55
4. Bertanggung jawab atas tindakan yang dibuat orang yang ditunjuknya, padahal kepadanya tidak diberi hak substitusi, atau kepadanya diberi hak
substitusi tanpa menyebut namanya, dan ternyata orang yang ditunjuknya tidak cakap dan tidak mampu.
113
5. Penerima kuasa wajib menanggung segala kerugian dan bunga yang timbul atas keingkaran dan kelalaiannya melaksanakan apa yang dikuasakan
kepadanya. Adapun kewajiban pemberi kuasa, yang terpenting diantaranya:
1. Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa dengan pihak ketiga, sepanjang perikatan itu masih dalam
batas-batas kekuasaan yang diberikan kepada penerima kuasa.
114
2. Pemberi kuasa wajib membayar ganti rugi kepada kuasa tentang kerugian yang diderita sewaktu menjalankan kuasa, dengan syarat asal kuasa tidak
bertindak kurang hati-hati carelessly.
115
F. Akibat Hukum Pemberian Kuasa Pada Umumnya
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian dimana seorang memberikan kuasa kepada orang lain yang
menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dengan
112
Pasal 1802 KUHPerdata
113
Pasal 1803 KUHPerdata
114
Pasal 1807 KUHPerdata
115
Pasal 1809 KUHPerdata
Universitas Sumatera Utara
56
demikian, pemberian kuasa juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata.
Pengaturan tentang perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II KUHPerdata. Dalam pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa “Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Menurut Abdulkadir Muhammad, pengertian Perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu
dikoreksi, antara lain:
116
1.
Hanya menyangkut sepihak saja Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya
hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri” jadi ada consensus antara dua
pihak.
2.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan
kepentingan zaakwaarneming,
tindakan melawan
hukum onrechtmatigedaad yang tidak mengandung suatu consensus. Seharusnya
dipakai istilah “persetujuan”.
3.
Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam
bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam
Buku III KUHPerdata sebenarnya hanya bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian personal.
4.
Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian,
sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
116
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 224-225.
Universitas Sumatera Utara
57
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, dkk, yang menyatakan bahwa :
Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan diatas adalah tidak lengkap, dan pula
terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup
perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur
dalam KUHPerdata Buku III Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.
117
Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas, beberapa sarjana hukum memberikan definisi baru perjanjian, antara lain:
a. R. Setiawan. Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
118
b. R. Subekti. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
119
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang dittapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum
117
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,
hal. 65.
118
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung, 1999, hal. 49.
119
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
58
legally concluded contract.
120
Sebagai suatu perjanjian, maka pemberian kuasa harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yakni:
121
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
122
Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak
mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perujudan kehendak tersebut.
123
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui overeenstemende wilsverklaring antara para pihak. Pernyataan pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran offerte. Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi acceptatie.
124
120
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal 228.
121
Pasal 1320 KUHPerdata
122
R. Subekti, Op.Cit., hal. 17.
123
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Op.Cit., hal. 73.
124
Ibid., hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
59
Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat
menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, antara lain:
1.
Kekhilafan Kesesatan Pasal 1321 KUHPerdata :
Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Pasal 1322 KUHPerdata: Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila
kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu
persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.
Kekhilafan dibedakan dalam kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona, dan kesesatan mengenai hakikat barangnya dinamakan error in
substantia.
Universitas Sumatera Utara
60
Error in substantia maksudnya ialah bahwa kesesatan itu adalah mengenai sifat benda, yang merupakan alasan yang sesungguhnya bagi kedua belah pihak,
untuk mengadakan perjanjian.
125
Sedangkan dikatakan tidak ada kekhilafan apabila kehendak seseorang pada waktu membuat persetujuan tidak dipengaruhi kesan atau pendangan yang palsu.
Kekhilafan harus sedemikian rupa sehingga seandainya tidak khilaf mengenai hal itu, ia tidak akan menyetujuinya.
2.
Paksaan Pasal 1323 KUHPerdata:
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, juga apabila paksaan itu
dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat.
Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani atau ancaman akan membuka rahasia dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang
menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Disini paksaan itu harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang
menerima paksaan.
126
3.
Penipuan Pasal 1328 KUHPerdata :
125
Ibid., hal. 76.
126
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
61
Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu- muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga
terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi
harus dibuktikan.
4.
Penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheden Penyalahgunaan keadaan terjadi jika seseorang tergerak karena keadaan
khusus bijzondere omstandigheden untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan menyalahgunakan hal ini. KUHPerdata belum mengatur secara
khusus mengenai penyalahgunaan keadaan. Namun, pengaturan tentang hal ini dapat ditemukan dalam yurisprudensi. Sebagaimana dinyatakan oleh
Setiawan,
Prof. Z.
Asikin Kusumah
Atmadja menyatakan
bahwa penyalahgunaan keadaan adalah faktor yang membatasi atau mengganggu
terbentuknya kehendak bebas yang dipersyaratkan bagi persetujuan antara kedua pihak sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 butir 1
KUHPerd.
127
Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak dalam melakukan tindakan hukum. Siapa yang dapat dan boleh bertindak dan
mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak dan mampu untuk melakukan suatu tindakan hukum handelingsbekwaam yang membawa akibat hukum.
128
Dalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.
127
Herlien Budiono, Op.Cit., hal. 100.
128
Ibid., hal 102.
Universitas Sumatera Utara
62
Dengan kata lain, mereka yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap adalah orang yang secara umum tidak dapat melakukan tindakan
hukum.
129
Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia mampu
memahami konsekuensi tindakan-tindakannya.
130
Ketidakcakapan handelingsonbekwaamheid melakukan tindakan hukum haruslah
dibedakan dengan
ketidakwenangan melakukan
tindakan hukum
handelingsonbevoegdheid. Tidak berwenang adalah mereka yang oleh undang- undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.
131
Perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak wenang galibnya batal demi hukum nietig. Sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap
tidak ipso jure batal, tetapi dapat dibatalkan vernietigbaar.
132
Penentuan ketidakcakapan dan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum, demi kepastian hukum, dikaitkan pada fakta eksternal yang mudah
dipastikan dan dikenal batas-batasnya secara jelas, misalnya, akta kelahiran atau pernyataan umum lainnya putusan pengadilan, suratakta bukti pemilikan.
133
Dalam suatu perjanjian terdapat objek perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, objek perjanjian disebut dengan “suatu hal tertentu”. Yang dimaksud
129
Ibid., hal. 102-103.
130
Ibid.
131
Ibid., hal. 105.
132
Ibid., hal. 107.
133
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
63
dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor.
134
Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal. Menurut yurisprudensi yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi
atau maksud dari perjanjian.
135
Ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang,
tidak mempunyai kekuatan”. Hal ini berarti suatu perjanjian yang mengandung sebab- sebab demikian adalah batal demi hukum.
Lebih lanjut, Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan bahwa “Jika tak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau pun jika ada suatu sebab lain
dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah”. Ketentuan ini berbicara tentang suatu sebab yang tidak dinyatakan ataupun berbeda dari apa
yang dinyatakan, tetapi tetap merupakan sebab yang halal. Dalam kasus demikian, perjanjian adalah sah.
Pasal 1337 KUHPerdata mengatur mengenai apa yang dimaksud dengan sebab terlarang yakni apabila sesuatu sebab itu dilarang oleh undang-undang, atau
bertentangan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
134
Ibid., hal. 107-108.
135
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Op.Cit., hal. 81.
Universitas Sumatera Utara
64
Perjanjian pemberian kuasa lastgeving dapat dibuat dalam bentuk perjanjian sepihak apabila tidak diperjanjikan upah atau dalam bentuk perjanjian timbal balik
apabila diperjanjikan upah.
136
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak.
137
Hal ini berarti bahwa suatu perjanjian pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak apabila pihak yang akan menerima prestasi hanya pihak pemberi
kuasa, sedangkan pihak penerima kuasa tidak mendapat prestasi berupa apapun juga. Sebaliknya apabila dalam suatu perjanjian pemberian kuasa diperjanjikan
suatu upah kepada penerima kuasa maka perjanjian pemberian kuasa itu adalah perjanjian timbal-balik. Dikatakan sebagai perjanjian timbal balik karena kedua pihak
sama-sama memperoleh prestasi dimana pemberi kuasa memperoleh prestasi berupa dilaksanakannya urusan yang berhubungan dengan kepentingannya oleh penerima
kuasa dan penerima kuasa memperoleh upah yang telah diperjanjikan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa suatu perjanjian yang dibuat
secara sah akan menimbulkan akibat hukum. Demikian pula dengan perjanjian pemberian kuasa yang dibuat secara sah akan menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum dengan dibuatnya suatu perjanjian pemberian kuasa adalah bahwa para pihak terikat dengan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam
undang-undang.
136
Herlien Budiono, Op.Cit., hal. 57.
137
Ibid., hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
65
Ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penerima kuasa dapat ditemukan pengaturannya pada Pasal 1800 hingga Pasal 1806 KUHPerdata. Pasal
1800 KUHPerdata merupakan ketentuan dasar yang mengikat seorang penerima kuasa. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa dengan menerima suatu kuasa,
seorang penerima kuasa telah mengikatkan dirinya untuk menyelesaikan kuasa tersebut, dan karenanya bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pemberi
kuasa sebagai akibat tidak dilaksanakannya kuasa tersebut. Pasal 1801 KUHPerdata mengatur mengenai tanggung jawab penerima kuasa.
Luasnya tanggung jawab dari seorang penerima kuasa tidak hanya meliputi perbuatan-perbuatan yang disengaja olehnya melainkan juga terhadap setiap kelalaian
yang dilakukan olehnya. Pasal 1802 KUHPerdata mewajibkan penerima kuasa untuk memberikan
laporan tentang segala sesuatu yang telah dilakukan oleh penerima kuasa tersebut, dan
selanjutnya memberikan
perhitungan kepada
pemberi kuasa
mengenai penerimaan yang telah dilakukannya, sesuai dengan kuasa yang telah diberikan
kepadanya, termasuk segala sesuatu yang tidak seharusnya dibayar kepada pemberi kuasa.
Pasal 1805 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban penerima kuasa untuk membayar bunga atas uang-uang pokok yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk
melaksanakan kuasanya, yang dipakai oleh penerima kuasa guna keperluan pribadinya.
Universitas Sumatera Utara
66
Pasal 1803 KUHPerdata mengatur mengenai penunjukan kuasa oleh penerima kuasa. Dalam pasal tersebut terdapat beberapa hal, antara lain:
1.
Penerima kuasa bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk olehnya sehubungan dengan pemberian kuasa apabila :
a. Penerima kuasa tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
b. Dalam hal penerima kuasa diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dan orang yang ditunjuk sebagai penggantinya
itu ternyata tidak cakap atau tidak mampu dalam menyelesaikan kuasa yang telah diberikan.
2.
Dalam hal kuasa diberikan untuk melakukan pengurusan benda-benda yang terletak di luar wilayah Indonesia atau di lain pulau daripada yang di tempat
tinggal pemberi kuasa, maka setiap saat penerima kuasa berhak untuk menunjuk seorang lain melaksanakan kuasanya tersebut atas tanggungan
pemberi kuasa.
3.
Meskipun suatu penunjukkan seorang lain untuk melaksanakan kuasanya tersebut dilakukan oleh penerima kuasa, dengan atau tanpa persetujuan
pemberi kuasa, pemberi kuasa adalah berwenang untuk setiap saat secara langsung menuntut orang yang ditunjuk lebih lanjut oleh penerima kuasa
tersebut. Pasal 1804 KUHPerdata mengatur mengenai pemberian kuasa kepada lebih
dari satu orang. Dalam pasal tersebut diatur bahwa apabila dalam satu perjanjian
Universitas Sumatera Utara
67
pemberian kuasa ditunjuk lebih dari satu orang penerima kuasa, maka terhadap para penerima kuasa tidak dibebankan tanggung jawab secara tanggung renteng, kecuali
hal tersebut telah diatur secara tegas dalam perjanjian pemberian kuasa. Pasal 1806 KUHPerdata mengatur bahwa penerima kuasa tidak bertanggung
jawab atas segala hal yang terjadi diluar dari batas kuasa yang telah dijalankannya, kecuali ia secara pribadi telah mengikatkan dirinya untuk itu.
Selanjutnya mengenai kewajiban pemberi kuasa diatur dalam Pasal 1807 hingga Pasal 1812 KUHPerdata. Pasal 1807 KUHPerdata mengatur mengenai akibat
eksternal dari pelaksanaan kuasa yang telah dilakukan oleh penerima kuasa sesuai dengan kuasa yang diberikan kepadanya. Adapun akibat eksternal dari pelaksanaan
kuasa tersebut adalah bahwa pemberi kuasa bertanggung jawab atas pemenuhan setiap perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa berdasarkan kuasa yang diberikan
kepadanya. Namun, jika ada pelaksanaan kuasa yang menyimpang dari kuasa yang diberikan, pemberi kuasa adalah bebas untuk setiap saat mengukuhkan atau
menyetujui pelaksanaan kuasa yang menyimpang tersebut. Dalam hal penyimpangan atau perbuatan di luar kuasa tersebut dikukuhkan atau disetujui, maka hal tersebut
menjadi tanggung jawab pemberi kuasa. Pasal 1808 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban pemberi kuasa dalam
mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, serta membayar upah penerima kuasa, jika hal
upah tersebut telah diperjanjikan. Kewajiban tersebut adalah mutlak dan wajib dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa, selama dan sepanjang
Universitas Sumatera Utara
68
penerima kuasa tidak melakukan kelalaian dalam melaksanakan kuasanya, terlepas dari selesai tidaknya kuasa tersebut dilaksanakan oleh penerima kuasa.
Pasal 1809 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban pemberi kuasa dalam memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang diderita
penerima kuasa sewaktu menjalankan kuasanya, sepanjang penerima kuasa tidak telah lalai atau berbuat kurang hati-hati.
Pasal 1810 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban pemberi kuasa dalam membayar bunga atas persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa
sehubungan dengan pelaksanaan kuasa yang telah diberikan, terhitung sejak dikeluarkannya persekot-persekot itu oleh penerima kuasa.
Pasal 1811
KUHPerdata mengatur
mengenai kewajiban
tanggung menanggung dari beberapa orang pemberi kuasa yang memberikan kuasa kepada satu
orang penerima kuasa untuk mewakili suatu urusan yang merupakan urusan para pemberi kuasa secara bersama-sama.
Pasal 1812 KUHPerdata mengatur mengenai hak retensi yang dimiliki oleh penerima kuasa untuk menahan milik pemberi kuasa yang berada ditangannya, untuk
suatu waktu yang tidak ditentukan lamanya, hingga seluruh tuntutan penerima kuasa dari pemberi kuasa, sehubungan dengan pemberian kuasa telah dibayar lunas oleh
pemberi kuasa.
G. Pemberian Kuasa Direksi Dalam UUPT