terbaik proses pemurnian metil ester sulfonat MES murni, purified MES ditentukan berdasarkan beberapa karakteristik yang
telah diukur diantaranya yaitu; penurunan tegangan permukaan, penurunan tegangan antarmuka, peningkatan stabilitas emulsi, peningkatan stabilitas busa,
dan daya deterjensi. Perlakuan terbaik proses pemurnian metil ester sulfonat MES adalah perlakuan yang menghasilkan metil ester sulfonat MES dengan
karakteristik sebagai berikut; tingginya penurunan tegangan permukaan, tingginya penurunan tegangan antarmuka, tingginya peningkatan stabilitas emulsi, tingginya
peningkatan stabilitas emulsi dan tingginya nilai daya deterjensi. Nilai pH dalam hal ini tidak dijadikan ukuran dalam penentuan perlakuan terbaik karena
pengukuran nilai pH dilakukan hanya untuk menentukan apakah metil ester sulfonat MES murni ,purified MES sudah bersifat netral atau belum. Kondisi
netral bagi metil ester sulfonat MES hasil pemurnian sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya hidrolisis produk metil ester sulfonat MES membentuk
disalt dan metanol. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa perlakuan proses pemurnian
metil ester sulfonat MES yang menghasilkan karakteristik sebagaimana yang disyaratkan di atas adalah perlakukan dengan taraf konsentrasi 40 dan lama
reaksi 90 menit. Karakteristik metil ester sulfonat MES murni, purified MES
56
yang dihasilkan melalui proses pemurnian tersebut adalah sebagai berikut: penurunan tegangan permukaan bernilai 42,25 mNm 64,11, penurunan
tegangan antarmuka bernilai 34,7 mNm 98,02, peningkatan stabilitas emulsi bernilai 84,52 , peningkatan stabilitas busa 3,84 jam 230 menit, dan daya
deterjensi bernilai 87,22. Rekapitulasi data karakteristik metil ester sulfonat MES murni, purified MES hasil proses pemurnian disajikan pada Lampiran 19.
Metil ester sulfonat MES murni, purified MES hasil perlakuan terbaik proses pemurnian ini akan diaplikasikan dalam formulasi detergen bubuk.
Detergen bubuk dengan bahan baku surfaktan MES ini diharapkan mampu
membentuk detergen bubuk dengan karakteristik yang baik.
Pengujian Gugus Sulfonat Dengan Menggunakan FTIR
Fourier Transform Infrared Spectroscopy
Pada penelitian ini keberadaan gugus sulfonat pada MES yang dihasilkan
dideteksi dengan menggunakan FTIR Fourier Transform Infrared
Spectroscopy. Menurut Silverstein dan Webster 1988, pengujian dengan
metode FTIR telah dikembangkan secara ekstensif sejak beberapa dekade yang lalu karena memiliki beberapa keuntungan. Radiasi pada FTIR mencakup semua
panjang gelombang IR Infrared yaitu 5000 – 400 cm
-1
yang terbagi menjadi dua sinar beams. Satu sinar adalah panjang tetap fixed length sedangkan sinar yang
lainnya adalah panjang variabel variable length. Beberapa keuntungan metode FTIR antar lain adalah: 1 kisaran radiasi yang
masuk mampu melalui sampel yang diuji secara simultan sehingga dapat menghemat waktu karena pada FTIR tidak digunakan sistem monokromator; 2
instrumen FTIR memiliki resolusi yang sangat tinggi; 3 FTIR dapat digunakan dalam hubungan dengan HPLC atau GC.
Menurut Mukherji et al., 1985, pendeteksian gugus sulfonat dengan menggunakan spektrum infrared dikarakterisasi oleh regangan getaran molekul O-
H dan S=O. Penampakan regangan pada daerah dengan bilangan gelombang 3460-3100 cm
-1
ditetapkan sebagai O-H sedangkan regangan vibrasi S=O yang simetris ditampakkan pada bilangan gelombang 1342-1250 cm
-1
.
57
Pecsok et al., 1976 menyatakan bahwa gugus sulfonat ionik dideteksi pada bilangan gelombang 1250-1150
s
cm
-1
dan 1075-1000
m
cm
-1
, sedangkan menurut ASTM D 2357-74, 2001 gugus sulfonat dihasilkan pada bilangan gelombang
1235 sampai 1176 cm
-1
. Menurut Silverstein dan Webster 1988, regangan getaran gugus sulfonat
dideteksi pada bilangan gelombang 1372 – 1335 cm
-1
dan 1195 – 1168 cm
-1
. Secara lebih rinci regangan getaran simetrik dan asimetrik getaran tinggi, panjang
gelombang pendek gugus S=O senyawa sulfonat, sulfat, dan asam sulfonat disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Regangan getaran simetrik dan asimetrik gugus S=O senyawa sulfonat, sulfat, dan asam sulfonat
No. Kelas
Regangan getaran cm
-1
1. Sulfonat kovalen
1372 – 1335; 1195 – 1168.
2. Sulfat organik
1415 – 1380; 1200 – 1185.
3. Asam sulfonat
1350 – 1342; 1165 – 1150.
4. Garam sulfonat
∼ 1175
∼ 1055
Sumber : Silverstein dan Webster 1988 Pengujian FTIR pada penelitian ini dilakukan pada MES hasil pemurnian
MES murni, purified MES terbaik yaitu konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90 menit. Grafik hasil pengujian FTIR sampel surfaktan MES murni
purified MES terbaik disajikan pada Gambar 22. Pada grafik tersebut, gugus sulfonat diperlihatkan pada bilangan gelombang 1243,4 sampai 1172,2 cm
-1
, gugus S=O pada bilangan gelombang 1029,1 cm
-1
dan golongan alkohol pada bilangan gelombang 3600-3200 cm
-1
.
58
Gambar 22. Grafik hasil pengujian gugus sulfonat pada MES hasil pemurnian MES murni, purified MES terbaik menggunakan FTIR
59
Formulasi Deterjen Bubuk
Menurut Manik dan Edward 1987 dalam kehidupan sehari- hari yang dimaksud dengan detergen adalah detergen sintetik yang dibuat dari bahan-bahan
kimia selain sabun. Detergen yang banyak digunakan adalah detergen anionik yang memiliki rantai lurus karena rantai lurus relatif mudah diuraikan oleh
mikroorganisme dibandingkan detergen dengan rantai bercabang. Sejak pertama diperkenalkannya detergen sintetik, jenis detergen bubuk
merupakan salah satu jenis detergen yang diadaptasi paling baik karena bentuk fisiknya sangat menguntungkan untuk menyatukan antara kebutuhan industri dan
pengguna produk akhir. Detergen terdiri dari berbagai macam komponen penyusun dengan fungsinya masing- masing seperti surfaktan, sumber alkali,
bahan pengisi, bahan pencermelang, builder, bahan anti redeposisi, parfum dan lain sebagainya.
Pada penelitian ini formulasi yang digunakan dalam pembuatan detergen adalah merupakan formulasi yang diadopsi dari formula Matheson 1996 dengan
konsentrasi surfaktan MES yang digunakan adalah 15, 20 dan 25. Perbedaan penggunaan konsentrasi surfaktan dalam formulasi dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat konsentrasi surfaktan MES yang mampu menghasilkan karakteristik detergen bubuk paling baik.
Surfaktan MES ya ng digunakan dalam formulasi adalah MES kasar unpurified MES dan MES murni purified MES, hal ini dilakukan untuk
membandingkan karakteristik detergen yang dihasilkan. MES murni purified MES yang digunakan dalam formulasi adalah MES murni purified MES dengan
karakteristik terbaik yaitu MES yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90 menit, karena memiliki kemampuan
menurunkan tegangan permukaan dan antarmukanya tertinggi, serta kemampuan meningkatkan stabilitas emulsi dan daya deterjensi tertinggi sehingga diharapkan
dapat menghasilkan detergen dengan karakteristik yang baik. Karakteristik MES kasar unpurified MES dan MES murni purified MES yang digunakan dalam
formulasi detergen disajikan pada Tabel 8.
60
Tabel 8. Karakteristik MES kasar unupurified MES dan MES murni purified MES
No. Parameter
MES kasar unpurified MES
MES murni purified MES
1. Penurunan tegangan
permukaan 30,6 mNm
46,36 42,25 mNm
64,11 2.
Penurunan tegangan antarmuka
31,1 mNm 87,99
34,7 mNm 98,02
3. pH sebelum
netralisasi 4,98
3,95 4.
pH netralisasi setelah proses
evaporasi ------
6,92
5. Daya deterjensi
25,84 87,22
6. Peningkatan
stabilitas emulsi 15,96
84,52 7. Peningkatan
stabilitas busa jam 0,38 jam
23 menit 3,98 jam
239 menit 8.
Densitas gml 0,87 gml
0,89 gml Keterangan : MES murni purified MES hasil perlakuan terbaik proses
pemurnian Pada penelitian ini, detergen bubuk diproduksi dengan menggunakan sistem
pengering fluidized-bed drying. Menurut Adami dan Moretti 1996, prinsip dari sistem pengering ini adalah berdasarkan pada aplikasi teknik fluidisasi terhadap
komponen-komponen detergen. Fluidisasi dilakukan pada suatu tempat plate khusus untuk partikel padat dan udara kering akan mengalir ke arah atas mengenai
komponen-komponen yang akan dikeringkan. Di dalam sistem pengering ini akan terjadi proses pencampuran, pengeringan dan aglomerasi dalam suatu wadah
plate. Dasar pertimbangan digunakannya sistem fluidized-bed drying adalah:
1. Karena komponen yang digunakan pada formulasi detergen sebagian besar adalah berupa partikel padat sehingga tidak memungkinkan untuk
menggunakan sistem pengering spray drying. 2. Menurut MacArhur et al., 1998, MES memiliki stabilitas hidrolitik yang
kurang baik pada pH tinggi basa sehingga tidak mungkin diformulasikan pada kondisi aqueous karena hal ini akan menyebabkan MES terhidrolisis
membentuk di-salt. Oleh karena itu tidak memungkinkan digunakan sistem
61
pengeringa n yang pada saat pencampuran bahan harus berada dalam kondisi aquaeus seperti halnya sistem spray drying dimana sebelumnya bahan
dicampur sampai membentuk slurry campuran bahan yang mengandung banyak air. Hidrolisis MES selama proses spray drying dapat di lihat pada
Tabel 9. Tabel 9. Hidrolisis MES selama proses spray drying.
Waktu Initial setelah spray drying setelah 1 bulan setelah 2 bulan
Di-salt 4,4 33 89 98
Sumber : MacArthur et al., 1998 3. Rendemen yang dihasilkan dengan menggunakan sistem pengering fluidized
bed drying lebih banyak karena desain alatnya tidak terlalu rumit sehingga produk akhir tidak banyak yang tertinggal pada alat. Neraca massa proses
produksi detergen dapat dilihat pada Lampiran 20.
Karakterisasi Detergen Bubuk
Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia detergen yang dihasilkan maka pada penelitian ini dilakukan analisa terhadap beberapa parameter antara lain; pH
derajat keasaman, kadar air basis basah, bobot jenis, daya deterjensi, stabilitas emulsi air-xylen, bahan tidak larut dalam air dan derajat putih.
Derajat Keasaman pH
Derajat keasaman atau pH merupakan parameter kimiawi untuk mengetahui detergen bubuk yang dihasilkan bersifat asam atau basa. Detergen bekerja efektif
pada suasana basa alkali karena untuk penetralan kotoran, penyabunan kotoran lemak, dan pH tinggi juga membantu kotoran tetap tersuspensi dalam larutan.
Berdasarkan SNI 06-4594-1998 nilai pH larutan 1 persen detergen bubuk dalam air harus berkisar antara 9.5 dan 11.0.
62
Hasil penelitian menunjukkan bahwa detergen bubuk yang dihasilkan pada umumnya bersifat basa dengan nilai pH berkisar antara 10,62 sampai 10,97.
Detergen bubuk dengan konsentrasi MES kasar unpurified MES 15, 20 dan 25 memiliki pH berturut-turut 10,97; 10,95; dan 10,86. Detergen bubuk dengan
konsentrasi MES murni purified MES 15, 20 dan 25 memiliki nilai pH berturut-turut 10,77; 10,72; dan 10,62. Sedangkan nilai pH detergen komersial
yaitu 10,58. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor konsentrasi surfaktan
MES kasar unpurified MES maupun MES murni purified MES yang digunakan dalam formulasi detergen bubuk berpengaruh terhadap perubahan nilai pH
detergen bubuk. Perhitungan analisis varian disajikan pada Lampiran 21. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa faktor konsentrasi MES kasar unpurified MES
15 memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan konsentrasi MES kasar unpurified MES 20, tetapi berbeda nyata dengan faktor konsentrasi MES kasar
unpurified MES 25. Hasil uji Duncan untuk MES murni purified MES, menunjukkan bahwa
taraf faktor konsentrasi MES murni purified MES 15 memberikan hasil yang berbeda nyata dengan taraf faktor konsentrasi MES murni purified MES 20 dan
25. Taraf faktor konsentrasi MES murni purified MES 20 berbeda nyata dengan faktor konsentrasi MES murni purified MES 25. Bila dibandingkan
dengan detergen bubuk komersial, kedua jenis detergen bubuk hasil penelitian memiliki nilai pH yang berbeda nyata dengan nilai pH detergen bubuk komersial.
Histogram hubungan antara perubahan nilai pH dengan jenis detergen bubuk ditunjukkan pada Gambar 23.
63
10.30 10.40
10.50 10.60
10.70 10.80
10.90 11.00
Perubahan Nilai pH Detergen A
Detergen B Detergen C
Jenis Detergen
Konsentrasi surfaktan 15 Konsentrasi surfaktan 20
Konsentrasi surfaktan 25 Detergen komersial
Keterangan: Detergen A
: Detergen bubuk berbahan baku MES kasar unpurified MES
Detergen B :
Detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES Detergen C
: Detergen bubuk komersial
Gambar 23. Histogram hubungan antara perubahan nilai pH dengan jenis detergen bubuk.
Dari Gambar 23 di atas diketahui bahwa peningkatan konsentrasi MES kasar unpurified MES maupun MES murni purified MES yang digunakan dalam
formulasi detergen bubuk cenderung menurunkan nilai pH detergen bubuk yang dihasilkan. Tetapi secara keseluruhan nilai pH detergen tetap berada pada kisaran
lebih dari 9. Hal ini diduga disebabkan oleh jumlah bahan aktif permukaan yaitu surfaktan serta komposisi bahan baku yang digunakan dalam formula penyusun
detergen bubuk, terutama natrium karbonat Na
2
CO
3
yang berfungsi sebagai sumber alkali dan bahan pengisi di dalam detergen, sebagai agent penetralan serta
sebagai buffer kimia. Selain itu, natrium karbonat juga digunakan untuk menghilangkan kekerasan kesadahan permanen dari air yang disebabkan oleh
kehadiran garam Ca dan Mg di dalam air atau untuk melunakkan air oleh adanya endapan Ca dan Mg karbonat sehingga pH larutan lebih dari 9 Rosin , 1967.
64
Penetapan Kadar air Basis Basah
Menurut Apriyantono et al., 1988, prinsip dari penetapan kadar air adalah mengeringkan sampel dalam ove n 100
° C-102
° C sampai diperoleh berat tetap.
Perhitungannya sendiri bisa dilakukan berdasarkan basis basah dan basis kering. Perhitungan basis basah dilakukan dengan cara membagi jumlah bobot yang
hilang dengan bobot sampel awal, sedangkan perhitungan basis kering dilakukan dengan cara membagi jumlah bobot yang hilang dengan bobot sampel setelah
dikeringkan. Pengukuran kadar air merupakan salah satu tahap yang dilakukan untuk
mengontrol kualitas produk detergen bubuk yang dihasilkan. Kadar air yang terkandung dalam detergen bubuk dapat mempengaruhi tekstur detergen bubuk itu
sendiri. Menurut Permono 2002, kadar air ideal untuk detergen berkisar antara 5 sampai 6 . Dengan kadar air demikian diharapkan dapat memenuhi salah satu
standar yang telah ditetapkan SNI 06-4594 1998, yaitu detergen harus berbentuk granula atau serbuk, homogen, mudah mengalir, bebas dari bahan asing dan tidak
boleh menimbulkan bau berlebih. Berdasarkan hasil analisa kadar air terhadap detergen bubuk yang dihasikan,
kadar air masing- masing detergen dengan konsentrasi MES kasar unpurified MES 15, 20, dan 25 menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Secara berturut-
turut nilai kadar airnya adalah 6,04, 6,62, dan 7,57. Kadar air detergen bubuk yang menggunakan MES murni purified MES juga menunjukkan nilai yang
berbeda-beda, untuk konsentrasi MES murni purified MES 15 kadar airnya adalah 5,11., konsentrasi MES murni purified MES 20 kadar airnya adalah
5,53, sedangkan untuk konsentrasi MES murni purified MES 25 kadar airnya adalah 6,07.
Dari data tersebut di atas terlihat bahwa detergen bubuk dengan menggunakan MES kasar unpurified MES memiliki kadar air diluar kisaran
yang disyaratkan oleh Permono 2002 sedangkan detergen bubuk dengan menggunakan MES murni purified MES berada pada kisaran yang disyaratkan
oleh Permono 2002. Hasil analisis keragaman terhadap nilai kadar air detergen bubuk yang
dihasilkan Lampiran 22 menunjukkan bahwa konsentrasi MES kasar unpurified
65
MES dan MES murni purified MES berpengaruh secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95
α = 0,05. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, nilai kadar air
detergen bubuk dengan taraf konsentrasi MES kasar unpurified MES 15 berbeda nyata dengan detergen bubuk dengan taraf konsentrasi MES kasar
unpurified MES 20 dan 25. Sementara itu, berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada detergen bubuk yang berbahan baku MES murni purified MES diketahui
bahwa taraf konsentrasi MES murni purified MES 15 tidak berbeda nyata dengan taraf konsentrasi MES murni purified MES 20, tetapi berbeda nyata
dengan taraf konsentrasi MES murni purified MES 25. Histogram hubungan antara nilai kadar air dengan jenis detergen bubuk disajikan pada Gambar 24.
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
8.00
Nilai Kadar Air Detergen A
Detergen B Detergen C
Jenis Detergen
Konsentrasi surfaktan 15 Konsentrasi surfaktan 20
Konsentrasi surfaktan 25 Detergen komersial
Keterangan: Detergen A
: Detergen bubuk berbahan baku MES kasar unpurified MES
Detergen B :
Detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES Detergen C
: Detergen bubuk komersial
Gambar 24. Histogram hubungan antara nilai kadar air dengan jenis detergen bubuk.
66
Dari Gambar 24 di atas terlihat bahwa peningkatan konsentrasi MES kasar unpurified MES dan MES murni purified MES yang digunakan dalam
formulasi detergen bubuk cenderung meningkatkan kadar air detergen bubuk yang dihasilkan. Hal ini diduga berhubungan dengan kemampuan sistem pengeringan
fluidized bed drying dalam menguapkan cairan yang terkandung dalam campuran bahan detergen. Dengan asumsi bahwa waktu dan suhu reaksi yang
digunakan selama pengeringan adalah sama untuk setiap perlakuan, maka campuran bahan detergen dengan konsentrasi MES yang ditambahkan lebih tinggi
tentu akan bersifat lebih basah dibandingkan dengan campuran bahan detergen dengan konsentrasi MES yang lebih rendah. Hal ini mungkin terjadi karena MES
yang digunakan dalam formulasi detergen berupa suatu cairan.
Bobot Jenis
Bobot jenis atau densitas didefinisikan sebagai bobot suatu cairan per satuan volume ASTM, 2002. Menurut Adami dan Moretti 1996, bobot jenis produk
detergen merupakan sifat fisik yang paling penting bagi konsumen, dimana sifat ini ditentukan oleh daya serap partikel, daya serap lapisan partikel, bentuk partikel
dan distribusi ukuran partikel. Sifat-sifat tersebut tergantung pada bagaimana komponen-komponen penyusun detergen dapat disatukan pada saat proses
produksi. Hasil pengukuran bobot jenis detergen bubuk dengan menggunakan
surfaktan MES kasar unpurified MES menunjukkan kisaran antara 0,415 hingga 0,448 gml, sedangkan bobot jenis detergen bubuk dengan menggunakan MES
murni purified MES menunjukkan kisaran 0,329 hingga 0,397 gml. Dengan kisaran demikian, maka detergen bubuk yang dihasilkan dalam penelitian ini baik
yang berbahan baku MES kasar unpurified MES maupun MES murni purified MES dapat dikategorikan sebagai detergen tipe reguler. Menurut Adami dan
Moretti 1996, bobot jenis detergen tipe reguler berkisar antara 0.35 sampai 0.55 gml. Detergen tipe reguler ini diklasifikasikan berdasarkan aplikasi produknya
sebagai detergen heavy duty laundry powders untuk membersihkan pakaian, dishes dan permukaan.
67
Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi surfaktan MES kasar unpurified MES dan MES murni purified MES berpengaruh nyata
terhadap bobot jenis deterjen bubuk yang dihasilkan Lampiran 23. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semua taraf pada konsentrasi surfaktan MES kasar
unpurified MES yaitu taraf konsentrasi 15, 20, dan 25 memberikan hasil yang berbeda nyata satu sama lain. Hal ini juga terjadi pada detergen bubuk berbahan
baku MES murni purified MES dimana taraf konsentrasi 15 berbeda nyata dengan konsentrasi 20 dan 25 , dan konsentrasi 20 berbeda nyata dengan taraf
konsentrasi 25. Bila dibandingkan dengan detergen bubuk komersial, kedua jenis detergen bubuk hasil penelitian juga berbeda nyata satu sama lain.
Histogram hubungan antara bobot jenis dengan jenis detergen bubuk disajikan pada Gambar 25.
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30 0.35
0.40 0.45
Bobot Jenis gml Detergen A
Detergen B Detergen C
Jenis Detergen
Konsentrasi surfaktan 15 Konsentrasi surfaktan 20
Konsentrasi surfaktan 25 Detergen komersial
Keterangan: Detergen A
: Detergen bubuk berbahan baku MES kasar unpurified MES
Detergen B :
Detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES Detergen C
: Detergen bubuk komersial
Gambar 25. Histogram hubungan antara bobot jenis dengan jenis detergen bubuk.
68
Dari Gambar 25 tersebut terlihat bahwa detergen bubuk yang dihasilkan baik dengan menggunakan surfaktan MES kasar unpurified MES maupun
menggunakan MES murni purified MES memiliki bobot jenis yang cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan MES yang ditambahkan
dalam formulasi detergen bubuk. Menurut Permono 2002, bobot jenis berhubungan dengan kerataan. Semakin rata bahan campuran maka pengukuran
bobot jenis secara berulang akan diperoleh bobot jenis yang sama atau hampir sama. Bila dibandingkan dengan detergen bubuk komersial yang memiliki bobot
jenis 0,380 gml maka detergen bubuk dengan menggunakan surfaktan MES murni purified MES maupun MES kasar unpurified MES memiliki kerataan
atau distribusi partikel yang berbeda dengan detergen komersial.
Daya Deterjensi
Menurut Kirk dan Othmer 1969, faktor- faktor yang mempengaruhi daya deterjensi adalah 1 komposisi pengotor secara kimia dan fisik, 2 temperatur
pada saat proses pencucian, 3 durasi setiap tahapan proses pencucian, 4 jenis dan proses mekanisasi yang digunakan, 5 jumlah pengotor yang terdapat di
dalam sistem, dan 6 jenis dan jumlah surfaktan yang digunakan. Pada penelitian ini daya deterjensi diukur terhadap kain putih yang ditetesi
bahan pengotor. Kain putih yang ditetesi pengotor digunakan sebagai kontrol untuk dibandingkan dengan kain yang telah dicuci menggunakan detergen bubuk
yang mengandung surfaktan MES kasar unpurified MES, MES murni purified MES, dan detergen komersial. Tingkat kemampuan surfaktan MES kasar
unpurified MES, MES murni purified MES dan detergen komersial dalam membersihkan kotoran ditetapkan berdasarkan persentase kotoran yang hilang
pada kain. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa daya deterjensi detergen
bubuk berbahan baku MES kasar unpurified MES memiliki kisaran nilai antara 34.1 sampai 47,12. Sedangkan daya deterjensi detergen bubuk berbahan baku
MES murni purified MES berkisar antara 73.77 dan 88,26. Daya detejensi tertinggi diperoleh detergen bubuk dengan konsentrasi MES murni purified MES
69
25 yaitu 88,26 dan daya deterjensi terendah diperoleh detergen bubuk dengan konsentrasi MES kasar unpurified MES 15 yaitu 34,10. Sementara itu nilai
daya deterjensi untuk detergen komersial adalah 90,45. Hasil analisis keragaman terhadap daya deterjensi detergen bubuk
Lampiran 24 menunjukkan bahwa konsentrasi MES kasar unpurified MES dan MES murni purified MES berpengaruh secara nyata terhadap daya deterjensi
pada tingkat kepercayaan 95 α
= 0,05. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa daya deterjensi detergen bubuk dengan konsentrasi MES kasar unpurified
MES 15 tidak berbeda secara signifikan dengan daya deterjensi detergen bubuk dengan konsentrasi 20, tetapi berbeda secara signifikan dengan konsentrasi
MES kasar unpurified MES 25. Sedangkan hasil uji lanjut Duncan pada detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES, diketahui bahwa daya
deterjensi detergen bubuk dengan konsentrasi MES murni purified MES 15 berbeda secara signifikan dengan daya deterjensi deterjen bubuk dengan
konsentrasi 20 dan 25, dan konsentrasi 20 berbeda secara siginifikan dengan konsentrasi 25. Bila dibandingkan dengan detergen berbahan baku surfaktan
komersial, detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES pada konsentrasi 25 memiliki daya deterjensi yang tidak berbeda nyata. Histogram
hubungan antara daya deterjensi dengan jenis detergen bubuk disajikan pada Gambar 26.
70
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
Daya Deterjensi Detergen A
Detergen B Detergen C
Jenis Detergen Bubuk
Konsentrasi surfaktan 15 Konsentrasi surfaktan 20
Konsentrasi surfaktan 25 Detergen komersial
Keterangan: Detergen A
: Detergen bubuk berbahan baku MES kasar unpurified MES
Detergen B :
Detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES Detergen C
: Detergen bubuk komersial
Gambar 26. Histogram hubungan antara daya deterjensi dengan jenis detergen bubuk.
Dari Gambar 26 di atas terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi surfaktan MES yang digunakan maka semakin besar nilai daya deterjensi detergen bubuk
yang dihasilkan. Kecenderungan ini terjadi baik pada detergen yang menggunakan surfaktan MES kasar unpurified MES maupun MES murni
purified MES. Tetapi dibandingkan dengan daya deterjensi detergen bubuk yang menggunakan MES kasar unpurified MES, daya deterjensi detergen bubuk
yang menggunakan MES murni purified MES pada tingkat konsentrasi yang sama memiliki kisaran nilai daya deterjensi yang jauh lebih besar. Hal ini diduga
karena MES murni purified MES sudah mengalami proses pemurnian yang diduga dapat mencegah terbentuknya di-salt. Keberadaan di-salt dalam jumlah
tertentu dapat mempengaruhi kinerja MES sebagai surfaktan sehingga mengurangi daya deterjensi detergen bubuk. Menurut Watkins 2000, di-salt
memiliki daya deterjensi 50 lebih rendah dibanding surfaktan MES.
71
Kemampuan detergen dalam membersihkan kotoran terjadi melalui penurunan tegangan permukaan yang dibantu dengan adanya interaksi
elektrostatik antar muatan karena adanya surfaktan dalam formulasi detergen. Ilustrasi penurunan tegangan permukaan air oleh sabun dan detergen ditunjukkan
pada Gambar 27.
a b
Gambar 27. Ilustrasi penurunan tegangan permukaan air oleh sabun dan detergen www.cleaning101.com
Gambar 27 diatas memperlihatkan bagaimana surfaktan dalam sabun dan detergen menurunkan tegangan permukaan air. a Ilustrasi skematik pada saat
detergen atau sabun berada dalam air. Dari gambar tersebut terlihat bahwa bagian polar dari surfaktan bermuatan negatif, sedangkan larutan bermuatan positif.
Bagian nonpolar dari surfaktan sangat tidak dapat bergabung dengan bagian polar dari molekul air maka molekul surfaktan membentuk lapisan pada permukaan air,
b Ketika permukaan air berubah, ada ruang untuk molekul surfaktan untuk mencapai permukaan dan keluar dari bagian dalam air. Dalam kondisi seperti ini,
molekul surfaktan memiliki energi lingkungan yang lebih rendah sementara itu struktur bagian dalam dari air memiliki lebih banyak ikatan hidrogen. Hal ini
berarti bahwa permukaan air lebih mudah untuk diubah dan tegangan permukaan dapat direduksi diturunkan.
72
Peningkatan Stabilitas Emulsi Air-Xylen
Suatu sistem emulsi, pada dasarnya adalah suatu sistem yang tidak stabil, karena masing- masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung
dengan partikel lainnya. Kekuatan dan kekompakkan lapisan antar muka interfacial film adalah sifat yang penting yang dapat membentuk stabilitas
emulsi Suryani, et al., 2000. Menurut Bennet 1947, kestabilan suatu emulsi dipengaruhi oleh tegangan permukaan antar kedua fasa, sifat zat yang teradsoprsi
pada lapisan interfasial, besar muatan listrik partikel, ukuran partikel, volume fasa terdispersi, viskositas medium pendispersi, perbedaan densitas kedua fasa serta
kondisi penyimpanan. Pada penelitian ini, pengujian stabilitas emulsi dilakukan untuk menguji
kemampuan surfaktan sebagai salah satu bahan penyusun detergen bubuk dalam mempetahankan emulsi air-xylen. Fungsi surfaktan dalam hal ini adalah untuk
menurunkan tegangan permukaan antara kedua fasa sehingga keduanya mudah membentuk emulsi dan meningkatkan kestabilan emulsi. Pada pembentukan
sistem emulsi, cairan fasa terdispersi diusahakan tersebar sempurna dalam medium pendispersi. Semakin baik distribusi ukuran dan semakin kecil diameter
droplet, maka akan semakin stabil emulsi. Hasil pengukuran stabilitas emulsi air- xylen pada detergen bubuk dengan
konsentrasi surfaktan MES kasar unpurified MES 15, 20 dan 25 mampu mempertahankan emulsi yang terbentuk selama 24 jam berturut-turut sebesar
39,19, 42,86 dan 47,44, sedangkan detergen bubuk dengan konsentrasi surfaktan MES murni purified MES 15, 20 dan 25 mampu mempertahankan
stabilitas emulsi selama 24 jam sebesar 75,32, 79.27 dan 89.02. Bila dibandingkan dengan detergen bubuk komersial yang memiliki stabilitas emulsi
sebesar 91,42, maka deterjen bubuk dengan menggunakan surfaktan MES murni purified MES pada konsentrasi 25 memiliki stabilitas emulsi yang
relatif sama. Hasil analisis keragaman Lampiran 25 terhadap stabilitas emulsi detergen
bubuk menunjukkan bahwa konsentrasi MES berpengaruh secara nyata terhadap stabilitas emulsi detergen bubuk baik yang berbahan baku MES kasar unpurified
73
MES maupun yang berbahan baku MES murni purified MES. Hasil uji lanjut Duncan terhadap stabilitas emulsi deterjen bubuk berbahan baku MES kasar
unpurified MES menunjukkan bahwa semua taraf pada konsentrasi MES kasar unpurified MES yaitu 15, 20, dan 25 berbeda secara signifikan satu sama lain.
Hal ini juga terjadi pada stabilitas emulsi detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES. Dimana semua taraf pada konsentrasi MES murni
purified MES yaitu 15, 20, dan 25 berbeda secara signifikan satu sama lain. Bila dibandingkan dengan detergen bubuk komersial, kedua jenis detergen bubuk
hasil penelitian memiliki stabilitas emulsi yang berbeda secara signifikan dengan detergen bubuk komersial. Histogram hubungan antara stabilitas emulsi dengan
jenis detergen bubuk ditunjukkan pada Gambar 28.
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
Stabilitas Emulsi Detergen A
Detergen B Detergen C
Jenis Detergen
Konsentrasi surfaktan 15 Konsentrasi surfaktan 20
Konsentrasi surfaktan 25 Detergen komersial
Keterangan: Detergen A
: Detergen bubuk berbahan baku MES kasar unpurified MES
Detergen B :
Detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES Detergen C
: Detergen bubuk komersial
Ga
mbar 28. Histogram hubungan antara stabilitas emulsi terhadap jenis detergen bubuk
74
Dari Gambar 28 di atas diketahui bahwa stabilitas emulsi cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi MES yang digunakan dalam
formulasi detergen bubuk. Nilai stabilitas emulsi yang dihasilkan menunjukkan kecenderungan yang sama dengan daya deterjensi detergen bubuk. Semakin
tinggi konsentrasi surfaktan MES kasar maupun murni yang digunakan dalam formulasi maka semakin tinggi stabilitas emulsi dan daya deterjensi detergen
bubuk yang dihasilkan. Hal ini diduga dengan semakin banyaknya MES yang digunakan dalam formulasi detergen maka semakin banyak gugus aktif yang
mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka air –xylen yang berbeda derajat polaritasnya. Dengan turunnya tegangan antar muka,
menyebabkan menurunnya gaya tolak- menolak antara molekul- molekul berbeda fasa dan juga menurunnya gaya tarik-menarik antara molekul- molekul berfasa
sama. Hal ini mengakibatkan sistem emulsi menjadi stabil.
Bahan Tidak Larut Dalam Air
Pengukuran bahan tidak larut dalam air dilakukan untuk mengetahui kemampuan kelarutan detergen bubuk dalam air dan kandungan benda asing yang
terdapat dalam detergen bubuk yang dihasilkan. Menurut SNI-06-4594-1998, jumlah bahan tidak larut dalam air tidak boleh lebih dari 1.
Hasil pengukuran jumlah bahan tidak larut dalam air pada detergen bubuk dengan konsentrasi MES kasar unpurified MES 15, 20 dan 25 berturut-turut
adalah 2,81, 4,08 dan 5,11. Dan jumlah bahan tidak larut dalam air pada detergen bubuk dengan konsentrasi MES murni purified MES 15, 20, dan 25
berturut-turut adalah 1,79, 2,53 dan 3,68, sedangkan jumlah bahan tidak larut air pada detergen komersial adalah 5,30.
Hasil analisis keragaman Lampiran 26 terhadap jumlah bahan tidak larut dalam air menunjukkan bahwa konsentrasi MES berpengaruh secara nyata
terhadap jumlah bahan tidak larut dalam air dari detergen hasil penelitian. Fenomena ini terjadi baik pada detergen yang berbahan baku MES kasar
unpurified MES maupun yang berbahan baku MES murni purified MES. Hasil uji lanjut Duncan terhadap jumlah bahan tidak larut dalam air deterjen bubuk
75
berbahan baku MES kasar unpurified MES menunjukkan bahwa semua taraf pada konsentrasi MES kasar unpurified MES yaitu 15, 20, dan 25 berbeda
secara signifikan satu sama lain. Tetapi hal ini tidak terjadi pada detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES. Konsentrasi MES murni purified
MES 15 tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 20 tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi 25. Detergen bubuk berbahan baku MES kasar unpurified
MES pada konsentrasi 15 memiliki jumlah bahan tidak larut dalam air yang tidak berbedanya dengan detergen bubuk berbahan baku MES murni purified
MES pada konsentrasi 20. Tetapi secara umum detergen bubuk hasil penelitian memiliki jumlah bahan tidak larut dalam air yang berbeda nyata dengan detergen
komersial. Histogram hubungan antara bahan tidak larut dalam air dengan jenis detergen bubuk ditunjukkan pada Gambar 29.
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00
Bahan Tidak Larut Dalam Air
Detergen A Detergen B
Detergen C Jenis Detergen
Konsentrasi surfaktan 15 Konsentrasi surfaktan 20
Konsentrasi surfaktan 25 Detergen komersial
Keterangan: Detergen A
: Detergen bubuk berbahan baku MES kasar unpurified MES
Detergen B :
Detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES Detergen C
: Detergen bubuk komersial
Gambar 29. Histogram hubungan antara bahan tidak larut dalam air dengan jenis detergen bubuk.
76
Berdasarkan Gambar 29 di atas diketahui bahwa jumlah bahan tidak larut dalam air pada detergen bubuk yang dihasilkan baik yang berbahan baku MES
kasar unpurified MES, MES murni purified MES maupun surfaktan komersial berada pada kisaran lebih dari 1. Hal ini berarti jumlah bahan tidak larut dalam
air baik pada detergen bubuk yang dihasilkan dalam penelitian maupun detergen komersial berada di luar kisaran yang telah ditetapkan. .Faktor penyebabnya
diduga karena terjadinya reaksi diantara bahan penyusun formulasi detergen bubuk yang tidak terkontrol sehingga membentuk senyawa lain yang sifatnya
menggumpal. Keberadaan bahan tidak larut dalam air juga dapat disebabkan karena terjadinya pengkristalan selama pencampuran dan pengeringan bahan
penyusun detergen di dalam alat pengering fluidized bed drying. Menurut Permono 2002 salah satu penyebab terjadinya pengkristalan adalah karena
kondisi pencampuran yang tidak sesuai standar.
Derajat Putih
Menurut laporan BPPIS 1989, derajat putih tingkat keputihan adalah merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan bahan tersebut.
Pengukuran derajat putih bertujuan untuk mengetahui tingkat warna putih detergen yang dihasilkan berdasarkan standar warna putih yang terdapat pada alat
whiteness meter. Standar warna putih pada alat ditetapkan pada nilai 85. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa derajat putih detergen bubuk
dengan konsentrasi MES kasar unpurified MES 15 adalah 82,5, konsent rasi MES kasar unpurified MES 20 adalah 81 dan konsentrasi MES kasar
unpurified MES 25 adalah 79,5. Sedangkan derajat putih detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES dengan konsentrasi 15, 20 dan 25
berturut-turut adalah 87,5, 86 dan 84,5. Dari hasil analisa keragaman Lampiran 27 diketahui bahwa taraf
konsentrasi MES yang digunakan dalam formulasi berpengaruh nyata terhadap derajat putih detergen bubuk yang dihasilkan. Fenomena ini terjadi baik pada
detergen bubuk dengan bahan baku MES kasar unpurified MES maupun MES murni purified MES. Hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa konsentrasi MES
77
kasar unpurified MES 15, 20, dan 25 berbeda secara signifikan satu sama lain. Hal serupa juga terjadi pada MES murni purified MES, dimana konsentrasi 15
berbeda nyata dengan konsentrasi 20 dan 25, dan konsentrasi 20 berbeda dengan konsentrasi 25, tetapi konsentrasi 25 ini tidak berbeda nyata dengan
nilai derajat putih pada detergen komersial. Histogram hubungan antara nilai derajat putih dengan jenis detergen bubuk ditunjukkan pada Gambar 30.
74.00 76.00
78.00 80.00
82.00 84.00
86.00 88.00
Nilai Derajat Putih
Detergen A Detergen B
Detergen C
Jenis Detergen
Konsentrasi surfaktan 15 Konsentrasi surfaktan 20
Konsentrasi surfaktan 25 Detergen komersial
Keterangan: Detergen A
: Detergen bubuk berbahan baku MES kasar unpurified MES
Detergen B :
Detergen bubuk berbahan baku MES murni purified MES Dete rgen C
: Detergen bubuk komersial
Gambar 30. Histogram hubungan antara nilai derajat putih dengan jenis detergen bubuk.
Dari Gambar 30 di atas diketahui bahwa peningkatan konsentrasi MES yang digunakan dalam formulasi cenderung menurunkan nilai derajat putih detergen
bubuk yang dihasilkan. Hal ini karena MES yang dihasilkan tidak berwarna putih bening tetapi berwarna kuning gading sehingga dengan semakin tinggi
konsentrasi MES kasar unpurified MES maupun MES murni purified MES
78
yang ditambahkan ke dalam formula maka derajat putihnya semakin berkurang karena semakin tinggi intensitas warna kuning gading pada campuran formulasi
detergen bubuk.
Penentuan Konsentrasi Metil Ester Sulfonat MES Terbaik Dalam Formulasi Detergen Bubuk
Penentuan konsentrasi metil ester sulfonat MES terbaik dalam formulasi
detergen bubuk dilakukan berdasarkan kemampuan surfaktan MES pada konsentrasi tertentu menghasilkan detergen bubuk dengan karakteristik paling
baik. Dalam penelitian ini karakteristik yang paling menentukan adalah daya deterjensi dan stabilitas emulsi. Konsentrasi MES yang dapat menghasilkan
detergen bubuk dengan daya deterjensi dan stabilitas emulsi tertinggi dinyatakan sebagai konsentrasi MES terbaik dalam formulasi detergen bubuk. Menurut Lynn
1996 proses deterjensi terjadi melalui pembentukan misel- misel oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat
pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antara muatan. Penurunan tegangan antarmuka
sejalan dengan peningkatan stabilitas emulsi. Berdasarkan hasil analisis fisiko-kimia terhadap detergen bubuk diketahui
bahwa konsentrasi MES terbaik adalah konsentrasi 25 hal ini berlaku baik pada deterge n berbahan baku MES kasar unpurified MES maupun MES murni
purified MES. Tetapi diantara kedua jenis MES tersebut, MES murni purified MES menghasilkan karakteristik detergen bubuk yang paling baik. Meskipun
karakteristiknya masih sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan detergen komersial.
Karakteristik detergen bubuk dengan konsentrasi terbaik MES murni purified MES 25 adalah sebagai berikut: nilai pH 10,62; nilai kadar air basis
basah 6,068 ; nilai bahan tidak larut dalam air 3,678 ; nilai stabilitas emulsi 89,02; nilai daya deterjensi 88,26 ; nilai derajat putih 84,5; dan densitas 0,396
gml. Secara lebih lengkap rekapitulasi data hasil analsis fisiko kimia detergen bubuk disajikan pada Lampiran 28. Data karakteristik detergen bubuk berbahan
79
baku MES kasar unpurified MES, MES murni purified MES dan detergen komersial disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Rekapitulasi data karakteristik detergen bubuk berbahan baku MES kasar unpurified MES, MES murni purified MES, dan detergen
komersial
Konsentrasi MES kasar
Konsentrasi MES murni
Karakteristik
15 20
25 15
20 25
Detergen Komersial
PH 10,97
10,95 10,86 0,77
10,72 10,62
10,58 Kadar air
basis basah, 6,028
6,618 7,570
5,363 5,535
6,068 6,285
Bahan tidak larut air
2,805 4,125
6,105 1,788
2,533 3,678
5,538 Stabilitas
emulsi 39,19
42,87 47,44
75,32 79,27
89,02 90,81
Daya deterjensi
34,10 35,60
47,12 73,77
81,02 88,26
90,46 Derajat putih
82,5 81,0
79,5 87,5
86,0 84,5
85,0 Berat jenis
gml 0,415
0,433 0,448
0,329 0,361
0,396 0,380
80
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada penelitian ini dilakukan proses pemurnian dengan menggunakan metanol pada taraf konsentrasi 10 sampai 40 dan lama reaksi 30 menit
sampai 120 menit. Untuk membandingkan kinerja MES yang dihasilkan, dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi baik terhadap MES kasar unpurified MES
maupun MES murni purified MES. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa karakteristik MES kasar unpurified MES sangat berbeda dengan karakteristik
MES murni purified MES. MES kasar unpurified MES memiliki karakteristik sebagai berikut: nilai pH 4,98; penurunan tegangan permukaan 30,6 mNm 46,36
; penurunan tegangan antarmuka 31,1 mNm 87,99 ; peningkatan stabilitas emulsi 15,96 ; daya deterjensi 25,84 dan stabilitas busa 0,38 jam 23 menit.
Karakteristik MES murni purified MES memiliki karakteristik sebagai berikut: pH sebelum netralisasi berkisar antara 3,95 sampai 4,93; pH setelah
netralisasi berkisar antara 6,92 sampai 7,67; penurunan tegangan permukaan berkisar antara 31,45 mNm 47,72 sampai 42,25 mNm 64,11 ; penurunan
tegangan antarmuka berkisar antara 31,85 mNm 89,97 sampai 34,70 mNm 98,02 ; peningkatan stabilitas emulsi berkisra antara 16,67 sampai 84,52 ;
daya detejensi berkisar antara 26,28 sampai 87,22 ; dan stabilitas busa berkisar antara 0,41 jam sampai 3,84 jam.
Kondisi proses pemurnian terbaik untuk menghasilkan surfaktan MES berdasarkan hasil penelitian adalah konsentrasi metanol 40 dan lama reaksi 90
menit. Adapun karakteristik MES yang dihasilkan dengan kondisi proses seperti ini adalah sebagai berikut: pH sebelum netralisasi 3,95; pH setelah netralisasi
6,92; penurunan tegangan permukaan 42,25 mNm 64,11, penurunan tegangan antarmuka 34,7 mNm 98,02; daya deterjensi 87,22; stabilitas emulsi
84,52; stabilitas busa 3,98 jam dan densitas 0,89 gml. Pada penelitian ini surfaktan yang digunakan dalam formulasi detergen
bubuk adalah MES kasar unpurified MES dan MES murni purified MES. Hal ini dilakukan untuk membandingkan karakteristik detergen bubuk yang
81
dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis fisiko kimia terhadap detergen bubuk diketahui bahwa konsentrasi surfaktan metil ester sulfonat MES yang terbaik
dalam formulasi detergen bubuk adalah pada penggunaan konsentrasi MES 25. Hal ini terlihat dari nilai daya deterjensi dan stabilitas emulsi. Fenomena ini
terjadi baik pada detergen bubuk dengan bahan baku MES kasar unpurified MES maupun MES murni purified MES. Tetapi detergen bubuk dengan bahan baku
MES kasar unpurified MES memiliki karakteristik yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan deterjen dengan bahan baku MES kasar unpurified MES
Karakteristik detergen bubuk dengan bahan baku MES kasar unpurified MES pada konsentrasi 25 adalah sebagai berikut: pH 10,86; kadar air basis
basah 7,570 ; bahan tidak larut dalam air 6,105 ; stabilitas emulsi 47,44 ; daya deterjensi 47,12; derajat putih 79,5 dan berat jenis 0,448 gml.
Karakteristik deterjen bubuk dengan bahan baku MES murni purified MES pada konsentrasi 25 adalah sebagai berikut: pH 10,62; kadar air basis basah 6,068
; bahan tidak larut dalam air 3,678 ; stabilitas emulsi 89,02 ; daya deterjensi 88,26; derajat putih 84,5 dan berat jenis 0,0,396 gml.
Saran
1. Perlu dilakukan kajian terhadap kemungkinan proses pemurnian dengan menggunakan sistem destilasi agar metanol sisa bisa digunakan kembali
recovery. 2. Perlu dilakukan analisis terhadap kandungan di-salt yang dapat direduksi
selama proses pemurnian.
DAFTAR PUSTAKA
Adami, I dan F. Moretti. 1996. Drying and agglomeration processes for traditional and concentrated detergent ponders. In: Soap and Detergent:
A Theotritical an Practical Review. Spitz, L. Ed.. AOAC Press, Champaign, Illinois.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari., Sedarnawati, S. Budiyanto. 1988. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor.
ASTM D1331. 2000. Standard Test Methods for Surface and Interfacial Tension of Solutions of Surface-Active Agents. Annual Book of ASTM
Standards, Vol 15.04. Easton, MD, USA. Baker. 1995. Process for Making Sulfonated Fatty Acid Alkyl Ester Surfactant.
US Patent No. 5.475.134. http:www.uspto.gov
. Bennet, H. 1947. Practical Emulsion. Second Completely Revised Edition.
Chemical Publshing Co. Inc, Brooklyn, New York, USA. Berger, K.G. 1983. J.Am.Oil.Chem.Soc., 60: 206
Bernardini, E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II.
Interstampa, Rome. Bird, T., M.A. Nur dan M. Syahri. 1983. Kimia Fisik. Bagian Kimia. Institut
Pertanian Bogor, Bogor. BPPIS. 1989. Pembuatan Prototipe Alat Uji Derajat Putih Tepung Tapioka.
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Surabaya. Boocock, D.G.B., S.K. Konar, V. Mao, C. Lee, and S. Buligan. 1998. Fast
Formation of High-Purity Methyl Esters from Vegetable Oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 75 9 : 1167-1172.
BSI. 1996. British Standanrd. BS EN, 1262, Surface Active Agents. British Standard Institute, Britain.
Claesson, P.M., E.Blomberg, dan E.E. Poptoshev. 2001. Surface Force and Emulsion Stability. In: Encyclopedia Handbook of Emulsion Technology.
Marcel Dekker, Mew York. Cox, M.2002. Surfactan Industry Faces Challenges. Inform 13.473-513.
Darnoko, D dan M. Cheryan. 2000. Continuous Production of Palm Methyl
Ester. J. Am. Oil Chem. Soc. 77 12 : 1269 – 1272.
83
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2002. Statistik Perkebunan Indonesia 1998- 2002; Kelapa Sawit. Ditjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, Jakarta. Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1995. Kimia Organik. Jilid 2. Ed. Ke-
3.Terjemahan:A.H.Pudjaatmaka. Erlangga, Jakarta. Foster, N.C. 1996. Sulfonation and Sulfatation Process. In: Soap and Detergent:
A Theotritical an Practical Review. Spitz, L. Ed.. AOAC Press, Champaign, Illinois.
Georgieu, G., S. Lin dan M.M. Sharma. 1992. Surface Active Compounds From Microorganism. J. Biotechnol. 10: 60-65.
Gupta, S. dan D. Wiese. 1992. Soap, Fatty Acid, and Synthetic Detergent. In Kent, J.A. ed.. Riegel’s Handbook of Industrial Chemistrty. 9
th
ed. Van Nostrand Reinhold, New York.
Hapsari, M. 2003. Kajian Pengaruh Suhu dan KecepatanPengadukan Pada Proses Produksi Surfaktan Dari Metil Ester Minyak Inti Sawit Dengan
Metode Sulfonasi. Skripsi, Fateta, IPB, Bogor. Herman de Groot, W. 1991. Sulphonation Technology in the Detergent Industry.
Kluwer Academic Publisher, London. Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Vol. 3. A Wiley-
Interscience Publication. John Wiley Sons, Inc. United State. INFORM. 1998. Additives to Improves Performance. INFORM 9 10: 925 –
935 Jungermann, E. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol I 4th edition.
John Willey and Son, New York Keenan, CW., D.C. Kleinfelter.,dan J.H. Wood. 1984. Ilmu Kimia Untuk
Universitas. Jilid I. Ed. Ke-6. Terjemahan: Pudjaatmaka A.H. Erllangga, Jakarta.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Kinderlerer, J.L. and Hatton. 2992. J. Appl. Bacterio l. 70: 502. Kirk, R.E. dan D.F. Othmer. 1969. Encyclopedia of Chemical Technology.
Second Completely Revised Edition. Vo. 19. Krawczyk, T. 1998. Industrial and Institutional Cleaning. Inform 9 4: 274-291
84
Lapedes, D.N. 1978. Dictionary of Scientific and Technical Terms. 2
nd
Edition. McGraw Hill, New York.
MacArthur, B.W., B. Brooks, W. B. Sheats and N.C. Foster. 1998. Meeting Challenge of Methylester Sulfonation. Chemithon Corp. USA.
Manik. dan Edward. 1987. Sifat-sifat Detergen dan Dampaknya Terhadap Perairan. Oceana, Jakarta.
Mahardika, A.D. 2003. Kajian Pengaruh Rasio Mol Reaktan dan Lama Reaksi Pada Proses Produksi Surfaktan Metil Ester Sulfonat. Skripsi. Fateta,
IPB, Bogor. Matheson, K.L. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In :
Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. Ed. AOCS Press, Champaign, Illinois.
MPOPC. 2002. Uses of Palm Based Oleochemicals. http:www.mpopc.org.my
. [4 April 2002].
Montgomery, D.C. 1991. Design and Analysisof Experimental. 3
rd
Edition. John Wiley Sons, New York.
MPOPC. 2003. Fatty Acids. http:www.mpopc.org.my
. [ 2 November 2003] Mukherji, S.M., S.P. Singh dan R.P. Kapoor. 1985. Organic Chemistry. Vol. 2.
New Age International P Limited Publ., New Delhi. Noureddini, H.dan D. Zhu. 1997. Kinetics of Transesterification of Soybean Oil.
J. Am. Oil Chem. Soc.Vol. 74 11: 1457-1463. Pecsok, R.L., L. D. Shields, T. Cairns, dan I.G. McWilliam. 1976. Modern
Methodes of Chemical Analysis. 2
nd
Edition. John Wiley Sons, Inc., New York.
Permono, A. 2002. Membuat Deterjen Bubuk Skala Kecil dan Menengah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Piyali, G., R.G. Bhirud dan V.V. Kumar. 1999. Detergency and Foam Studies on Linear Alkylbenzene Sulfonate and Secondary Alkyl Sulfonate. J. Of.
Surfactant and Detergent. Vol 24: 489-493. Pore, J. 1993. Oils and Fat Manual. Intercept Ltd, Andover, Uk, Paris, New
York. Porter, M.R. 1997. Anionic Detergent. Didalam Lipid Technologies and
Applications. Frank D.G and Ferd B.P Ed. Marcel Dekker, Inc., New York.
85
Rosen, M.J. dan H.A. Goldsmith. 1981. Systematic Analysis of Surface Active Agents. 2
nd
Ed. In: Chemical Anaysis. Elving, P.J. dan I.M. Kolthoff Ed.. John Wiley Sons, New York.
Rosen, M.J. dan H.A. Goldsmith. 1982. Systematic Analysis of Surface Active Agents. A Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons. New
York . Rosin, J. 1967. Reagent Ghemical and Standards. Ed. Ke-5. D. Van Nostrand,
London. Sadi, S. 1983. Penggunaan Minyak Sawit dan Inti Sawit Sebagai Bahan Baku
Surfaktan. Berita PPKS, 11, P: 57-63. Safitri, M. 2003. Kajian Pengaruh Penambahan Al
2
O
3
Sebagai Katalis Pada Proses Pembuatan Metil Ester Sulfonat MES. Skripsi. Fateta, IPB,
Bogor. Salmiah, A.,R. Awang dan R. Ghazali. 2001. Properties of Sodium Soap Derived
From Palm –Based Dihydroxystearic Acid. J.Palm Research. Vol 13 2:33-38. Malaysian Palm Oil Board, Kuala Lumpur.
Salunkhe, D.K., J.K. Chava., R.N. Adsule dan S.S. Kadam. 1992. World Oilseeds: Chemistry. Butterworths Oxford, England.
Shaw, D.J. 1980. Introduction to Golloid and Surface Chemistry. Butterworths. Oxford, England.
Sheats,W B. and B.W. Mac Arthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. The Chemithon Corporation.
http:www.chemithon.com .
Sherry, A.E, B.E. Chapman, M.T. Creedon, J.M. Jordan and R.L. Moese. 1995. Non Bleach Process for the Purufication of Palm C
16
– C
18
Methyl Ester Sulfonates. J. of Am. Oil Chem. Soc. 72 7 : 834 - 841.
Silverstein, R.M., dan F.X. Webster. 1988. Spectrometric Identification of Organic Compounds. 6
th
Edition. John Wile Sons Inc., New York. Sitting, M. 1979. Detergent Manufacture Including Zeolit Builders and New
Materials. Neyes Data Corporation Park Ridge. New Jersey. USA. Smith, J.M. 1981. Chemical Engineering Kinetics. 3 rd Edition. McGraw-hill
International Book Company, Kosaido Printing co., LTD Tokyo, Japan. SNI. 1998. Metil Ester. Badan Standarisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia.
06-4594-1998.
86
SNI. 1998. Serbuk Deterjen dan Pencuci Sintetik untuk Rumah Tangga. Badan Sandarisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia. 06-4594-1998.
Sontag, N.O.V. 1982. Fat Splitting, Esterrification and Interesterification. Didalam Daniel Swern. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 4t
h
ed. Vol 2. John Willey and Sons, New York.
Steinfeld, J.I., J.S. Francisco dan W.L. Hase. 1989. Chemical Kinetics and Dynamics. Prentice Hall, Inc., New Jersey.
Stubenrauch, C., Takiezsi, A.V. Kuristov., K. Exerowd, dan D.Tailer. 2003. Tenside Surfactants Detergents: A New Experimental Technique to
Measure the Drainage and Life Time of Foam. Hanser, Deutschland- Muchen.
Suryani, A., I. Sailah dan E. Hambali. 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. IPB, Bogor.
Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th. Ed. John Willey and Sons, New York. P. 192-196
Tim Penebar Swadaya. 1999. Kelapa Sawit Usaha Budidaya, pemanfaatan hasil dan aspek pemasaran. Penebar swadaya, Jakarta.
Yuliasari, R., P. Guritno dan T. Herawan. 1997. Asam Lemak Sawit Distilat Sebagai Bahan Baku Pembuatan Sabun Transparan. Indonesia J. Of Oil
Palm Research. 53 : 205-213 Watkins, C. 1999. Laundry Detergent Tablets. Inform 10 11:1008-1013
Watkins, C. 2001. All Eyes are on Texas. INFORM 12 : 1152-1159.
87
Lampiran 1. Perhitungan mol reaktan metil ester ME , NaHSO
3
, dan katalis Al
2
O
3
•
Massa Atom Relatif Ar unsur – unsur yang terlibat dalam proses sulfonasi : C = 12
Na = 23 S = 32
H = 11 O= 16
Berat jenis metil ester ρ
= 0.87 gml
•
Struktur molekul C – 18 ME adalah sebagai berikut: CH3 – CH214 – CH – CH – C – OCH3
Massa molekul relatif Mr dari metil ester ME adalah sebagai berikut : =
Jumlah atom C x Ar C + Jumlah atom H x Ar H + Jumlah atom O x Ar O = 19 x 12 + 36 x 1 + 2 x 16
= 228 + 36 + 32 = 296
•
Massa molekul relatif Mr NaHSO
3
= Jml. atom Na x Ar Na + Jml. atom H x Ar H + Jml atom S x Ar S + Jml atom O x Ar O
= 1 X 23 + 1 X 1 + 1 X 32 + 3 X 16 = 23 + 1 + 32 + 48
= 104
•
Mol C18 – ME =
ρ x V
Mr ME = 0.87 gml x 100 ml
= 0.294 296
•
Perbandingan mol reaktan yang digunakan dalam penelitian adalah 1 : 1,5 1 mol ME : 1,5 mol NaHSO
3
0.294 mol ME : 0441 mol NaHSO
3
Maka massa NaHSO
3
yang harus ditambahkan dalam proses sulfonasi adalah : Massa NaHSO
3
= mol x Mr = 0.441 x 104 = 45.864 gram
•
Massa katalis Al
2
O
3
. yang harus ditambahkan adalah : = 1.5 x massa NaHSO
3
+ massa metil ester = 1.5 x 45.864 + 87
= 1.992 gram O
88
Lampiran 2. Prosedur uji surfaktan anionik
Uji Timol Biru Rosen dan Goldsmith, 1982
Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah suatu bahan atau larutan merupakan surfaktan anionik atau bukan. Cara pengujian sederhana, yaitu dengan
menambahkan reagan yang terdiri dari 5 ml HCl 0,005 N yang ditambahkan 3 tetes timol biru 0,1, ke dalam 5 ml 0,01 – 0,1 larutan yang akan diuji
surfaktan. Terbentuknya warna ungu-kemerahan mengindikasikan keberadaan surfaktan anionik dalam larutan.
Lampiran 3. Prosedur karakterisasi metil ester sulfonat MES
1. Pengukuran pH BSI, 1996